Friday, October 09, 2009

Bencana, Pengangguran dan Cash for Work ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Bencana alam yang terus mengguncang Indonesia, telah membuat masalah pengangguran menjadi semakin pelik. Pada tahun 2007 misalnya, pengangguran cukup banyak disumbang oleh bencana seperti banjir besar Jabodetabek, gempa Yogyakarta, lumpur panas Lapindo, gempa Sumatera Barat dan gempa NTT. Kini, pengangguran yang per Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang, hampir dapat dipastikan meningkat terkait gempa besar yang secara beruntun mengguncang Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Terkait dampak bencana terhadap hilangnya lapangan pekerjaan ini, program cash for work (CFW) kini telah menjadi fenomena umum dalam program-program pemulihan pasca bencana. Program CFW ini telah dijalankan banyak LSM di berbagai daerah bencana termasuk oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), di berbagai daerah bencana di Indonesia.
Sebagai sebuah program jangka pendek - temporer, CFW memiliki banyak keunggulan dibandingkan program bantuan bencana lainnya. CFW memberi manfaat bagi daerah bencana dengan cara menyerap tenaga kerja yang menganggur, menginjeksi perekonomian lokal dengan dana segar, memberdayakan individu dengan memberi mereka pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya, dan memfasilitasi perekonomian kembali ke jalur normal dengan membangun kapasitas lokal dan menyediakan peluang-peluang ekonomi produktif.
Memberi lapangan kerja secara cepat adalah titik kritis CFW. Bencana besar umumnya membawa kerusakan massal, ratusan ribu orang secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau tidak dapat menjalankan pekerjaan rutin mereka. Dalam kondisi seperti ini, CFW menjadi pilihan yang sangat logis dengan memberi individu kesempatan terlibat dalam aktivitas konstruktif dan pada saat yang sama memberi stimulus bagi perekonomian lokal dan mempromosikan pengambilan keputusan di tingkat komunitas dan individu.
CFW secara umum mirip dengan program padat karya, memberi dana untuk menyelesaikan proyek-proyek public works. Namun CFW lebih bersifat jangka pendek dengan penekanan memberi stimulus secara cepat kepada perekonomian dan menyediakan peluang kerja pasca bencana. CFW secara umum tidak ditujukan untuk program jangka panjang dan didesain sedemikian rupa agar tidak memberi disinsentif bagi recovery bisnis lokal.

