Tuesday, June 30, 2009

Evaluasi Kinerja Departemen Agama ...



Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Salah satu agenda pemerintahan SBY-JK adalah pembangunan agama, yang merupakan salah satu hak dasar rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 29. Tulisan ini akan melihat kinerja Departemen Agama (Depag) dari perspektif sosial-ekonomi. Dengan demikian, policy measures yang digunakan untuk penilaian kinerja juga akan banyak dilihat dari aspek sosial-ekonomi.
Dari RPJM 2004-2009 serta rencana strategis (renstra) dan visi-misi Depag 2005-2009, setidaknya terdapat beberapa policy measures sosial-ekonomi yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Depag yaitu kinerja filantropi Islam (zakat dan wakaf), kinerja penyelenggaraan haji dan kinerja institusi pendidikan keagamaan. Dengan tiga ukuran kebijakan ini, kinerja Depag terlihat kurang memuaskan. Berbagai langkah reformasi mendasar masih harus terus didorong ke depan.

Pengelolaan Zakat dan Wakaf
Zakat dan wakaf telah lama dipraktekkan di negeri ini, namun dampaknya belum luas dirasakan. Potensi dana filantropi Islam yang besar, belum mampu mengangkat kelompok miskin di negeri ini keluar dari kemiskinan. Terlepas dari keberadaan ratusan organisasi pengelola zakat (OPZ), baik BAZ (Pemerintah) maupun LAZ (Masyarakat), dana zakat yang terhimpun setiap tahunnya masih dibawah Rp 1 trilyun dari puluhan trilyun potensi-nya. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 19 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota.
Masih rendahnya kinerja zakat setidaknya disebabkan empat faktor utama. Pertama, rendahnya penghimpunan dana zakat melalui lembaga amil karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal. Kedua, masih rendahnya efisiensi dan efektifitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah OPZ dengan skala usaha yang kecil. Ketiga, lemahnya kerangka regulasi dan institusional zakat karena ketiadaan lembaga regulator-pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat-pajak. Keempat, lemahnya kapasitas kelembagaan dan SDM zakat.
Arah kebijakan ke depan yang terpenting disini adalah membentuk “Arsitektur Zakat Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator zakat. Fungsi regulator-pengawas semestinya dipegang Depag atau lembaga independen, katakan Badan Zakat Indonesia, sedangkan BAZ dan LAZ sepenuhnya sebagai operator. Reformasi terpenting lainnya adalah memperjelas relasi zakat dan pajak dengan penerapan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) tidak lagi sekedar pengurang penghasilan kena pajak (tax deductible). Hal ini akan berdampak signifikan sebagai insentif muzakki untuk berzakat. Di Indonesia, wacana insentif berzakat lebih relevan dibandingkan wacana penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai.
Langkah maju telah terjadi di dunia wakaf nasional. UU No. 41/2004 telah memberi “Arsitektur Wakaf Indonesia” untuk tata kelola wakaf yang baik dimana terjadi pemisahan yang tegas antara regulator (Badan Wakaf Indonesia), pengawas (Menteri Agama) dan operator (nazhir). Keluarnya PP No. 42/2006 tentang Wakaf, memperkokoh landasan operasional bagi pengelolaan wakaf secara profesional dan akuntabel. Kini Depag telah bergerak jauh ke arah wakaf produktif melalui proyek percontohan wakaf tanah produktif dan mendorong wakaf uang dengan menunjuk lima bank syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Arah kebijakan terpenting ke depan adalah mendorong lebih jauh wakaf tanah produktif melalui identifikasi dan sertifikasi, penguatan kapasitas nazhir serta menemukan skema kemitraan dan pembiayaan yang sesuai. Sampai dengan tahun 2007, terdapat 185 ribu hektar tanah wakaf di lebih dari 400 ribu lokasi di seluruh provinsi, dengan 75% diantaranya telah bersertifikat. Diperkirakan setidaknya 10% dari lahan ini berlokasi di tempat strategis dan potensial dikembangkan sebagai wakaf produktif. Langkah penting lainnya adalah integrasi wakaf dan sektor keuangan syariah untuk pengembangan wakaf produktif termasuk dengan mendirikan bank wakaf nasional, serta integrasi wakaf dengan zakat dan lembaga keuangan mikro syariah untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.

Penyelenggaraan Haji
Hingga kini belum terlihat perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan haji. Mahalnya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan kecenderungan terus meningkat, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari pelayanan pra-haji, saat haji hingga pasca haji, dan rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU), adalah sederet permasalahan haji nasional yang tak kunjung terselesaikan.
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan ke-tiga fungsi ini. Sayangnya pemisahan ini tidak tegas dimana Depag masih terus dipertahankan sebagai regulator (Menteri) sekaligus operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dengan hanya memberikan “lahan kering” pengawasan ke masyarakat (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI).
Maka agenda reformasi haji terbesar adalah membentuk “Arsitektur Haji Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang tegas antara regulator-pengawas dan operator. Depag semestinya ditempatkan sebagai regulator-pengawas. Sebagai operator, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional.
Selain sebagai operator, fungsi strategis THI lainnya adalah mengelola dana haji secara produktif, terpusat, akuntabel dan sesuai syariah. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.

Penyelenggaraan Pendidikan
Secara umum, kondisi pendidikan keagamaan tidak jauh berbeda dari pendidikan umum seperti minimnya anggaran, rendahnya kualitas pengajar dan infrastruktur fisik, kelemahan kurikulum dan bahan pengajaran serta lemahnya keterkaitan antara pendidikan dan dunia kerja. Selain institusi pendidikan formal dari pendidikan dasar (MI, MTS dan MA) hingga tinggi (IAIN dan UIN), potensi terbesar lainnya adalah institusi pendidikan non formal yaitu pesantren dan masjid. Kini setidaknya terdapat 194 ribu Masjid, 62 ribu Mushalla dan 388 ribu Langgar, serta 15 ribu pesantren dengan 5-6 juta santri.
Ke depan, arah kebijakan terpenting adalah mendinamiskan kurikulum pendidikan keagamaan dengan memperhatikan tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, agama, dan dinamika perkembangan global. Pendidikan keagamaan selain dituntut untuk terus meningkatkan kualitas, disaat yang sama juga dituntut untuk membangun kompetensi baru terkait kebutuhan masyarakat (societal needs) sekarang dan masa depan, kebutuhan industri/dunia kerja (market signal), dan kebutuhan pengembangan ilmu (science vision). Terdapat prospek baik bagi pendidikan keagamaan untuk membangun kompetensi baru seperti misalnya di bidang zakat, wakaf, haji, dan keuangan syariah, khususnya perbankan dan asuransi syariah.

