Friday, June 04, 2010

Blokade Gaza dan Boikot Israel ....

Yusuf Wibisono, Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Armada Kapal Kebebasan, yang mengangkut ratusan aktivis dari berbagai negara dengan membawa berbagai bantuan untuk penduduk Gaza, diserang oleh tentara Israel. Berbagai respons masyarakat dunia terhadap kejahatan perang Israel umumnya temporer, pragmatis-jangka pendek, retoris, dan sering kali tidak realistis. Walau tetap bermanfaat dan penting, respons-respons seperti ini cenderung tidak efektif dan tak mampu mengubah situasi secara signifikan. Di antara sedikit pilihan respons yang signifikan dan memiliki prospek efektivitas yang cukup tinggi adalah boikot ekonomi terhadap Israel. Jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan, boikot memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen aspirasi dan perlawanan yang signifikan.

Boikot ekonomi

Boikot terhadap Israel banyak mendapat kritik. Beberapa pihak memandang boikot terhadap Israel mirip boikot Nazi terhadap Yahudi pada 1930-an dan menganggap hal ini sebagai bentuk anti-Semitism (Washington Post, 24 April 2007). Boikot bahkan dipandang “flimsy” dan tidak efektif karena tidak didukung oleh pemimpin Palestina sendiri (The Economist, 13 September 2007). Namun, boikot terhadap Israel juga tidak sedikit mendapat dukungan, seperti dukungan Uskup Desmond Tutu, yang menyeru komunitas Internasional agar memperlakukan Israel sebagaimana mereka memperlakukan rezim apartheid Afrika Selatan (New Internationalist Magazine, January/February 2003).

Secara teoretis, boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan sistem pasar semestinya merefleksikan moralitas masyarakatnya (McMurtry, 1998). Dalam sistem yang lebih komprehensif, keputusan membeli dan konsumsi tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, namun juga kriteria moral dalam seluruh aktivitas produksi.

Kriteria moral ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service economy, di mana seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai itu konsumen harus turut bertanggung jawab. Dalam perspektif kapitalisme kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism). Membeli adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka. Dalam perspektif ini, konsumsi harus dilakukan secara positif, seperti dengan memberikan preferensi pada produk halal, organik, dan daur ulang.

Boikot kini telah menjadi instrumen penting untuk menyuarakan aspirasi konsumen di pasar global dan untuk meningkatkan sensitivitas perusahaan terhadap kepentingan ekonomi, politik, dan sosial konsumen. Tidak kurang dari 800 produk, belum termasuk negara-negara, yang kini menjadi target boikot di seluruh dunia (Ferguson, 1997).

Dalam perspektif ini, boikot terhadap Israel mendapat pembenaran. Boikot seperti ini adalah moral boycott, yaitu menolak produk yang kita yakini berasosiasi dengan perilaku tidak beretika (unethical behaviour). Boikot oleh konsumen ini menjadi semakin penting ketika pasar dan pemerintah tidak merepresentasikan collective moral choice, dengan mengabaikan moralitas dan keinginan publik. Di banyak negara, pemerintah lebih banyak menunjukkan diri sebagai collective system of hypocrisy.

Boikot juga merupakan bentuk perlawanan tanpa kekerasan (nonviolence) yang efektif. Contoh klasik di sini adalah perlawanan Mahatma Gandhi terhadap Inggris di India dengan gerakan Swadesi-nya. Berbeda dengan embargo atau blokade yang merupakan bentuk hukuman politis yang berlaku tanpa pandang bulu, seperti yang kini dilakukan Israel di Gaza, boikot tidak akan membunuh anak-anak negeri atau membuat orang-orang kelaparan. Tujuan boikot adalah menurunkan kinerja ekonomi Israel dan dukungan ekonomi dunia terhadap Israel, dengan tujuan akhir menghapus kebijakan dan perilaku kriminal Israel.

Mengelola boikot

Boikot terhadap Israel telah lama dilakukan, bahkan sejak sebelum Israel berdiri. Gerakan boikot terhadap Israel secara resmi dideklarasikan pada 1945 oleh tujuh negara Liga Arab, tak lama setelah berdirinya Liga Arab pada 1944. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negaranya, diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948. Pada 1950, Liga Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk mengkoordinasikan gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954, Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott (Turck, 1977).

Walau tidak mampu melumpuhkan kekuatan ekonomi Israel, dampak boikot adalah signifikan. Israel mengalami tekanan ekonomi cukup tinggi dan banyak kehilangan peluang investasi serta perdagangan. Salah satu dampak terbesar yang diderita Israel akibat blokade negara-negara Arab adalah tingginya inflasi dan turunnya daya saing di pasar internasional akibat mahalnya biaya transportasi dan bahan baku, termasuk minyak (Losman, 1972). Bukti lain dari signifikansi boikot ini adalah reaksi sekutu utama Israel, Amerika Serikat, yang berusaha menolong Israel dengan mengeluarkan “undang-undang anti-boikot” melalui amendemen Tax Reform Act pada 1976 dan Export Administration Act pada 1977. Kedua undang-undang ini melarang setiap individu dan perusahaan Amerika Serikat berpartisipasi dalam boikot dengan ancaman hukuman denda dan penjara.

Namun, seiring dengan waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh negara Arab tidak lagi menerapkan secondary dan tertiary boycott, dengan berbagai alasan.

Kegagalan boikot Liga Arab disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, besarnya jumlah produk yang diboikot namun tidak diikuti dengan mekanisme blacklist dan pengelolaan boikot yang memadai. CBO cenderung tidak mampu mengelola boikot secara efektif. Besarnya jumlah produk yang di-blacklist juga menimbulkan resistensi anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda dan memunculkan insentif untuk berbohong dan tidak mematuhi boikot. Kedua, inkonsistensi boikot. Boikot sering kali rentan ketika berhadapan dengan kepentingan rezim berkuasa dan para kroninya. Sebagai misal, produk militer tidak diboikot meskipun diproduksi oleh perusahaan yang masuk dalam blacklist. Jaringan hotel dan kapal pariwisata juga dikecualikan dari boikot. Ketiga, kelemahan pengawasan. Boikot menjadi tidak efektif ketika banyak produk blacklist yang di re-ekspor ke dunia Arab. Siprus disinyalir sebagai salah satu titik transshipment terbesar. Keempat, boikot kental berciri kewilayahan, yaitu Arab, tidak bersifat universal. Padahal dukungan terhadap boikot ini bersifat lintas wilayah, agama, dan ras. Kekuatan boikot akan berlipat ganda ketika boikot terhadap Israel dilakukan secara global.

Apakah kini boikot Israel mungkin untuk dilakukan secara global? Dari perspektif social dilemma theory dan reference group theory, keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi konsumen akan probabilitas keberhasilan boikot, kerentanan konsumen terhadap pengaruh normatif sosial, dan biaya yang mereka tanggung akibat boikot (Sen, Gurhan-Canli and Morwitz, 2001). Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi pro-boikot. Untuk hal ini, maka menjadi penting bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk secara massif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan rasional. Ketersediaan Internet memudahkan komunikasi massif dengan biaya murah. Pesan-pesan boikot harus lebih rasional dan universal, tidak semata dilandasi emosi dan semangat keagamaan. *

Koran Tempo, 4 Juni 2010.

Labels:


Selengkapnya...