Friday, January 16, 2009

EKONOMI BOIKOT ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Setiap kali duka Palestina terbuncah, setiap kali itu pula dunia mengutuk Israel. Enam dekade berlalu, namun kebijakan dan sikap Israel tidak berubah sedikit-pun. Agresi brutal Israel terus berulang dan penjajahan atas Palestina terus berjalan. Dunia tidak berdaya atas kejahatan kemanusiaan yang begitu jelas dipertontonkan Israel. Dukungan penuh Amerika Serikat dan lemahnya dunia Islam, membuat Palestina terus tercabik. Seolah tiada asa tersisa untuk Palestina.
Di tengah ketidakberdayaan ini, berbagai respon masyarakat dunia terhadap kebrutalan Israel umumnya temporer, pragmatis-jangka pendek, retorika belaka, dan seringkali tidak realistis. Walau jelas bermanfaat dan penting, namun respon-respon seperti ini cenderung tidak efektif dan tidak mampu merubah situasi secara signifikan.
Di antara sedikit pilihan-pilihan respon yang signifikan dan memiliki prospek efektifitas yang cukup tinggi, adalah boikot ekonomi. Jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan, boikot memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen aspirasi dan perlawanan yang signifikan.

Boikot Sebagai Etika Konsumsi
Boikot terhadap Israel banyak mendapat kritik. Beberapa pihak memandang boikot terhadap Israel mirip dengan boikot Nazi terhadap Yahudi pada 1930-an dan menganggap hal ini sebagai bentuk anti-semitism (Washington Post, 24 April 2007). Boikot bahkan dipandang “flimsy” dan tidak efektif karena tidak didukung oleh pemimpin Palestina sendiri (The Economist, 13 September 2007). Namun, boikot terhadap Israel juga tidak sedikit mendapat dukungan, seperti dukungan Uskup Desmond Tutu yang menyerukan komunitas Internasional untuk memperlakukan Israel sebagaimana mereka memperlakukan rezim apartheid Afrika Selatan (New Internationalist Magazine, January/February 2003).
Secara teoritis, boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan sistem pasar semestinya merefleksikan moralitas dari masyarakatnya (McMurtry, 1998). Dalam sistem yang lebih komprehensif, keputusan membeli dan konsumsi tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, namun juga kriteria moral dalam seluruh aktivitas produksi.
Kriteria moral ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service economy dimana seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai itu konsumen harus turut bertanggungjawab. Dalam perspektif kapitalisme kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism).
Membeli adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka. Dalam perspektif ini, konsumsi harus dilakukan secara positif, seperti dengan memberi preferensi pada produk halal, organik dan daur ulang.
Boikot kini telah menjadi instrument penting untuk menyuarakan aspirasi konsumen di pasar global dan untuk meningkatkan sensitifitas perusahaan terhadap kepentingan ekonomi, politik dan sosial konsumen. Tidak kurang dari 800 produk, belum termasuk negara-negara, yang kini menjadi target boikot di seluruh dunia (Ferguson, 1997).
Salah satu kasus terbaik boikot adalah kasus boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi terhadap afrika selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan (Lundahl, 1984). Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan, dan berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, apartheid berakhir. Seluruh sanksi ekonomi dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994 (Teoh, Welch and Wazzan, 1999).
Dalam perspektif ini, boikot terhadap Israel mendapatkan pembenaran. Boikot seperti ini adalah moral boycott, yaitu menolak produk yang kita percaya berasosiasi dengan perilaku tidak beretika (unethical behaviour). Boikot oleh konsumen ini menjadi semakin penting ketika pasar dan pemerintah tidak merepresentasikan collective moral choice, dengan mengabaikan moralitas dan keinginan publik. Di banyak negara, pemerintah lebih banyak menunjukkan diri sebagai collective system of hypocrisy.
Boikot juga merupakan bentuk perlawanan tanpa kekerasan (nonviolence) yang efektif. Contoh klasik disini adalah perlawanan Mahatma Gandhi terhadap Inggris di India dengan gerakan swadesi-nya. Berbeda dengan embargo yang merupakan bentuk hukuman politis yang berlaku tanpa pandang bulu, seperti yang juga dilakukan Israel di Gaza, boikot tidak akan membunuh anak-anak negeri atau membuat orang-orang menjadi kelaparan. Tujuan boikot adalah menurunkan kinerja ekonomi Israel dan dukungan ekonomi dunia terhadap Israel, dengan tujuan akhir untuk menghapus kebijakan dan perilaku kriminal Israel.
Maka hal krusial disini adalah bagaimana menerjemahkan boikot menjadi sebuah perubahan kebijakan. Mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot. Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan.

