Thursday, August 21, 2008

Menimbang Keuangan Mikro: Perspektif Islam ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Tidak berlebihan jika dikatakan dekade ini adalah dekade kredit mikro. Usai Microcredit Summit 1997 di Washington yang dihadiri 144 negara dan dilanjutkan dengan Global Microcredit Summit pertama dan kedua di New Delhi dan Dhaka pada 2000 dan 2004, keuangan mikro semakin diyakini sebagai cara yang efektif untuk pengentasan kemiskinan. Puncaknya pada 2005 yang ditetapkan PBB sebagai tahun keuangan mikro internasional dan pada 2006 ketika Muhammad Yunus, bapak kredit mikro Bangladesh, menerima nobel perdamaian. Di Indonesia, keuangan mikro juga sedang naik daun dan berpuncak pada perhelatan The Asia-Pacific Regional Microcredit Summit di Bali pada akhir Juli 2008.

Pada 2007 pemerintah meluncurkan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) tanpa jaminan aset sebesar Rp 7 triliun dengan pelaksana penyaluran kredit adalah industri perbankan dan bertindak sebagai penjamin adalah Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia) dan SPU (Sarana Pengembangan Usaha). Pada 2008 angka KUR dilipatgandakan hingga Rp 14 triliun. Hingga akhir 2008 ditargetkan 650 ribu UKM mendapat kucuran dana KUR.Pertanyaannya, apakah kredit mikro merupakan jawaban sejati atas kegundahan kita atas masalah kemiskinan dan pengangguran yang seolah tidak pernah tuntas?

Lingkaran kemiskinan
Secara umum, penyebab kemiskinan dapat kita pilah menjadi dua kelompok. Pertama, kemiskinan karena faktor-faktor makro, seperti instabilitas ekonomi, inflasi, distribusi pendapatan yang tidak merata, lemahnya akses ke infrastruktur dasar, tekanan politik, konflik sosial, hingga bencana alam. Kedua, kemiskinan disebabkan oleh faktor mikro yang melekat pada diri mereka, seperti mentalitas, budaya, dan lemahnya kapabilitas untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kebijakan mikro yang kemudian banyak diadopsi adalah meningkatkan income entitlements si miskin melalui pembangunan modal fisik, manusia, dan finansial. Dari sinilah penyediaan modal finansial bagi si miskin menjadi salah satu kebijakan terpenting dalam pengentasan kemiskinan. Ini bukan sesuatu yang baru.

Keberadaan kredit mikro di Indonesia bahkan telah berumur lebih dari 100 tahun, dengan Bank BRI sebagai simbol utamanya, yang menempatkan negeri ini menjadi salah satu laboratorium keuangan mikro dunia yang terpenting. Untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 40 juta unit usaha mikro dan kecil, kredit mikro menjadi sangat strategis dalam pengentasan kemiskinan secara luas dan signifikan. Tak heran semua rezim pemerintahan memiliki program kredit mikro sebagai salah satu program andalan.

Secara riil kemiskinan tetap terjadi dalam skala yang luas. Mengapa keberadaan lebih dari 50 ribu lembaga keuangan mikro yang telah beroperasi sejak lebih dari 100 tahun lalu tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan? Bahkan, Grameen Bank yang legendaris itu juga gagal mengentaskan kemiskinan secara luas. Desa Hillary Palli, show-piece village Grameen Bank, masyarakatnya tidak bisa keluar dari lilitan utang kepada Grameen Bank setelah 12 tahun. Banyak dari penduduk desa yang kemudian 'terpaksa' menjual tanah mereka (Shomokal, 19 Februari 2007). Komitmen terhadap kredit mikro tentu harus diapresiasi. Namun, membuat klaim seolah hanya dengan kredit mikro maka kemiskinan akan tertanggulangi, sangat berlebihan.

Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi untuk membuat si miskin meningkat pendapatannya. Modal finansial membutuhkan faktor produksi lain, yaitu aset fisik dan modal manusia agar dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance dan reforma aset reforma agraria seharusnya berjalan beriring dengan program kredit mikro ini.

Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif, seperti kebijakan moneter dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi yang tidak memarginalkan kelompok lemah, kebijakan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan, dan lain-lain. Keberhasilan kebijakan mikro dapat terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat.

Ketiga, secara teknis, kredit mikro tidak hanya soal tiadanya kewajiban agunan, tetapi juga dibutuhkan reformasi kebijakan dan institusi agar kredit mikro tepat sasaran, murah, dan mau berbagi risiko secara adil. Keuangan mikro sebagai strategi pembangunan harus memiliki tiga karakter utama, yaitu massive outreach, far-reaching impact and financial sustainability. Agar mampu menjangkau kelompok miskin secara luas dan masif, kredit mikro harus murah.

Secara umum, kredit mikro di perbankan adalah mahal, berkisar 20-30 persen, jauh di atas suku bunga kredit korporasi dan konsumsi. Angka ini lebih tinggi lagi di BPR dan lembaga keuangan mikro lainnya. Di pasar kredit mikro informal (rentenir), suku bunga bisa 20 persen per bulan! Suku bunga Grameen Bank juga tinggi, hingga 54 persen (Mannan, 2007). Rasionalitas ekonomi atas mahalnya kredit mikro secara umum adalah tingginya risiko dan besarnya operational cost dari kredit mikro. Namun, selama kredit mikro mahal, sulit berharap kemiskinan akan berkurang.

