Saturday, June 06, 2009

KONSENSUS WASHINGTON DAN JALAN NEOLIBERAL ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Tampilnya Boediono sebagai cawapres pendamping SBY, memunculkan spekulasi serius tentang kebijakan ekonomi neoliberal yang akan diusung pasangan ini. Sebagai seorang teknokrat mainstream, Boediono selama ini lekat dengan kebijakan ekonomi yang pro-pasar bebas. Kebijakan ekonomi neoliberal sering dinisbatkan pada ”Konsensus Washington”, sebuah formula kebijakan generik yang pertama kali dikemukakan oleh John Williamson pada 1989 untuk mendeskripsikan 10 reformasi ekonomi terurgen dan terpenting yang dibutuhkan Amerika Latin saat itu untuk keluar dari krisis utang, dimana 10 reformasi kebijakan ini dipandang telah menjadi konsensus bersama semua lembaga-lembaga penting yang berkantor di Washington seperti IMF, World Bank, Inter-American Development Bank, Departemen Keuangan Amerika Serikat dan the U.S. Federal Reserve.
Pada perjalanan-nya, istilah ini telah menjadi arena debat ideologis yang hebat dan panjang antara para pendukung dan penentang sistem ekonomi pasar. Konsensus Washington yang semula didesain sebagai respons terhadap permasalahan yang dihadapi Amerika Latin pada dasawarsa 1980-an yang menghadapi masalah defisit anggaran yang besar dan masif akibat pemerintahan yang tidak efisien dan kerugian yang menimpa BUMN, pada praktek-nya kemudian telah menjadi generik dan didorong untuk diterapkan di semua negara yang mengalami krisis, dengan tiga pilar utama-nya, yaitu kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi, privatisasi dan liberalisasi pasar.
Di Indonesia era orde baru, kebijakan ekonomi neoliberal banyak didorong oleh kelompok teknokrat yang umumnya lulusan UI dan UGM. Kelompok ini secara secara tradisional menjadi sumber reformasi ekonomi karena latar belakang akademis yang sama, keahlian ekonomi-teknis yang mereka miliki, dan ketaatannya pada tiga prinsip makroekonomi terpenting yaitu disiplin fiskal, neraca modal terbuka dan nilai tukar yang kompetitif. Kelompok teknokrat-akademis yang kental dengan doktrin pasar bebas, peran pemerintah yang minimal dan prinsip keunggulan komparatif dalam pembangunan industri ini, pada era 90-an mendapatkan perlawanan keras dari kelompok insinyur yang umumnya lulusan ITB yang menekankan penting-nya pembangunan industri strategis dan penting-nya nasionalisme ekonomi dimana negara memainkan peranan penting dalam perekonomian. Kelompok insinyur ini mulai menguasai kementrian ekonomi strategis di era 90-an.
Datangnya krisis 1997 memberi kesempatan sekali lagi pada kelompok teknokrat untuk “meluruskan” kembali perekonomian dengan mengadopsi ukuran-ukuran reformasi neoliberal seperti yang pernah mereka lakukan di era 70-an dan 80-an. Berbeda dengan era sebelumnya, reformasi ekonomi pasca krisis 1997 banyak di dorong oleh IMF. Pada 1997-2003, makroekonomi Indonesia praktis berada dibawah manajemen IMF. Soeharto secara resmi menandatangani LoI I dengan IMF pada 31 Oktober 1997, dan diikuti dengan LoI-LoI berikutnya hingga Indonesia keluar dari program IMF pada 2003.

IMF dan Jalan Neoliberal
Peran IMF dalam reformasi ekonomi di satu sisi diyakini positif. Pertama, IMF menjadi benchmark kepercayaan internasional sekaligus menjadi sumber pembiayaan keuangan. Kedua, IMF berperan sebagai pemandu kebijakan (termasuk mekanisme check and balances terhadap kebijakan-kebijakan populis) dan karenanya ia berfungsi menjadi peredam berbagai kepentingan dan perekat dalam perumusan dan pelaksanaan agenda-agenda reformasi.
