Sunday, September 30, 2012

Indonesia dan Boikot Israel ....

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Sebuah langkah signifikan yang sangat berani dilakukan Indonesia dalam mendukung Palestina. Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN di Markas PBB di New York (27/9/2012) Marty Natalegawa secara lugas menyerukan boikot terhadap seluruh produk yang dihasilkan di wilayah pendudukan Israel (Republika, 29/9/2012). Seruan Menlu Marty ini sangat luar biasa dan patut mendapat respon serius.
Seruan Menlu Marty merupakan penegasan dari sikap Komite Pembebasan Palestina Gerakan Non-Blok. Dengan posisi sebagai negara Islam terbesar di dunia, seruan boikot Israel dari Menlu Marty ini akan meneguhkan perjuangan Palestina melawan penjajahan Israel. Seruan Menlu Marty ini juga semakin memperkuat gerakan "Boycott, Divestment and Sanctions" (BDS), atau “Palestinian Civil Society Call for Boycott, Divestment and Sanctions” yang diluncurkan tahun 2005, yang berjuang untuk melawan kolonisasi, penjajajahan dan apartheid yang dilakukan Israel di Palestina. Gerakan ini serupa dengan “Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI)” yang diluncurkan tahun 2004.
Sebelumnya, pada 29 April 2012, gerakan BDS telah mendapat kemenangan ketika jaringan supermarket terbesar kelima di Inggris, Co-operative Group (Co-op), mengumumkan kebijakan bahwa mereka tidak lagi menjual produk yang berasal dari pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Co-op menjadi grup supermarket besar pertama di Eropa yang melakukan boikot tersebut.
Berbagai peristiwa ini menimbulkan kembali harapan akan terhentinya penjajahan atas Palestina. Setiap kali duka Palestina terbuncah, setiap kali itu pula dunia mengutuk Israel. Lebih enam dekade berlalu, namun kebijakan dan sikap Israel tidak berubah sedikit-pun. Berbagai respon masyarakat dunia terhadap kejahatan Israel umumnya temporer, pragmatis-jangka pendek, dan retoris, yang cenderung tidak efektif dan tidak mampu merubah situasi secara signifikan. Di antara sedikit pilihan-pilihan respon yang signifikan dan efektif adalah boikot ekonomi.
Logika gerakan BDS adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak asasi manusia terbukti sia-sia karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan dunia. Logika persuasi juga menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada "pendidikan" buat orang-orang Israel tentang mengerikannya penjajahan dan bentuk penindasan lainnya justru makin meningkat. Logika dialog antara Palestina dan Israel yang masih populer juga terbukti gagal dengan menyedihkan.

Boikot: Perspektif Ekonomi-Politik
Boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan sistem pasar semestinya merefleksikan moralitas dari masyarakatnya. Dalam sistem yang lebih komprehensif, keputusan membeli dan konsumsi tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, namun juga kriteria moral dalam seluruh aktivitas produksi.
Kriteria moral ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service economy dimana seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai itu konsumen harus turut bertanggungjawab. Dalam perspektif kapitalisme kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism). Membeli adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka.
Kasus terbaik boikot adalah boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi terhadap afrika selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan. Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan, dan berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, apartheid berakhir. Seluruh sanksi ekonomi dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994.
Hal krusial disini adalah bagaimana menerjemahkan boikot menjadi sebuah perubahan kebijakan. Mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot. Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan.