Mengelola Boikot
Boikot terhadap Israel telah lama dilakukan, bahkan sejak sebelum Israel berdiri. Gerakan boikot terhadap Israel secara resmi dideklarasikan pada 1945 oleh 7 negara Liga Arab, tak lama setelah berdirinya Liga Arab pada 1944. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negara-nya, diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948. Pada 1950, Liga Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk mengkoordinasi gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954, Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott (Turck, 1977).
Walau tidak mampu melumpuhkan kekuatan ekonomi Israel, dampak boikot adalah signifikan. Israel mengalami tekanan ekonomi cukup tinggi dan banyak kehilangan peluang investasi dan perdagangan. Salah satu dampak terbesar yang diderita Israel akibat blokade negara-negara Arab adalah tingginya inflasi dan turunnya daya saing di pasar internasional akibat mahalnya biaya transportasi dan bahan baku, termasuk minyak (Losman, 1972). Bukti lain dari signifikansi boikot ini adalah reaksi sekutu utama Israel, Amerika Serikat, yang berusaha menolong Israel dengan mengeluarkan “UU anti-boikot” melalui amandemen Tax Reform Act pada 1976 dan Export Administration Act pada 1977. Kedua UU ini melarang setiap individu dan perusahaan Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam boikot dengan ancaman hukuman denda dan penjara.
Namun, seiring waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh negara Arab tidak lagi menerapkan secondary dan tertiary boycott, dengan berbagai alasan, seperti
Kegagalan boikot Liga Arab disebabkan banyak faktor. Pertama, besarnya jumlah produk yang diboikot namun tidak diikuti dengan mekanisme blacklist dan pengelolaan boikot yang memadai. CBO cenderung tidak mampu mengelola boikot secara efektif. Besarnya jumlah produk yang di-blacklist juga menimbulkan resistensi anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda dan memunculkan insentif untuk berbohong dan tidak mematuhi boikot. Kedua, inkonsistensi boikot. Boikot seringkali rentan ketika berhadapan dengan kepentingan rezim berkuasa dan kroni-kroni-nya. Sebagai misal, produk militer tidak diboikot meskipun diproduksi oleh perusahaan yang masuk dalam blacklist. Jaringan hotel dan kapal pariwisata juga dikecualikan dari boikot. Ketiga, kelemahan pengawasan. Boikot menjadi tidak efektif ketika banyak produk blacklist yang di re-ekspor ke dunia Arab. Siprus disinyalir sebagai salah satu titik transshipment terbesar. Keempat, boikot kental bernuansa kewilayahan, yaitu arab, tidak bersifat universal. Padahal dukungan terhadap boikot ini bersifat lintas wilayah, agama dan ras. Kekuatan boikot akan berlipat ganda ketika boikot terhadap Israel dilakukan secara global.
Apakah kini boikot mungkin untuk dilakukan secara global? Dari perspektif social dilemma theory dan reference group theory, keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi konsumen akan probabilitas keberhasilan boikot, kerentanan konsumen terhadap pengaruh normatif sosial dan biaya yang mereka tanggung akibat boikot (Sen, Gurhan-Canli and Morwitz, 2001). Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi pro-boikot. Untuk hal ini maka menjadi penting bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk secara masif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan rasional. Ketersediaan internet, memudahkan komunikasi masif dengan biaya murah. Pesan-pesan boikot harus lebih rasional dan universal, tidak semata dilandasi emosi dan semangat keagamaan.
Sedangkan biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka menjadi penting untuk berfokus pada beberapa produk “prioritas” yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Di saat yang sama, harus ada upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot.
Di saat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk membangun ekspektasi bahwa boikot akan dilakukan oleh publik secara luas sehingga akan menimbulkan dampak besar. Dalam jangka pendek, ketika ketergantungan terhadap produk-produk global begitu kuat, hal ini terlihat begitu sulit. Yang dibutuhkan disini adalah langkah-langkah perintis yang konsisten. Langkah-langkah kecil ini akan membesar ketika pihak-pihak terkait akan berekspektasi gerakan boikot diikuti banyak pihak. Jepang, yang sangat tergantung pada minyak, mematuhi boikot Liga Arab karena melihat boikot diikuti semua negara Arab secara konsisten (Reingold and Lansing, 1994). Sayangnya, kita masih sedikit melihat mereka yang memilih prinsip “lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan”.