Koran Tempo, "Tiga Ukuran Kebijakan Departemen Agama", 30 Juni 2009.

Labels: ,


Selengkapnya...

Saturday, June 27, 2009

Sistem Ekonomi Islam: Sebuah Analisis Kontemporer ...

Yusuf Wibisono

Abstract
There has been a considerable amount of writing in the last three decade on Islamic economic system. No consensus arises from the literature, however, such that the whole picture of Islamic economic system is still unclear. Consequently, sadly, misunderstanding was persistently occurred.
A possible explanation was various perspectives and methodologies offered by Islamic scholars to explain the Islamic economic system, leading to an undesirable outcome. In this perspective, this paper attempts to build a framework for the Islamic economic system that relies on three elements, namely foundation, pillar and roof.
The Foundation of system consists of free-interest financial system, zakat-based fiscal system and gold-based monetary system. The Pillar of system consist of private, public and waqf system of ownership, and market-based system of resource allocation but with strict government supervision. The Roof of system consists of moral, material and spiritual system of incentive, and maqashid-based system of objective. This approach makes up the comprehensive picture of Islamic economic system such that comparative analysis with other economic systems can be conducted easily.

JEL Classification: P10, P20, P40, P51
Keywords: economic systems, other economic systems, comparative analysis of economic systems, Islamic economic system

Full Paper:
JURNAL EKONOMI SYARIAH INDONESIA
Vol. 2, No. 1, Januari 2008/Muharram 1429, hal. 139 - 163.

Labels:


Selengkapnya...

Sunday, June 21, 2009

Membangun Jakarta Masa Depan ...


Yusuf Wibisono
Wakil Kepala – Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Memasuki usianya yang ke-482, Jakarta terlihat semakin rapuh menanggung beratnya beban pembangunan. Pesatnya pertumbuhan kota, tidak diikuti dengan ketersediaan infrastruktur kota, daya dukung alam dan keseimbangan ekologis. Permasalahan sampah, eksploitasi air tanah yang berlebihan, hilangnya ruang terbuka hijau hingga rusaknya daerah aliran sungai, tidak kunjung terselesaikan secara tuntas bahkan nampak semakin mengental.
Jakarta juga menghadapi masalah segregasi fungsional antara daerah bisnis/perkantoran dan daerah pemukiman yang semakin meningkat dan telah menimbulkan pemborosan waktu dan biaya transportasi, inefisiensi lahan dan kawasan, penurunan kualitas lingkungan terutama akibat polusi udara yang parah, serta kebutuhan yang besar terhadap sarana transportasi dan infrastruktur terkait lainnya.
Di sisi lain, segregasi sosial juga nampak tidak semakin membaik. Kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan antar kelompok pendapatan, etnis, suku dan golongan, rawan menimbulkan konflik-konflik sosial. Hal ini semakin diperburuk semakin tergerusnya ruang-ruang publik kota dan tempat-tempat ibadah yang digantikan oleh pusat-pusat bisnis, perbelanjaan dan perumahan mewah.

Jakarta Masa Depan
Secara umum, terdapat tiga hal yang semestinya masuk dalam arus utama diskusi publik tentang arah pembangunan Jakarta ke depan. Pertama, pengurangan fungsi kota Jakarta. Jakarta sebagai ibukota negara memiliki kekhususan yang diakui oleh Pasal 227 ayat 1 huruf c UU No. 32/2004. Walau demikian, kedudukan Jakarta sebagai ibukota sendiri ke depan sebaiknya segera diakhiri. Dalam jangka panjang, hal ini tidak produktif. Jakarta ke depan membutuhkan pengurangan fungsi kota karena beban pembangunan telah melampaui kapasitas dan daya tampung optimal Jakarta sebagai daerah pertumbuhan sehingga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Jakarta.
Jakarta ke depan sebaiknya diarahkan menjadi pusat ekonomi-bisnis, sedangkan pusat pemerintahan dialihkan ke daerah lain. Pemisahan fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi-bisnis dari Jakarta akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, menurunkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pembangunan.
Perlu dipikirkan langkah-langkah perintis untuk memindahkan ibukota ini. Pemindahan ibukota juga sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 pasal 227 ayat 3 huruf d tentang kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Pemindahan ibukota ini juga selaras dengan amanat Pasal 30 UU No. 26/2007 dimana ruang terbuka hijau kota minimal 30% dari total luas wilayah. Dengan ruang terbuka hijau kini yang kurang dari 9%, mustahil mewujudkan amanat UU Penataan Ruang ini tanpa memindahkan ibukota dari Jakarta.
Kedua, kekhususan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah. Sebagai megapolitan dan sekaligus ibukota negara, Jakarta membutuhkan berbagai infrastruktur modern yang handal untuk menunjang aktivitas kota secara efisien. Ironisnya, Jakarta termasuk kota dengan infrastruktur yang buruk. Hal ini semakin diperparah dengan inefisiensi dalam pengelolaan infrastruktur kota akibat buruknya tata kelola dan mismanajemen.
Dengan kemampuan pemerintah kota yang sangat terbatas untuk membangun, mengoperasikan dan memelihara infrastruktur, maka harus didorong partisipasi pihak lain. Partisipasi pertama adalah pembiayaan dari pemerintah pusat, terutama dalam bentuk penerusan pinjaman dan hibah luar negeri, sebagaimana dalam kasus pembangunan MRT. Yang berikutnya adalah pembiayaan oleh swasta, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang layak secara komersial dan mampu mencapai pemulihan biaya secara penuh (full cost recovery). Dan terakhir, pembiayaan oleh masyarakat luas melalui penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Hal ini terbuka dilakukan mengingat DKI Jakarta memiliki kapasitas fiskal yang besar sehingga memiliki creditworthiness yang tinggi. Sukuk yang berbasis underlying assets lebih cocok untuk Jakarta yang membutuhkan banyak infrastruktur yang umumnya commercially viable, dan juga mendorong disiplin fiskal.
Ketiga, kerjasama antar daerah untuk pengelolaan terpadu Jakarta sebagai megapolitan. Untuk Jakarta Raya, kerjasama antar daerah untuk pengelolaan kawasan secara terpadu adalah suatu keharusan, dan hal ini juga telah diatur dalam Pasal 27 UU No. 29/2007. Namun pola kerjasama antar daerah selama ini belum memberi kejelasan tentang bagaimana DKI Jakarta akan dikelola secara terpadu. Pembentukan badan kerjasama antar daerah antara DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, sebagaimana amanat UU No. 29/2007, tidak akan efektif jika tidak ada kejelasan dalam kewenangan dan sanksi. Besarnya ego sektoral dan daerah telah membuat kerjasama antar daerah selama ini menjadi mandul.
Harus diperjelas, aspek-aspek mana saja yang merupakan kepentingan bersama semua daerah dan siapa yang memegang kewenangan tersebut. Kerjasama antar daerah sebaiknya difokuskan pada aspek perencanaan tata ruang kawasan, pengelolaan sistem transportasi, serta pengelolaan lingkungan hidup khususnya penyediaan air bersih, pengendalian banjir dan penanganan sampah. Konsep pengelolaan kawasan megapolitan sebaiknya menjadi hak pemerintah pusat (regulator). Lembaga bersama antar daerah lebih bersifat sebagai operator yang berkoordinasi dalam mengimplementasikan aturan yang telah dibuat oleh pusat.