Evaluasi CFW
CFW secara umum bertindak sebagai program jaring pengaman pasca bencana. CFW dapat kita evaluasi dengan tiga kriteria utama yaitu: cakupan (coverage) program, minimalisasi kebocoran (leakages), dan minimalisasi biaya operasional program.
Sebagaimana program padat karya, cakupan CFW umumnya cukup tinggi. Namun CFW seringkali gagal dalam mengidentifikasi “pekerja hantu”, yaitu mereka yang tercantum dalam daftar CFW namun tidak bekerja. CFW juga sering gagal dalam hal menjaga produktifitas. Rendahnya produktifitas umumnya terkait dengan target yang kurang jelas atau adanya anggapan awal bahwa semua penerima program akan mendapat bayaran tanpa melihat output kerja-nya.
Kebocoran CFW umumnya lebih banyak berasal dari kenyataan bahwa program seringkali gagal membedakan penerima program. Banyak keluarga yang mengikutsertakan anggota keluarga-nya lebih dari satu orang. ‘Kebocoran’ seperti ini membuat program tidak dinikmati secara merata atau lebih kecil dari yang seharusnya. Kebocoran CFW juga dapat disebabkan oleh kegagalan dalam menentukan tingkat upah program yang tepat. Tingkat upah yang salah sering mendistorsi pasar kerja lokal dengan masuk-nya orang yang masih memiliki pekerjaan ke dalam program CFW atau hilang-nya motivasi wirausahawan lokal untuk memulai kembali usaha-nya.
Biaya operasional CFW yang signifikan seringkali tidak dalam ukuran moneter, namun non-moneter. Ketika di desain secara salah, CFW sering dituding sebagai penyebab pudar-nya nilai-nilai luhur lokal seperti kekeluargaan dan gotong-royong. Sebagai misal, beberapa LSM asing mendesain CFW di Yogyakarta pasca gempa 2006 untuk program membersihkan lingkungan lokal dan pengelolaan lahan individual. Akibatnya, masyarakat menjadi hedonis-materialistis, tidak mau lagi bekerja jika tidak dibayar, tidak mau lagi bergotong-royong membersihkan lingkungan sendiri.
Dengan demikian, pelaksanaan CFW penting untuk memperhatikan beberapa faktor berikut. Pertama, mekanisme monitoring dan target kerja yang jelas. Penting bagi penyelenggara CFW untuk melakukan pemeriksaan langsung di lapangan atas kehadiran pekerja dan menugaskan pengawas dari luar masyarakat lokal untuk menjaga produktifitas kerja agar sesuai dengan target.
Kedua, penentuan tingkat upah program yang tepat. Upah CFW sebaiknya ditetapkan dibawah tingkat upah lokal yang ada agar tidak mendorong kenaikan upah lokal. Upah yang cukup rendah juga akan menjadi disinsentif agar tidak terjadi perpindahan tenaga kerja berupa masuknya orang-orang yang sudah bekerja atau masuknya pekerja dari daerah non-bencana ke dalam program CFW.
Ketiga, program CFW sebaiknya ditujukan untuk membangun infrastruktur sosial atau membangun keahlian (skill) komunitas. Pembangunan infrastruktur publik seperti rumah sakit, jembatan, sekolah atau pasar, akan bermanfaat dalam jangka panjang, menambah stok modal masyarakat, serta membuka peluang-peluang ekonomi produktif. Sedangkan membangun keahlian komunitas seperti pembangunan instalasi pupuk organik, instalasi pengolahan daur-ulang sampah, atau instalasi biogas berbahan baku kotoran ternak, akan meningkatkan human capital, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki distribusi pendapatan, dan meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Filantropi Islam dan CFW
Menjadi menarik ketika kini filantropi Islam, seperti zakat, dihadapkan pada kasus bencana-bencana alam yang sering menimpa Indonesia, apakah zakat lebih tepat disalurkan dalam bentuk bantuan tunai langsung tanpa syarat (cash transfer) atau dalam bentuk CFW?
Secara fiqh, setiap muslim yang termasuk dalam salah satu kelompok mustahiq yaitu fakir, miskin, amil, mu’allaf, budak, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil, berhak atas dana zakat. Namun apakah dengan demikian Islam tidak mendukung CFW?
Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Bekerja bahkan dipandang Islam sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT (QS 34: 13). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja.
Maka zakat semestinya dapat digunakan sebagai modal untuk memberdayakan rumah tangga yang produktif namun tidak dapat bekerja karena terkendala oleh hambatan modal manusia, fisik, dan finansial. OPZ dapat menyalurkan dana filantropi Islam untuk pelaksanaan program-program yang dibutuhkan masyarakat korban bencana dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai. Disini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang di desain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat pasca bencana.
Namun demikian, zakat sebaiknya tetap berfungsi sebagai cash transfer untuk rumah tangga yang tidak produktif. Disini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, serta anak-anak terlantar.
Dengan demikian, hemat penulis, penggunaan zakat untuk CFW adalah sejalan dengan tujuan zakat dalam hal pengentasan kemiskinan melalui saluran penciptaan lapangan kerja. Disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, CFW yang didesain dengan baik juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program CFW seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan tepat sasaran, memperluas coverage program dan mengurangi leakages.
Satu agenda penting disini adalah sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Kerjasama dengan elemen potensial masyarakat yang kredibel dan transparan seperti OPZ (Organisasi Pengelola Zakat), patut untuk dipertimbangkan. OPZ selama ini mampu menunjukkan kinerja tinggi dalam penanggulangan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat yang membutuhkan kecepatan tindakan dan profesionalitas kerja yang tinggi. Ke depan, dengan dukungan dana pemerintah, program OPZ di bidang ini dapat diperluas ke tahap mitigasi dan rehabilitasi, termasuk program CFW.
Berdasarkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penanggulangan bencana dan penyediaan anggaran-nya. Dana kontijensi untuk penanggulangan bencana ini mencapai Rp 4,5 trilyun pada 2009. Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola kemitraan dana penanggulan bencana ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana dan meningkatkan efektifitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi dalam pengelolaan dana.

Koran Tempo, "Bencana, Pengangguran, dan Cash for Work", Rabu, 7 Oktober 2009

Labels: ,


Selengkapnya...