Mengelola Boikot: Perspektif Sejarah
Agar boikot tidak berhenti pada tataran wacana, boikot harus direncanakan dan dikelola agar efektif dan berkelanjutan. Sejarah menunjukkan mengelola boikot adalah tidak mudah. Boikot terhadap Israel telah dideklarasikan Liga Arab sejak 1945. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negara-nya, diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948. Pada 1950, Liga Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk mengkoordinasi gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954, Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott.
Namun, seiring waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh negara Arab tidak lagi menerapkan secondary dan tertiary boycott.
Kegagalan boikot Liga Arab disebabkan banyak faktor. Pertama, besarnya jumlah produk yang diboikot namun tidak diikuti dengan mekanisme blacklist dan pengelolaan boikot yang memadai. Besarnya jumlah produk yang di-blacklist juga menimbulkan resistensi anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Kedua, inkonsistensi boikot. Boikot seringkali rentan ketika berhadapan dengan kepentingan rezim berkuasa dan kroni-kroni-nya. Ketiga, kelemahan pengawasan. Boikot menjadi tidak efektif ketika banyak produk blacklist yang di re-ekspor ke dunia Arab. Siprus disinyalir sebagai salah satu titik transshipment terbesar. Keempat, boikot kental bernuansa kewilayahan, yaitu arab, tidak bersifat universal.
Apakah kini boikot Israel mungkin untuk dilakukan secara global? Keputusan untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi publik akan probabilitas keberhasilan boikot dan biaya yang mereka tanggung akibat boikot. Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi pro-boikot. Untuk hal ini maka menjadi penting bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk secara masif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan rasional.
Sedangkan biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka menjadi penting untuk berfokus pada beberapa produk “prioritas” yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Di saat yang sama, harus ada upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot.
Di saat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk membangun ekspektasi bahwa boikot akan dilakukan oleh publik secara luas sehingga akan menimbulkan dampak besar. Dalam jangka pendek, ketika ketergantungan terhadap produk-produk global begitu kuat, hal ini terlihat begitu sulit. Yang dibutuhkan disini adalah langkah-langkah perintis yang konsisten. Langkah-langkah kecil ini akan membesar ketika pihak-pihak terkait akan berekspektasi gerakan boikot diikuti banyak pihak.


Labels:


Selengkapnya...