Namun disisi lain, kehadiran IMF dipandang amat negatif. Pertama, kehadiran IMF merupakan pemicu erosi kepercayaan terbesar terhadap agenda reformasi. IMF dipandang sebagai kekuatan eksternal yang memiliki kepentingan dan agenda sendiri. Reformasi ekonomi yang dikaitkan sebagai prasyarat bantuan (conditionalities) IMF, tidak hanya meng-erosi “kepemilikan” pemerintah terhadap negara tetapi juga membuat reformasi nampak menjadi bentuk baru dari kolonialisme Barat. Individu-individu di sekeliling IMF juga ditengarai memanfaatkan IMF untuk mengejar keuntungan ekonomi dari reformasi yang dilakukan Indonesia. Kedua, sebagai sumber pembiayaan, IMF dipandang tidak memberi manfaat nyata bagi Indonesia karena cenderung hanya memberi stand-by loan (dan kemudian pada Februari 2000 berpindah ke Extended Fund Facility), sedangkan biaya dari pinjaman, yaitu pembayaran bunga, dinilai memberatkan.
Secara empiris, program reformasi neoliberal yang didorong IMF telah menciptakan biaya sosial-ekonomi yang luar biasa besar bagi Indonesia. Pertama, penutupan 16 bank pada 1 November 1997 (LOI 31 Oktober 1997) secara tidak hati-hati, telah menghancurkan kepercayaan pasar pada sistem keuangan secara keseluruhan sehingga membuat krisis yang semula masih kecil justru menjadi membesar dan tak terkendali.
Kedua, kebijakan anggaran ketat di awal krisis -bahkan menetapkan surplus anggaran, termasuk dengan menaikkan harga BBM di tahun 1997 (LOI 31 Oktober 1997 dan Supplementary LOI 15 Januari 1998)- telah memicu kekacauan sosial-politik dengan biaya yang sangat besar. Setelah kekacauan sosial-politik 1998, baru-lah arah kebijakan ini diubah dan belanja sosial diperbesar. Rendahnya stimulus fiskal di awal krisis juga ditengarai menjadi penyebab lamban-nya pemulihan ekonomi. Ketiga, kebijakan moneter sangat ketat diawal krisis -dengan menaikkan suku bunga hingga 70%- telah menghancurkan sistem perbankan dan sektor riil secara hampir permanen. Ironisnya, kebijakan suku bunga sangat tinggi ini juga gagal dalam mencapai dua tujuan utama yang dibebankan pada-nya saat itu yaitu menguatkan nilai tukar dan mengendalikan inflasi.
Keempat, liberalisasi pasar yang diusung program reformasi banyak yang bertabrakan dengan semangat konstitusi dan mencederai nasionalisme ekonomi. Sebagai misal, liberalisasi sektor energi (migas dan listrik) yang membuat monopoli Pertamina dan PLN dihentikan (LOI 20 Januari 2000), memunculkan penentangan keras. Hasilnya, pada 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan pada 21 Desember 2004, MK membatalkan UU No. 21/2001 tentang Migas pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, dan pasal 28 ayat 2-3.
Secara ekonomi, liberalisasi sektor energi juga tidak menjamin efisiensi dan harga yang lebih murah. Sebagai misal, sejak diundangkan-nya UU No. 21/2001 tentang Migas, iklim investasi migas nasional tidak semakin membaik, investasi, eksplorasi dan produksi cenderung turun. Dengan UU Migas baru, negara juga banyak dirugikan karena diterapkannya mekanisme B2G (kontraktor-BP Migas) dalam kontrak-kontrak migas yang membuat negara banyak dirugikan seperti cost-recovery menjadi tidak terkontrol, penjualan migas bagian negara harus lewat pihak ke-tiga, dan lain-lain.