Menuju Welfare City
Menciptakan kesejahteraan bagi semua warga adalah tugas pertama dan utama setiap pemerintahan. Ide dasar dari konsep ini berangkat dari fakta bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengelola semua sumber daya dalam perekonomian untuk digunakan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyatnya. Jakarta relatif kurang berhasil dalam hal ini. Permasalahan kemiskinan, pengangguran, kesenjangan yang semakin lebar, hingga carut marut pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan dan kesehatan, masih menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi sebagian besar warga Jakarta. Kesejahteraan masih menjadi barang mahal di kota ini.
Dalam jangka pendek, Jakarta membutuhkan perubahan arah kebijakan yang drastis untuk menjamin Jakarta ke depan berjalan secara optimal menuju kesejahteraan untuk semua. Pertama, menahan laju kerusakan lingkungan. Ruang terbuka hijau kota harus segera direhabilitasi, pencemaran udara, air dan tanah serta masalah sampah harus dikurangi, daerah aliran sungai harus dinormalisasi dan ruang-ruang publik yang semakin luas harus terus ditambah. Tanpa perubahan radikal di bidang ini, Jakarta akan semakin tenggelam dalam kubangan air, lumpur dan sampah.
Kedua, membangun ekonomi kerakyatan dan menciptakan lapangan kerja untuk mengentaskan kemiskinan. Penggusuran dan razia PKL harus dihentikan, hak-hak ekonomi rakyat harus dihormati. Birokrasi harus berubah dan berorientasi pada pelayanan publik. Pasar tradisional harus ditingkatkan daya saing-nya, sektor informal potensial harus dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembangunan, BLK harus direvitalisasi dan program PPMK diarahkan untuk penciptaan pasar kredit mikro yang fleksibel. BMT atau KJKS cocok sebagai penyalur PPMK untuk kredit mikro.
Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur yang penting dan mendesak untuk mengatasi kemacetan dan banjir. Infrastruktur transportasi kota semestinya difokuskan pada mass rapid transportation (MRT) berbasis jalan raya (busway) dan berbasis rel (KRL), bukan jalan tol atau monorail dan subway yang sangat mahal dan tidak ramah lingkungan. Sinergi antara percepatan busway hingga koridor 15 dan revitalisasi KRL akan mengurangi kemacetan Jakarta secara signifikan, dengan biaya yang jauh lebih murah, lebih cepat dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Sedangkan infrastruktur pengendali banjir harus difokuskan pada percepatan penyelesaian BKT, normalisasi daerah aliran sungai, dan infrastruktur pengolahan sampah yang modern, efisien dan ramah lingkungan.
Terakhir, penguatan kebijakan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dan kesehatan harus semakin merata dan dapat diakses semua kalangan. Program-program kesejahteraan seperti Raskin, JPK-GAKIN, PPMK dan BOP harus disinergikan ke dalam program jaminan kesejahteraan daerah secara terpadu.

Labels:


Selengkapnya...

Thursday, June 18, 2009

Reformasi Haji ...



Yusuf Wibisono - Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Setelah melalui debat panjang, akhirnya pemerintah dan DPR menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2009 sama dengan BPIH 2008. Sebelumnya, pemerintah dan DPR sempat berencana menaikkan BPIH 2009 sebesar US$ 84 (Koran Tempo, 15/6/2009).
Pemerintah selama ini dianggap gagal menyelenggarakan haji. Kisah haji Indonesia adalah wajah buram bangsa ini di dunia internasional. Kisruh penyelenggaraan haji yang nyaris terjadi setiap tahun, semestinya memberi kita pemahaman bahwa kegagalan ini bersifat struktural, sehingga solusi-solusi pragmatis ad-hoc tidak akan pernah memberi hasil memuaskan.
Kegagalan penyelenggaraan haji selama ini dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar. Pertama, mahalnya BPIH dan dengan disertai kecenderungan terus meningkat. Bila di tahun 2002, BPIH berada di kisaran US$ 2.700 maka di tahun 2009 kini telah berada di kisaran US$ 3.500. Penyusunan BPIH selama ini juga cenderung tertutup, begitupun halnya dengan kontrak-kontrak terkait operasional haji lainnya. Kedua, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari bimbingan manasik, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi, hingga perlindungan keamanan. Pembinaan dan pelayanan pasca haji praktis terabaikan. Ketiga, rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU). Tidak ada dampak signifikan dari dana haji dan DAU yang begitu besar untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan haji dan kemaslahatan umat. Selain tidak dikelola secara produktif dan sesuai syariah, pengelolaan dana haji juga ditengarai banyak penyimpangan.