Terkait itu, dibutuhkan komitmen untuk berbagi risiko usaha (entrepreneurial risk). Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang lebih tinggi. Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini menciptakan lingkaran tiada berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang lebih tinggi pula.

Ketiadaan instrumen berbagi risiko akan selalu menempatkan debitur kredit mikro dalam posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Selain itu, agar mampu memberi dampak yang mendalam, kredit mikro harus tepat sasaran.

Keuangan mikro sejati adalah alat yang memberi akses jasa keuangan kepada kelompok miskin untuk menjalankan proyek dan ide mereka sendiri dan lepas dari ketergantungan. Karena itu, target keuangan mikro adalah kelompok miskin yang memiliki ide dan kapasitas wirausahawan dan mampu melakukan usaha produktif, bukan the poorest of the poor. Target kredit mikro karenanya menjadi isu krusial. Kegagalan dalam meraih target pasar yang tepat akan memengaruhi keberhasilan kredit mikro dalam penanggulangan kemiskinan.

Keuangan mikro dan sistem bunga
Keuangan mikro sejatinya adalah produk kegagalan industri perbankan dalam menyalurkan kredit ke kelompok miskin. Dalam sistem perbankan berbasis bunga, keputusan pemberian kredit lebih ditekankan pada kriteria creditworthiness, yaitu kemampuan debitur menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan perbankan berbasis bunga memiliki fixed liability berupa kewajiban pembayaran dana pihak ketiga dan bunganya.

Dalam sistem seperti ini, di mana pengembalian pokok dan bunga dijamin tanpa terkait dengan return di sektor riil, modal finansial akan selalu bias ke kelompok kaya, kelompok yang pasti memiliki creditworthiness lebih tinggi meskipun proyeknya tidak seproduktif proyek si miskin. Seharusnya, modal bergerak ke tempat yang paling produktif bukan pada kemampuan membayar pokok dan bunga. Hanya dengan cara seperti inilah maka modal akan efisien dan tidak diskriminatif. Hal seperti ini hanya akan terjadi dalam sistem di mana modal finansial mau berbagi risiko dengan wirausahawan atas risiko usaha di sektor riil.

Dalam sistem perbankan Islam, modal hanya berhak mendapat return ketika proyek berhasil. Ketika proyek gagal, modal harus mau berbagi risiko dan menanggung kerugian. Karenanya, implementasi sistem perbankan bagi hasil secara menyeluruh akan mampu menanggulangi masalah akses kelompok miskin ke modal finansial. Permasalahan utama disini adalah keberadaan dana yang mau untuk berbagi risiko. Dana kredit mikro dari pemerintah dapat berperan besar di sini.
Dalam sistem bagi hasil, penentuan kredit difokuskan pada kelayakan usaha dan expected return sehingga sistem bagi hasil akan membuat modal bergerak ke pihak yang tepat, yaitu orang yang memiliki ide dan kapasitas wirausahawan, bukan para pemburu rente atau orang yang lemah dan tidak produktif.

Kredit macet akan lebih rendah karena modal finansial berada di tangan orang yang tepat. Dengan demikian, efisiensi modal finansial dalam perekonomian akan meningkat dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Ketika setiap orang yang memiliki kemampuan wirausahawan mendapat akses yang sama ke modal finansial, penawaran agregat akan naik, menciptakan lapangan kerja secara luas, dan mengentaskan kemiskinan secara masif. Secara teknis, selain instrumen bagi hasil, sistem perbankan Islam juga memiliki banyak kelebihan untuk kredit mikro.

Dalam sistem perbankan Islam, sumber pendanaan tidak terbatas hanya pada dana pihak ketiga yang umumnya adalah mahal, tetapi juga dari dana sektor nirlaba, seperti zakat dan wakaf. Integrasi zakat dan keuangan mikro dapat memberi jaring pengaman sosial yang memadai bagi usaha mikro potensial yang sedang dalam tahap survival. Keuangan mikro berbasis wakaf tunai juga sangat potensial di mana hasil wakaf tunai dapat menjadi sumber dana murah lembaga keuangan mikro syariah dan juga dapat menjadi dana untuk technical assistance programs untuk mengembangkan keahlian kewirausahaan si miskin.

Republika, 18 Agustus 2008

Labels:


Selengkapnya...

Friday, August 01, 2008

Peran Pemerintah dalam Pengembangan Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia ...

