Friday, December 31, 2010

Mendorong Obligasi dan Sukuk Berbasis Proyek ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Derasnya arus modal masuk ke emerging markets, yang dipicu kebijakan quantitative easing tahap kedua (QE2) oleh Amerika Serikat, telah menimbulkan masalah dan kekhawatiran. Di Indonesia, derasnya capital inflow telah memberi tekanan apresiasi Rupiah yang signifikan, sehingga mendorong BI melakukan intervensi untuk menjaga daya saing ekspor, terlebih China juga melakukan intervensi agresif untuk meminimalkan apresiasi Renminbi. Namun selisih kurs membuat intervensi valas ini menjadi mahal. Defisit otoritas moneter di tahun 2010 dan 2011, dipastikan akan menggerus modal BI.
Arus modal masuk, khususnya dana jangka pendek yang sangat spekulatif dan melakukan round tripping dalam rangka melakukan arbitrase dari spread imbal hasil, tidak terhindarkan di Indonesia yang menganut rezim devisa bebas. Namun size pasar modal dan pasar uang domestik yang kecil membuatnya mudah didikte investor besar asing. Indonesia juga minim kanal-kanal finansial jangka panjang. Resiko dari sudden reversal secara jelas membentang di depan mata. Ironisnya, Indonesia kini belum memiliki UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan.

Respon Awal
BI merespon arus modal masuk dengan kombinasi apresiasi rupiah dan intervensi sehingga cadangan valas meningkat dan diperkirakan akan menembus US$ 100 miliar di akhir tahun 2010, memberi modal berharga untuk menghadapi sudden reversal. Untuk mencegah inflasi dan kenaikan harga aset, BI melakukan kebijakan sterilisasi dengan mengintesifkan penjualan SBI dengan implikasi biaya operasi moneter yang meningkat. Untuk menurunkan beban biaya sterilisasi, BI menaikan giro wajib minimum (GWM) Primer dalam rupiah dari 5% menjadi 8% dari DPK rupiah efektif 1 November 2010. Kebijakan menaikkan GWM ini terlihat cukup efektif menyerap likuiditas perekonomian.
Di sisi lain, BI yang sejak awal tidak tertarik dengan capital control ataupun pajak atas capital inflow, berupaya menekan arus modal masuk dengan berbagai short-term measures. Pertama, kebijakan perpanjangan profil jatuh tempo SBI per 1 Juni 2010, dengan cara mengubah lelang SBI dari mingguan ke bulanan. Kedua, penerapan ketentuan minimum one month holding period SBI dan penerbitan SBI tenor 9 dan 12 bulan, serta meniadakan lelang SBI tenor 3 bulan. Berbagai kebijakan ini berupaya menurunkan likuiditas SBI bertenor pendek sehingga menurunkan daya tarik SBI untuk arbitrase return. Di saat yang sama, arus modal masuk dipaksa mengalir ke SBI bertenor lebih panjang. Kombinasi hal ini akan meminimalkan arus modal masuk jangka pendek yang bersifat spekulatif.
Sementara itu pemerintah berupaya menyerap dan menahan dana panas ini agar lebih lama bertahan dalam perekonomian untuk menggerakkan sektor riil, antara lain dengan mendorong BUMN untuk melakukan initial public offering (IPO) di bursa serta mengeluarkan obligasi. Namun agar optimal, hal ini membutuhkan perbaikan infrastruktur pasar dan penghilangan hambatan-hambatan masuk.
Berbagai negara telah melangkah lebih jauh dari Indonesia dalam menghadapi derasnya arus modal masuk ini. Korea Selatan melakukan currency control, termasuk pembatasan perdagangan derivatif mata uang, serta membatasi penggunaan kredit valas. Sementara itu Brazil dan Thailand mengenakan pajak atas dana asing yang ditempatkan pada surat berharga domestik.
Indonesia ke depan sebaiknya lebih mengembangkan surat utang pemerintah untuk operasi moneter, bukan surat utang bank sentral. Ke depan, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) perlu memiliki tenor dibawah 1 tahun sehingga dapat sepenuhnya menggantikan SBI. Dengan demikian, operasi moneter BI akan lebih bermanfaat karena dana penyerapan likuiditas dapat secara langsung digunakan pemerintah untuk membiayai defisit anggaran.