Labels: ,


Selengkapnya...

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza) ...

(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Labels:


Selengkapnya...

Thursday, January 15, 2009

Menimbang Sentralisasi Pengelolaan Zakat Oleh Negara ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Dekade terakhir menjadi saksi kebangkitan dunia zakat Indonesia. Era baru ini ditandai oleh pengelolaan kolektif zakat secara profesional dan transparan oleh masyarakat sipil (civil society) yang dipelopori antara lain oleh Bamuis BNI (berdiri 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), dan Dompet Dhuafa Republika (1993). Di era baru inilah kita melihat penghimpunan dana zakat meningkat pesat dengan diikuti oleh pendayagunaan yang semakin efektif dan produktif. Zakat kemudian bertransformasi dari ranah amal-sosial-individual ke ranah ekonomi-pembangunan-keummatan.
Kehadiran UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat semakin meneguhkan peran masyarakat sipil ini dengan diakomodasi-nya Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya merupakan prakarsa masyarakat, dan diposisikan sejajar dengan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah. Dari UU ini, lahir puluhan LAZ tingkat nasional serta puluhan BAZ tingkat propinsi dan ratusan BAZ tingkat kabupaten/kota.
Di tengah gempita pengelolaan zakat oleh masyarakat sipil inilah kemudian, muncul wacana sentralisasi pengelolaan zakat menjadi sepenuhnya dilakukan oleh negara. Berdasarkan draft amandemen UU No. 38/ 1999 oleh pemerintah, LAZ di instansi pemerintah dan swasta akan dirubah statusnya menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari BAZ dalam tempo selambat-lambatnya 2 bulan sejak UU berlaku. Sedangkan LAZ yang murni prakarsa masyarakat akan diintegrasikan ke dalam BAZ sebagai wadah tunggal dalam tempo 6 bulan. Apakah pengelolaan zakat sepenuhnya oleh negara dan dengan jadwal sangat ketat ini merupakan jawaban tunggal yang tepat atas belum optimalnya kinerja zakat selama ini?