Thursday, September 27, 2012

Menyelamatkan Zakat Nasional ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Permohonan uji materiil UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz), mendapat kritikan tajam dari sebagian kalangan (Republika, 1/9/2012 dan 20/9/2012). Upaya uji materiil ini dipandang para pendukung UU No. 23/2011 sebagai langkah emosional yang tidak didasari pemahaman, bertentangan dengan pandangan syariah dan menghambat program penyejahteraan masyarakat miskin. Namun jika kita menelaah secara lebih jernih dan mendalam, hal sebaliknya yang justru terlihat.
UU No. 23/2011 diklaim sebagai produk legislasi yang baik, dibentuk melalui proses panjang yang transparan dan demokratis. Benar bahwa diskursus amandemen UU No. 38/1999 telah berlangsung sejak DPR periode 2004-2009, namun sejak awal pula selalu terdapat dua draft RUU yang berseberangan: RUU versi pemerintah dan RUU versi masyarakat sipil. RUU Zakat akhirnya gagal diselesaikan DPR periode 2004-2009, dan kemudian dilanjutkan DPR periode 2009-2014 sebagai RUU inisiatif DPR. Draft RUU versi DPR, yang sangat mencerminkan aspirasi masyarakat sipil, keluar pada awal 2010. Namun respon pemerintah berupa Daftar Isian Masalah (DIM) baru keluar setahun kemudian, pada awal 2011, dan lebih merupakan draft RUU tandingan dibandingkan DIM pada umumnya.
Dua draft RUU ini yang kemudian dibahas DPR pada pertengahan 2011, dan berlangsung singkat, hanya 3 bulan. Tanpa ada debat publik, RUU ini selesai dibahas pada September 2011, kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR 27 Oktober 2011. Hasilnya, draft RUU versi DPR hilang seluruhnya. UU No. 23/2011 seluruhnya berasal dari draft RUU versi Kementrian Agama (Kemenag), nyaris tanpa “perlawanan” dari DPR. Proses panjang amandemen UU No. 38/1999 berakhir antiklimaks: ditelikung di putaran akhir. Pembentukan UU No. 23/2011 secara jelas cacat proses. Karena itu, judicial review UU ini ke MK semestinya tidak hanya uji materiil namun juga sekaligus uji formil.
UU No. 23/2011 juga diklaim tidak melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional ke pemerintah melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Sentralisasi dipandang sebagai tafsiran yang salah, tidak ada kata dan istilah sentralisasi dalam UU ini. Namun jika kita melihat Pasal 6 UU N0. 23/2011 secara jelas disebutkan bahwa yang memiliki kewenangan pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS. Hal ini merubah secara mendasar sistem desentralisasi zakat nasional dibawah Pasal 8 UU No. 38/1999 dimana pengelolaan zakat nasional tidak hanya dilakukan pemerintah (BAZ) namun juga oleh masyarakat sipil (LAZ). Dengan meniadakan LAZ dalam Pasal 6 UU No. 23/2011, pemerintah secara jelas melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional.
Sebagai implikasi paradigma sentralisasi, maka status LAZ diturunkan di Pasal 17 UU No. 23/2011 menjadi sekedar “membantu” BAZNAS. Meski memiliki status sama sebagai operator zakat nasional, namun kedudukan, hak dan kewajiban BAZNAS dan LAZ kini berbeda. Karena kewenangan pengelolaan zakat nasional hanya milik BAZNAS, maka LAZ yang hendak ikut berpartisipasi dalam pengelolaan zakat nasional adalah sub-ordinat BAZNAS: LAZ harus mendapat rekomendasi BAZNAS untuk mendapat perizinan (Pasal 18 ayat 2 huruf c) dan harus membuat pelaporan atas pengelolaan zakat ke BAZNAS (Pasal 19 dan Pasal 29 ayat 3). Karena logika sub-ordinasi, maka LAZ tidak berhak mendapat fasilitas dari pemerintah sebagaimana BAZNAS seperti pembiayaan dari APBN dan APBD (Pasal 30, 31 dan 32).
