Monday, January 21, 2013

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (6/6)


Labels:


Selengkapnya...

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (5/6)


Labels:


Selengkapnya...

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (4/6)


Labels:


Selengkapnya...

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (3/6)


Labels:


Selengkapnya...

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (2/6)


Labels:


Selengkapnya...

Penerimaan Mahasiswa Baru 2013 ... Prodi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI (1/6)


Labels:


Selengkapnya...

Friday, January 04, 2013

Bencana, Pengangguran, dan Cash for Work

Yusuf Wibisono, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Bencana alam yang terus mengguncang Indonesia telah membuat masalah pengangguran menjadi semakin pelik. Berkaitan dengan dampak bencana terhadap hilangnya lapangan pekerjaan ini, program cash for work (CFW) kini telah menjadi fenomena umum dalam program-program pemulihan pascabencana. Program CFW ini telah dijalankan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) di berbagai daerah bencana, termasuk oleh organisasi pengelola zakat (OPZ), di berbagai daerah bencana di Indonesia.



Sebagai sebuah program jangka pendek/temporer, CFW memiliki banyak keunggulan dibanding program bantuan bencana lainnya. CFW memberi manfaat bagi daerah bencana dengan cara menyerap tenaga kerja yang menganggur, menginjeksi perekonomian lokal dengan dana segar, memberdayakan individu dengan memberi mereka pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan memfasilitasi perekonomian kembali ke jalur normal dengan membangun kapasitas lokal dan menyediakan peluang-peluang ekonomi produktif.

Memberi lapangan kerja secara cepat adalah titik kritis CFW. Bencana besar umumnya membawa kerusakan massal, ratusan ribu orang secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau tidak dapat menjalankan pekerjaan rutin mereka. Dalam kondisi seperti ini, CFW menjadi pilihan yang sangat logis dengan memberi individu kesempatan terlibat dalam aktivitas konstruktif dan pada saat yang sama memberi stimulus bagi perekonomian lokal dan mempromosikan pengambilan keputusan di tingkat komunitas dan individu.

CFW secara umum mirip program padat karya, memberi dana untuk menyelesaikan proyek-proyek public works. Namun, CFW lebih bersifat jangka pendek dengan penekanan memberi stimulus secara cepat kepada perekonomian dan menyediakan peluang kerja pascabencana. CFW secara umum tidak ditujukan untuk program jangka panjang dan didesain sedemikian rupa agar tidak memberi disinsentif bagi recovery bisnis lokal.

Evaluasi CFW
CFW secara umum bertindak sebagai program jaring pengaman pascabencana. CFW dapat kita evaluasi dengan tiga kriteria utama, yaitu cakupan (coverage) program, minimalisasi kebocoran (leakages), dan minimalisasi biaya operasional program.

Sebagaimana program padat karya, cakupan CFW umumnya cukup tinggi. Namun, CFW sering kali gagal dalam mengidentifikasi "pekerja hantu", yaitu mereka yang tercantum dalam daftar CFW namun tidak bekerja. CFW juga sering gagal dalam hal menjaga produktivitas. Rendahnya produktivitas umumnya berkaitan dengan target yang kurang jelas atau adanya anggapan awal bahwa semua penerima program akan mendapat bayaran tanpa melihat output kerja-nya.

Kebocoran CFW umumnya lebih banyak berasal dari kenyataan bahwa program sering kali gagal membedakan penerima program. Banyak keluarga yang mengikutsertakan anggota keluarganya lebih dari satu orang. “Kebocoran” seperti ini membuat program tidak dinikmati secara merata atau lebih kecil dari yang seharusnya. Kebocoran CFW juga dapat disebabkan oleh kegagalan dalam menentukan tingkat upah program yang tepat. Tingkat upah yang salah sering mendistorsi pasar kerja lokal dengan masuknya orang yang masih memiliki pekerjaan ke dalam program CFW atau hilangnya motivasi wirausahawan lokal untuk memulai kembali usahanya.

Biaya operasional CFW yang signifikan sering kali bukan dalam ukuran moneter, melainkan non-moneter. Ketika didesain secara salah, CFW sering dituding sebagai penyebab pudarnya nilai-nilai luhur lokal, seperti kekeluargaan dan gotong-royong. Sebagai misal, beberapa LSM asing mendesain CFW di Yogyakarta pascagempa 2006 untuk program membersihkan lingkungan lokal dan pengelolaan lahan individual. Akibatnya, masyarakat menjadi hedonis-materialistis, tidak mau lagi bekerja jika tidak dibayar, tidak mau lagi bergotong-royong membersihkan lingkungan sendiri.