Yusuf Wibisono - Staf Pengajar FEUI, Oktober 2007

Dekade terakhir menjadi saksi perkembangan ekonomi syariah yang sangat signifikan di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah ini setidaknya bisa ditelusuri dari tiga aspek, yaitu keilmuan, institusi dan regulasi. Dari aspek keilmuan, ekonomi syariah mulai berkembang sejak tahun 1970an dan mengalami puncaknya pada akhir 1990an. Kini perkembangannya semakin pesat dengan telah dibukanya berbagai program studi formal ekonomi syariah dari jenjang D-3 hingga S-3 di banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Sedangkan dari aspek institusi, terjadi perkembangan yang luar biasa pada institusi ekonomi syariah sejak berdirinya Bank Muamalat pada awal 1990an. Berhembusnya angin segar terhadap Islam politik yang terutama diwakili oleh ICMI, telah berdampak positif pada perkembangan institusi ekonomi syariah ini. Sejak berdirinya bank syariah, segera menyusul kemudian asuransi syariah yang dipelopori Takaful dan - organisasi pengelola zakat yang dipelopori oleh Dompet Dhuafa. Pada akhir 1990an, perkembangan ini tidak tertahankan dengan berdirinya pasar modal syariah, reksadana syariah, pasar uang syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, koperasi syariah, hingga berbagai bisnis sektor riil yang mengusung syariah dalam operasional-nya seperti hotel, MLM, penerbit buku, rumah makan, lembaga pendidikan, sampai bengkel otomotif.
Sementara itu dari sisi regulasi, perkembangannya juga terlihat sangat positif. Dimulai dari UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan konsep bank bagi hasil, berdiri bank umum syariah (BUS) pertama, Bank Muamalat. Setelah itu hadir UU No. 10/1998 tentang perubahan UU No. 7/1992 yang mengizinkan bank konvensional membuka unit usaha syariah (UUS) dan Bank Indonesia (BI) secara resmi menerima eksistensi bank syariah dalam dual banking system. UU No. 23/1999 tentang BI menegaskan tanggung jawab BI untuk mengembangkan, mengatur dan mengawasi bank syariah. UU No. 3/2004 tentang perubahan UU No. 23/1999 semakin meneguhkan peran BI ini. Tidak berhenti disitu, pada saat yang tidak berjauhan pemerintah juga mengeluarkan UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Kini di parlemen sedang dibahas secara intensif RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Terdapat banyak optimisme terhadap perkembangan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Dari berbagai perpektif, optimisme ini memiliki banyak rasionalitas. Namun menjadi berlebihan dan mencemaskan jika mengharapkan implementasi sistem ekonomi syariah berjalan cepat di jalur yang tepat tanpa ada usaha sistemik yang memadai dari berbagai pihak, terutama pemerintah, untuk mendorong-nya. Menjadi pertanyaan kini adalah, bagaimana pemerintah dapat mendorong implementasi sistem ekonomi syariah ke depan? Apa peran strategis pemerintah? Apa strategi yang harus ditempuh dan apa opsi-opsi agenda yang tersedia?

Memahami Sistem Ekonomi Syariah
Adalah keliru jika menganggap bahwa maraknya perkembangan keilmuan, institusi dan regulasi ekonomi syariah saat ini sudah identik dengan implementasi sistem ekonomi syariah secara kaffah. Yang benar adalah bahwa Indonesia baru menerapkan sebagian, bahkan sebagian kecil, dari sistem ekonomi syariah. Perbankan syariah saja yang merupakan implementasi sistem ekonomi syariah yang paling maju di Indonesia, hingga April 2007 hanya merupakan 1,66% dari total industri perbankan nasional. Karena itu menjadi tidak relevan jika banyak pihak menuntut hasil yang terlalu tinggi dari ekonomi syariah untuk penerapan yang tidak komprehensif. Sistem manapun baru akan teruji jika sudah diterapkan secara keseluruhan.
Sistem ekonomi syariah memiliki dimensi yang luas, karena ia terikat dengan syariah, terkait dengan politik-sosial, dan tertuju pada maqashid. Ia memiliki bentuk yang jelas dimana sistem berdiri diatas 3 pondasi yaitu sistem fiskal zakat, sistem moneter emas-dinar dan sistem finansial non-riba, ditegakkan oleh 2 pilar yaitu sistem alokasi (system of allocation) mekanisme pasar dengan hisbah dan sistem kepemilikan (system of ownership) pribadi, negara dan wakaf, serta dinaungi 2 atap yaitu sistem tujuan (system of objective) maqashid syariah dan sistem insentif (system of incentive) moral dan material.
Pondasi menjadi basis bagi sistem agar berjalan dengan adil dan merata. Sedangkan pilar adalah mekanisme utama dalam sistem agar produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa berjalan efisien. Dan atap akan memberi panduan bagi sistem agar mampu mencapai tujuan-tujuan normatif sesuai dengan perspektif Islam.
Dari penjelasan diatas, secara cepat kita dapat menilai bahwa implementasi sistem ekonomi syariah masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu masih sangat dibutuhkan berbagai upaya dari semua pihak, terutama pemerintah, untuk mendorong percepatan implementasi sistem ekonomi syariah ini agar ia dapat memberi hasil sebagaimana yang dijanjikan-nya. Pemerintah memiliki peran strategis disini karena ia berada dalam posisi sebagai regulator dan policy maker yang akan menentukan arah dan bentuk perekonomian yang akan dibangun.
Sistem ekonomi syariah yang baru sebagian kecil diterapkan, dalam waktu yang singkat sudah mampu memberi bukti nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda jauh dengan sistem konvensional yang sudah berpuluh tahun diterapkan secara totalitas di Indonesia, namun justru membawa perekonomian pada jurang kenestapaan. Karena itu sudah saatnya kini arah kebijakan berubah, sudah saatnya ekonomi syariah mendapat dukungan dari pemerintah secara serius. Bentuk dukungan pemerintah bagi implementasi sistem ekonomi syariah bukan dengan memanjakan, namun dengan menciptakan iklim yang kondusif, tidak memberi beban yang berlebihan dan dengan memberi peluang dan kesempatan untuk berkembang sebagai sebuah alternatif sistem yang baru tumbuh.