Mendorong Pembiayaan Proyek
Langkah terbaik menghadapi derasnya capital inflow adalah mengubah hot money menjadi IPO dan direct investment di sektor riil, sehingga mengeliminasi volatilitas-nya sekaligus mengubah masa maturity-nya. Disinilah kemudian wacana obligasi jangka panjang infrastruktur, seperti di India, menjadi menarik.
Obligasi pemerintah (Surat Berharga Negara/SBN) saat ini seluruhnya adalah general bond yang ditujukan untuk general financing APBN. SBN memang memiliki tenor jangka menengah (5 dan 10 tahun) hingga jangka panjang (15, 20 dan 30 tahun). Namun, dengan tujuan pembiayaan defisit APBN, penerbitan SBN dipastikan tidak akan mampu mengimbangi derasnya capital inflow.
Di sisi lain, Indonesia mengalami ketertinggalan dalam infrastruktur dan membutuhkan banyak modal untuk akselerasi pembangunan-nya. Maka, wacana penerbitan obligasi infrastruktur menjadi sangat relevan untuk menyerap hot money yang kini berlimpah. Terlebih dengan pengalaman skema PPP (public-private partnership) yang digulirkan secara serius sejak 2005 namun nampak kurang berhasil menarik investor untuk akselerasi pembangunan infrastruktur.
Desain yang paling realistis untuk menarik hot money ke obligasi infrastruktur adalah dengan mendesain-nya sebagai revenue bond atau revenue bond yang ditopang penerimaan pajak (hybrid bond). Dengan kata lain, dana obligasi infrastruktur akan diarahkan untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang menghasilkan penerimaan dan layak secara finansial (commercially viable) seperti infrastruktur transportasi perkotaan, telekomunikasi, energi, dan listrik. Dengan demikian, dana infrastruktur di APBN dapat difokuskan untuk pembiayaan infrastruktur yang tidak menghasilkan penerimaan namun layak secara ekonomi (economically viable) seperti infrastruktur irigasi dan pedesaan, perumahan rakyat serta air dan sanitasi.
Tantangan terbesar disini adalah perencanaan dan kesiapan proyek untuk beroperasi secara komersial. Pembangunan infrastruktur selama ini banyak terkendala pengadaan lahan sehingga menciptakan ketidakpastian yang tinggi. Disisi lain, bagi investor asing, obligasi infrastruktur ini bisa menjadi tidak menarik karena memberi penerimaan dalam mata uang lokal sehingga terdapat currency risk yang signifikan.

Sukuk Berbasis Proyek
Pilihan menarik lain yang secara langsung menghubungkan sektor finansial dan riil adalah SBN Syariah (SBSN/sukuk) berbasis proyek (project financing sukuk). Sukuk berbasis proyek telah memiliki landasan hukum yang kuat dalam UU No. 19/2008 tentang SBSN dimana SBSN dapat diterbitkan untuk membiayai pembangunan proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN. SBSN yang kini diterbitkan seluruhnya memiliki akad ijarah dengan tujuan general financing. Padahal dalam UU No. 19/2008 masih terdapat empat akad lain yang seluruhnya bertujuan project financing.
Penerbitan sukuk berbasis proyek, selain akan mendiversifikasi investor, memanfaatkan pool dana yang baru, dan menciptakan price tension, juga akan memberi pengenalan kepada investor luar negeri, khususnya investor Timur Tengah, yang kini secara serius mempertimbangkan pasar sukuk Asia pasca krisis Dubai seiring pecahnya bubble harga aset dan real estate di kawasan Teluk.
Desain paling realistis untuk menarik hot money ke dalam sukuk berbasis proyek adalah dengan mendesain sukuk musyarakah yang umumnya digunakan untuk pembiayaan proyek yang memiliki manfaat secara komersial (revenue generating project).
Struktur sukuk juga dapat didesain untuk mengakomodasi proyek build-operate-transfer (BOT), khususnya yang menghasilkan penerimaan valas sehingga akan memitigasi currency risk yang menjadi concern utama investor asing. Struktur hybrid dapat diterapkan disini seperti istishna’ untuk fase konstruksi, ijarah setelah proyek selesai, murabahah untuk penjualan produk, dan perjanjian transfer proyek ke pemerintah. Hal ini menarik bagi Indonesia yang memiliki sumber daya berlimpah yang menghasilkan hard currency seperti pertambangan dan perkebunan, sehingga dapat menurunkan ketergantungan pada perusahaan asing.
Kontrak-kontrak berbasis bagi hasil secara umum dapat digunakan untuk sekuritisasi hampir semua jenis aset yang menghasilkan arus dana yang halal dan predictable. Hal ini mencakup pembiayaan proyek baru, partisipasi pada aktivitas perusahaan yang telah berdiri, sektor industri, jasa hingga pertanian.

Labels: ,


Selengkapnya...

Wednesday, December 29, 2010

Selangkah Menuju Mimpi ...

