Sunday, September 20, 2009

Eid Mubarak 1430 H ...


Di beningnya pagi fitri, mengucapkan Taqabalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum, Minal Aidin wal faidzin. Mohon Maaf Lahir dan Batin, atas segala khilaf yang terserak, yang sengaja dan tidak disengaja. Semoga berharga hidup kita, suci jiwa kita, shaleh dan shalehah keturunan kita, diterima ibadah-ibadah kita, bersih harta kita, barakah sedekah kita, dan ikhlas dakwah-perjuangan kita.

Yusuf-Fina

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, September 15, 2009

Ekonomi Mudik ...



Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Hari-hari ini kita kembali menyaksikan salah satu fenomena terbesar negeri ini, mudik. Bagi masyarakat perantau, mudik adalah sebuah kewajiban. Ia adalah penyambung utama silaturahmi yang memberi energi baru untuk melanjutkan kehidupan di tanah perantauan. Hal ini kemudian bertemu dengan semangat religius Ramadhan dan Idul Fitri, yang akhirnya menciptakan mudik sebagai salah satu event ritual rutin tahunan terbesar di dunia. Di tahun 2009 ini diperkirakan akan terdapat 27,25 juta pemudik, naik hampir dua kali lipat dari pemudik tahun 2006 yang sekitar 14,42 juta orang. Dari puluhan juta pemudik ini, pengguna angkutan umum diprediksi mencapai 16,25 juta orang, sedangkan pengguna sepeda motor dan mobil pribadi mencapai 11 juta orang.
Dari satu perspektif, mudik adalah fenomena sosial yang positif. Mudik memberi andil yang besar dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, dan harmoni sosial. Mudik juga menjaga nilai-nilai kultural antara pemudik dengan daerah asal-nya. Dampak ekonomi mudik juga tidak bisa dipandang remeh. Bersamaan dengan mudik, triliunan rupiah uang mengalir setiap tahun-nya ke daerah asal pemudik yang menggerakkan roda perekonomian lokal, memberi jaminan sosial dan melepaskan penduduk dari kemiskinan, walau mungkin temporer. Perekonomian nasional juga bergerak seiring pergerakan puluhan juta manusia, terutama melalui jalur konsumsi seperti di sektor transportasi, komunikasi, perdagangan, hotel, dan restoran.
Dengan berbagai argumen diatas, kita umumnya kemudian memberi toleransi besar bagi mudik, memberinya pembenaran dengan THR, memfasilitasi-nya dengan acara mudik bersama, dan bahkan mendorong-nya dengan membuat jadwal libur panjang setiap Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah dan swasta berlomba memberi kemudahan bagi para pemudik, mulai dari penyediaan armada transportasi hingga posko siaga mudik.

Inefisiensi Sosial-Ekonomi
Namun, ditinjau dari perspektif makro-jangka panjang, fenomena mudik sesungguhnya adalah inefisiensi, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Secara sosial, mudik identik dengan berbagai kerumitan yang sering menimbulkan biaya sosial yang tidak kecil. Pergerakan puluhan juta manusia dalam waktu yang relatif bersamaan rentan dengan berbagai masalah mulai dari kasus-kasus kriminalitas, kecelakaan transportasi yang menelan korban harta dan jiwa, hingga kemacetan luar biasa di berbagai jalur mudik.
Secara ekonomi, mudik menghabiskan begitu banyak sumber daya ekonomi. Sebagai misal, di tahun 2009 ini diperkirakan jumlah sepeda motor yang digunakan untuk mudik akan mencapai 3,9 juta unit. Untuk pergerakan jutaan kendaraan roda dua ini dipastikan puluhan juta liter BBM akan dihabiskan dan puluhan ton polutan dihasilkan hanya oleh pemudik sepeda motor ini saja. Untuk memfasilitasi pergerakan jutaan kendaraan darat ini, ribuan hektar tanah pertanian dikorbankan dan puluhan trilyun anggaran publik dihabiskan untuk membangun berbagai infrastruktur transportasi darat.
Secara makro, inefisiensi ekonomi dari mudik menjadi semakin tidak bisa dipandang remeh. Jika setiap pemudik menghabiskan Rp 1 juta untuk biaya pulang-pergi, maka dengan 27,25 juta orang pemudik, di tahun 2009 ini kita menghabiskan Rp 27,25 trilyun hanya untuk biaya transportasi mudik saja. Ditambah lagi para pemudik umumnya membawa uang atau oleh-oleh, yang umumnya untuk tujuan konsumsi jangka pendek di kampung halaman (demonstration effect). Jika setiap pemudik membawa uang atau oleh-oleh rata-rata Rp 2 juta per orang, maka di tahun 2009 ini pemudik menghabiskan Rp 54,5 trilyun. Bayangkan jika dana puluhan triliun tersebut yang setiap tahunnya habis sebagai konsumsi jangka pendek, kita gunakan untuk kegiatan ekonomi produktif-investasi, tentu akan memberi dampak ekonomi yang jauh lebih besar dan lestari dalam jangka panjang.