Arsitektur Haji Indonesia
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji Indonesia selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Depag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.
Perhatian Depag selama ini banyak tercurah pada aspek operasional haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan dengan perputaran dana mencapai trilyun-an Rupiah per tahun. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Depag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh oknum birokrasi dan para kroni-nya.
Untuk alasan diatas, maka agenda reformasi haji terbesar adalah pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator. Idealnya, Depag harus ditempatkan sebagai regulator-pengawas, bukan operator. UU No. 13/2008 justru melestarikan kesalahan UU No. 17/1999 dengan terus mempertahankan Depag sebagai operator-regulator dan memberikan “lahan kering” pengawasan ke KPHI. Depag yang berada di ranah publik seharusnya hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan pelayanan publik. Maka menjadi sebuah kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah untuk mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba.
Mencontoh best-practice di Malaysia, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional. Dengan demikian, Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi utamanya sebagai regulator dan pengawas yang selama ini praktis terabaikan. Keberadaan THI ini juga akan membebaskan APBN dan APBD dari beban operasional panitia haji. Begitupun dengan ribuan PNS baik di pusat maupun daerah, dapat berkonsentrasi pada tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, THI akan mendapat pengawasan ketat dari Depag dan KPHI, serta audit BPK. Untuk memacu efisiensi, THI harus dibekali dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), meliputi aspek BPIH, bimbingan haji, transportasi, pemondokan, katering, pelayanan medis, dan tenaga pembimbing. Dengan SPM ini maka akan terlihat korelasi yang jelas antara biaya dan pelayanan. THI juga tetap dihadapkan pada persaingan dan disiplin pasar dengan menempatkan biro haji swasta sebagai penyelenggara haji khusus. Dengan demikian, jamaah haji akan mendapat pelayanan prima dengan biaya yang wajar. Keberadaan DAU juga bisa dihapuskan tanpa mengganggu kualitas pelayanan dan sekaligus menghapus potensi korupsi.

Tabung Haji Indonesia
Hingga tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran calon jamaah haji sebesar Rp 20 juta langsung masuk ke rekening Menteri di BI, tanpa mendapat manfaat namun mendapat jaminan konversi ke US$. Sejak 2006, setoran dana haji disimpan di Bank Penerima Setoran (BPS), dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. UU No. 13/2008 telah mendorong pengelolaan dana haji ini oleh perbankan syariah, namun masih memberi peluang bagi perbankan konvensional sepanjang memiliki layanan syariah.
Ke depan, pengelolaan dana haji semestinya dilakukan secara profesional, terpusat dan sepenuhnya sesuai syariah, katakan dengan membentuk Tabung Haji Indonesia, Bank Syariah Haji Indonesia atau setidaknya membentuk konsorsium bank syariah dengan jumlah maksimum, katakan 5 bank. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya.
Pelaksanaan ibadah haji melibatkan dana yang sangat besar. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.
Dana sebesar ini jika dikelola dengan baik dan benar, seharusnya mampu memberi dampak yang signifikan pada kemaslahatan jemaah haji dan kesejahteraan ummat. Lembaga Tabung Haji (TH) Malaysia misalnya, yang hanya mengelola dana haji 26 ribu jemaah per tahunnya dengan biaya sekitar RM 9 ribu per jemaah, pada tahun 2007 memiliki aset RM 11,3 milyar dengan laba bersih RM 1,07 milyar. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan TH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman dan sesuai syariah. TH melalui anak perusahaan-nya yaitu TH travel & services, TH plantations, TH properties, TH technologies, dan TH global services, terlibat secara aktif dalam berbagai investasi pembangunan. Dengan pengelolaan yang efisien, profesional dan transparan, haji telah bertransformasi menjadi salah satu tulang punggung perekonomian di Malaysia.
Dana haji yang bersifat jangka pendek, dapat disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito, sehingga akan meningkatkan size dan pertumbuhan perbankan syariah nasional. Sedangkan dana haji yang bersifat jangka panjang, seperti tabungan haji dimuka, DAU dan setoran haji untuk keberangkatan hingga 5 tahun ke depan, sebaiknya dikelola untuk investasi jangka panjang.
Dengan demikian, dana haji ini sangat potensial menjadi alternatif untuk sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI ini akan membebaskan dana-dana mahal jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang seperti infrastruktur. Dengan demikian, dana haji juga akan menekan potensi miss-match dan instabilitas sistem perbankan nasional. Pada saat yang sama, dana THI ini juga akan menambah volume kredit dan menekan tingkat suku bunga sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga.
Dalam kasus Indonesia yang mengalami defisit anggaran, dana THI juga dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang di-privatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara.

"Reformasi Haji", Koran Tempo, 19 Juni 2009

Labels:


Selengkapnya...

Monday, June 15, 2009

Refleksi Islam Politik Pasca Reformasi ...

