Tuesday, January 17, 2006

Adalah Engkau ...

Adalah Engkau dia yang kurindu
Tuk menjadi bunga di hatiku
Menjadi peneduh kalbu
Di perjalananku

Tibalah waktu yang telah kurindu
Tuk selalu bersama denganmu
Tlah terbuka pintu itu
Akad tlah terucap sudah
Dinda marilah melangkah

Dinda temanilah aku di setiap detikku
Dengan doamu
Bila terpisahkan waktu
Tetaplah di sini di dalam hatiku
Ya Rabbi izinkanlah kami
Untuk terjaga selalu di jalan-Mu
Dinda doamu laksana pelepas dahaga
Di lelahnya jiwa

Adalah engkau dia yang kurindu
Tuk selalu hadir di hidupku
Mengiringi setiap langkah saat menuju
Acuan hidup ini

(Seismic)

*Special thanks to my beloved wife for unforgettable events in my birthday, 16 januari 2006. You're the best gift from Allah for me. May Allah always bless you.

###

Teriring do'a yang mendalam ...
Untuk "Suamiku tercinta"
MET MILAD
Semoga Allah memberkahi umur suamiku ...
Memudahkan, menjaga, dan membimbing setiap langkahnya ...
Amiin.
Umur yang berkurang ... berarti satu langkah menuju kubur ...
Perpisahan adalah kepastian
Kematian adalah keniscayaan ...
Jangan biarkan perpisahan menjadi luka ...
Karna perpisahan tak selamanya duka ...
Detik-detik akhir yang indah ...
Perpisahan yang "terindah" ...
AKHIR YANG KHUSNUL KHOTIMAH.
Amin ya Robbal Alamin
-Istrimu yang selalu merindu-

Labels:


Selengkapnya...

Friday, January 13, 2006

Islam Tontonan: Kapitalisasi Agama?

Seorang ulama sepuh hanya bisa prihatin, lalu bermunajat kepada Allah swt. “Tuhan, kini Islam yang kami lihat di media massa, bukan lagi Islam Tuntunan, tetapi Islam tontonan…" Itulah munajat kyai sepuh dan tokoh ulama yang barangkali mewakili ribuan suara ulama dan kyai di Indonesia, Prof KH Alie Yafie, ketika memperingati kemerdekaan RI menurut kalender Hijriyah, bertepatan di bulan suci Ramadhan lalu.
Tahun-tahun terakhir ini kita melihat fenomena yang cukup menyejukkan, bangkitnya semangat ber-islam di ranah publik, termasuk di media massa. Di berbagai media massa, terutama TV, kita melihat warna Islam mulai dominan. Maka muncullah berbagai produk seperti sinetron islami, lagu islami, film islami, ruqyah syar'iyyah, reality show islami, pemilihan da'i kecil, dll.
Kita tentu bersyukur dengan fenomena menyejukkan ini. Masyarakat yang selama ini dijejali tayangan-tayangan TV yang tidak mendidik, cenderung melecehkan akal sehat, amoral, dan tidak humanis, kini mulai mendapat alternatif tontonan.
Yang kemudian jadi masalah adalah ketika Islam "tontonan" ini mulai dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal di tengah-tengah kebodohan ummat dan kelemahan ulama. Lihat misalnya ketika stasiun TV berlomba menayangkan acara "islami" yang rating-nya tinggi bahkan di waktu prime-time meski secara kualitas content-nya tidak terlalu bagus, bahkan kontroversial. Sedangkan acara Islami yang berkualitas, seperti kajian tafsir Prof Quraish Shihab misalnya, menjadi tergusur hanya karena rating-nya yang rendah.
Maka lahirlah kemudian sebuah industri entertainment baru berjubah agama: "Islam tontonan". Islam di TV - yang menjadi tuntunan masyarakat- bukanlah Islam yang dipandu oleh Ulama yang lurus dan ikhlas. Islam yang muncul di TV adalah Islam yang sesuai dengan keinginan dan selera masyarakat, seperti terekam dalam rating, dan menguntungkan para pemilik modal baik pengelola TV, rumah produksi, artis, biro iklan, dsb. Tak peduli apakah keinginan masyarakat itu benar atau salah, tak peduli apakah tayangan tersebut bermanfaat, tak peduli apakah tayangan itu sesuai secara syariah, dsb. Pokoknya masyarakat senang dan pemilik modal untung.
Islam yang muncul di TV bukan untuk membuat ummat menjadi paham syariat Allah, bukan untuk memenuhi panggilan dakwah Rasul, bukan untuk membuat ummat melek dengan agama-nya. Ia semata tampil untuk kepentingan pemilik modal; mengeruk laba sebesar-besarnya! Maka terjadilah seleksi terhadap Islam yang muncul di TV; Islam yang menguntungkan muncul, yang tidak menguntungkan jangan berharap bisa muncul. Ironisnya, Islam yang tidak menguntungkan itulah yang justru substansif dan menjadi ruh Islam yang sebenarnya!
Hal ini persis seperti apa yang terjadi pada pengalaman kapitalisasi kehidupan sosial. Kapitalisme telah memasuki ruang kehidupan sosial dalam bentuk co-modification. Jika seseorang mampu membayar jasa pendidikan atau kesehatan, maka fasilitas tersebut akan dipenuhi. Jika tidak, maka mereka tidak akan bisa meng-akses fasilitas tersebut. Kesehatan dan pendidikan disediakan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi sederhana, disediakan untuk kepentingan pemilik modal, untuk mencetak laba!
Tentu menyedihkan melihat kini panutan dan imam masyarakat bukan lagi Ulama yang shaleh, tetapi justru
artis, dai panggung, ustadz teaterikal, selebritis, dan sederet produk industri entertainment agama ini. Ummat kini beralih dari majelis-majelis ilmu di pesantren, masjid, surau ke Islam hiburan, Islam tontonan.
Siapa yang salah?