Dukungan Konstitusi: Peluang untuk Implementasi Ekonomi Syariah yang Lebih Cepat dan Lebih Luas
Jejak rekam implementasi sistem ekonomi syariah di Indonesia selama ini adalah positif. Dalam arti bahwa implementasi sistem berjalan dalam koridor hukum dan sistem ketatanegaraan yang ada sehingga tidak menimbulkan polemik atau pertentangan di tengah masyarakat. Ke depan, pola ini harus diteruskan. Bahkan implementasi sistem ekonomi syariah seharusnya dapat lebih besar jika kita dapat memanfaatkan peluang-peluang konstitusional yang ada.
Jika kita melihat konstitusi, maka kita melihat begitu banyak ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi yang sangat selaras dengan nilai dan prinsip ekonomi syariah.
Dukungan konstitusi ini merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan sehingga implementasi sistem ekonomi syariah ke depan menjadi lebih besar dan lebih cepat. Hal ini tidak lain karena konstitusi adalah basis dari tata perekonomian. Konstitusi memainkan peranan penting dalam membentuk wajah perekonomian.
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 secara jelas mengindikasikan bahwa perekonomian harus berdasar atas mutualism dan brotherhood (ukhuwwah), bukan persaingan individualisme (liberalisme). Karena itu, ekonomi syariah yang berdasar atas ukhuwwah semestinya mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 selaras dengan salah satu pilar terpenting ekonomi syariah bahwa komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai secara kolektif (co-ownership) sesuai hadits Nabi Muhammad SAW “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: rumput, air dan api” (HR Abu Daud). Realisasi amanat konstitusi ini juga merupakan implementasi sistem ekonomi syariah.
Sementara pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sejalan dengan semangat maqashid syariah bahwa co-ownership ditujukan untuk kemakmuran bersama, bukan kemakmuran orang-perorang. Bahkan maqashid memiliki perspektif lebih luas bahwa kemakmuran tidak hanya berdimensi material namun juga moral dan spiritual.
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 (amandemen ke-4) semakin memperkukuh kesamaan semangat antara konstitusi dengan ekonomi syariah bahwa perekonomian harus bersifat non-exploitatory dan berbasis cooperation dengan orientasi pada pemerataan, kemandirian, dan keberlanjutan.
Jika kita melihat lebih dalam, kita akan semakin banyak menemukan dukungan konstitusi terhadap ekonomi syariah. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kesejahteraan rakyat berawal dari pekerjaan yang layak. Hal ini sangat selaras dengan ekonomi syariah yang berfokus pada sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Dalam sistem Islam, semua transaksi keuangan harus memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, semua aktivitas perekonomian selalu terkait dengan aktivitas sektor riil dan karenanya penciptaan lapangan kerja. Hal ini berbeda jauh dengan sistem konvensional yang menerapkan dikotomi antara sektor riil dan moneter sehingga sering menciptakan kontradiksi dalam perekonomian.
Sementara itu, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 secara jelas selaras dengan ekonomi syariah bahwa filantropi harus dilakukan untuk yang tidak mampu bekerja secara optimal karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran. Islam memiliki banyak instrument filantropi yang semestinya dapat mendukung pemerintah untuk menunaikan salah satu amanat terpenting konstitusi ini.
Sedangkan pasal 34 ayat 2 UUD 1945 (amandemen ke-4) mengindikasikan bahwa empowerment harus dilakukan bagi rakyat yang lemah menuju self-empowerment dan dignity. Seluruh instrument filantropi Islam memiliki tujuan empowerment. Belum lagi instrument fiskal dan moneter Islam yang semuanya memiliki orientasi pada sektor riil dan karenanya berorientasi pada empowerment.
Dan pasal 34 ayat 2 UUD 1945 (amandemen ke-4) selaras dengan prinsip ekonomi syariah bahwa pemerintah dibebankan tugas untuk penyediaan kebutuhan dasar publik oleh pemerintah untuk distribusi pendapatan yang merata (welfare state).

Road-Map Implementasi Sistem Ekonomi Syariah: Agenda Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Untuk mencapai implementasi sistem ekonomi syariah yang menyeluruh, dibutuhkan pedoman strategi dan kebijakan (road-map). Road-map ini setidaknya harus memuat tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan untuk mencapai sistem ekonomi syariah disertai pelaksana, sumber daya yang dibutuhkan serta kerangka waktu. Kehadiran road-map ini sangat penting karena ia diharapkan akan menjadi panduan umum bagi semua stakeholders dalam implementasi sistem ekonomi syariah.
Penulis menilai bahwa implementasi sistem ekonomi syariah di Indonesia dalam jangka pendek sebaiknya difokuskan pada peletakan fondasi sistem dan dalam jangka panjang bisa diperluas ke elemen-elemen sistem lainnya (lihat tabel 1).

Tabel 1. Road-Map Implementasi Sistem Ekonomi Syariah di Indonesia: Sebuah Gagasan
Elemen Sistem Keterangan
Agenda Jangka Pendek
- Sistem finansial non-riba, non-gharar, non-maysir: Membebaskan sistem finansial perekonomian secara keseluruhan dari riba, gharar dan maysir, meliputi transaksi swasta, pemerintah, otoritas moneter maupun luar negeri.
- Sistem fiskal berbasis zakat: Menjadikan zakat sebagai garda terdepan sistem fiskal untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, serta dinamika dan stabilisasi perekonomian yang lebih baik.
- Sistem moneter berbasis emas-dinar: Menjaga keterkaitan sektor moneter dan sektor riil dengan menbatasi pertumbuhan sektor moneter serta mencegah decoupling dan bubble economy.
Agenda Jangka Panjang
- Sistem alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar dengan pengawasan pasar yang luas dan ketat: Alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar yang mendapat pengawasan secara luas dan ketat, meliputi aspek moral, kehalalan, kesehatan, keamanan, perlindungan lingkungan, dan persaingan usaha yang sehat.
- Sistem kepemilikan sumber daya pribadi, wakaf dan kepemilikan bersama untuk komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak: Kepemilikan sumber daya oleh pribadi secara bertanggungjawab dan sesuai tujuan normatif, wakaf sebagai motor pembangunan dan pengentasan kemiskinan, serta penguasaan komoditas strategis oleh negara untuk kepentingan dan kemakmuran bersama.
- Sistem insentif moral dan material: Insentif bagi pelaku ekonomi didorong tidak hanya oleh unsur material saja namun juga oleh unsur moral dan spiritual.
- Sistem tujuan maqashid syariah: Hasil-hasil ekonomi (economic outcomes) yang sesuai dengan maqashid yaitu perlindungan pada 5 unsur pokok kehidupan: keimanan (dien), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan kekayaan (maal).
Sumber: Assessment penulis

