Tuesday, June 30, 2009

Evaluasi Kinerja Departemen Agama ...



Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Salah satu agenda pemerintahan SBY-JK adalah pembangunan agama, yang merupakan salah satu hak dasar rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 29. Tulisan ini akan melihat kinerja Departemen Agama (Depag) dari perspektif sosial-ekonomi. Dengan demikian, policy measures yang digunakan untuk penilaian kinerja juga akan banyak dilihat dari aspek sosial-ekonomi.
Dari RPJM 2004-2009 serta rencana strategis (renstra) dan visi-misi Depag 2005-2009, setidaknya terdapat beberapa policy measures sosial-ekonomi yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Depag yaitu kinerja filantropi Islam (zakat dan wakaf), kinerja penyelenggaraan haji dan kinerja institusi pendidikan keagamaan. Dengan tiga ukuran kebijakan ini, kinerja Depag terlihat kurang memuaskan. Berbagai langkah reformasi mendasar masih harus terus didorong ke depan.

Pengelolaan Zakat dan Wakaf
Zakat dan wakaf telah lama dipraktekkan di negeri ini, namun dampaknya belum luas dirasakan. Potensi dana filantropi Islam yang besar, belum mampu mengangkat kelompok miskin di negeri ini keluar dari kemiskinan. Terlepas dari keberadaan ratusan organisasi pengelola zakat (OPZ), baik BAZ (Pemerintah) maupun LAZ (Masyarakat), dana zakat yang terhimpun setiap tahunnya masih dibawah Rp 1 trilyun dari puluhan trilyun potensi-nya. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 19 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota.
Masih rendahnya kinerja zakat setidaknya disebabkan empat faktor utama. Pertama, rendahnya penghimpunan dana zakat melalui lembaga amil karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal. Kedua, masih rendahnya efisiensi dan efektifitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah OPZ dengan skala usaha yang kecil. Ketiga, lemahnya kerangka regulasi dan institusional zakat karena ketiadaan lembaga regulator-pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat-pajak. Keempat, lemahnya kapasitas kelembagaan dan SDM zakat.
Arah kebijakan ke depan yang terpenting disini adalah membentuk “Arsitektur Zakat Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator zakat. Fungsi regulator-pengawas semestinya dipegang Depag atau lembaga independen, katakan Badan Zakat Indonesia, sedangkan BAZ dan LAZ sepenuhnya sebagai operator. Reformasi terpenting lainnya adalah memperjelas relasi zakat dan pajak dengan penerapan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) tidak lagi sekedar pengurang penghasilan kena pajak (tax deductible). Hal ini akan berdampak signifikan sebagai insentif muzakki untuk berzakat. Di Indonesia, wacana insentif berzakat lebih relevan dibandingkan wacana penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai.
Langkah maju telah terjadi di dunia wakaf nasional. UU No. 41/2004 telah memberi “Arsitektur Wakaf Indonesia” untuk tata kelola wakaf yang baik dimana terjadi pemisahan yang tegas antara regulator (Badan Wakaf Indonesia), pengawas (Menteri Agama) dan operator (nazhir). Keluarnya PP No. 42/2006 tentang Wakaf, memperkokoh landasan operasional bagi pengelolaan wakaf secara profesional dan akuntabel. Kini Depag telah bergerak jauh ke arah wakaf produktif melalui proyek percontohan wakaf tanah produktif dan mendorong wakaf uang dengan menunjuk lima bank syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Arah kebijakan terpenting ke depan adalah mendorong lebih jauh wakaf tanah produktif melalui identifikasi dan sertifikasi, penguatan kapasitas nazhir serta menemukan skema kemitraan dan pembiayaan yang sesuai. Sampai dengan tahun 2007, terdapat 185 ribu hektar tanah wakaf di lebih dari 400 ribu lokasi di seluruh provinsi, dengan 75% diantaranya telah bersertifikat. Diperkirakan setidaknya 10% dari lahan ini berlokasi di tempat strategis dan potensial dikembangkan sebagai wakaf produktif. Langkah penting lainnya adalah integrasi wakaf dan sektor keuangan syariah untuk pengembangan wakaf produktif termasuk dengan mendirikan bank wakaf nasional, serta integrasi wakaf dengan zakat dan lembaga keuangan mikro syariah untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.

Penyelenggaraan Haji
Hingga kini belum terlihat perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan haji. Mahalnya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan kecenderungan terus meningkat, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari pelayanan pra-haji, saat haji hingga pasca haji, dan rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU), adalah sederet permasalahan haji nasional yang tak kunjung terselesaikan.
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan ke-tiga fungsi ini. Sayangnya pemisahan ini tidak tegas dimana Depag masih terus dipertahankan sebagai regulator (Menteri) sekaligus operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dengan hanya memberikan “lahan kering” pengawasan ke masyarakat (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI).
Maka agenda reformasi haji terbesar adalah membentuk “Arsitektur Haji Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang tegas antara regulator-pengawas dan operator. Depag semestinya ditempatkan sebagai regulator-pengawas. Sebagai operator, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional.
Selain sebagai operator, fungsi strategis THI lainnya adalah mengelola dana haji secara produktif, terpusat, akuntabel dan sesuai syariah. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.

Penyelenggaraan Pendidikan
Secara umum, kondisi pendidikan keagamaan tidak jauh berbeda dari pendidikan umum seperti minimnya anggaran, rendahnya kualitas pengajar dan infrastruktur fisik, kelemahan kurikulum dan bahan pengajaran serta lemahnya keterkaitan antara pendidikan dan dunia kerja. Selain institusi pendidikan formal dari pendidikan dasar (MI, MTS dan MA) hingga tinggi (IAIN dan UIN), potensi terbesar lainnya adalah institusi pendidikan non formal yaitu pesantren dan masjid. Kini setidaknya terdapat 194 ribu Masjid, 62 ribu Mushalla dan 388 ribu Langgar, serta 15 ribu pesantren dengan 5-6 juta santri.
Ke depan, arah kebijakan terpenting adalah mendinamiskan kurikulum pendidikan keagamaan dengan memperhatikan tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, agama, dan dinamika perkembangan global. Pendidikan keagamaan selain dituntut untuk terus meningkatkan kualitas, disaat yang sama juga dituntut untuk membangun kompetensi baru terkait kebutuhan masyarakat (societal needs) sekarang dan masa depan, kebutuhan industri/dunia kerja (market signal), dan kebutuhan pengembangan ilmu (science vision). Terdapat prospek baik bagi pendidikan keagamaan untuk membangun kompetensi baru seperti misalnya di bidang zakat, wakaf, haji, dan keuangan syariah, khususnya perbankan dan asuransi syariah.

Koran Tempo, "Tiga Ukuran Kebijakan Departemen Agama", 30 Juni 2009.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home