Thursday, May 31, 2012

Menggugat Rezim Baru Zakat

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Tanpa hiruk pikuk yang berarti, DPR mensahkan UU No, 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat pada 27 Oktober 2011, menggantikan UU No.. 38/1999. Disahkannya UU ini berdampak luas pada dunia filantropi Islam nasional yang dalam tiga dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan.
Dibawah UU baru ini, rezim pengelolaan zakat nasional mengalami perubahan drastis dimana pemerintah melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota dimana BAZNAS di setiap tingkatan dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) hingga ke tingkat kelurahan. Di saat yang sama, partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dalam rezim UU No. 38 Tahun 1999 diakomodasi secara luas, kini dimarjinalkan.
Kehadiran UU No. 23/2011 ini merupakan langkah mundur dan sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ yang dikelola oleh masyarakat sipil. Dengan pengelolaan zakat secara profesional-modern berbasis prinsip manajemen dan tata kelola yang baik, zakat nasional mengalami kebangkitan di tangan LAZ. Melalui gerakan sadar zakat kepada publik secara luas, inisiatif pengelolaan zakat secara kolektif, dan pendayagunaan zakat secara produktif oleh LAZ, potensi zakat nasional mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.

Marjinalisasi Masyarakat Sipil
Marjinalisasi LAZ dalam UU No. 23/2011 sangat jelas dan eksplisit. UU mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat hanya sekedar membantu BAZNAS. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, dimana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam. LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan memang tetap diakui dalam UU ini, namun maksimal dalam 5 tahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan UU baru, artinya harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menteri Agama. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan "membunuh" LAZ karena LAZ-LAZ besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.
UU No. 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS. Padahal berdasarkan UU ini, BAZNAS juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, meski mendapat kepercayaan luas dari masyarakat, terancam dikriminalkan oleh UU ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang dan memberi ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda bagi LAZ illegal.
Seluruh hal diatas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel. UU No. 23/2011 ini berpotensi melanggar Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 dimana LAZ sebagai badan hukum publik memiliki hak untuk turut membangun masyarakat.

Superioritas Negara
Rezim baru zakat nasional juga memberi privilege secara luar biasa kepada BAZNAS. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada BAZNAS hanya karena ia adalah operator zakat bentukan pemerintah. Bahkan pendirian BAZNAS menjadi amanat UU. Ketika LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional-nya, yaitu hak amil.
Meskipun UU menyatakan bahwa BAZNAS adalah lembaga pemerintah non struktural, namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat UU, maka ke depan selain BAZNAS di tingkat pusat maka akan terdapat 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota. Jika BAZNAS di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, maka akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa.
Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kemenag dengan BAZNAS yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, maka jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Pada tahun 2010, penghimpunan dana zakat BAZNAS, 33 BAZDA provinsi dan 447 BAZDA kabupaten/kota hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara rata-rata, masing-masing BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun.
Berbagai ketentuan diatas secara jelas bersifat diskriminatif dimana tidak terdapat kesetaraan perlakuan diantara sesama warga negara dihadapan hukum. Secara teknis-ekonomi, diskriminasi yang dilakukan UU No. 23 Tahun 2011 kepada LAZ dengan memberi berbagai privilege kepada BAZNAS sebagai operator zakat bentukan pemerintah, telah menciptakan level of playing field yang tidak sama antar sesama operator zakat nasional. Karena itulah maka UU No. 23/2011 ini juga berpotensi melanggar Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dimana LAZ berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Arah Reformasi ke Depan
Peran negara dalam pengelolaan zakat semestinya difokuskan pada perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat dan mencegah penyalahgunaan dana zakat, serta mendorong praktek masyarakat sipil yang sudah berjalan baik dengan memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Terlebih dengan kondisi birokrasi saat ini yang dipersepsi lemah dan korup, sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh UU No. 23/2011 jelas merupakan kebijakan yang tidak bijak.
Ke depan, rezim desentralisasi pengelolaan zakat sebagaimana diterapkan UU No. 38/1999 semestinya dipertahankan. Yang perlu diperkuat adalah tata kelola pengelolaan zakat nasional, yaitu dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan terhadap seluruh organisasi pengelola zakat (OPZ), baik BAZNAS maupun LAZ, di tiga aspek utama yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat.
Ke depan, BZI harus memperkuat konsolidasi OPZ dengan memperketat pendirian OPZ baru, mendorong konsolidasi melalui merjer/akuisisi antar OPZ, serta penurunan status OPZ dengan kinerja rendah yaitu penghimpunan dana dibawah Rp 5 Milyar per tahun, menjadi UPZ. Lebih jauh lagi, BZI juga dapat mengarahkan OPZ untuk berspesialisasi. OPZ dengan penghimpunan dana diatas Rp 250 milyar per tahun sebagai OPZ nasional sekaligus OPZ jangkar, Rp 50-250 milyar sebagai OPZ fokus program pendayagunaan, dan dibawah Rp 50 milyar sebagai OPZ fokus wilayah.
Terakhir, perlu digagas kemitraan pemerintah - OPZ untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan. Kemitraan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant). Pemerintah dapat menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.