Pengelolaan Zakat di Era Kontemporer
Secara historis-yuridis, tak ada perdebatan bahwa zakat seharusnya dikelola oleh negara (QS 9: 103). Jumhur ulama sepakat bahwa negara harus menunjuk pengumpul zakat. Bukti sejarah juga secara jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para penerusnya mengirim para pengumpul zakat kepada para wajib zakat. Namun dalam konteks kontemporer saat ini dimana mayoritas negara muslim adalah sekuler, maka pengelolaan zakat menjadi suatu eksperimen baru yang sangat beragam.
Secara umum, terdapat 3 bentuk pengelolaan zakat kontemporer. Pertama, pengumpulan zakat secara wajib oleh negara seperti di Pakistan, Sudan, Arab Saudi dan Malaysia. Kedua, pengumpulan zakat secara sukarela oleh negara seperti di Kuwait dan Bangladesh. Ketiga, pengumpulan zakat secara sukarela di tingkatan individual seperti di negara-negara dimana muslim adalah minoritas.
Pengalaman struktur organisasi zakat jauh lebih kompleks lagi. Di Pakistan, zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh negara. Di Malaysia, zakat dikelola di tingkat negara bagian dengan institutional arrangements yang berbeda-beda. Di Kualalumpur dan Negeri Sembilan, pengumpulan zakat dilakukan oleh perusahaan dan distribusi-nya oleh pemerintah. Bahkan di Selangor, perusahaan mengelola seluruh operasional zakat. Sedangkan di Afrika Selatan, pengelolaan zakat sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat sipil melalui lembaga nirlaba.
Posisi Indonesia tergolong unik. Sebelum keluarnya UU No. 38/1999, zakat sepenuhnya bersifat sukarela di tingkatan individual namun kemudian bangkit di tahun 1990-an sebagai gerakan sosial-ekonomi di tangan masyarakat sipil melalui berbagai lembaga amil profesional. Pasca keluarnya UU No. 38/1999, pengelolaan zakat di Indonesia secara resmi terkait dengan otoritas negara, namun masih di tingkat sukarela dan tetap mengikutsertakan peran kelompok masyarakat secara luas. Dalam konteks ini, UU No. 38/1999 bijak dan tidak ahistoris karena praktek baik yang telah berjalan tidak diganggu dan negara memilih posisi memperkuat sistem. Namun harus diakui UU No. 38/1999 masih jauh dari sempurna seperti belum berjalannya good governance yang diindikasikan dari ketidakjelasan pemisahan fungsi regulator, pengawas dan operator.
Dari perspektif ini, maka ide sentralisasi kelembagaan pengelola zakat oleh negara seperti yang diusung pemerintah dalam draft amandemen UU No. 38/1999, perlu mendapat banyak pertimbangan. Pertama, sentralisasi kelembagaan zakat oleh pemerintah tidak menjamin peningkatan kinerja, bahkan bisa menjadi bumerang. Di banyak negara muslim, penghimpunan zakat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah adalah kecil dibandingkan potensinya (Ahmed, 2004). Bahkan, meskipun sentralisasi ini diikuti dengan penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai, tetap tidak bisa menjamin kenaikan kinerja penerimaan zakat secara memuaskan. Di Pakistan, Sudan dan Arab Saudi yang menerapkan compulsory system, penghimpunan dana zakat relatif masih jauh lebih kecil dibandingkan potensinya. Namun kinerja compulsory system memang jauh lebih baik dibandingkan dengan sistem sukarela.
Kedua, wacana sentralisasi untuk peningkatan kinerja zakat adalah tidak valid, ahistoris dan mengingkari peran civil society dalam masyarakat yang demokratis. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Operasional perusahaan dan organisasi nirlaba yang transparan lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. Trust menjadi kata kunci disini. Di tengah carut marutnya reputasi birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat, maka kita sulit berharap, jika tidak bisa dikatakan mustahil, bahwa kinerja zakat akan meningkat pasca sentralisasi. Wacana ini juga ahistoris mengingat rekam jejak panjang dari organisasi nirlaba sejak tiga dekade lalu dan menafikan partisipasi masyarakat yang merupakan komponen pembangunan terpenting.
Ketiga, peningkatan kinerja zakat saat ini lebih banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menurunkan kebocoran penyaluran zakat secara individual, bukan sentralisasi kelembagaan. Berbagai pihak menunjukkan potensi zakat yang sangat besar mulai dari yang paling konservatif seperti Nasution (Rp 8,7 trilyun per tahun) dan PIRAC (Rp 9 trilyun per tahun) hingga yang paling optimis seperti PBB UIN Syarif Hidayatullah (Rp 19 trilyun per tahun) dan Sudewo (Rp 32,4 trilyun per tahun). Namun realisasi penerimaan zakat hingga kini masih berkisar di angka Rp 0,5 – 1 trilyun per tahun. Salah satu faktor dominan dari besarnya kesenjangan antara potensi dan realisasi penghimpunan zakat adalah penyaluran zakat secara individual. Yang seharusnya diperkuat pemerintah disini adalah upaya meningkatkan kapasitas dan kredibilitas BAZ dan LAZ, serta sosialisasi yang masif bahwa zakat harus ditunaikan ke lembaga amil zakat.

