Tuesday, July 04, 2006

Ekonomi Sedekah ...

Menarik melihat dalam beberapa waktu terakhir ini gencar diwacanakan “Gerakan Nasional Selamatkan Bangsa dengan Sedekah” yang dipelopori oleh Ustadz Yusuf Mansur, pimpinan Pesantren Daarul Qur’an-Wisata Hati (Republika, 19 Mei 2006). Mungkin agak terdengar aneh bagi sebagian kita bahwa krisis bangsa dapat diatasi dengan sedekah. Terkesan tidak ilmiah dan terlalu menyederhanakan permasalahan. Besarnya potensi sedekah pun cenderung di ragukan dan diyakini tidak akan mampu menyelesaikan berbagai masalah besar bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran.
Dari perspektif ekonomi, kesan ini tidak selamanya benar, bahkan perkembangan terkini menunjukkan hal sebaliknya. Sebagai misal, tindakan sedekah yang cenderung dianggap tidak rasional kini semakin banyak memiliki pembenaran teoritis dan empiris. Bahkan telah terbit Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity (North Holland Publishing Co, 2006), salah satu seri dari Handbooks in Economics -buku teks prestisius untuk tingkat pascasarjana dengan editor para ekonom terkenal dunia sekelas Kenneth J. Arrow dan M.D. Intriligator- yang membahas perilaku sedekah secara sangat serius. Secara mikro dan makro, perilaku sedekah memiliki arti yang signifikan bagi berbagai isu dalam ekonomi seperti transfer di dalam keluarga, transfer antar generasi, sektor nirlaba, hubungan interpersonal di tempat kerja, negara kesejahteraan, dan bantuan luar negeri. Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan jika sedekah dijadikan salah satu solusi bagi krisis bangsa ini.
Potensi sedekah juga tidak bisa dipandang remeh. Bahkan di negara-negara sekuler, sektor voluntary adalah signifikan. Pada 1996, penduduk Amerika Serikat menyumbang US$ 143 milyar ke organisasi nirlaba. Diperkirakan sektor non-profit perekonomian mencapai 8% dari GDP –dua kali lipat dari angka 1960- dan mempekerjakan 10% dari total angkatan kerja –lebih besar dari seluruh pekerja pemerintah pusat dan federal (The Economist, 30th May, 1998). Di Indonesia sendiri, potensi dana filantropi diperkirakan mencapai Rp 2,3 – 4,6 triliun per tahun (SWA No. 07/XXII/6-19 April 2006). Bukti ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi ekonomi konvensional yang menyandarkan semua analisis fundamental-nya pada asumsi homo economicus yang bersifat perfect self-interest.

Filantropi Islam
Perilaku memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan (filantropi), memiliki tradisi yang sangat kuat di dalam Islam yang biasa kita kenal dengan istilah sedekah. Sedekah merupakan bentuk pengakuan paling mendasar atas konsep istikhlaf (perwakilan). Karena pada esensi-nya seluruh harta adalah milik Allah (QS 10: 66), maka manusia pemilik harta sesungguhnya hanyalah “wakil” dalam harta Allah. Dan Allah sebagai pemilik harta memerintahkan agar manusia tidak bersikap bakhil dengan harta Allah yang dikaruniakan-Nya tersebut (QS 24: 33).
Konsep istikhlaf ini secara kuat akan menekan penimbunan harta, perlombaan dalam mengejar kekayaan, kejahatan ekonomi, dan kesenjangan sosial. Pemilik harta tidak akan bersikap bakhil, tidak mengembangkan harta-nya dengan cara tidak halal, dan menerima semua ketentuan syariat terkait dengan pengaturan harta.
Secara umum terdapat dua ketentuan syariat Islam terkait sedekah atas harta. Pertama adalah sedekah wajib yaitu zakat. Zakat adalah kewajiban finansial yang diambil dari harta orang kaya dan diserahkan ke orang miskin. Yang berhak mengambilnya adalah penguasa atau pemerintah melalui orang yang disebut Al Qur’an sebagai al ‘amilina ‘alaiha (‘amil zakat) yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat; memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya (Qaradhawi, Fiqh az-Zakat). Nabi Muhammad mengutus para pemungut zakat ke seluruh penjuru negeri untuk mengambil zakat. Khalifah Abu Bakar bahkan memerangi mereka yang tidak bersedia membayar zakat. Negara Islam dengan demikian adalah negara pertama di dunia yang berperang untuk menuntut hak-hak orang miskin yang ada di harta orang kaya.
Hikmah terbesar dari institusionalisasi zakat ini adalah pada potensi negara untuk memobilisasi dan mendayagunakan dana zakat untuk kemaslahatan bersama. Negara dapat memobilisasi potensi zakat secara optimal karena zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syariat. Sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarif-nya hanya 2,5%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly, menciptakan transparansi kebijakan publik dan memberikan kepastian usaha.
Negara juga akan mendayagunakan dana zakat lebih optimal dalam peranan-nya sebagai sarana redistribusi pendapatan, takaful dan jaring pengaman sosial. Hal ini terkait dengan alokasi penggunaan zakat yang sudah ditentukan dalam syariat (QS 9: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan (ashnaf) yaitu: fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor.
Sedekah ke-dua adalah sedekah sunnah (sukarela). Sedekah sunnah ini merupakan bentuk altruisme tertinggi dalam Islam karena ia bersifat sukarela, tanpa paksaan, tanpa ketentuan, dilakukan dalam kondisi susah ataupun senang, di malam dan siang hari, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 3: 92). Begitu banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menganjurkan sedekah, mengingatkan akan “hinanya” harta dan dunia, dan peringatan dari sikap kikir dan bakhil.
Di dalam Islam, sedekah sukarela ini memiliki banyak bentuk seperti infaq, sedekah jariyah, dan wakaf. Lebih dari itu, sedekah juga tidak hanya berdimensi sosial, namun juga ekonomi-bisnis. Maka dalam skema pembiayaan Islam kita mengenal qardhul hasan, dimana pemilik modal dianjurkan untuk meminjamkan modal kepada pengusaha tanpa mengharapkan bagi hasil. Bahkan jika yang orang berutang tersebut kesulitan membayar, dianjurkan untuk memberi toleransi bahkan merelakan sebagian atau keseluruhan piutang tersebut (QS 2: 280).