Dengan demikian, pelaksanaan CFW penting untuk memperhatikan beberapa faktor berikut. Pertama, mekanisme monitoring dan target kerja yang jelas. Penting bagi penyelenggara CFW untuk melakukan pemeriksaan langsung di lapangan atas kehadiran pekerja dan menugasi pengawas dari luar masyarakat lokal untuk menjaga produktivitas kerja agar sesuai dengan target.

Kedua, penentuan tingkat upah program yang tepat. Upah CFW sebaiknya ditetapkan di bawah tingkat upah lokal yang ada, agar tidak mendorong kenaikan upah lokal. Upah yang cukup rendah juga akan menjadi disinsentif agar tidak terjadi perpindahan tenaga kerja berupa masuknya orang-orang yang sudah bekerja atau masuknya pekerja dari daerah non-bencana ke dalam program CFW.

Ketiga, program CFW sebaiknya ditujukan untuk membangun infrastruktur sosial atau membangun keahlian (skill) komunitas. Pembangunan infrastruktur publik, seperti rumah sakit, jembatan, sekolah, atau pasar, akan bermanfaat dalam jangka panjang, menambah stok modal masyarakat, serta membuka peluang-peluang ekonomi produktif. Sedangkan membangun keahlian komunitas, seperti pembangunan instalasi pupuk organik, instalasi pengolahan daur ulang sampah, atau instalasi biogas berbahan baku kotoran ternak, akan meningkatkan human capital, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki distribusi pendapatan, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Filantropi Islam dan CFW
Menjadi menarik ketika kini filantropi Islam, seperti zakat, dihadapkan pada kasus bencana-bencana alam yang sering menimpa Indonesia, apakah zakat lebih tepat disalurkan dalam bentuk bantuan tunai langsung tanpa syarat (cash transfer) atau dalam bentuk CFW? Secara fikih, setiap muslim yang termasuk dalam salah satu kelompok mustahiq, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, budak, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil, berhak atas dana zakat. Namun, apakah dengan demikian Islam tidak mendukung CFW?

Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja, dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Maka, zakat semestinya dapat digunakan sebagai modal untuk memberdayakan rumah tangga yang produktif namun tidak dapat bekerja karena terkendala oleh hambatan modal manusia, fisik, dan finansial. Organisasi pengelola zakat (OPZ) dapat menyalurkan dana filantropi Islam untuk pelaksanaan program-program yang dibutuhkan masyarakat korban bencana dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai. Di sini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang didesain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat pascabencana.

Meskipun demikian, zakat sebaiknya tetap berfungsi sebagai cash transfer untuk rumah tangga yang tidak produktif. Di sini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, serta anak-anak telantar.

Dengan demikian, menurut penulis, penggunaan zakat untuk CFW sejalan dengan tujuan zakat dalam hal pengentasan masyarakat miskin melalui saluran penciptaan lapangan kerja. Di samping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, CFW yang didesain dengan baik akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program CFW, seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan tepat sasaran, memperluas coverage program dan mengurangi leakages.

Satu agenda penting di sini adalah sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Kerja sama dengan elemen potensial masyarakat yang kredibel dan transparan seperti OPZ patut dipertimbangkan. OPZ selama ini mampu menunjukkan kinerja tinggi dalam penanggulangan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat yang membutuhkan kecepatan tindakan dan profesionalitas kerja yang tinggi. Ke depan, dengan dukungan dana pemerintah, program OPZ di bidang ini dapat diperluas ke tahap mitigasi dan rehabilitasi, termasuk program CFW.

Berdasarkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penanggulangan bencana dan penyediaan anggarannya. Dana kontinjensi untuk penanggulangan bencana ini mencapai Rp 4,5 triliun pada 2009. Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola kemitraan dana penanggulangan bencana ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana dan meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi dalam pengelolaan dana.


Koran Tempo, Rabu, 07 Oktober 2009.

Labels: ,


Selengkapnya...

Jakarta Does Not Need Subway ...