Kelima, liberalisasi perdagangan dan investasi ditengarai telah menimbulkan kerugian besar bagi pelaku ekonomi kecil serta kerusakan lingkungan. Liberalisasi pasar beras (LOI 20 Januari 2000) telah mendorong impor beras secara berlebihan, sehingga secara jelas merugikan petani. Impor beras seringkali dilakukan bukan karena produksi domestik tidak mencukupi. Sebagai misal, tahun 2004 dan 2005 Indonesia surplus produksi beras masing-masing 459.000 ton dan 49.000 ton beras. Namun di tahun tersebut Indonesia meng-impor beras berturut-turut 632.000 ton dan 304.000 ton. Impor beras juga seringkali terjadi dalam skala yang sangat berlebihan dari yang seharusnya. Sebagai misal, pada 2002 defisit produksi beras adalah 651.467 ton, namun beras yang di-impor mencapai 3,7 juta ton atau 5,7 kali lipat dari yang seharusnya. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi pasar beras telah dijadikan justifikasi oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk memasukkan beras sebanyak-banyak-nya, termasuk melalui jalur ilegal.
Sementara itu, penurunan pajak ekspor kayu gelondongan/log (LOI 29 Juli 1998) dan liberalisasi investasi di perkebunan kelapa sawit (Supplementary LOI 15 Januari 1998) telah meningkatkan kecepatan kerusakan hutan Indonesia. Di tengah berbagai kelemahan struktural terutama lemahnya penegakan hukum, penurunan pajak ekspor kayu gelondongan telah meningkatkan defisit pasokan kayu domestik sehingga mendorong pembalakan liar (illegal logging). Sedangkan liberalisasi investasi di sektor kelapa sawit telah mendorong pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar dengan cara mengkonversi hutan alam.

Neoliberalisme dan Riak-Riak Perlawanan
Terhitung sejak 15 September 2003, Indonesia secara resmi keluar dari Extended Fund Facility (EFF) IMF dan sekaligus untuk pertama kalinya sejak krisis 1997 membuat program ekonomi-nya sendiri tanpa mandor asing yang ditandai dengan keluarnya Inpres No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF. Namun substansi paket kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati ini tidak jauh berbeda dari letter of intent (LOI). Paket kebijakan yang kemudian banyak dihasilkan oleh pemerintahan SBY-JK juga masih kental dengan warna “mainstream”.
Secara umum, setelah keluar dari IMF, arah kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati dan SBY tidak banyak berubah. Kementrian ekonomi penting yang mayoritas diisi kelompok teknokrat-akademis di kedua pemerintahan, menjelaskan fenomena ini. Pemerintahan koalisi membuat tarik-menarik politik yang kuat dalam pemilihan menteri-menteri sehingga Presiden cenderung memberikan kementrian ekonomi penting pada kelompok yang dianggap “netral/independen”, dapat diterima “pasar” dan dunia internasional, serta kompeten, yaitu kelompok teknokrat-akademis.
Namun pemerintahan SBY-JK, yang kebijakan-kebijakan ekonomi-nya cenderung liberal, secara mengejutkan mengambil langkah-langkah berani dalam berhadapan dengan kekuatan komunitas finansial internasional yaitu percepatan pembayaran utang ke IMF pada Oktober 2006 dan pembubaran forum CGI (Consultative Group on Indonesia) pada Januari 2007. Percepatan pembayaran utang ke IMF sebesar US$ 7,8 miliar yang semestinya baru berakhir pada Desember 2010, dipicu oleh kenaikan suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ke-3 2005 yaitu dari 4,3% menjadi 4,58%. Sedangkan pembubaran CGI dilakukan untuk menurunkan tekanan kolektif para kreditor/donor terhadap Indonesia.
Gerakan “independensi” Indonesia dari kekuatan neoliberal global ini nampak seirama dengan kecenderungan “independensi” yang terjadi di kawasan Amerika Latin. Pada Desember 2005, Argentina mempercepat pembayaran US$ 9,8 miliar ke IMF. Bolivia pada Oktober 2006 sukses melakukan negosiasi ulang kontrak dengan 10 perusahaan pertambangan asing. Pada Desember 2006, Presiden Venezuela Hugo Chavez, secara resmi mengusulkan dibentuknya Bank of the South (Banco del Sur) sebagai tandingan IMF, dan pada Maret 2009 disepakati bank ini akan memiliki modal US$ 7 miliar. Dibawah Chavez, Venezuela juga telah menasionalisasi operasional perusahaan migas asing seperti Exxon, ConocoPhillips dan BP.