Road-map ini tentu tidak harus membuat implementasi sistem ekonomi syariah ke depan justru menjadi sekuensial, birokratis dan top-down. Pola pengembangan ekonomi syariah selama ini yang simultan, partisipatif dan bottom-up adalah kecenderungan positif dan harus diteruskan. Namun tetap harus ada arah dan tujuan bersama yang disepakati, titik tekan dan fokus agenda, serta program-program yang diprioritaskan. Disinilah road-map berperan sebagai panduan bagi semua stakeholders.
Agar dapat menjalankan fungsi-nya dengan baik, yang perlu mendapat perhatian adalah proses penyusunan road-map yang harus partisipatif, melibatkan semua komponen dan aplikatif. Road-map harus merupakan konsensus sosial dari masyarakat, swasta dan pemerintah sehingga tumbuh sense of ownership dan komitmen terhadap program-program road-map. Ia juga harus secara jelas memuat penanggungjawab, sumber daya yang dibutuhkan dan kerangka waktu agar bisa dijalankan secara aplikatif.

Implementasi Sistem Keuangan Syariah
Salah satu agenda jangka pendek dari road-map sistem ekonomi syariah yang harus mendapat prioritas adalah bagaimana membebaskan sistem keuangan perekonomian dari riba, gharar dan maysir dalam skala yang luas dan signifikan. Hal ini tidak lain karena implementasi sistem keuangan syariah saat ini memiliki momentum yang tepat baik global maupun domestik, mendapat dukungan politik dan publik yang luas dan karenanya sudah menjadi konsensus sosial, serta layak secara bisnis-komersial sehingga hanya membutuhkan sumberdaya minimal dan tidak akan membebani anggaran publik.
Dengan terbebaskannya sistem finansial perekonomian dari riba, gharar dan maysir, maka setiap transaksi keuangan akan memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, sektor finansial ‘dipaksa’ untuk mengikuti sektor riil. Return sektor finansial ditentukan oleh sektor riil, bukan sebaliknya. Dengan demikian, tidak akan ada penggelembungan di sektor moneter (bubble economy) yang berujung pada krisis dan kenaikan harga-harga. Disinilah sistem keuangan Islam yang selalu terkait dengan sektor riil, tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi model solutif masalah perekonomian.
Dalam jangka pendek, implementasi sistem keuangan syariah sebaiknya berfokus pada perluasan jaringan dan size perbankan syariah, pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah, dan penguatan pasar uang syariah. Sedangkan dalam jangka panjang, implementasi sistem keuangan syariah sebaiknya berfokus pada membebaskan sistem keuangan nasional secara keseluruhan dari riba, gharar dan maysir.
Dikaitkan dengan agenda jangka pendek ini, target terdekat saat ini adalah mencapai share perbankan syariah 5% dari perbankan nasional pada akhir 2008 yang diusung BI melalui program “Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah” pada 11 Desember 2006 lalu. Untuk mencapai target ini dibutuhkan berbagai upaya riil –terutama dari pemerintah dan BI- yang semestinya terfokus pada tiga aspek yaitu perluasan jaringan dan size perbankan syariah, pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah, dan penguatan pasar uang syariah (lihat tabel 2).

Tabel 2. Implementasi Sistem Keuangan Syariah: Agenda Jangka Pendek untuk Mencapai Target Share 5% Perbankan Syariah pada Akhir 2008

Perluasan jaringan dan size perbankan syariah
Peran Pemerintah
- Menyelesaikan RUU PPn untuk menghapus ketentuan pajak berganda dalam transaksi syariah
- Insentif untuk investasi asing
- Menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran (BPS) haji
- Mengkonversi satu bank BUMN menjadi bank syariah
- Menyelesaikan RUU Perbankan Syariah untuk kepastian usaha
Peran BI
- Ketentuan office channeling (OC) yang lebih fleksibel agar berfungsi lebih besar dalam mendorong pertumbuhan bank syariah
- Insentif untuk investasi asing
- Ketentuan modal dasar bank induk yang lebih besar di Unit Usaha Syariah (UUS)
- Insentif untuk spin-off UUS dari bank induk

Pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah
Peran Pemerintah
- Menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerimaan negara (BPSPN)
- Menggulirkan dana program ekonomi kerakyatan melalui bank syariah, BPRS dan BMT
Peran BI
- Kajian dan regulasi untuk pengayaan produk dan jasa keuangan syariah
- Ketentuan kualifikasi SDM perbankan syariah yang lebih baik dan ter-standarisasi
Penguatan pasar uang syariah
Peran Pemerintah
- Menyelesaikan RUU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN)
Peran BI
- Kebijakan BI rate yang netral terhadap sektor riil dan kebijakan SWBI yang menunjang
Sumber: Assessment Penulis