Koran Tempo,"Menggugat Rezim Baru Zakat", 31 Mei 2012.

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, May 29, 2012

Jakarta Tidak Butuh MRT!

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Menjelang pemilukada DKI Jakarta, isu kemacetan Jakarta dengan kecepatan rata-rata berkendara-nya yang kini dibawah 10 kilometer per jam dan diprediksi akan mengalami kemacetan total (grid-lock) pada 2014, kembali mendapat perhatian publik. Salah satu isu terpenting disini yang sayangnya tidak banyak mendapat perhatian adalah rencana pembangunan mass rapid transit (MRT), yaitu, proyek subway.

Ketidaklayakan Subway
Jakarta membutuhkan kebijakan besar untuk mengurai kemacetan, sekaligus menjadi benchmark bagi kota-kota besar lain yang juga menghadapi ancaman grid-lock dalam 5-10 tahun ke depan seperti Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang. Namun pemilihan subway sebagai moda utama (backbone) transportasi Jakarta masa depan perlu mendapat kualifikasi yang memadai.
Dengan lebih dari 20 juta jumlah perjalanan per hari dan tambahan kendaraan bermotor hingga 11% per tahun, Jakarta sudah seharusnya serius membangun MRT. Selama MRT belum terbangun, Jakarta setiap tahunnya menanggung kerugian akibat kemacetan hingga puluhan triliun rupiah, dan diproyeksikan terus membesar hingga Rp 65 triliun pada 2020. Karena itu keberadaan MRT bagi Jakarta menjadi sangat mendesak.
MRT tidak hanya subway (metro), namun juga terdapat pilihan lain yaitu light rail transit (LRT), commuter rail systems, dan bus rapid transit (BRT). Namun mengapa subway yang menjadi pilihan utama? Subway memang menjanjikan banyak manfaat. Sebagai MRT, subway mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar antara 40 ribu - 100 ribu orang/jam/arah. Pembangunan subway juga dapat dilakukan secara paralel, yaitu pembangunan jalur bertingkat, sehingga akan efisien baik dari sisi biaya maupun lahan. Pembangunan subway juga potensial disinergikan dengan pembangunan infrastruktur penting kota lainnya seperti infrastruktur pengendali banjir, sanitasi dan air bersih.
Namun subway juga memiliki masalah, dan yang paling siginifikan adalah biaya yang sangat mahal. Estimasi biaya pembangunan subway menembus Rp 1 triliun per kilometer, jauh diatas BRT yang hanya di kisaran Rp 10 miliar per kilometer. Selain itu, subway membutuhkan teknologi tinggi, mulai dari tahap desain, pembangunan hingga operasi dan perawatan. Karena itu, subway akan banyak bergantung pada impor dan tenaga kerja asing.
Dengan biaya pembangunan yang sangat mahal, dibutuhkan tingkat permintaan yang sangat tinggi agar subway dapat layak secara finansial. Estimasi tingkat permintaan jangka pendek dan menengah, tidak cukup tinggi untuk menjustifikasi pembangunan subway. Subway tidak akan mampu cost-recovery sehingga dapat dipastikan akan membutuhkan subsidi pemerintah secara permanen untuk beroperasi dengan tarif yang terjangkau.
Pembangunan subway tahap 1 yang hanya 15 kilometer, dibiayai utang JICA sebesar Rp 17 triliun bertenor 40 tahun, dengan grace period 10 tahun, beban dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Terlihat bahwa Jepang memiliki kepentingan dimana mayoritas kontraktor dan SDM subway harus berasal dari Jepang. Dalam proyeksi awal, dengan perhitungan konservatif, aliran kas keluar APBD diproyeksikan Rp 651 miliar pada tahun ke-1 s.d. 7 masa proyek, Rp 85 miliar per tahun pada tahun ke-8 s.d. 10, Rp 97 miliar per tahun pada tahun ke-11 s.d. 17, dan Rp 12 miliar per tahun pada tahun ke-18 s.d. 40. APBD juga akan menanggung subsidi operasional, yang dalam base scenario diproyeksikan Rp 85 miliar per tahun selama 2015-2025 atau Rp 850 miliar untuk 10 tahun. Deviasi yang besar atas asumsi proyeksi arus biaya dan penerimaan dari proyek MRT ini akan membebani APBD. Bila diperhitungkan pula beban proyek tahap berikutnya yang masih 95 kilometer, subway benar-benar menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan anggaran dan pelayanan publik di Jakarta masa depan.
Ketidaklayakan finansial subway ini telah lama diidentifikasi. Sebagai misal, dari pola pembangunan metropolitan baik di negara maju maupun berkembang, Gregory Ingram (Urban Studies, Vol. 35, No. 7, 1998) menunjukkan bahwa sistem subway memiliki biaya yang jauh di atas penerimaan karena tidak tercapainya proyeksi jumlah penumpang yang umumnya dibuat saat proyek disetujui. Atas pertimbangan ini, berbagai kota metropolitan di dunia, seperti di Brasil dan China, telah lama beralih dan berfokus pada BRT. Keputusan Jakarta mengadopsi busway pada 2004 karenanya langkah yang tepat. Terakhir, pemerintah provinsi melakukan studi banding ke Xiamen, China, yang mengalihkan infrastruktur LRT menjadi BRT pada 2008 sehingga menjadi kota dengan BRT jalan layang pertama di dunia.