Namun sayangnya, langkah awal independensi Indonesia ini mati muda. Kita tidak melihat lagi langkah berani yang semakin intensif skala dan derajat-nya. Pemerintah tidak mampu melakukan negosiasi ulang atas kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan, tidak mampu menurunkan stok utang pemerintah secara signifikan melalui moratorium utang, debt-swap dan rekayasa keuangan lainnya, tidak mampu mengembalikan aset-aset negara yang disimpan para koruptor di Singapura dan pusat-pusat keuangan dunia lainnya serta tidak adanya strategi dan cetak biru penanaman modal asing yang berjalan dalam koridor visi pembangunan industri nasional yang tangguh menuju kemandirian bangsa.

Platform Capres dan Visi Bangsa
Terlepas dari siapapun presiden terpilih ke-depan, apakah pasangan yang kini sibuk menangkis isu neoliberal maupun yang kini berteriak-teriak ekonomi kerakyatan dan nasionalisme, kita berharap ke depan tidak ada lagi tragedi-tragedi ekonomi bangsa seperti pelepasan kontrol terhadap sumber strategis energi nasional (seperti kasus Blok Cepu ke Exxon dan LNG Tangguh ke BP), obral aset strategis bangsa (seperti kasus Indosat) atau penguasaan asing atas sektor strategis (seperti kasus divestasi bank rekap BCA, Danamon, BII, dll).
Kebijakan ekonomi yang digulirkan ke depan semestinya memberi manfaat bagi masyarakat luas, bukan segelintir elit dan kelompok tertentu. Reformasi ekonomi semestinya berjalan dalam kerangka pengelolaan dan pengembangan berbagai aset strategis bangsa, bukan sebagai bungkus dari penggadaian berbagai aset strategis bangsa secara murah. Rasa keadilan juga harus dikedepankan, kelompok elit harus menanggung beban reformasi yang paling besar. Reformasi ekonomi seharusnya merevitalisasi kebijakan subsidi berbagai kebutuhan dasar rakyat sehingga tepat sasaran, bukan pencabutan subsidi secara sembrono tanpa skema kompensasi yang memadai dan rencana implementasi yang kredibel. Kita membutuhkan kebijakan ekonomi yang mampu mempromosikan industri nasional dan kepentingan rakyat di tingkat global, bukan semata menerima globalisasi dan liberalisasi perdagangan secara serampangan sehingga merugikan kepentingan nasional, terutama buruh, petani dan nelayan. Reformasi ekonomi juga semestinya mendorong pelaku ekonomi pribumi agar dapat berperan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, bukan justru memarjinalkan pribumi di negeri-nya sendiri.
Kebijakan ekonomi harus bermula dari konsensus sosial tentang reformasi ekonomi apa yang dibutuhkan dan harus diprioritaskan. Setelah itu, fokus berikutnya adalah menciptakan institusi pelaksana reformasi ekonomi yang kapabel dan kredibel. Dalam tataran strategis-pragmatis, reformasi ekonomi harus dilakukan sedemikian sehingga dapat dimulai, dikelola, di-implementasikan dan dipertahankan secara berkelanjutan. Kunci keberhasilan disini ada di tangan birokrasi. Namun birokrasi sendiri adalah sasaran reformasi. Reformasi birokrasi harus mendapat prioritas tertinggi dan memerlukan intervensi langsung dari kekuasaan politik tertinggi. Dan terakhir, kebijakan ekonomi harus harus menjaga rasa keadilan masyarakat. Beban reformasi ekonomi seharusnya paling banyak dipikul oleh kelompok elit. Beban reformasi ekonomi yang tidak terdistribusi secara adil, akan menimbulkan resistensi sosial-politik yang tinggi.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home