Akar Penyebab
Fenomena mudik di Indonesia berakar pada dua hal pokok. Pertama, ketidakseimbangan pembangunan antara Indonesia Barat dan Timur, khususnya antara Jawa dan Non-Jawa. Disparitas antar daerah ini sudah terjadi sejak awal pembangunan, dan hingga kini belum ada perbaikan berarti, bahkan nampak semakin mengental. Pada 1975, Kawasan Barat Indonesia (KBI) menguasai 84,6% PDB Nasional dengan Jawa yang hanya 9% dari luas wilayah menguasai 46,7% PDB nasional dan menjadi tempat bermukim 63,2% penduduk Indonesia. Lebih dari tiga dekade kemudian, pada 2008, KBI menguasai 81,3% PDB nasional dengan meninggalkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang hanya menguasai 18,7%. Dan supremasi Jawa atas Non-Jawa terlihat jelas dimana pada 2008 Jawa menguasai 57,9% PDB nasional dengan tiga propinsi-nya yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, menguasai 46,0% PDB nasional.
Kedua, kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan pedesaan. Daerah perkotaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi modern seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, komunikasi, dan jasa keuangan, mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari daerah pedesaan yang didominasi oleh kegiatan ekonomi tradisional seperti sektor pertanian dan pertambangan-penggalian. Pada 2008, pertumbuhan sektor pertanian hanya 4,8%, jauh dibawah sektor transportasi dan komunikasi yang tumbuh 16,7%, sektor listrik, gas dan air bersih 10,9%, dan sektor keuangan 8,2%. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional tahun 2008 hanya 14,4%, padahal hingga Februari 2009 sektor ini masih menampung 41,2% dari total tenaga kerja kita.
Kemiskinan sejak lama terkonsentrasi di daerah pedesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang, atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih tiga puluh tahun kemudian, angka ini membaik namun masih tetap tinggi. Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 20,6 juta orang, sekitar 63,4% dari total penduduk miskin.
Kemajuan Jawa dan daerah perkotaan inilah yang menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat bagi urbanisasi, dan ketertinggalan luar Jawa dan daerah pedesaan menjadi faktor pendorong-nya (push factor). Puluhan juta manusia mengadu nasib ke kota karena kemiskinan di desa. Daerah-daerah maju menarik jutaan tenaga kerja terdidik dan terlatih, meninggalkan daerah miskin sehingga menjadi semakin tertinggal. Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat (spread effect), namun justru menghisap sumber daya perekonomian sehingga terkonsentrasi di daerah-daerah kaya (backwash effect), membuat daerah tertinggal tak pernah mampu mengejar ketertinggalannya.
Inilah wajah asli mudik. Ia adalah wajah kegagalan kita menciptakan pembangunan yang berkeadilan, antara KBI dan KTI, antara kota dan desa, antara sektor modern dan tradisional. Mudik adalah wajah kegagalan kita mentransformasi sektor pertanian kita menjadi sektor agro-industri modern berdaya saing tinggi. Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan sumber-sumber keunggulan baru perekonomian. Mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemanusiaan, yang kemudian memaksa puluhan juta orang berdiaspora bahkan hingga ke ujung belahan dunia, meninggalkan sanak keluarga untuk sekedar menyambung nyawa. Mudik adalah wajah kegagalan kita mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.
Dari tahun ke tahun, kita sibuk menghadapi mudik sebagai sebuah ritual rutin, yang bahkan seolah disakralkan. Namun tak banyak yang kita lakukan, jika tidak bisa dikatakan tidak ada, untuk mengurangi atau bahkan menghapus dampak negatif-nya. Beginilah kita, selalu melihat sesuatu dari luar dan terbiasa dengannya, namun malas untuk melihat akar masalah, terlebih mengatasi-nya.