Referensi

Bank Indonesia. Statistik Perbankan Syariah. Jakarta: Mei 2007.
Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2006. Jakarta: 2007.
Chapra, M. Umer. “Monetary Management in an Islamic Economy”. Islamic Economics Studies, Vol. 4, No. 1, December 1996.
Chapra, M. Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj., Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
El Diwany, Tarek. The Problem with Interest, 2nd ed., London: Kreatoc Ltd., 2003.
Gardner, H. Stephen. Comparative Economic Systems, 2nd ed., Orlando: The Dryden Press, 1998.
Qaradhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj., Jakarta: Robbani Press, 2001.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat, 2004.
Swasono, Sri Edi. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustep-UGM, 2005.
Wibisono, Yusuf. “Era Baru Perbankan Syariah: Dampak UU Perbankan Syariah Terhadap Prospek Industri Perbankan Syariah Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar Menyongsong Kehadiran UU Perbankan Syariah, FHUI Depok, 9 April 2007.

Labels:


Selengkapnya...

Menakar UU Perbankan Syariah ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI


Industri perbankan syariah kini memasuki era baru. UU Perbankan Syariah (PS) resmi disahkan oleh parlemen pada 17 Juni 2008. Dukungan regulasi ini dipastikan akan memberi dampak positif bagi perbankan syariah nasional. Perkembangan pesat perbankan syariah selama ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan regulasi. Kehadiran bank syariah pertama pada 1992, Bank Muamalat, terjadi berkat dukungan UU No. 7/1992. Perkembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999 juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 yang kemudian diperkuat oleh UU No. 3/2004.
Yang kini menjadi pertanyaan, seberapa besar dampak UU PS bagi perkembangan industri ke depan? Apakah target share 5% dapat dicapai? Hal-hal apa yang masih membutuhkan perhatian lebih dalam untuk pengembangan perbankan syariah?
Pokok-Pokok Pikiran UU PS
Secara umum, UU PS memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS, kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa.
Kedua, menjamin kepatuhan syariah (shari’ah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta pembentukan Komite Pengawas Syariah di Bank Indonesia (BI).
Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini terlihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan resiko serta pembinaan dan pengawasan. Semangat “stabilitas sistem” ini semakin terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi administratif dan ketentuan pidana.
Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak sudah berada pada arah yang tepat antara lain: [i] ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau BPR; [ii] mengizinkan kepemilikan asing secara kemitraan dengan investor domestik; [iii] mendorong spin-off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketika aset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [iv] dalam hal terjadi merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus menjadi bank syariah; [v] dana zakat dan sosial yang dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke organisasi pengelola zakat; [vi] bank syariah dapat menghimpun wakaf uang; [vii] penegasan dan landasan yang kuat untuk BPR Syariah; dan [viii] kewajiban tata kelola yang baik dan penyampaian laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi syariah.
Menakar Dampak UU PS
Dengan kecenderungan diatas, UU PS akan memiliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan syariah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan rencana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru tahun ini juga, termasuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring proses sosialisasi.
Namun beberapa agenda penting pengembangan industri perbankan syariah nampak belum mendapat perhatian memadai. Pertama, UU PS secara umum masih minim insentif untuk membesarkan size perbankan syariah. Aturan kepemilikan asing di industri perbankan syariah nasional sudah diakomodasi, namun belum memberi insentif yang memadai. Insentif untuk konversi bank konvensional menjadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum mendapat perhatian.
Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Perpres No. 77/2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun harus ada upaya agar proses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar, dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank konvensional yang telah ada dan mengkonversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini.
Namun juga harus diakui bahwa sebagian besar inisiatif lain yang dibutuhkan berada di luar wilayah UU PS ini. Karena itu maka UU PS harus segera diikuti dengan sejumlah regulasi penting lain seperti netralitas pajak untuk penyamaan level of playing field, insentif fiskal dan inisiatif yang memadai dari BI. Sejumlah negara lain telah melangkah jauh terkait hal ini. Salah satu yang paling ambisius adalah Malaysia.
Untuk mempercepat peningkatan size industri dan mendorong keterkaitan sektor finansial domestik dengan global, sektor perbankan syariah Malaysia diliberalisasi pada tahun 2004 dengan penerbitan izin untuk institusi keuangan Islam asing. Kepemilikan asing di institusi keuangan Islam dinaikkan hingga 49% dari total saham. Izin baru juga diperluas untuk perusahaan yang menjalankan bisnis perbankan syariah, takaful dan retakaful dalam mata uang internasional, dimana untuk institusi ini kepemilikan asing diperbolehkan hingga 100%, keleluasaan operasional untuk mendirikan kantor cabang atau pembantu, dan fasilitas tax holiday selama 10 tahun berdasarkan UU Pajak Pendapatan Malaysia.
Kedua, sementara UU PS memuat aturan yang ekstensif tentang kegiatan usaha dan akad syariah yang digunakan bank syariah, namun tidak diimbangi dengan ketentuan tentang institusi yang bertugas untuk product development dan sekaligus shari’ah approval. DSN-MUI seharusnya mendapat kewenangan ini dan diperkuat dengan sumberdaya agar mampu melakukan riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima permintaan fatwa dari industri. Industri ini masih sangat membutuhkan produk yang beragam sesuai kebutuhan masyarakat dan dunia usaha namun tetap terjaga shari’ah compliance-nya.
Ketiga, masalah ketiadaan payung hukum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) belum terselesaikan. Sebagai sebuah realitas sosial, eksistensi LKMS tidak bisa diabaikan. Walau telah mengatur BPRS, namun keberadaan BMT, KJKS dan LKMS lainnya tetap tidak tersentuh. Seharusnya, ada inisiatif-inisiatif untuk mendorong LKMS menjadi sehat dan kompetitif seperti insentif LKMS untuk melebur menjadi BPRS, memperkuat linkage programme, pembuatan SOP untuk pengawasan yang efektif, dll.
Meningkatkan Dampak UU PS
Untuk kasus Indonesia, inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical mass. Dengan tercapainya critical mass, perbankan syariah akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saing-nya.
Perbankan syariah membutuhkan keberpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana baik pemerintah pusat maupun daerah, pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerima negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional menjadi bank syariah.
Dibutuhkan pula penegasan kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan oleh perbankan syariah, seperti kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq dan sadaqah melalui perbankan syariah, dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji. UU No. 13/2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain itu perlu ada sosialisasi, dorongan dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah.
Selain itu, mendorong pengembangan industri perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara simultan dengan pengembangan SDM dan riset. Disini hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. Adalah hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu namun ketersediaan SDM sangat minim karena memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven.
DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan, maka perkembangan industri akan berkelanjutan karena ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.