Yusuf Wibisono
Staf Pengajar FEUI dan Pemerhati Islam Politik

Hasil pemilu legislatif 2009 menunjukkan bahwa 3 partai Islam terbesar yaitu PKS, PPP, dan PBB, hanya mampu mendulang 14,99%, tidak banyak berbeda dengan perolehan sepuluh tahun lalu dalam pemilu legislatif 1999. Padahal pada pemilu 2004 partai-partai Islam mampu mendulang 21% suara. Partai Islam-inklusif -PAN dan PKB- dan partai sekuler-inklusif -Partai Golkar- yang disebut Baswedan (2004) sebagai Islam-friendly parties, bahkan mengalami penurunan signifikan dari 42% pada 1999 menjadi 25% pada 2009. Hal ini secara jelas menunjukkan stagnasi Islam politik. Dalam satu dekade terakhir, partai-partai Islam tidak mampu menarik dukungan publik yang lebih luas. Mengapa Islam politik pasca reformasi mengalami kegagalan?
Dalam rentang 6 dekade terakhir, terjadi transformasi politik Islam di Indonesia. Di era 1950-an, hanya ada partai Islam (Islamist parties) dengan agenda negara Islam dan penerapan syariah. Pasca reformasi di akhir 1990-an, tidak hanya terdapat partai Islam dengan agenda tunggal penerapan syariah, namun juga terdapat partai Islam-inklusif dan partai sekuler-inklusif dengan agenda yang lebih umum yaitu masuknya nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan.
Secara umum, partai Islam di Indonesia tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Muslim besar-demokratis lainnya yaitu Turki. Banyak pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demokratis ataupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam menjadi moderat secara ideologis seperti beralih dari teokrasi ke demokrasi.
Mecham (2004) menunjukkan bahwa moderasi ideologis AKP di Turki merupakan hasil dari beberapa faktor institusional. Pertama, gerakan mendapat kebebasan untuk membuat pilihan strategis dalam sistem politik yang memberi political entrepreneurship dengan peluang kredibel untuk kekuasaan. Kedua, negara dan elemen masyarakat madani menerapkan kendala-kendala institusional publik pada perilaku gerakan. Ketiga, interaksi antara pemimpin gerakan, konstituen dan negara meningkatkan informasi gerakan tentang potensinya dan pilihan-pilihan strategis yang dimilikinya.
Namun, berbeda dengan AKP yang sangat moderat yang meraih kemenangan dalam tiga kali pemilu 2002, 2007 dan 2009, moderasi ideologis partai-partai Islam di Indonesia, tidak diikuti dengan meningkatnya dukungan publik. Mengapa moderasi ideologis AKP membawa kemenangan sedangkan moderasi ideologis partai Islam Indonesia justru berbuah pesimisme bahkan sinisme politik?

Moderasi Ideologis dan Political Learning
Kehadiran partai Islam di pentas demokrasi dengan isu yang semakin moderat, membuktikan adanya proses political learning. Bermeo (1992) mendefinisikan political learning sebagai “the process through which people modify their political beliefs and tactics as a result of severe crises, frustrations, and dramatic changes in environment”. Political learning berangkat dari premis bahwa keyakinan tidak sepenuhnya kebal dari perubahan dan dapat dipengaruhi oleh “political events”. Political learning dapat mempengaruhi keyakinan dasar ideologis atau secara sederhana mempengaruhi cara yang dipilih untuk mencapai tujuan yang konstan.
Dalam kasus AKP di Turki, moderasi ideologis partai adalah hasil dari political learning dalam periode waktu yang ekstensif. Ia muncul sebagai hasil dari respon strategis atas berbagai hambatan institusional dan pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan. Moderasi ini hanya terjadi setelah interaksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen yang membuat partai mendapat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan kendala-kendala dari negara.
Dalam kasus Indonesia, moderasi ideologis terlihat jelas pada kasus PKS. Setelah mengalami kegagalan pada pemilu 1999, PKS tampil di pemilu 2004 dengan memperluas citra modernis dan moderat partai dengan slogan “bersih dan peduli”. Moderasi ideologis yang berjalan beriringan dengan kinerja partai di tingkat akar rumput, mampu mendongkrak raihan suara PKS secara signifikan. Moderasi PKS terus berlanjut hingga pemilu 2009, bahkan dengan derajat yang semakin tinggi. Namun moderasi signifikan ini tidak berbuah membesarnya dukungan publik pada PKS. Raihan suara PKS stagnan.
Political learning partai-partai Islam adalah fenomena umum. Namun di Indonesia, partai-partai Islam gagal menampilkan diferensiasi dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Menurunnya dukungan terhadap partai-partai Islam terlihat disebabkan oleh semakin meningkatnya persepsi kesenjangan antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan. Pemimpin partai Islam juga gagal memunculkan “creative action” yang mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitas-nya dan pada saat yang sama memperluas daya tarik mereka terhadap konstituen.
Partai-partai Islam dilihat publik semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan semata. Dalam rangka meraih kekuasaan dan mengumpulkan dana, partai-partai Islam masuk ke banyak koalisi cair dengan partai-partai sekulet, baik di tingkat nasional maupun lokal. Beberapa kasus besar juga tercatat oleh publik yang memperlihatkan pragmatisme jangka pendek dan bergesernya orientasi kerakyatan partai-partai Islam seperti kasus impor beras, kenaikan harga BBM, blok Cepu, BLBI dan lain-lain.
Kemenangan partai Islam dibanyak negara sebagian besar disebabkan oleh kegagalan partai sekuler yang lemah dan korup. Di Aljazair, kemenangan FIS terjadi beriringan dengan turunnya kinerja partai mayoritas FLN. Koalisi rent-seeking yang menyatu di dalam FLN menghambat ketersediaan pilihan kebijakan dalam krisis fiskal. FLN merespon krisis fiskal khususnya dengan merubah kebijakan regulasi dan distribusi, yaitu liberalisasi pasar dan reformasi sektor publik, yang membawa pada keluarnya kelompok menengah dari FLN yang kemudian menggeser dukungannya ke FIS. Dukungan kelompok menengah ini, khususnya pelaku usaha kecil, birokrat tingkat bawah dan kelompok terdidik, menjadi kunci kemenangan FIS (Chibber, 1996). Sedangkan kemenangan partai Refah di Turki sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor internal negara seperti fragmentasi kekuatan politik, distribusi pendapatan yang sangat tidak merata, menurunnya kapasitas redistribusi dan menurunnya moral otoritas negara (Öniş , 1997).
Hal ini secara jelas juga terjadi pada PKS di pemilu 2004. PKS yang tampil dengan kampanye pemerintahan “bersih dan peduli”, bukan ke-Islam-annya, mampu menarik simpati publik yang telah kehilangan kepercayaan pada partai-partai sekuler yang dianggap lemah dan korup. Maka, ketika kemudian partai-partai Islam dipersepsikan tidak berbeda dengan partai sekuler yang lemah dan korup, maka dukungan publik-pun terhenti. Bahkan PPP dan PBB pada pemilu 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Secara jelas kita melihat bahwa kunci kemenangan partai Islam adalah keberpihakan pada rakyat, kemampuan mengelola pemerintahan dan citra anti korupsi, bukan moderasi ideologis semata. Citra pemerintahan bersih dan pro-rakyat ini justru mampu dimunculkan pada sosok SBY yang kemudian menjadi faktor kunci kemenangan PD pada pemilu 2009 ini.