Koran Tempo, "Ekonomi Mudik", Kamis, 17 September 2009

Labels:


Selengkapnya...

Monday, September 14, 2009

Yang Ke-Dua ...



Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, telah lahir putra ke-2 kami, Syamil Atqiya Yusuf, dengan Berat 3 kg dan Panjang 48 cm, Senin, 14 September 2009, pk 10.30, di RS Hasanah Graha Afiah, Depok.

Yusuf - Fina

"Uii'dzuka bikalimaatillahittaammah min kulli syaythooni wa haammah wa min kulli a'ynillaammah". Aku mohon perlindungan untukmu bayi dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala gangguan setan dan binatang dan dari ketajaman mata yang berakibat buruk dari pada apa yang dilihatnya. (HR Bukhori).
Ust. Sigit Pramono - Ketua STEI SEBI

"Semoga menjadi anak yang sholeh dan menjadi mujahid Allah yang tangguh"
Bude Atik dan Pakde Bowo, Pondok Gede

"Semoga menjadi anak sehat, cerdas, sholeh, dan dapat menjadi anak yang membanggakan kedua orang tua"
Halida, PEBS-ers

"Semoga kelak bisa menjadi anak yang soleh, kebanggaan orang tua dan bermanfaat bagi nusa-bangsa dan agama"
Rahmatina, PEBS-ers

"Semoga jadi anak yang sholeh, berbakti pada orang tua dan selalu membanggakan orang tua yang selalu dilindungi Allah SWT"
Taufik dan Astri, Mawar Residence C3

"Semoga menjadi anak yang shaleh, senantiasa menjadi kebanggaan keluarga dan agama"
Annisa, Mawar Residence B3

"Semoga menjadi anak yang sholeh, berguna untuk agama, keluarga, masyarakat, nusa & bangsa. Semoga orangtuanya diberikan kemudahan dalam mendidik amanah dari Allah."
Umi, M' Winda, M' Santi, Bursa NF

"Semoga Syamil Atqiya Yusuf menjadi anak shaleh, penyejuk mata dan hati kedua orangtuanya, bermanfaat luas untuk diri, keluarga dan umat"
Deden-Fika, PEBS-ers

"Semoga menjadi anak yang sholeh, amin"
Mbah Zum, Tayu

"Semoga menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi nusa dan bangsa"
Dilla, Cimanggis

"Semoga menjadi anak yang sholeh dan diberkahi Allah"
Pak Suyatna, Pak RW 04, Pondok Cina

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, September 08, 2009

Kredit, Krisis dan Reformasi Sistem Perbankan ...



Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Bail-out Bank Century senilai Rp 6,7 trilyun menuai kontroversi. Potensi krisis perbankan sistemik dan trauma gelombang kebangkrutan perbankan nasional pasca krisis finansial 1997, menjadi alasan utama mengapa bank gagal ini diselamatkan. Namun moral hazard pemilik bank kecil ini hingga skenario penyelamatan deposan besar, berbaur menyelimuti skandal ini.
Terlepas dari perdebatan seputar bail-out Bank Century ini, kasus ini kembali membuktikan kerawanan sistem perbankan konvensional. Dalam sistem fractional-reserve banking, hanya diperlukan rasio cadangan tunai yang kecil saja agar bank dapat beroperasi secara aman. Secara natural kemudian, sistem ini rawan dengan penarikan besar-besaran oleh para deposan. Namun sistem ini disukai karena memungkinkan ekspansi moneter secara signifikan melalui penciptaan kredit yang akan mendorong pertumbuhan dan pada saat yang sama sektor perbankan mendapatkan keuntungan dengan mengenakan bunga pada uang yang mereka ciptakan (kredit).
Ketika bank menciptakan aset uang, bank juga menciptakan utang untuk nasabah peminjam-nya. Pada akhir proses ini, perekonomian menjadi lebih likuid namun sebenarnya tidak ada penambahan kesejahteraan secara riil. Sistem ini bertanggungjawab atas gelembung perekonomian melalui efek leverage.
Pinjaman bank yang didapat berdasarkan agunan seringkali digunakan untuk membeli aset, yang kemudian, aset tersebut digunakan lagi untuk proses peminjaman berikutnya. Ketika suatu jenis aset menjadi fokus dari piramida proses penjaminan dan peminjaman dana perbankan, harga aset tersebut cenderung meningkat sehingga membuat nilai jaminan meningkat dan karenanya menimbulkan kepercayaan peminjam (perbankan) untuk meminjamkan dana lebih besar lagi. Dalam skala yang luas, praktek ini dengan sangat cepat akan berkembang menjadi sebuah “gelembung ekonomi spekulatif” (El-Diwany, 2003).
Kegiatan ekonomi berbasis efek leverage yang spekulatif ini sering berakhir dengan kerugian massal. Kenaikan harga aset akan mendorong otoritas moneter menaikkan suku bunga, sehingga sebagian peminjam akan gagal bayar, kredit ke kegiatan spekulatif ini dihentikan, pembeli baru menurun dan kenaikan harga aset berakhir. Hal inilah yang terjadi dalam kasus krisis finansial global 2008 yang dipicu oleh bubble di sektor perumahan Amerika Serikat.
Di masa resesi 2001, investasi perumahan AS meningkat, yang dipicu oleh penurunan suku bunga mortgage yang paling rendah dalam sejarah AS dalam 30 tahun terakhir. Berakhirnya roaring nineties membuat the Fed berusaha mencari sumber pertumbuhan baru. Investasi perumahan menjadi pilihan. Kombinasi penurunan suku bunga secara agresif dan kebijakan kredit perbankan yang ekspansif, telah mendorong bubble di sektor perumahan AS. Di tahun 2006, investasi perumahan mengalami penurunan seiring kenaikan suku bunga. Pada Juli 2007, gelembung ini pecah, sebagian besar nasabah mengalami gagal bayar. Harga perumahan di AS turun hingga 30%.
Ketika menganalisis great depression 1929, berbeda dengan Keynes (1936) yang menekankan pada faktor permintaan agregat, Fisher (1935, 1937) menyatakan bahwa “esensi depresi” adalah jatuhnya uang bank dari $22 milyar pada 1929 menjadi $14 milyar pada 1933 dan “esensi pemulihan” antara 1933-1937 adalah ekspansi uang bank menjadi $23 milyar. Penjelasan ambruknya perbankan dan jatuhnya uang beredar sebagai penyebab terpenting great depression dikuatkan Friedman dan Schwartz (1963). Hampir 70 tahun kemudian, Stiglitz dan Greenwald (2003) mempertegas hal ini bahwa yang mempengaruhi aktivitas ekonomi adalah terms of credit dan quantity of credit, bukan quantity of money.