Fokus pada Busway dan KRL
Prioritas dan fokus kebijakan transportasi Jakarta adalah mengurai kemacetan secepatnya, untuk menekan kerugian sekaligus meningkatkan daya saing perekonomian. Busway dan KRL harus menjadi fokus karena biaya keduanya jauh lebih murah dari subway ataupun LRT (monorail), teknologinya sangat terjangkau dan SDM-nya melimpah, memiliki kandungan lokal yang tinggi, sehingga dampak pengganda (multiplier effect) akan besar bagi perekonomian lokal dan nasional, serta dapat langsung dirasakan manfaatnya dalam waktu yang relatif singkat.
Rencana pembangunan busway hingga 15 koridor akan mencapai 150 kilometer yang mencakup seluruh wilayah Jakarta, dengan biaya hanya setara 1 kilometer subway. Sedangkan subway akan terdiri dari 110 kilometer, dimana koridor Selatan-Utara tahap 1 hanya akan terdiri dari 15 kilometer pada 2016 dan tahap 2 sepanjang 8 kilometer pada 2018. Sedangkan subway koridor Barat-Timur sepanjang 87 kilometer baru akan beroperasi pada 2024-2027. Dengan jangkauan terbatas dan waktu pembangunan yang masih sangat lama, klaim subway akan mengurai kemacetan dan mengatasi grid-lock patut dipertanyakan. Di waktu yang sama kerugian yang dituai Jakarta akan terus membengkak, menjadi tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan untuk subway ini.
Pembangunan subway koridor Selatan-Utara tahap 1 saja diperkirakan menelan biaya Rp 17 triliun, mampu untuk membangun jalur busway Anyer-Panarukan! Jika dana Rp 17 triliun ini difokuskan untuk busway, kita akan segera mampu menyelesaikan 15 koridor, menambah jumlah armada bus gandeng secara memadai, membangun BRT jalan layang dengan menggunakan infrastruktur monorail yang terbengkalai, menjamin pasokan gas, membangun jalur feeder dengan kota satelit sekitar Jakarta, sekaligus membangun sistem BRT modern yang mencakup sistem turun-naik penumpang yang cepat, sistem tiket yang efisien, stasiun dan halte yang nyaman, teknologi bus yang ramah lingkungan, integrasi moda transportasi, dan pelayanan konsumen yang baik, termasuk park & ride.
Adalah keliru mengklaim busway tidak akan mampu menjadi MRT yang handal. Dengan pengelolaan yang baik dan professional, Bogota dengan 7 juta penduduk-nya mampu menjadikan Bogota TransMilenio sebagai MRT yang aman dan nyaman dengan daya angkut mencapai 45 ribu penumpang/jam/arah, mendekati kapasitas subway.
Di saat yang sama, dengan dana yang sama, kita juga akan mampu memberi perhatian penuh kepada KRL Jabodetabek yang selama ini terbukti efektif sebagai kereta komuter (commuter rail) dengan menghubungkan Jakarta (jalur timur dan barat) dan daerah sub-urban sekitarnya (jalur Bogor, Bekasi, Tangerang dan Tanjung Priok). Dengan revitalisasi yang memadai, kapasitas KRL Jabodetabek berpotensi ditingkatkan dari sekitar 600 ribu penumpang per hari saat ini menjadi 2 juta penumpang per hari. Revitalisasi KRL akan menciptakan sinergi besar bila diikuti integrasi 15 jalur Busway dan circular line rel KRL karena akan secara efektif menciptakan jalur penghubung dari wilayah urban dan sub-urban ke pusat kota dan pusat bisnis. Ketersediaan lahan seharusnya tidak menjadi hambatan karena banyak lahan PT KAI yang masih dapat dioptimalkan. Dua jalur melingkar jalan tol (Jakarta intra urban and outer ring roads) yang menghubungkan Jakarta dengan daerah sub-urban dan jaringan tol antar kota, sangat memungkinkan untuk digunakan secara bersama-sama dengan jalur KRL. Ditambah dengan percepatan pembangunan KRL bandara dan jalur kereta double-double track arah Jakarta-Cikarang untuk angkutan barang, revitalisasi KRL Jabodetabek akan efektif mengurai kemacetan di seluruh kawasan.
Jelas terlihat bahwa berfokus pada busway dan KRL akan secara efektif dan signifikan akan mengurai kemacetan Jakarta, dengan biaya yang jauh lebih murah, dalam waktu yang relatif pendek, dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Lalu mengapa ngotot membangun subway? Jangan sampai prestise semu atau rente ekonomi, atau kombinasi keduanya, mengalahkan nurani dan akal sehat.