Kinerja Publik dan Kemenangan Partai
Kinerja partai di ranah publik adalah kunci kemenangan di pentas demokrasi. Partai-partai Islam yang mencoba memperluas dukungan publik hanya semata mengandalkan moderasi ideologis secara jelas mengalami kegagalan. Kinerja partai di lembaga legislatif maupun eksekutif menjadi parameter keberhasilan yang secara mudah dilihat publik.
Di Turki, AKP yang mampu mendapat simpati publik dan menguasai pemerintahan lokal, mampu menunjukkan kinerja yang sangat baik di tingkat lokal dengan menyerap aspirasi rakyat, terutama di daerah-daerah industri baru, dengan secara pragmatis menyelesaikan permasalahan dengan sikap business-friendly, pro-Uni Eropa, pro globalisasi dan outward-looking. Dikombinasikan dengan kekuatan organisatoris AKP di tingkat akar rumput yang hebat dan penzaliman pemimpin partai yang populis, membuat AKP mendapat kepercayaan pemilih di tingkat nasional yang menginginkan perubahan dari keterpurukan ekonomi nasional dan kesenjangan yang besar.
Hal ini kemudian dibuktikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan. Secara mengejutkan AKP mampu membawa Turki mendekat ke Uni Eropa, sesuatu yang tak mampu dilakukan pemerintahan manapun sebelumnya. Di saat yang sama, AKP mampu membawa pemulihan ekonomi Turki dari jurang resesi menuju kesejahteraan. Prestasi ekonomi Turki secara jelas menunjukkan perbaikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan pada 2002. Hasinya, pada pemilu 2007, AKP kembali memenangkan pemilu Turki secara telak dengan mendapat 47% suara.
Belajar dari pengalaman AKP, partai-partai Islam Indonesia harus mampu menunjukkan kinerja mereka di ranah publik, dengan secara pragmatis menyelesaikan berbagai permasalahan riil yang dihadapi masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan gratis, mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja. Hal ini dapat dimulai di tingkat lokal dimana partai-partai Islam memegang kekuasaan. Keberhasilan mengelola pemerintahan lokal akan menjadi modal penting dalam mengejar kemenangan di pemilu nasional.

Republika, "Refleksi Islam Politik", 26 Juni 2009.

Labels:


Selengkapnya...

Saturday, June 06, 2009

KONSENSUS WASHINGTON DAN JALAN NEOLIBERAL ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Tampilnya Boediono sebagai cawapres pendamping SBY, memunculkan spekulasi serius tentang kebijakan ekonomi neoliberal yang akan diusung pasangan ini. Sebagai seorang teknokrat mainstream, Boediono selama ini lekat dengan kebijakan ekonomi yang pro-pasar bebas. Kebijakan ekonomi neoliberal sering dinisbatkan pada ”Konsensus Washington”, sebuah formula kebijakan generik yang pertama kali dikemukakan oleh John Williamson pada 1989 untuk mendeskripsikan 10 reformasi ekonomi terurgen dan terpenting yang dibutuhkan Amerika Latin saat itu untuk keluar dari krisis utang, dimana 10 reformasi kebijakan ini dipandang telah menjadi konsensus bersama semua lembaga-lembaga penting yang berkantor di Washington seperti IMF, World Bank, Inter-American Development Bank, Departemen Keuangan Amerika Serikat dan the U.S. Federal Reserve.
Pada perjalanan-nya, istilah ini telah menjadi arena debat ideologis yang hebat dan panjang antara para pendukung dan penentang sistem ekonomi pasar. Konsensus Washington yang semula didesain sebagai respons terhadap permasalahan yang dihadapi Amerika Latin pada dasawarsa 1980-an yang menghadapi masalah defisit anggaran yang besar dan masif akibat pemerintahan yang tidak efisien dan kerugian yang menimpa BUMN, pada praktek-nya kemudian telah menjadi generik dan didorong untuk diterapkan di semua negara yang mengalami krisis, dengan tiga pilar utama-nya, yaitu kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi, privatisasi dan liberalisasi pasar.
Di Indonesia era orde baru, kebijakan ekonomi neoliberal banyak didorong oleh kelompok teknokrat yang umumnya lulusan UI dan UGM. Kelompok ini secara secara tradisional menjadi sumber reformasi ekonomi karena latar belakang akademis yang sama, keahlian ekonomi-teknis yang mereka miliki, dan ketaatannya pada tiga prinsip makroekonomi terpenting yaitu disiplin fiskal, neraca modal terbuka dan nilai tukar yang kompetitif. Kelompok teknokrat-akademis yang kental dengan doktrin pasar bebas, peran pemerintah yang minimal dan prinsip keunggulan komparatif dalam pembangunan industri ini, pada era 90-an mendapatkan perlawanan keras dari kelompok insinyur yang umumnya lulusan ITB yang menekankan penting-nya pembangunan industri strategis dan penting-nya nasionalisme ekonomi dimana negara memainkan peranan penting dalam perekonomian. Kelompok insinyur ini mulai menguasai kementrian ekonomi strategis di era 90-an.
Datangnya krisis 1997 memberi kesempatan sekali lagi pada kelompok teknokrat untuk “meluruskan” kembali perekonomian dengan mengadopsi ukuran-ukuran reformasi neoliberal seperti yang pernah mereka lakukan di era 70-an dan 80-an. Berbeda dengan era sebelumnya, reformasi ekonomi pasca krisis 1997 banyak di dorong oleh IMF. Pada 1997-2003, makroekonomi Indonesia praktis berada dibawah manajemen IMF. Soeharto secara resmi menandatangani LoI I dengan IMF pada 31 Oktober 1997, dan diikuti dengan LoI-LoI berikutnya hingga Indonesia keluar dari program IMF pada 2003.