Revitalisasi Filantropi Islam
Di Indonesia, filantropi Islam telah ada sejak Islam hadir di Indonesia yang di dorong oleh aktivitas sosial dua institusi keagamaan terpenting yaitu masjid dan pesantren. Namun kinerja-nya cukup memprihatinkan. Potensi dana filantropi Islam yang besar tidak mampu mengangkat kelompok miskin di negeri ini keluar dari kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (i) perilaku penderma yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal; dan, (ii) dari pihak lembaga pengumpul dana, masih harus meningkatkan aspek manajerial, penajaman program dan akuntabilitas-nya (PBB-UIN Syarif Hidayatullah, 2005).
Disinilah kampanye “Gerakan Nasional Selamatkan Bangsa dengan Sedekah” mendapatkan relevansi-nya. Gerakan ini haruslah ditujukan untuk merevitalisasi filantropi Islam dengan tujuan “supaya tidak ada lagi terdengar orang yang susah, supaya tidak ada lagi yang terdengar orang yang sedih, supaya tidak ada lagi terdengar orang-orang yang mencucurkan air mata”.
Peluang pertama untuk revitalisasi filantropi Islam ini adalah menggugah kesadaran dan sekaligus merubah perilaku penderma. Menggugah kesadaran ummat sangat penting karena sampai kini terdapat kesenjangan yang besar antara potensi dengan realisasi dana filantropi Islam. Selain itu dibutuhkan rekontruksi paradigma sedekah dari sedekah personal-jangka pendek yang bersifat karikatif menjadi sedekah institusional-jangka panjang yang lebih bersifat pemberdayaan. Hal ini penting karena filantropi Islam berbeda dengan filantropi sekuler. Filantropi Islam ber-dimensi sosial, bukan privat, dimana manfaat filantropi ditujukan untuk maslahah sosial (public goods). Peranan pemerintah, MUI, dan ormas-ormas Islam sangat dibutuhkan disini.
Peluang kedua datang dari pengelolaan dana filantropi Islam oleh negara, termasuk oleh pemerintah daerah, dan LSM. Terkait hal ini sebenarnya telah terjadi perkembangan yang menggembirakan. Sejak dikeluarkannya UU No 38/1999 tentang pengelolaan zakat, masyarakat dapat ikut serta mengelola zakat maupun shadaqah melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kini terdapat beberapa LAZ yang dikenal luas sebagai profesional, transparan, dan akuntabel seperti Dompet Dhuafa (DD) Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), DPU-Daarut Tauhid, dan lainnya. Keberadaan LAZ ini sangat penting dalam meningkatkan mobilisasi dana filantropi Islam dan sekaligus meningkatkan “persaingan” antara LAZ dengan amil zakat pemerintah (BAZNAS dan BAZIS daerah).
Dalam pengelolaan wakaf, pemerintah juga telah bertindak jauh dengan dikeluarkannya UU No. 41/2004 tentang wakaf. UU ini mengatur beberapa hal penting terkait wakaf yaitu nadzir, harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), peruntukan harta wakaf (mauquf ’alaih), dan pembentukan Badan Wakaf Indonesia. UU ini juga mengakomodasi wakaf benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dll.
Dalam era otonomi daerah, peluang untuk pengelolaan dana filantropi Islam oleh pemerintah daerah juga cukup strategis. Potensi zakat adalah besar dan bila tergali secara optimal dapat mengganti peran PAD (pendapatan asli daerah) yang didominasi oleh pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang selama ini kerap menimbulkan masalah. Sebagai misal, potensi zakat di Kabupaten Bulukumba mencapai Rp 90 miliar, atau 9 kali lebih besar dari PAD-nya. Pemkab Bulukumba yang telah menerapkan zakat berdasarkan Perda No. 2/2003 ini juga telah merencanakan untuk menghapus pajak dan retribusi daerah ketika penerimaan zakat telah optimal (Harian Fajar, 21/8/2004).
Pengembangan filantropi Islam lebih lanjut masih terbuka lebar sepanjang didukung oleh kemauan politik pemerintah. Untuk itu perlu di dorong lebih lanjut usaha revisi UU Zakat serta percepatan PP dari UU Wakaf. Terobosan penting lainnya adalah pembentukan institusi legal permanen yang secara serius mengelola filantropi Islam seperti pembentukan Kementrian Zakat & Wakaf.

Republika, 30 Juni 2006 "Ekonomi Sedekah"
Republika, 1 Juli 2006 "Revitalisasi Filantropi Islam"

Labels: ,


Selengkapnya...