Alhamdulillah, setelah melewati proses panjang, hari ini, Rabu, 29 Desember 2010, tepat pk. 15.30 WIB, SAF-FEUI secara mufakat menyetujui usulan pendirian Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam dan Keuangan Islam. Semoga langkah ini terus berlanjut pada tahap berikutnya di SAU-UI.

Labels:


Selengkapnya...

Ketulusan Itu (Bukan) Milik Kita

Eramuslim - Kebaikan hati seolah telah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk kita miliki dan temui saat ini. Memilikinya ibarat menyimpan bara dalam genggaman. Kebaikan hati akan membuat kita tidak 'competitive' dalam dunia yang keras ini. Hati yang lembut dan lebih 'manusiawi' hanya akan menghambat kita dalam meraih sukses. Sebaliknya, hati yang 'tegaan' dan lebih 'rasional' dianggap akan lebih melapangkan jalan keberhasilan.

Menemui kebaikan kini juga seolah semakin sulit. Kita semakin suka berprasangka atas kebaikan yang kita lihat. Tidak ada kebaikan yang tulus, semua pasti ada 'sesuatu' di baliknya. Tidak ada makan siang yang gratis. Bahkan kebaikan hati kini sering dituding sebagai penyebab keterpurukan dan nasib sial. Ketika seorang teman ngemplang tidak membayar hutang, orang-orang mempersalahkan saya. Saya dianggap 'terlalu baik' dan tidak berhati-hati sehingga mudah tertipu tampilan luar seseorang. Dan tidak ada seorangpun yang mempersalahkan teman yang ngemplang tersebut!

Berbagai kejahatan dari kelas teri hingga kelas kakap yang kita saksikan sehari-hari di media cetak dan televisi, semakin membekukan hati kita. Selalu waspada dan jangan pernah lengah. Berbaik hati hanya akan menurunkan kewaspadaan dan membuat kita tertipu dan celaka. Saya pun larut dalam arus besar itu.

Sampai suatu ketika di akhir November lalu saya menonton sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi swasta. Di acara tersebut seorang aktor akan berlakon sebagai orang yang membutuhkan pertolongan. Lalu ia akan meminta tolong pada semua orang yang ditemuinya secara acak. Orang yang memberi pertolongan akan mendapatkan hadiah. Semua kejadian di rekam oleh kamera tersembunyi sehingga diyakini bahwa orang yang menolong itu benar-benar tulus.

Pada edisi itu, ditampilkan seorang nenek tua yang kumal dan lusuh penampilannya, dan diskenariokan meminta minyak tanah ala kadarnya untuk memasak. Sang nenek pun berkeliling dari pintu ke pintu, lengkap sambil menenteng kompor dan jerigen minyak yang juga tak kalah kumalnya dengan penampilan si pemilik. Bertemu orang pertama, sang nenek ditolak secara halus. Berikutnya, di sebuah warung kelontong yang cukup besar dan ramai, sang nenek kembali ditolak. Si pemilik warung terlihat waspada dan 'menginterogasi' si nenek, curiga si nenek adalah penipu. Berikutnya di sebuah rumah sederhana, sang nenek kembali ditolak, bahkan dengan kasar.

Sampai akhirnya sang nenek bertemu dengan seorang lelaki setengah baya pengecer minyak tanah yang sedang mengisi stok minyak di sebuah warung. Seorang lelaki yang gigih. Kerasnya kehidupan tampak jelas tergurat di wajahnya yang hitam berpeluh. Namun wajah itu terlihat ramah dengan senyum. Seperti sebelumnya, tanpa basa basi, sang nenek menghampiri dan meminta minyak tanah kepada si penjual itu. Si penjual minyak tanah tampak sabar dan tekun menyimak penjelasan si nenek. Selesai sang nenek bercerita, tanpa berkata apa-apa, si penjual minyak langsung mengambil jerigen si nenek dan mengisinya. Tetap dengan wajah ramahnya. Tak ada sedikitpun rona kecurigaan, apalagi pertanyaan-pertanyaan 'interogasi'. Bahkan ketika sang nenek 'ngelunjak' meminta kompor bututnya diperbaiki pula, si penjual minyak tetap melayaninya dengan ramah. Tak ada sedikitpun perubahan rona di wajahnya. Benar-benar tulus, tanpa prasangka!