IMF dan Jalan Neoliberal
Peran IMF dalam reformasi ekonomi di satu sisi diyakini positif. Pertama, IMF menjadi benchmark kepercayaan internasional sekaligus menjadi sumber pembiayaan keuangan. Kedua, IMF berperan sebagai pemandu kebijakan (termasuk mekanisme check and balances terhadap kebijakan-kebijakan populis) dan karenanya ia berfungsi menjadi peredam berbagai kepentingan dan perekat dalam perumusan dan pelaksanaan agenda-agenda reformasi.
Namun disisi lain, kehadiran IMF dipandang amat negatif. Pertama, kehadiran IMF merupakan pemicu erosi kepercayaan terbesar terhadap agenda reformasi. IMF dipandang sebagai kekuatan eksternal yang memiliki kepentingan dan agenda sendiri. Reformasi ekonomi yang dikaitkan sebagai prasyarat bantuan (conditionalities) IMF, tidak hanya meng-erosi “kepemilikan” pemerintah terhadap negara tetapi juga membuat reformasi nampak menjadi bentuk baru dari kolonialisme Barat. Individu-individu di sekeliling IMF juga ditengarai memanfaatkan IMF untuk mengejar keuntungan ekonomi dari reformasi yang dilakukan Indonesia. Kedua, sebagai sumber pembiayaan, IMF dipandang tidak memberi manfaat nyata bagi Indonesia karena cenderung hanya memberi stand-by loan (dan kemudian pada Februari 2000 berpindah ke Extended Fund Facility), sedangkan biaya dari pinjaman, yaitu pembayaran bunga, dinilai memberatkan.
Secara empiris, program reformasi neoliberal yang didorong IMF telah menciptakan biaya sosial-ekonomi yang luar biasa besar bagi Indonesia. Pertama, penutupan 16 bank pada 1 November 1997 (LOI 31 Oktober 1997) secara tidak hati-hati, telah menghancurkan kepercayaan pasar pada sistem keuangan secara keseluruhan sehingga membuat krisis yang semula masih kecil justru menjadi membesar dan tak terkendali.
Kedua, kebijakan anggaran ketat di awal krisis -bahkan menetapkan surplus anggaran, termasuk dengan menaikkan harga BBM di tahun 1997 (LOI 31 Oktober 1997 dan Supplementary LOI 15 Januari 1998)- telah memicu kekacauan sosial-politik dengan biaya yang sangat besar. Setelah kekacauan sosial-politik 1998, baru-lah arah kebijakan ini diubah dan belanja sosial diperbesar. Rendahnya stimulus fiskal di awal krisis juga ditengarai menjadi penyebab lamban-nya pemulihan ekonomi. Ketiga, kebijakan moneter sangat ketat diawal krisis -dengan menaikkan suku bunga hingga 70%- telah menghancurkan sistem perbankan dan sektor riil secara hampir permanen. Ironisnya, kebijakan suku bunga sangat tinggi ini juga gagal dalam mencapai dua tujuan utama yang dibebankan pada-nya saat itu yaitu menguatkan nilai tukar dan mengendalikan inflasi.
Keempat, liberalisasi pasar yang diusung program reformasi banyak yang bertabrakan dengan semangat konstitusi dan mencederai nasionalisme ekonomi. Sebagai misal, liberalisasi sektor energi (migas dan listrik) yang membuat monopoli Pertamina dan PLN dihentikan (LOI 20 Januari 2000), memunculkan penentangan keras. Hasilnya, pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan pada 21 Desember 2004, MK membatalkan UU No. 21/2001 tentang Migas pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, dan pasal 28 ayat 2-3.
Secara ekonomi, liberalisasi sektor energi juga tidak menjamin efisiensi dan harga yang lebih murah. Sebagai misal, sejak diundangkan-nya UU No. 21/2001 tentang Migas, iklim investasi migas nasional tidak semakin membaik, investasi, eksplorasi dan produksi cenderung turun. Dengan UU Migas baru, negara juga banyak dirugikan karena diterapkannya mekanisme B2G (kontraktor-BP Migas) dalam kontrak-kontrak migas yang membuat negara banyak dirugikan seperti cost-recovery menjadi tidak terkontrol, penjualan migas bagian negara harus lewat pihak ke-tiga, dan lain-lain.
Kelima, liberalisasi perdagangan dan investasi ditengarai telah menimbulkan kerugian besar bagi pelaku ekonomi kecil serta kerusakan lingkungan. Liberalisasi pasar beras (LOI 20 Januari 2000) telah mendorong impor beras secara berlebihan, sehingga secara jelas merugikan petani. Impor beras seringkali dilakukan bukan karena produksi domestik tidak mencukupi. Sebagai misal, tahun 2004 dan 2005 Indonesia surplus produksi beras masing-masing 459.000 ton dan 49.000 ton beras. Namun di tahun tersebut Indonesia meng-impor beras berturut-turut 632.000 ton dan 304.000 ton. Impor beras juga seringkali terjadi dalam skala yang sangat berlebihan dari yang seharusnya. Sebagai misal, pada 2002 defisit produksi beras adalah 651.467 ton, namun beras yang di-impor mencapai 3,7 juta ton atau 5,7 kali lipat dari yang seharusnya. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi pasar beras telah dijadikan justifikasi oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk memasukkan beras sebanyak-banyak-nya, termasuk melalui jalur ilegal.
Sementara itu, penurunan pajak ekspor kayu gelondongan/log (LOI 29 Juli 1998) dan liberalisasi investasi di perkebunan kelapa sawit (Supplementary LOI 15 Januari 1998) telah meningkatkan kecepatan kerusakan hutan Indonesia. Di tengah berbagai kelemahan struktural terutama lemahnya penegakan hukum, penurunan pajak ekspor kayu gelondongan telah meningkatkan defisit pasokan kayu domestik sehingga mendorong pembalakan liar (illegal logging). Sedangkan liberalisasi investasi di sektor kelapa sawit telah mendorong pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar dengan cara mengkonversi hutan alam.