Fluktuasi perekonomian yang dipicu oleh fluktuasi kredit ini tidak terhindarkan dalam sistem fractional-reserve banking dimana bank menciptakan dan menghancurkan uang melalui aktivitas kredit dan investasi. Ketika kredit mengalami kegagalan signifikan, bank dengan cepat akan mengalami keambrukan, dan krisis dengan cepat menyebar seiring penarikan dana oleh nasabah yang panik. Dalam sistem ini, jumlah uang beredar akan mengalami kontraksi ketika penabung mengambil uangnya secara signifikan (bank run) dan peminjam gagal membayar pinjaman. Dengan kata lain, krisis bersifat endogen dan berakar dari kelemahan dalam sistem perbankan konvensional saat ini. Respon kebijakan dan intervensi ad-hoc seperti bail-out hingga pengetatan regulasi di sektor perbankan tidak akan efektif mencegah krisis perbankan, dan bahkan justru berpotensi memperdalam krisis melalui moral hazard.
Solusi sistemik, namun agak kurang populer, untuk menghapus keburukan sistem fractional-reserve banking ini adalah ide full-reserve banking (Fisher, 1935). Dampak esensial dari penerapan 100 percent reserve adalah memisahkan fungsi peminjaman (lending) perbankan dari penciptaan uang (money creation), sehingga akan secara efektif mengkontrol jumlah uang beredar dan membuatnya semata sebagai fungsi pemerintah. Merubah fractional-reserve banking dengan cadangan yang setara kewajiban bank, akan menghapus kemampuan bank untuk menciptakan uang. Demand deposit akan sepenuhnya konvertibel menjadi mata uang dengan keseluruhan jumlah uang beredar sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah.
Proposal Fisher ini akan membawa kita pada pentingnya peran equity financing, bukan debt financing, semangat yang sama dengan perbankan Islam yang mengusung konsep bagi hasil. Dalam dunia yang ideal, pembiayaan ekuitas dan investasi langsung seharusnya memainkan peranan yang lebih besar. Dengan keseimbangan yang lebih baik antara utang dan ekuitas, risk-sharing akan meningkat secara luar biasa dan krisis finansial akan reda seketika (Rogoff, 1999).
Dengan equity-based banking system, nasabah akan diperlakukan seperti pemegang saham. Return kepada nasabah didasarkan pada laba/rugi bank dan nilai nominal dana nasabah tidak dijamin, hal yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh venture capital. Implikasinya, equity-based banking system akan lebih kondusif bagi stabilitas finansial karena dana nasabah dapat menyerap kerugian yang ditimbulkan oleh guncangan di sektor riil, hasil yang serupa dengan apa yang akan kita peroleh dari penerapan 100 percent reserve system.
Sistem perbankan dengan cadangan penuh, atau narrow banking, memiliki banyak keunggulan lain seperti menghapus moral hazard, meniadakan kebutuhan jaminan simpanan dan lender of last resort, dan lebih berkeadilan karena menurunkan probabilitas pembayar pajak menanggung beban biaya rekapitalisasi bank. Perbankan dengan sistem bagi hasil akan menghapus kemungkinan mismatch antara aset dan kewajiban karena return dari kewajiban terkait secara langsung dengan return aset yang berbasis pada aktivitas investasi di sektor riil. Hal ini berimplikasi bahwa return sektor finansial ditentukan oleh return sektor riil.
Fisher menyebut restrukturisasi-nya ini sebagai “… more than any proposal, will help conserve our capitalist system …”. Dengan kata lain, bagi Fisher, bail-out, penjaminan dana nasabah dan intervensi ad-hoc lainnya hanya obat penenang sementara, namun krisis perbankan akan terulang lagi, sebagaimana yang kini dialami dunia kapitalis berpuluh-kali. Dunia membutuhkan pembenahan yang lebih sistemik.

Koran Tempo, "Bank Century dan Reformasi Sistem Perbankan", Selasa, 8 September 2009

Labels: ,


Selengkapnya...

Wednesday, September 02, 2009

PEBS FEUI Workshop Series on Islamic Economics and Finance ....


Labels:


Selengkapnya...