Jadilah si penjual minyak 'pemenang' di acara tersebut. Ketika berikutnya sang pemenang diwawancara, semakin terkuaklah 'mutiara' itu. Pengecer minyak tanah itu ternyata cacat. Slamet, lelaki setengah baya itu, terlahir dengan kedua kaki yang cacat dan sebelah mata buta!. Setiap hari ia mencari nafkah berjualan minyak berkeliling perumahan, keluar-masuk kampung, menyusuri jalan raya, dengan sebuah sepeda tua yang dikayuh dengan sebelah tangannya! Dan mengalirlah kemudian kisah tentang sebuah ketegaran jiwa, ketulusan menjalani garis hidup, kegagahan menghadapi kerasnya ombak zaman, dari seorang Slamet. Dan wawancara diakhiri dengan sebuah kalimat yang begitu menggetarkan dari Slamet, "Saya percaya Tuhan itu Maha Adil".

Seketika itu, runtuhlah semua kesombongan diri, hancur berkeping diterjang gelombang kesederhanaan. Musnah semua arogansi intelektualitas, tenggelam dalam kebeningan perasaan. Lepas segala ambisi dan nafsu duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang hamba, hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya. Dengan semua ujian hidup yang begitu berat, dia tetap tersenyum ramah kepada siapapun, menolong semua tanpa membeda-bedakan walau hanya dalam batas kemampuannya, tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya yang hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas berkata: Tuhan Maha Adil!.

Saya tergugu. Betapa buruknya kita di hadapan seorang Slamet. Kita yang intelek dan terpandang, dipenuhi dengan berbagai nikmat, namun masih merasa tidak cukup. Seringkali protes ketika hanya mendapat sebuah ujian. Menjadi bebal dan keras hati oleh berlimpahnya materi dan kedudukan.

Hati yang tulus dan lembut masih ada bahkan banyak, bertebaran memenuhi persada. Memeliharanya memang sulit namun bukan sesuatu yang mustahil. Dunia yang keras dan culas tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk menumpulkan dan membekukannya. Karena kebaikan dan kelembutan hati bukanlah suatu hal bodoh dan sia-sia dalam dunia yang bergetah ini.

Terima kasih Mas Slamet!

Yusuf Wibisono
yusuf_w@yahoo.com

* Munjul, 12 Desember 2004

Labels:


Selengkapnya...

Friday, December 03, 2010

Menimbang Relasi Zakat dan Pajak ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Dalam proses amandemen UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kini draft RUU-nya sedang dalam pembahasan akhir di DPR dan ditargetkan selesai pada tahun 2010 ini, salah satu isu krusial yang mengemuka adalah wacana zakat sebagai pengurang pajak (tax credit). Wacana ini mengundang perdebatan hangat, manfaat dan biaya dari wacana ini banyak diulas, namun belum terlihat pilihan kebijakan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada.

Pengalaman Awal
Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan UU No. 38/1999 sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Namun terlihat jelas bahwa masuknya insentif pajak dalam UU Zakat ini tidak melibatkan Otoritas Pajak. Ketika Departemen Keuangan setahun kemudian mengajukan draft revisi RUU PPh, sama sekali tidak ada ketentuan yang mendukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan Zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR.
UU No. 17/2000 mengukuhkan UU No. 38/1999, yaitu zakat yang diterima BAZ (Badan Amil Zakat)/LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan mustahik, tidak termasuk sebagai objek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan WP orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ, menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Namun zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasikan 3 tahun kemudian setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003. Dalam prakteknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzakki gagal mendapatkan Bukti Setor Zakat dari BAZNAS sebagaimana diminta aparat pajak.
Eksperimen menarik terjadi di Aceh. Melalui UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat menjadi salah satu sumber PAD pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan dikelola secara terpisah oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota, serta zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak. Dengan kata lain, zakat telah menjadi tax credit di Aceh. Namun hingga kini ketentuan ini nampak belum diakomodasi Dirjen Pajak sehingga tidak dapat diimplementasikan.