Labels:


Selengkapnya...

Menggugat Televisi ...

Ada hal yang menarik dari peluncuran salah satu TV swasta nasional oleh Presiden pekan lalu. Presiden mengharapkan agar Televisi Nasional menjadi bagian dari agen perubahan dalam membangun karakter bangsa. Presiden juga menekankan bahwa Televisi harus edukatif dan mencerdaskan bangsa (Republika, 15 Februari 2008).
Namun harapan Presiden ini nampak amat jauh dari kenyataan. Televisi kini justru semakin mengkhawatirkan, menuju tingkat yang tidak bisa lagi ditoleransi dari sudut pandang apapun. Setidaknya terdapat tiga “dosa besar” televisi kita. Pertama, kehancuran moral dan budaya luhur bangsa melalui tayangan-tayangan “sampah”. Kedua, inefisiensi dan penghambur-hamburan sumber daya produktif melalui tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai tambah. Ketiga, kerusakan pola pikir dan akal sehat masyarakat melalui tayangan-tayangan “bodoh” dan “menghina akal sehat”. Dalam prakteknya, sebuah tayangan bisa memiliki lebih dari satu dampak diatas sekaligus.
Sebagai misal, tayangan infotainment setidaknya berdampak ganda yaitu merusak moral sekaligus mengakibatkan inefisiensi ekonomi. Sebagai sebuah tayangan yang tidak memiliki nilai tambah ekonomi sedikitpun, infotainment merupakan bentuk pemborosan ekonomi yang luar biasa dilihat dari aspek hilangnya waktu kerja produktif maupun distorsi sumber daya yang diakibatkannya. Di saat yang sama, isi tayangan infotainment secara jelas juga telah menghancurkan moral dan budaya luhur bangsa. Ironisnya, sebagai hasil dari mekanisme pasar tanpa moral, supply tayangan infotainment justru telah meningkat secara luar biasa, hingga 775%, dalam lima tahun terakhir. Bila di tahun 2002 frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode per minggu atau 3 episode per hari, maka di tahun 2007 angka ini telah melejit menjadi 210 episode per minggu atau 30 episode per hari! (Irianto, 2008).
Tayangan-tayangan lain juga memperlihatkan pola serupa. Setelah booming tayangan-tayangan mistik berakhir, kini mewabah tayangan-tayangan anak dan remaja. Dampak dari tayangan-tayangan ini secara umum mirip yaitu merusak moral, pola pikir dan menghamburkan-hamburkan sumber daya produktif. Bila tayangan-tayangan anak banyak mengusung “keajaiban-keajaiban” yang berpotensi besar merusak pola pikir anak, tayangan remaja penuh dengan cerita cinta picisan yang jauh dari etika dan moral luhur bangsa. Sederet tayangan lain, seperti sinetron, musik dan film-film yang membanjiri TV kita, sarat dengan pembodohan, seronok, dan sering bertabrakan dengan moral dan agama.