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, January 03, 2006

Menggagas Jaring Pengaman Responsif ....

Pemerintah berkeras meneruskan program SLT (subsidi langsung tunai) walau program ini banyak mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak. Setelah SLT tahap I selesai digulirkan, pemerintah memastikan pembayaran SLT tahap II akan dilakukan mulai 2 Januari hingga 31 Maret 2006. (Republika, 30/12/2005).
Evaluasi secara cepat terhadap program SLT menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah. Secara umum kita dapat mengevaluasi program jaring pengaman sosial seperti SLT ini, dengan tiga kriteria utama yaitu: (i) cakupan (coverage), yaitu bagaimana kelompok miskin tercakup secara luas di dalam program; (ii) minimalisasi kebocoran (leakages), yaitu bagaimana kelompok non-miskin dapat dicegah untuk ikut menikmati program; dan (iii) minimalisasi biaya operasional program.
Sebagaimana telah diduga banyak pihak sebelumnya, program SLT memperlihatkan pencapaian yang rendah di semua kriteria. Buruknya basis data, tenggang waktu yang ketat, serta birokrasi yang lemah dan korup membuat program SLT gagal. Pemberitaan di berbagai media memperlihatkan tingkat cakupan program yang rendah dan tingginya tingkat kebocoran.
Di sisi lain, biaya operasional program juga tidak kecil, dan ironisnya sebagian besar justru harus ditanggung oleh si penerima program dalam bentuk transaction cost (biaya tranportasi dan pungli) yang tinggi ketika harus mengambil dana secara langsung ke tempat-tempat penyaluran dana yang telah ditunjuk. Bahkan di banyak tempat, penerima program tidak hanya berkorban dana tetapi juga keringat, darah dan bahkan nyawa karena harus berjibaku dalam antrian panjang yang kisruh untuk memperoleh Rp 300 ribu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

SLT dan Jaring Pengaman Responsif
Kegagalan program SLT menambah panjang daftar kegagalan program-program kompensasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah seperti program JPS dan program raskin. Program targeted-subsidy massal seperti SLT, membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan dimana orang miskin itu berada. Pengembangan basis data seperti ini membutuhkan usaha luar biasa dan dana yang sangat mahal. Dengan keterbatasan dalam kriteria penduduk miskin, tenaga SDM, dana dan waktu, tidak heran bila BPS gagal menyediakan basis data seperti ini. Hal ini menjadi semakin rumit untuk daerah-daerah yang terkena bencana alam luar biasa seperti Aceh dan Nias, atau daerah konflik seperti Poso.
Program targeted-subsidy juga membutuhkan sistem pengawasan dan informasi yang ketat dan berkelanjutan. Sifat dasar program mengharuskan adanya pengawasan yang ketat dalam penyaluran subsidi serta informasi yang terus menerus tentang si miskin mengingat kemiskinan adalah dinamis.
Lebih jauh lagi, program SLT menuai kritik karena program ini tidak mendidik masyarakat miskin, menumbuhkan mental pemalas, kental dengan nuansa feodal-subordinat, dan merendahkan kemanusiaan orang miskin.
Selain kegagalan dalam hal cakupan, kebocoran, dan biaya, program jaring pengaman sosial umumnya juga cenderung gagal dalam melindungi kelompok miskin pada waktu yang tepat. Adalah tidak jelas bagaimana program pengaman sosial yang diluncurkan setelah gejolak terjadi, dapat melindungi si miskin. Masalah waktu dan efektifitas menjadi hal paling krusial disini. Hal ini memunculkan isu tentang perlindungan terhadap kelompok miskin secara cepat dan tepat.
Program pengaman yang terbaik adalah ketika ia sampai di tangan si miskin ketika ia dibutuhkan (just-in-time delivery). Karenanya pendekatan yang lebih baik adalah dengan desain kebijakan yang secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Kita sebut saja ia dengan jaring pengaman responsif.