Pengalaman Terkini
Lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak kembali terulang ketika Departemen Keuangan dan DPR mengukuhkan ketentuan lama terkait zakat sebagai tax deduction pada UU No. 17/2000 ke dalam UU No. 36/2008 tentang PPh. Departemen Agama yang sejak tahun 2008 telah memiliki wacana zakat sebagai tax credit dalam draft amandemen UU No. 38/1999, terlihat sama sekali tidak dilibatkan. Yang terjadi adalah Departemen Agama kembali “potong jalur” dengan memasukkan ketentuan zakat sebagai tax credit dalam RUU Zakat yang menjadi RUU Prioritas 2009 namun gagal diselesaikan oleh DPR periode 2004-2009 dan kini kembali dibahas DPR periode 2009-2014.
Seolah menafikan wacana zakat sebagai tax credit yang kini sedang menghangat perdebatannya dalam pembahasan RUU Zakat di DPR, pemerintah mengeluarkan PP No. 60/2010 sebagai amanat UU No. 36/2008, yang menegaskan bahwa zakat hanya sebagai tax deduction dan fasilitas ini hanya berlaku bagi zakat yang disalurkan melalui BAZ/LAZ resmi yang disahkan pemerintah.
Semua pengalaman ini secara jelas memperlihatkan lemahnya koordinasi otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak juga tidak berjalan dengan baik. Relasi pajak-zakat dibangun di rezim UU non perpajakan dan tanpa melibatkan otoritas pajak. Hal ini diganjar dengan lemahnya penegakan relasi zakat dan pajak di lapangan. Kegagalan eksperimen zakat sebagai tax credit di Aceh dan keluarnya PP No. 60 Tahun 2010 di tengah proses pembahasan RUU Zakat, secara jelas memperlihatkan resistensi otoritas pajak terhadap wacana zakat sebagai tax credit. Untuk mencegah terulangnya upaya “fait accompli”, pemerintah juga kini menyertakan otoritas pajak sebagai mitra DPR dalam pembahasan RUU Zakat.
Kelemahan kerangka regulasi dan institusional zakat nasional, semakin memperburuk relasi zakat-pajak ini. Hingga kini terdapat ketidakjelasan otoritas zakat. Dunia zakat nasional juga tidak memiliki tata kelola yang baik. Posisi tawar dunia zakat-pun menjadi lemah di depan otoritas pajak. Dari pengamatan cepat, pelaksanaan zakat sebagai tax deduction sendiri terlihat banyak kelemahan, seperti zakat sebagai tax deduction hanya berlaku pada zakat atas penghasilan, BAZ/LAZ yang diakui oleh aparat pajak di tingkat teknis-operasional umumnya hanya BAZNAS, serta dugaan bahwa WP cenderung tidak meng-exercise fasilitas ini karena tidak seimbang antara benefit dan cost.

Arah Ke Depan
Zakat sebagai tax credit diperkirakan akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki untuk menunaikan kewajiban-nya. Fasilitas ini juga dianggap akan memberi dampak positif terhadap kepatuhan membayar pajak. Namun proposal ini tidak dipersiapkan dengan baik. Dalam semua draft RUU Zakat yang ada, tidak ada satupun pasal yang berbicara tentang otoritas pajak terkait zakat menjadi pengurang pajak. Padahal wacana zakat sebagai tax credit mensyaratkan adanya koordinasi yang kuat antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga terbawah.
Zakat sebagai tax credit juga diperkirakan akan berdampak signifikan pada penerimaan perpajakan. Diterimanya wacana zakat sebagai tax credit, dan di saat yang sama juga dilakukan equal treatment terhadap sumbangan keagamaan wajib lain-nya, akan menurunkan penerimaan perpajakan dalam negeri, yaitu penerimaan PPh Nonmigas, sebesar penerimaan zakat nasional dan penerimaan sumbangan keagamaan wajib nasional lainnya.
Selain itu, implementasi zakat sebagai tax credit akan menimbulkan restitusi pajak yang proses administrasinya rumit dan potensial untuk disalahgunakan. Dengan kelemahan tata kelola dunia zakat nasional saat ini, zakat sebagai tax credit akan menjadi eksperimen yang terlalu beresiko bagi dunia zakat nasional yang kini sedang berkembang pesat.
Ke depan, wacana yang harus lebih dikedepankan adalah menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak-zakat nasional dengan tujuan jangka pendek untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction. Di saat yang sama, dunia zakat nasional sebaiknya berkonsentrasi pada perbaikan tata kelola yang baik (good governance) di internal dunia zakat nasional dengan membentuk otoritas zakat yang kuat dan kredibel. Upaya penting lain disini adalah konsolidasi BAZ/LAZ yang saat ini jumlahnya terlalu banyak, dalam rangka mendorong transparansi dan kredibilitas dunia zakat nasional.
Wacana yang juga perlu dikedepankan adalah bahwa insentif untuk meningkatkan kinerja zakat nasional tidak harus selalu berupa insentif kepada muzakki, terlebih ketika insentif berupa zakat sebagai tax credit memiliki potensi negatif terhadap stabilitas keuangan negara dan distribusi pendapatan.
Wacana alternatif yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah integrasi zakat dalam pembangunan dengan mendorong kemitraan strategis pemerintah dan BAZ/LAZ untuk akselerasi pengentasan kemiskinan. UU Zakat harus mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan.
Kemitraan pemerintah-BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant), dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi BAZ/LAZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.

Koran Tempo, 3 Desember 2010.

Labels:


Selengkapnya...