By Yusuf Wibisono

Nearing the gubernatorial election of Jakarta, the issue of traffic congestion, with an average vehicle speed now under 10 km per hour and the prediction of total gridlock in 2014, is getting the public’s attention again. One of the most important issues here that, unfortunately, not getting much attention is the mass rapid transit (MRT) development, the subway project.

The Impropriety of Subway
Jakarta needs a major policy to break down the congestion while setting a benchmark for other big cities facing similar gridlock in five to 10 years from now, like Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, and Semarang. However, choosing a subway as Jakarta’s main transport of the future requires adequate qualification.

With over 20 million trips a day and vehicle growth of 11 percent a year, it is about time that Jakarta is serious with building MRT. As long as MRT is not built, Jakarta will bear losses each year up to tens of trillions of rupiah due to congestion and it is projected to continue growing up to Rp 65 trillion by 2020. Therefore, the need for MRT in Jakarta is pressing.

MRT is not only subway, but there are other choices, like light rapid transit (LRT), commuter rail system, and bus rapid transit (BRT). However, why does subway become the leading coice? A subway does promise many benefits. As an MRT, a subway is capable to transport 40-100 thousands of people an hour per direction.

Subway development can also be done in parallel by building multilevel tracks so that it will be efficient. Subway development is also a potential to be synergised with the development of other important urban infrastructure, like flood control, sanitation, and clean water.

However, subway also presents problems and the most significant one is massive cost. The cost estimate for subway development is over Rp 1 trillion per km, way above BRT that is only around Rp 10 billion per km. In addition, subway requires top technology, from designing, constructing, to operation and maintenance. Therefore, subway will depend much on imports and foreign workers.

With the expensive development, requires a high demand for the subway to be financially feasible. The demand estimates for short and medium terms are not high enough to justify subway development. The subway will not be able to support cost recovery, thus it can be sure to need permanent government subsidy.

First stage subway development that is only 15 km is financed by a debt from JICA for Rp 15 trillion repayable in 40 years with a 10-year grace period. The burden is shared between central and provincial governments. It can be seen that Japan has a stake whereby the majority of contractors and subway human resources must come from Japan.

By conservative count, the outflow of APBD (Regional Budget) is projected at Rp 651 billion in year one to seven of the project, Rp 85 billion in year eight to 10, Rp 97 billion in year 11 to 17, and Rp 12 billion in year 18 to 40. APBD will also bear the operational subsidy, which in base scenario is projected at Rp 85 billion a year in 2015-2025 or Rp 850 billion for 10 years.

The major deviation on the assumed projections of cash flow from MRT project will burden the APBD. If the next stage of the project, which is 95 km long, is taken into calculation, subway is a real threat to the future sustainability of the budget and public services in Jakarta.

Busway and KRL
The priority and focus of Jakarta transportation policies are to break down the congestion as soon as possible and to minimise loss and increase the economic competitiveness. Busway and KRL should be the focus because the cost of both is much cheaper than subway or LRT (monorail). The busway development for 15 corridors, up to 150 km, that cover the entire Jakarta has the cost equivalent to one kilometre subway.

The north-south subway corridor stage one, estimated to cost Rp 17 trillion, can be used to build Anyer-Panarukan busway lanes! If this Rp 17 trillion is focused on the busway, we will be able to complete 15 corridors soon, add the coupled busses to an adequate number, and other steps.

It is wrong to claim that busway can never be a reliable MRT. With good and professional management, Bogota with seven million population was able to make Bogota TransMilenio into a safe and comfortable MRT with transport capacity of 45 thousand people an hour per direction, close to subway capacity.

At the same time, with the same budget, we will also be able to give full attention to Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) KRL that has proven effective as a commuter train. With an adequate revitalisation, Jabodetabek KRL capacity could potentially be increased from the current 600 thousand passengers a day to 2 million passengers a day.

It is apparent that focussing on busway and KRL will effectively and significantly break down congestion in Jakarta with much cheaper cost, in relatively short period of time, and in an equitable and fair manner. Then, why insist on building a subway? Do not let false prestige or economic interests, or a combination of both, outweighs conscience and reason.

Republika, "Jakarta Tak Perlu Subway", 7 Juni 2012.

http://www.indii.co.id/news_daily_detail.php?id=4010

Labels:


Selengkapnya...