Islam dan Jaring Pengaman Responsif
Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60). Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.
Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.
Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam. Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.
Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.
Kedua, Islam mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja. Tidak heran pula bila kemudian dalam lintasan sejarah Islam kita melihat perhatian yang besar dari pemerintah terhadap public works terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan penciptaan lapangan kerja.
Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman cukup baik dalam hal ini seperti dalam program IDT (inpres desa tertinggal) dan program padat karya. Program padat karya disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program padat karya seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan memperluas coverage program dan mengurangi leakages.
Institusionalisasi program padat karya membuat program ini menjadi salah satu bentuk jaring pengaman responsif yang menjanjikan. Dengan membuatnya permanen, maka program padat karya secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Contoh klasik disini adalah Skema Jaminan Kerja di negara bagian Maharashtra, India. Skema ini ditujukan untuk mendukung pendapatan di daerah pedesaan dengan menyediakan pekerjaan pada tingkat upah rendah bagi siapapun yang menginginkannya. Program ini menurun pada masa panen dan meningkat pada masa paceklik. Mekanisme upah rendah menjadi automatic screen yang membuat program ini tepat sasaran. Program ini sebagian besar dibiayai oleh pajak dari penduduk kaya kota yang merasakan manfaat program ini berupa turunnya migrasi desa-kota.
Ketiga, Islam mendorong distribusi pendapatan dalam masyarakat. Islam memiliki mekanisme yang membuat kekayaan berputar tidak hanya dikalangan orang kaya. Instrument terpenting disini adalah zakat. Zakat memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi jaring pengaman sosial yang responsif yaitu: (i) penggunaan zakat hanya untuk 8 golongan saja (ashnaf) yaitu fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil (QS 9:60). Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted; (ii) zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program jaminan sosial; (iii) zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengaman sosial dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Selain zakat, Islam juga memiliki instrumen lain seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Secara bersama-sama, semua instrument tersebut akan membuat distribusi pendapatan lebih merata setiap waktu. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari jaring pengaman sosial yang responsif.

Republika, 3 Januari 2006
"SLT Vs Jaring Pengaman Responsif"

Labels: ,


Selengkapnya...

Technology and Convergence in Indonesia ...

Almost three decades after the pioneering work of Esmara (1975), technology has not yet received enough attention as a determinant of regional disparities in Indonesia. This paper views technological transfer seriously as the main driver of convergence in regional income. As suggested by the old and new growth theory, we found that technology plays a significant role in explaining cross-province differences in growth rate. We also found that government policies have a significant influence in promoting technological diffusion among the regions, and hence on rapid and sustainable regional economic growth.

Convergence is a dynamic process in Indonesia. This study documents income disparity across province that have gone up and down in the last 25 years. Disparity increases during the unstable periods and decreases during the good times.
We have shown that contribution of TFP to regional output growth is small. Rapid regional growth is mostly due to capital accumulation. This result has important implications as regional growth can not be sustained in the long-run.
We have also shown that regional inequality has a similar pattern with TFP growth. We suggest that there is a close relationship between them. Higher productivity growth in poorer regions will lead income to converge.
We explored this hypothesis and found that productivity growth is a significant factor in regional convergence. Once we take into account technological differential across provinces, the convergence rate increases significantly. This indicate that there is a large gap in technology level across provinces.
Furthermore, we have found that several macroeconomic indicators have a significant effect on regional productivity growth. We conclude that the government has an important role to play in order to encourage technological diffusion in backward regions to promote its growth, and hence, reduce regional inequality.
We have shown that income disparities across regions are likely to remain substansial. Relying on market forces alone to remove subnational inequality is not enough. For this reason, direct interventions may be needed to ensure that poorer regions grow more rapidly than advanced ones. But there is no easy way out. The surge of regional development policy since the beginning of economic development has failed to remove regional inequality. Our findings suggest that technological diffusion offers considerable promise.

Full Paper:
Yusuf Wibisono. "Technology and Convergence in Indonesia", Economics and Finance in Indonesia, Vol. 53, No. 2, 2005, pp. 215-236.

Labels:


Selengkapnya...