Televisi dan Perekonomian
Dengan karakter seperti diatas, televisi kita jauh dari peran sebagai agen pembentuk karakter bangsa. Sebaliknya, televisi kita telah berperan sebagai agen penghancur karakter bangsa. Bangsa besar ini kini tidak lagi memiliki cita-cita besar dan heroisme untuk membangun peradaban paripurna. Bangsa besar ini telah terjerembab dalam lembah budaya “menerabas”, budaya rabun dekat, ingin cepat sukses, kaya, terkenal, atau berkuasa dengan sedikit usaha, bahkan jika perlu dengan menabrak aturan moral dan hukum. Televisi kita telah menjadi kontributor besar dalam menumbuhkan dan melestarikan budaya instant ini.
Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa bangsa ini tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Lebih dari tiga dekade bangsa ini dicekoki Pancasila sebagai ideologi tunggal. Namun dalam prakteknya, Pancasila tidak pernah dijalankan. Yang ada adalah budaya hedonisme dan pragmatisme, pengejaran kemajuan materialisme dan kemewahan jangka pendek diatas kerusakan moral, sosial dan alam. Yang terlihat kemudian adalah kemunafikan massal oleh elit otoritarian-kapitalistik.
Dan kini, setelah era otoritarian jatuh, pembentukan kebudayaan justru diserahkan sepenuhnya ke pasar yang berada dibawah kendali pemilik modal penguasa media. Yang kemudian berlaku adalah logika pasar-kapitalistik. Produksi tayangan televisi sepenuhnya didasarkan pada motif maksimisasi laba. Tak heran bila kemudian rating dan iklan menjadi indikator tunggal layak tidaknya sebuah tayangan. Tak ada norma dan nilai yang bisa bermain disini. Rating yang berbiaya besar yang dibuat perusahaan asing, telah menjadi kebenaran tunggal.
Dengan logika rating-pasar, tayangan yang menguasai televisi kemudian adalah tayangan yang menonjolkan kemewahan, kekuasaan, dan ketenaran yang diraih dengan sedikit usaha dan logika. Yang terbentuk kemudian adalah karakter bangsa yang suka “menerabas”, serba instant, karakter “menanam jagung”, bukan karakter “menanam jati”. Segala sesuatu bisa diraih dengan cepat, tanpa perlu berpikir dan bekerja keras. Padahal karakter bangsa maju dan modern adalah karakter “menanam jati”. Jepang, Korea dan kini China, meraih kejayaan ekonomi sekarang ini tidaklah dalam waktu singkat, namun karena usaha dan kerja keras puluhan tahun. Akumulasi modal fisik dan manusia, pembangunan infrastruktur dan institusi, serta strategi industri dan alih teknologi, dijalankan secara komprehensif dan konsisten dalam jangka panjang.
Dalam skala mikro, karakter “menanam jati” juga sangat penting bagi tumbuhnya wirausahawan dan industriawan yang tangguh, inovatif dan kompetitif. Kemajuan ekonomi sejati hanya bisa diraih melalui learning process yang panjang, disertai kerja keras dan usaha sungguh-sungguh di setiap langkahnya. Wirausahawan dan industriawan seperti inilah yang akan menjelma menjadi gelombang creative destruction, yang merupakan salah satu bagian terpenting bagi dinamika dan kemajuan perekonomian modern.
Lebih jauh lagi, televisi juga telah membuat distorsi sumber daya yang signifikan. Ratusan ribu tenaga kerja telah beralih ke industri tanpa nilai tambah yang berarti, meninggalkan industri dan sektor-sektor ekonomi produktif. Tidak ada lagi kebanggaan menjadi murid terpandai di kelas, juara lomba teknologi tepat guna, atau mendapat beasiswa studi. Yang membanggakan, dan mendatangkan banyak uang dan ketenaran dalam waktu singkat, adalah ketika kita pandai bernyanyi, berakting atau melawak.

Televisi Sebagai Barang Publik
Karakter dasar televisi adalah karakter barang publik, yaitu orang tidak dapat dihalangi darinya dan tidak ada rivalitas dalam mengkonsumsi-nya. Dengan karakter seperti ini, maka televisi menyandarkan penerimaan sepenuhnya dari non-konsumen, dalam hal ini pengiklan. Kepentingan pengiklan adalah mendapat publisitas dan penerimaan konsumen sebesar-besarnya atas produk mereka. Tak heran bila kemudian rating menjadi pertimbangan utama dalam keputusan beriklan.
Walau rating adalah indikator yang relatif ampuh secara bisnis-komersial, namun rating tidak selalu selaras dengan tujuan normatif. Dari perspektif normatif, rating seringkali menyesatkan, terutama ketika tingkat pendidikan dan moralitas masyarakat rendah, selera publik mudah dimanipulasi dan rating dimonopoli oleh segelintir pemain.
Dari perspektif ini, maka rating seharusnya diproduksi oleh pemerintah, bukan swasta. Rating adalah barang publik, dimana sekali ia diproduksi, semua pihak akan mendapat manfaat-nya tanpa harus membayar. Karena itu, menjadi penting untuk menjamin bahwa rating adalah independen dan tidak akan disalahgunakan untuk memanipulasi selera pasar.
Setelah memastikan bahwa mekanisme pasar berjalan baik tanpa ada manipulasi, maka langkah berikut yang harus ditempuh adalah rekonsiliasi tujuan positif dan normatif. Tujuan maksimalisasi laba harus dipastikan tidak merusak tujuan normatif perekonomian. Rating tidak bisa berjalan sendiri sebagai indikator tunggal layak tidaknya sebuah tayangan. Tidak akan pernah tercapai agregasi preferensi individu ke dalam fungsi preferensi sosial. Harus ada value judgement disini. Disini pemerintah bisa membentuk panel ahli, katakan Dewan Televisi Nasional, yang terdiri dari kumpulan pakar, agamawan, budayawan dan seniman dengan kredibilitas tinggi untuk membuat kriteria dan menseleksi tayangan-tayangan bermutu. Sebagai langkah awal, televisi harus dibersihkan dari tayangan bodoh, mistik dan tidak bermoral.
Langkah krusial terakhir adalah memastikan penegakan hukum. Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya diperkuat dengan memberinya kewenangan memberi sanksi, tidak hanya sebatas memberi teguran. Dengan langkah-langkah diatas, harapan Presiden diatas akan bergerak mendekati kenyataan, tidak lagi di awang-awang.

Labels:


Selengkapnya...