Republika, "Jakarta Tidak Butuh Subway", 6 Juni 2012.


Labels:


Selengkapnya...

Monday, May 28, 2012

Ekonomi Sedekah

Buletin Jum'at UI, Edisi 03/Mei/XII

Yusuf Wibisono, Wakil Kepala - Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Sedekah dapat menyelesaikan krisis bangsa. Pernyataan ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian kita, terkesan tidak ilmiah dan terlalu menyederhanakan permasalahan. Besarnya potensi sedekah pun cenderung di ragukan dan diyakini tidak akan mampu menyelesaikan berbagai masalah besar perekonomian seperti kemiskinan dan pengangguran.

Dari perspektif ekonomi, kesan ini tidak selamanya benar. Tindakan sedekah yang cenderung dianggap tidak rasional kini semakin banyak memiliki pembenaran teoritis dan empiris. Secara mikro dan makro, perilaku sedekah memiliki arti yang signifikan bagi berbagai isu dalam ekonomi seperti transfer di dalam keluarga, transfer antar generasi, sektor nirlaba, hubungan interpersonal di tempat kerja, negara kesejahteraan, dan bantuan luar negeri (Kenneth J. Arrow and M.D. Intriligator, eds. Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity. North Holland Publishing Co, 2006).

Potensi sedekah juga tidak bisa dipandang remeh. Bahkan di negara-negara sekuler, sektor voluntary adalah signifikan. Pada 1996, penduduk Amerika Serikat menyumbang US$ 143 milyar ke organisasi nirlaba. Diperkirakan sektor non-profit perekonomian mencapai 8% dari GDP –dua kali lipat dari angka 1960- dan mempekerjakan 10% dari total angkatan kerja –lebih besar dari seluruh pekerja pemerintah pusat dan federal (The Economist, 30th May, 1998). Bukti ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi ekonomi konvensional yang menyandarkan semua analisis fundamental-nya pada asumsi homo economicus yang bersifat perfect self-interest.

Filantropi Islam
Perilaku memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan (filantropi), memiliki tradisi yang sangat kuat di dalam Islam yang biasa kita kenal dengan istilah sedekah. Sedekah merupakan bentuk pengakuan paling mendasar atas konsep istikhlaf (perwakilan). Karena pada esensi-nya seluruh harta adalah milik Allah (lihat misalnya, QS 10: 66), maka manusia pemilik harta sesungguhnya hanyalah “wakil” dalam harta Allah. Dan Allah sebagai pemilik harta memerintahkan agar manusia tidak bersikap bakhil dengan harta Allah yang dikaruniakan-Nya tersebut (QS 4: 36-37).

“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi.” (QS 10: 66)

“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka …” (QS 4: 36-37)

Konsep istikhlaf ini secara kuat akan menekan penimbunan harta, perlombaan dalam mengejar kekayaan, kejahatan ekonomi, dan kesenjangan sosial. Pemilik harta tidak akan bersikap bakhil, tidak mengembangkan harta-nya dengan cara tidak halal, dan menerima semua ketentuan syariat terkait dengan pengaturan harta.