Arah Pengelolaan Zakat Ke Depan
Dalam negara demokratis di era partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan zakat tidak bisa disentralisasi secara tergesa-gesa. Idealisme tanpa visi hanya akan membawa pada kondisi yang tidak lebih baik, bahkan semakin buruk. Dalam jangka panjang, pengelolaan zakat oleh negara dengan sistem wajib adalah kondisi ideal. Dengan sistem wajib, maka zakat akan bersifat memaksa dengan sanksi bagi pelanggaran sehingga dipastikan penerimaan zakat akan meningkat tajam. Selain itu dengan dikelola oleh negara, pendayagunaan zakat akan jauh lebih efektif karena pemerintah telah memiliki SDM dan infrastruktur yang tersebar di seluruh negeri. Lebih jauh lagi, pendayagunaan zakat dapat disinergikan dengan program-program pembangunan lainnya.
Namun hal ini memerlukan banyak kualifikasi dan membutuhkan waktu panjang. Pertama, perubahan sistem administrasi dan pengelolaan keuangan negara. Zakat dikelola secara terpisah dari keuangan negara karena memiliki alokasi distribusi khusus (QS 9: 60). UU keuangan negara saat ini tidak mengizinkan hal ini ketika zakat menjadi penerimaan negara. Kedua, perubahan sistem perpajakan nasional. Agar tidak terjadi double taxation bagi muzakki, dibutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi yang kuat antara zakat dan pajak.
Ketiga, penyiapan kerangka kelembagaan dan reformasi SDM. Kerangka kelembagaan dan SDM yang amanah dan profesional adalah dua kata kunci penting dalam pengelolaan zakat oleh negara sepenuhnya. Keempat, masa transisi untuk memperhalus perpindahan dari era pengelolaan oleh masyarakat ke era pengelolaan oleh negara. Perubahan gradual lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan resistensi ketika dalam masa transisi diikuti dengan perbaikan yang nyata di dalam pemerintah menuju pengelolaan penuh oleh negara.
Kini, dalan jangka pendek-menengah, fokus pengelolaan zakat semestinya diletakkan pada empat aspek. Pertama, pemisahan yang jelas antara fungsi regulator, pengawas dan operator. Hal ini penting untuk meningkatkan tata kelola yang baik, peningkatan kapasitas operator dan peningkatan kepercayaan publik. Disini kita membutuhkan, katakan, Badan Zakat Indonesia (BZI) yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas dengan BAZ dan LAZ sebagai operator. Dengan kehadiran BZI maka kepercayaan muzakki akan meningkat, hak mustahiq akan terjaga dan dampak zakat akan jauh lebih terasa.
Kedua, mendorong ketaatan zakat dan menurunkan penghindaran zakat (zakah evasion) masyarakat. Terdapat dua isu besar disini yaitu merubah zakat dari pengurang penghasilan kena pajak (PPKP) menjadi pengurang pajak (tax deductible) dan sosialisasi zakat secara masif untuk merubah perilaku zakat muzakki. Untuk isu pertama, dibutuhkan koordinasi kebijakan yang kuat dengan Depkeu dan akomodasi dalam UU PPh. Untuk isu kedua, BZI dapat dibebankan tugas ini dengan dukungan anggaran pemerintah.
Ketiga, mendorong transformasi BAZ-LAZ ke arah manajemen organisasi korporasi untuk penghimpunan zakat dan mendorong sinergi pendayagunaan zakat BAZ-LAZ dengan program pemerintah. Best practice di Malaysia menunjukkan bahwa penghimpunan zakat dapat dilakukan secara sangat efisien oleh korporasi dengan penerimaan korporasi adalah persentase dari dana zakat yang dihimpun. Cara ini membuat korporasi menggunakan seluruh kemampuannya untuk mendapatkan kepercayaan dari muzakki sehingga penerimaan dana zakat adalah optimal. Di saat yang sama, sinergi pendayagunaan zakat dengan program pemerintah diyakini akan membuat zakat memiliki daya dorong yang lebih kuat dalam peningkatan kesejahteraan ummat. Dalam jangka pendek, program-program BAZ-LAZ seharusnya bisa mendapat bantuan pemerintah dengan BAZ-LAZ menyediakan dana pendamping. Dalam jangka menengah, zakat harus masuk ke dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan SNPK (Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan).
Keempat, sebagai implikasi dari faktor ketiga diatas, maka kapasitas kelembagaan BAZ-LAZ akan meningkat pesat, inovasi dan kreativitas menjadi hal lumrah dan persaingan akan muncul. Disinilah kemudian fungsi pengawasan oleh BZI menjadi krusial. Selain membuat regulasi penghimpunan, pendayagunaan dan pengadministrasian zakat, tugas terpenting BZI adalah melakukan pengawasan terhadap operator terkait tiga aspek yaitu pengawasan kepatuhan syariah, pengawasan transparansi finansial, dan pengawasan efisiensi ekonomi. Disini dibutuhkan supporting system yang kuat antara lain penguatan fungsi Dewan Pengawas Syariah di BAZ-LAZ, standardisasi sistem akuntansi zakat, sistem pelaporan keuangan dan sistem monitoring efisiensi operasional BAZ-LAZ.