Neoliberalisme dan Riak-Riak Perlawanan
Terhitung sejak 15 September 2003, Indonesia secara resmi keluar dari Extended Fund Facility (EFF) IMF dan sekaligus untuk pertama kalinya sejak krisis 1997 membuat program ekonomi-nya sendiri tanpa mandor asing yang ditandai dengan keluarnya Inpres No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF. Namun substansi paket kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati ini tidak jauh berbeda dari letter of intent (LOI). Paket kebijakan yang kemudian banyak dihasilkan oleh pemerintahan SBY-JK juga masih kental dengan warna “mainstream”.
Secara umum, setelah keluar dari IMF, arah kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati dan SBY tidak banyak berubah. Kementrian ekonomi penting yang mayoritas diisi kelompok teknokrat-akademis di kedua pemerintahan, menjelaskan fenomena ini. Pemerintahan koalisi membuat tarik-menarik politik yang kuat dalam pemilihan menteri-menteri sehingga Presiden cenderung memberikan kementrian ekonomi penting pada kelompok yang dianggap “netral/independen”, dapat diterima “pasar” dan dunia internasional, serta kompeten, yaitu kelompok teknokrat-akademis.
Namun pemerintahan SBY-JK, yang kebijakan-kebijakan ekonomi-nya cenderung liberal, secara mengejutkan mengambil langkah-langkah berani dalam berhadapan dengan kekuatan komunitas finansial internasional yaitu percepatan pembayaran utang ke IMF pada Oktober 2006 dan pembubaran forum CGI (Consultative Group on Indonesia) pada Januari 2007. Percepatan pembayaran utang ke IMF sebesar US$ 7,8 miliar yang semestinya baru berakhir pada Desember 2010, dipicu oleh kenaikan suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ke-3 2005 yaitu dari 4,3% menjadi 4,58%. Sedangkan pembubaran CGI dilakukan untuk menurunkan tekanan kolektif para kreditor/donor terhadap Indonesia.
Gerakan “independensi” Indonesia dari kekuatan neoliberal global ini nampak seirama dengan kecenderungan “independensi” yang terjadi di kawasan Amerika Latin. Pada Desember 2005, Argentina mempercepat pembayaran US$ 9,8 miliar ke IMF. Bolivia pada Oktober 2006 sukses melakukan negosiasi ulang kontrak dengan 10 perusahaan pertambangan asing. Pada Desember 2006, Presiden Venezuela Hugo Chavez, secara resmi mengusulkan dibentuknya Bank of the South (Banco del Sur) sebagai tandingan IMF, dan pada Maret 2009 disepakati bank ini akan memiliki modal US$ 7 miliar. Dibawah Chavez, Venezuela juga telah menasionalisasi operasional perusahaan migas asing seperti Exxon, ConocoPhillips dan BP.
Namun sayangnya, langkah awal independensi Indonesia ini mati muda. Kita tidak melihat lagi langkah berani yang semakin intensif skala dan derajat-nya. Pemerintah tidak mampu melakukan negosiasi ulang atas kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan, tidak mampu menurunkan stok utang pemerintah secara signifikan melalui moratorium utang, debt-swap dan rekayasa keuangan lainnya, tidak mampu mengembalikan aset-aset negara yang disimpan para koruptor di Singapura dan pusat-pusat keuangan dunia lainnya serta tidak adanya strategi dan cetak biru penanaman modal asing yang berjalan dalam koridor visi pembangunan industri nasional yang tangguh menuju kemandirian bangsa.

Platform Capres dan Visi Bangsa
Terlepas dari siapapun presiden terpilih ke-depan, apakah pasangan yang kini sibuk menangkis isu neoliberal maupun yang kini berteriak-teriak ekonomi kerakyatan dan nasionalisme, kita berharap ke depan tidak ada lagi tragedi-tragedi ekonomi bangsa seperti pelepasan kontrol terhadap sumber strategis energi nasional (seperti kasus Blok Cepu ke Exxon dan LNG Tangguh ke BP), obral aset strategis bangsa (seperti kasus Indosat) atau penguasaan asing atas sektor strategis (seperti kasus divestasi bank rekap BCA, Danamon, BII, dll).
Kebijakan ekonomi yang digulirkan ke depan semestinya memberi manfaat bagi masyarakat luas, bukan segelintir elit dan kelompok tertentu. Reformasi ekonomi semestinya berjalan dalam kerangka pengelolaan dan pengembangan berbagai aset strategis bangsa, bukan sebagai bungkus dari penggadaian berbagai aset strategis bangsa secara murah. Rasa keadilan juga harus dikedepankan, kelompok elit harus menanggung beban reformasi yang paling besar. Reformasi ekonomi seharusnya merevitalisasi kebijakan subsidi berbagai kebutuhan dasar rakyat sehingga tepat sasaran, bukan pencabutan subsidi secara sembrono tanpa skema kompensasi yang memadai dan rencana implementasi yang kredibel. Kita membutuhkan kebijakan ekonomi yang mampu mempromosikan industri nasional dan kepentingan rakyat di tingkat global, bukan semata menerima globalisasi dan liberalisasi perdagangan secara serampangan sehingga merugikan kepentingan nasional, terutama buruh, petani dan nelayan. Reformasi ekonomi juga semestinya mendorong pelaku ekonomi pribumi agar dapat berperan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, bukan justru memarjinalkan pribumi di negeri-nya sendiri.
Kebijakan ekonomi harus bermula dari konsensus sosial tentang reformasi ekonomi apa yang dibutuhkan dan harus diprioritaskan. Setelah itu, fokus berikutnya adalah menciptakan institusi pelaksana reformasi ekonomi yang kapabel dan kredibel. Dalam tataran strategis-pragmatis, reformasi ekonomi harus dilakukan sedemikian sehingga dapat dimulai, dikelola, di-implementasikan dan dipertahankan secara berkelanjutan. Kunci keberhasilan disini ada di tangan birokrasi. Namun birokrasi sendiri adalah sasaran reformasi. Reformasi birokrasi harus mendapat prioritas tertinggi dan memerlukan intervensi langsung dari kekuasaan politik tertinggi. Dan terakhir, kebijakan ekonomi harus harus menjaga rasa keadilan masyarakat. Beban reformasi ekonomi seharusnya paling banyak dipikul oleh kelompok elit. Beban reformasi ekonomi yang tidak terdistribusi secara adil, akan menimbulkan resistensi sosial-politik yang tinggi.

Labels:


Selengkapnya...

Friday, June 05, 2009

Milad Ke-4 Pernikahan ...



Milad Pernikahan kami yang ke-4, 4 Juni 2009. Dan kau menulis:
"Selamat hari jadi pernikahan kita ... Semoga Allah selalu mengikat hati, menjaganya dan memeliharanya dengan cara-Nya yang ghaib. Amiin ..."

Yusuf Wibisono, Fina Ariyani & Shafwan Fikri Yusuf

Labels:


Selengkapnya...