Secara umum terdapat dua ketentuan syariat Islam terkait sedekah atas harta. Pertama adalah sedekah wajib yaitu zakat. Zakat adalah kewajiban finansial yang diambil dari harta orang kaya dan diserahkan ke orang miskin. Yang berhak mengambilnya adalah penguasa atau pemerintah melalui orang yang disebut Al Qur’an sebagai al ‘amilina ‘alaiha (‘amil zakat) yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat; memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya (Qaradhawi, Fiqh az-Zakat). Nabi Muhammad mengutus para pemungut zakat ke seluruh penjuru negeri untuk mengambil zakat. Khalifah Abu Bakar bahkan memerangi mereka yang tidak bersedia membayar zakat. Negara Islam dengan demikian adalah negara pertama di dunia yang berperang untuk menuntut hak-hak orang miskin yang ada di harta orang kaya.

Hikmah terbesar dari institusionalisasi zakat ini adalah pada potensi negara untuk memobilisasi dan mendayagunakan dana zakat untuk kemaslahatan bersama. Negara dapat memobilisasi potensi zakat secara optimal karena zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syariat. Sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarif-nya hanya 2,5%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly, menciptakan transparansi kebijakan publik dan memberikan kepastian usaha.

Negara juga akan mendayagunakan dana zakat lebih optimal dalam peranan-nya sebagai sarana redistribusi pendapatan, takaful dan jaring pengaman sosial. Hal ini terkait dengan alokasi penggunaan zakat yang sudah ditentukan dalam syariat (QS 9: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan (ashnaf) yaitu: fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor.
Sedekah ke-dua adalah sedekah sunnah (sukarela). Sedekah sunnah ini merupakan bentuk altruisme tertinggi dalam Islam karena ia bersifat sukarela, tanpa paksaan, tanpa ketentuan, dilakukan dalam kondisi susah ataupun senang, di malam dan siang hari, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 3: 92). Begitu banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menganjurkan sedekah, mengingatkan akan “hinanya” harta dan dunia, dan peringatan dari sikap kikir dan bakhil.

Di dalam Islam, sedekah sukarela ini memiliki banyak bentuk seperti infaq, sedekah jariyah, dan wakaf. Lebih dari itu, sedekah juga tidak hanya berdimensi sosial, namun juga ekonomi-bisnis. Maka dalam skema pembiayaan Islam kita mengenal qardhul hasan, dimana pemilik modal dianjurkan untuk meminjamkan modal kepada pengusaha tanpa mengharapkan bagi hasil. Bahkan jika yang orang berutang tersebut kesulitan membayar, dianjurkan untuk memberi toleransi bahkan merelakan sebagian atau keseluruhan piutang tersebut (QS 2: 280).

Revitalisasi Filantropi Islam

Di Indonesia, filantropi Islam telah ada sejak Islam hadir di Indonesia yang di dorong oleh aktivitas sosial dua institusi keagamaan terpenting yaitu masjid dan pesantren. Namun kinerja-nya cukup memprihatinkan. Potensi dana filantropi Islam yang besar tidak mampu mengangkat kelompok miskin di negeri ini keluar dari kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (i) perilaku penderma yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal; dan, (ii) dari pihak lembaga pengumpul dana, masih harus meningkatkan aspek manajerial, penajaman program dan akuntabilitas-nya (PBB-UIN Syarif Hidayatullah, 2005).

Karena itu, peluang terbesar untuk revitalisasi filantropi Islam di Indonesia adalah menggugah kesadaran dan sekaligus merubah perilaku penderma. Menggugah kesadaran ummat sangat penting karena sampai kini terdapat kesenjangan yang besar antara potensi dengan realisasi dana filantropi Islam. Selain itu dibutuhkan rekonstruksi paradigma sedekah dari sedekah personal-jangka pendek yang bersifat karikatif menjadi sedekah institusional-jangka panjang yang lebih bersifat pemberdayaan. Hal ini penting karena filantropi Islam berbeda dengan filantropi sekuler. Filantropi Islam ber-dimensi sosial, bukan privat, dimana manfaat filantropi ditujukan untuk mashlahah sosial (public interest). Peranan pemerintah, MUI, dan ormas-ormas Islam sangat dibutuhkan disini.

* Naskah awal tulisan ini telah dimuat di Republika, 30 Juni 2006 "Ekonomi Sedekah" dan Republika, 1 Juli 2006 "Revitalisasi Filantropi Islam".

Labels:


Selengkapnya...