Majalah SHARING, Desember 2008.

Labels:


Selengkapnya...

Suku Bunga dan Ilusi Stabilitas Makroekonomi ....

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Sebagaimana telah diprediksi banyak pihak, otoritas moneter kembali menaikkan suku bunga acuan BI rate bulan Agustus 2008 ini menjadi 9%. Hal ini merupakan kenaikan ke-4 secara berturut-turut dalam 4 bulan terakhir, setelah bertahan 5 bulan di posisi terendah pada angka 8% sejak Desember 2007. Dan sebagaimana telah menjadi klasik, kenaikan BI rate ini ditujukan untuk memantapkan stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia, khususnya untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi jangka menengah.
Realisasi inflasi tahunan hingga Juli 2008 tercatat 11,9 persen, naik dari bulan sebelumnya yang 11,03 persen. Akibat kenaikan harga BBM pada Mei 2008, inflasi Januari-Juli 2008 sendiri mencapai 8,85 persen, jauh lebih tinggi dari periode sama tahun sebelumnya yang hanya 2,72 persen dan telah jauh melampaui target inflasi 2008 yang dipatok 4-6%. Tingginya tekanan inflasi bersumber dari gejolak harga minyak dan pangan dunia serta tekanan permintaan dalam negeri. Kenaikan BI rate akan menyerap ekses likuiditas melalui optimalisasi operasi pasar terbuka sehingga akan menjaga ekspektasi inflasi.
Kenaikan BI rate ini segera ditanggapi sinis oleh para pelaku sektor riil. Di tengah keterpurukan sektor riil dan lemahnya daya beli masyarakat, kenaikan BI rate menjadi pukulan telak yang semakin menenggelamkan kinerja sektor riil. Trade-off sektor riil dan moneter ini telah menjadi klasik dalam setiap kebijakan moneter berbasis bunga. Kenaikan suku bunga di satu sisi diyakini akan mampu menjaga inflasi, namun disisi lain sektor riil menjadi lesu, produksi menurun dan pengangguran meningkat.