Pendukung UU No. 23/2011 mengklaim bahwa semangat UU adalah integrasi dan sinergi pengelolaan zakat nasional, dengan BAZNAS sebagai koordinator. Dibawah rezim UU No. 38/1999, zakat nasional berjalan tanpa arah, dengan kecenderungan masing-masing lembaga membesarkan diri masing-masing. Maka kemudian diklaim bahwa dengan BAZNAS menjadi koordinator zakat nasional, maka kecenderungan saat ini yang mengarah pada gigantisme korporasi zakat dapat dicegah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa dibawah UU No. 38/1999 operator zakat nasional berjalan masing-masing tanpa koordinasi dan sinergi. Karena itu dibutuhkan lembaga yang menjalankan fungsi perencanaan, regulasi dan pengawasan sehingga kinerja zakat nasional akan optimal. Operator zakat boleh, dan bahkan harus, menjadi lembaga yang besar. Hanya dengan ukuran (size) yang memadai, operator zakat akan efisien karena tercapainya economies of scale dan kapasitas lembaga akan semakin kuat sehingga pendayagunaan zakat semakin efektif. Tidak ada gigantisme dalam pengelolaan zakat. Semakin besar ukuran pengelola zakat, semakin baik kinerja zakat. Yang harus dijaga dan dipastikan adalah transparansi, integritas dan kredibilitas operator zakat. Di saat yang sama, gerak operator zakat harus diarahkan dalam sebuah perencanaan zakat nasional sehingga tercipta koordinasi dan sinergi. Disinilah kebutuhan zakat nasional terhadap regulator yang kuat dan kredibel menjadi sangat mendesak.
UU No. 23/2011 menjawab kebutuhan ini dengan memberi BAZNAS fungsi perencanaan dan pengendalian (Pasal 7 ayat 1 huruf a dan c) dan menerima laporan dari LAZ dan BAZNAS provinsi (Pasal 29 ayat 2). Padahal dalam UU No. 23/2011 ini BAZNAS juga berstatus sebagai operator zakat nasional. BAZNAS secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus operator dengan kewenangan regulator. Kewenangan otoritatif BAZNAS ini tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas. BAZNAS harus memilih: menjadi operator atau regulator. Integrasi dan sinergi zakat nasional yang akan dibangun harus didasarkan pada kesetaraan dan kemitraan, bukan atas dasar sub-ordinasi dan hegemoni. Integrasi dan sinergi akan kredibel dan bermartabat ketika dijalankan oleh lembaga yang bebas kepentingan dan fokus pada fungsi perencanaan, regulasi dan pengawasan.
Pendukung UU N0. 23/2011 juga mengklaim bahwa UU tetap mengakui LAZ, tidak ada pelemahan terhadap LAZ. LAZ tetap beroperasi sebagaimana biasa hanya dengan satu kewajiban tambahan, yaitu pelaporan ke BAZNAS. Benar bahwa LAZ tetap diakui dalam UU ini, namun LAZ kini diturunkan status-nya sebagai subordinat BAZNAS. Dengan logika sentralisasi dan subordinasi, UU No. 23/2011 sama sekali tidak memberi insentif bagi perkembangan LAZ. Bahkan berbagai ketentuan dalam UU No. 23/2011 secara jelas bersifat marjinalisasi dan berpotensi mematikan LAZ.
LAZ yang telah diakui pemerintah sebelum UU No. 23/2011 tetap diakui, namun harus menyesuaikan diri paling lambat 5 tahun (Pasal 43 ayat 3 dan 4). Namun ketika harus mengajukan perizinan baru, LAZ dihadapkan pada restriksi yang sangat ketat (Pasal 18). Ketentuan paling “mematikan” adalah keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam dan mendapat rekomendasi dari BAZNAS (Pasal 18 ayat 2 huruf a dan c). Seluruh LAZ besar dan sebagian besar LAZ lainnya saat ini tidak didirikan oleh ormas, yang berbasis keanggotaan, namun oleh yayasan, yang tidak memiliki anggota. Keharusan mendapat rekomendasi BAZNAS juga berpotensi “mematikan”: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal perizinan LAZ yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Kewajiban LAZ memberi laporan ke BAZNAS semakin memperparah conflict of interest ini. Kondisi lebih sulit dialami puluhan LAZ yang belum diakui karena sejak proses amandemen UU No. 38/1999 menghangat pada 2007-2008, Kemenag melakukan “moratorium” pengukuhan LAZ.
Jika LAZ tidak memenuhi persyaratan perizinan namun tetap beroperasi, maka ia akan menghadapi ketentuan pamungkas: kriminalisasi terhadap amil illegal (Pasal 38) dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta (Pasal 40). Lengkap sudah upaya pelemahan LAZ.
Jelas terlihat bahwa UU No. 23/2011 ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ. Hak konstitusional LAZ untuk turut serta membangun masyarakat sesuai Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 dan mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum sesuai Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, tercederai secara vulgar. Menjadi aneh bila upaya judicial review terhadap UU No. 23/2011 ini tidak didukung, terutama sebagian LAZ yang “masuk angin” dan lebih memilih cari aman dengan menjadi free-rider.