Paradoks Manajemen Moneter Berbasis Bunga
Kebijakan moneter berbasis bunga selalu menghasilkan konflik dengan sektor riil akibat dampak inflatoir-nya melalui ekspansi jumlah uang beredar. Ketika otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dan secara simultan mengoptimalkan operasi pasar terbuka, maka ekses likuiditas diserap, keinginan meminjam menurun, sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat jumlah uang beredar mengalami kontraksi sehingga menurunkan tekanan terhadap kenaikan harga.
Namun rasionalitas ini tidak sahih secara empiris. Pertama, tingkat aktual suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang secara signifikan. Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bunga yang lebih tinggi dari kewajiban bunga dana pihak ketiga yang mereka himpun. Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial, atau meningkatkan size of the spread. Maka, ekspansi uang beredar dari sektor perbankan bisa terus berlanjut meskipun ketika suku bunga tinggi.
Kedua, perilaku konsumen tidak selalu sensitif terhadap suku bunga. Ketika konsumen benar-benar membutuhkan suatu barang, mereka tetap akan meminjam untuk membeli barang tersebut meskipun dengan suku bunga yang lebih tinggi. Dalam masyarakat yang konsumtif dan hedonis, suku bunga tinggi juga tidak berperan banyak dalam menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, sebagai kombinasi dari faktor pertama dan kedua, kenaikan suku bunga hanya akan mendorong neraca debit dan kredit untuk meningkat lebih cepat. Dalam jangka panjang, baik jumlah uang beredar maupun tingkat utang dalam perekonomian akan meningkat.
Mengendalikan inflasi dengan suku bunga tinggi hanyalah obat penenang jangka pendek, namun tidak menyelesaikan akar masalah. Ketika bank sentral melakukan operasi pasar terbuka untuk menurunkan uang beredar dalam peredaran, bank sentral melakukannya dengan menjual surat berharga ke publik tanpa membelanjakan kembali dana yang ditarik tersebut. Dengan demikian, hal ini akan membuat uang beredar mengalami kontraksi. Namun hal ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek, karena bank sentral harus membayar bunga ketika dana yang dihimpunnya tersebut jatuh tempo. Kebijakan suku bunga tinggi by default akan selalu berakhir dengan jumlah uang beredar yang lebih banyak. Jika pada saat yang sama tidak ada penambahan dalam kapasitas produksi perekonomian, dipastikan masalah inflasi akan berulang dalam derajat yang semakin parah.
Lebih jauh lagi, manajemen moneter berbasis bunga membawa dampak buruk terhadap pencapaian tujuan normatif perekonomian, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan stabilitas sistem. Dalam sistem berbasis bunga, kriteria utama penyaluran kredit adalah kemampuan peminjam untuk menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Penggunaan akhir dari kredit tidak terlalu mendapat perhatian. Dalam sistem seperti ini, kredit akan mengalir ke orang kaya dan sektor pemerintah, dua kelompok yang dipastikan mampu menjamin pinjaman. Faktanya, pengeluaran kelompok ini tidak selalu efisien dan produktif, serta seringkali tidak berjalan beriring dengan kepentingan masyarakat dan peradaban. Hal ini mendorong inefisiensi modal dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat terlepas dari berlimpahnya sumber daya finansial dalam perekonomian. Kenaikan suku bunga tidak selalu menurunkan pengeluaran orang kaya dan secara pasti mempengaruhi kelompok miskin secara tidak proporsional.
Terkait hal diatas, sistem bunga juga membuat kesenjangan pendapatan semakin memburuk akibat distribusi modal finansial yang sangat tidak merata. Perbankan konvensional sangat bergantung pada jaminan aset dalam penyaluran kredit. Sehingga, meskipun dana yang dihimpun perbankan berasal dari seluruh kelompok masyarakat, namun manfaat dana hanya mengalir ke kelompok kaya yang mampu menjamin kredit.
Sistem keuangan berbasis bunga secara agresif juga mendorong masyarakat dan bahkan pemerintah untuk menjadi konsumtif. Dengan ketiadaan sistem nilai yang tersosialisasi secara baik, keberadaan kredit secara mudah oleh perbankan telah mendorong kenaikan konsumsi secara berlebihan, dan mendorong turunnya tingkat tabungan. Hal ini memicu rendahnya investasi, turunnya kapasitas produksi perekonomian, tertahannya pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan ketergantungan terhadap modal asing dan pinjama luar negeri.
Pergerakan suku bunga yang fluktuatif telah menimbulkan ketidakpastian di pasar finansial dan menimbulkan kesulitan bagi pemilik dana untuk membuat keputusan investasi jangka panjang. Ketidakpastian ini membuat investasi jangka pendek meskipun spekulatif, menjadi jauh lebih atraktif. Hal ini menghasilkan fluktuasi yang tajam di pasar saham, komoditas dan valas.

Menuju Manajemen Moneter Bebas Bunga
Dalam manajemen moneter Islam, tujuan kebijakan moneter ditujukan untuk mengelola sumber daya finansial agar sejalan dengan maqashid syariah yang berfokus pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan perspektif ini, maka Islam mendorong manajemen moneter bebas bunga yang secara langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor riil. Selain meminimalkan potensi decoupling, mengkaitkan sektor moneter dan sektor riil secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun sektor privat. Dalam jangka panjang, hal ini secara substansial akan meningkatkan tingkat tabungan dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makroekonomi serta mendorong pemerataan pendapatan.
Pada saat yang sama, pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur, secara efektif akan memaksa pemilik sumber daya finansial untuk mencari peluang-peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhindar dari penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam sistem dimana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong dinamika perekonomian riil. Hal yang mirip dengan apa yang kini dilakukan oleh venture capital. Lebih jauh lagi, equity-based financial intermediation juga lebih stabil karena permintaan uang untuk kegiatan produktif dan tingkat return sektor riil adalah relatif stabil.
Setelah menstabilkan permintaan uang dan membuatnya sejalan dengan maqashid, maka tujuan kebijakan moneter berikutnya adalah mengestimasi permintaan uang dan menetapkan target pertumbuhan uang beredar yang sesuai. Pesan terpenting disini adalah bahwa pertumbuhan uang beredar harus sesuai dengan pertumbuhan sektor riil yang sejalan dengan maqashid. Friedman (1975) bahkan secara tegas mengajukan aturan (rules) kebijakan moneter, bukan diskresi, yaitu pertumbuhan uang beredar tetap sekitar 3-5% per tahun, terlepas dari pertumbuhan output dan perubahan velositas uang.
Untuk mengkontrol pertumbuhan uang beredar ini, maka menjadi keharusan bagi otoritas moneter untuk mengkontrol uang primer dan uang bank melalui penciptaan kredit. Kontrol terhadap uang primer dilakukan melalui kontrol terhadap defisit anggaran pemerintah, kredit bank sentral ke sistem perbankan dan surplus neraca pembayaran. Penghapusan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil, akan mendorong disiplin fiskal dan moneter yang lebih tinggi. Surplus neraca pembayaran dapat di-sterilisasi melalui instrument yang memungkinkan.
Kontrol kredit perbankan terpopuler adalah proposal full-reserve requirement dari Fisher (1935). Dampak esensial dari ide ini adalah menghapus kemampuan perbankan untuk menciptakan uang (money creation) sehingga jumlah uang beredar sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah. Hasil yang sama dari restrukturisasi Fisher dapat diraih dengan implementasi equity-based banking system. Lebih jauh lagi, alokasi kredit dalam Islam harus berorientasi pada pencapaian maqashid. Alokasi kredit yang tidak sejalan dengan maqashid harus dipandang sebagai inefisiensi dan kesia-siaan.
Dalam transisi menuju manajemen moneter bebas bunga ini, otoritas moneter memiliki fleksibilitas untuk melakukan pentahapan (sequencing) seiring kesiapan pasar dan instrument. Penggunaan instrument reserve requirement dapat dioptimalkan di tahap awal untuk kontrol kredit. Di tahap berikutnya, operasi pasar dengan equity-based government securities dapat diperkenalkan seiring pengembangan pasar finansial. Seiring kematangan institusi finansial dan infrastruktur pasar, manajemen moneter bebas bunga akan mendapatkan bentuk dan tempat yang ideal.

Majalah SHARING, Oktober 2008.

Labels: ,


Selengkapnya...