Republika, "Menyelamatkan Zakat Nasional", 5 Oktober 2012.

Labels:


Selengkapnya...

Saturday, September 22, 2012

Islamisasi Ilmu Ekonomi ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Dunia kini semakin muram. Di tengah gemuruh pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, dunia justru semakin dipenuhi berbagai masalah struktural yang semakin luas dan dalam. Dunia dipenuhi oleh paradoks. Pendapatan dunia semakin tinggi, namun kemiskinan tidak pernah berakhir. Pertumbuhan ekonomi terus meningkat, namun pengangguran semakin meluas. Pembangunan terus berjalan, namun kesenjangan semakin dalam. Ilmu kedokteran berkembang pesat, namun kasus kesakitan dan kematian kian melonjak. Teknologi pangan telah mencapai tingkat yang mengagumkan, namun kelaparan terjadi dimana-mana.
Mengapa sistem ekonomi konvensional mengalami kegagalan? Sistem konvensional telah membawa dunia pada kemajuan ekonomi yang luar biasa yang belum pernah dicapai dalam sejarah manusia. Namun dengan sumber daya ekonomi yang begitu besar yang kini dimilikinya, mengapa sistem ini gagal memecahkan masalah-masalah ekonomi, kemanusiaan dan terlebih peradaban, bahkan tidak mampu memecahkan masalah ekonomi yang paling dasar seperti ketersediaan makanan dan air bersih?
Sistem ekonomi konvensional memiliki kelemahan-kelemahan mendasar yang bersumber pada konflik antara tujuan ekonomi dengan perspektif terhadap dunia. Selain tujuan positif seperti efisiensi, sistem konvensional juga menetapkan tujuan normatif seperti pemenuhan kebutuhan dasar, distribusi pendapatan yang merata, dan keseimbangan ekologi, yang merupakan produk dari kepercayaan terhadap persaudaraan yang berakar dari perpektif relijius yang menekankan pada peranan dari kepercayaan terhadap Tuhan, akuntabilitas manusia terhadap Tuhan, dan nilai-nilai moral dalam alokasi dan distribusi sumber daya. Namun strategi dan instrumen ilmu ekonomi konvensional –yang merupakan hasil dari gerakan pencerahan di Barat- adalah sepenuhnya didasarkan pada perspektif sekuler.
Perpindahan ilmu ekonomi dari perspektif relijius ke perspektif sekuler ini telah menimbulkan berbagai kontradiksi. Paradigma sekuler telah membawa pada komitmen yang berlebihan terhadap mekanisme pasar yang liberal dan bebas nilai. Ketiadaan sistem nilai dan moral, telah membuat alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas tidak sejalan dengan kebutuhan pemenuhan tujuan normatif. Pelaku-pelaku ekonomi, individu dan perusahaan, berperilaku tidak sejalan dengan tujuan-tujuan ini sehingga menciptakan inkonsistensi antara ekonomi positif dan tujuan normatif.
Dalam perspektif Islam, tujuan normatif yang berakar dari keyakinan relijius, tidak akan pernah bisa dicapai dengan pendekatan sekuler. Ketika ilmu meniadakan agama sebagai sumber pengetahuan, maka disaat itulah ia telah menyesatkan dirinya dari kebenaran. Maka, sebagai misal, tidak akan pernah terhapus kemiskinan dengan instrument bunga, yang Tuhan telah tegaskan larangannya.

Islamisasi Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi dalam Islam harus diturunkan dari kepercayaan dan ajaran Islam. Ilmu yang dibangun tidak boleh bertentangan dengan inti atau struktur logis dari paradigma Islam. Ilmu ekonomi Islam harus dimulai dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan kehidupan yang telah ditentukan oleh Tuhan dan tidak akan dapat dimaknai tanpa hal tersebut.
Ilmu ekonomi Islam tetap dapat menjadi disiplin ilmu pengetahuan baru yang ilmiah karena religious worldview and vision yang dimilikinya, tidak menghalanginya untuk secara objektif menentukan hubungan kausal antar variabel yang berbeda (hipotesis). Pembentukan hipotesis, sebagai misal, biasa mengambil bentuk: Jika A maka B, atau B = f (A). Hipotesis atau teori dalam ilmu ekonomi Islam akan banyak bersumber dan atau diderivasikan dari al Qur’an dan as-Sunnah.
Sebagai misal, dalam Islam, berbuat baik sesuai tuntunan agama akan berkorelasi dengan kesejahteraan hidup di dunia. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman (A), maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (B) …” (QS An-Nahl: 97).
Menolong orang lain secara material, seperti memberikan zakat dan sedekah, tidak membuat harta kita berkurang, namun justru akan membuatnya berkembang dan berlipat ganda. “Dan apa yang kamu berikan berupa zakat (A) … maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (B).” (QS Ar-Rûm: 39).
Di sisi lain, dalam ekonomi Islam, kehancuran perekonomian banyak disebabkan oleh gaya hidup mewah yang kemudian memicu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan. “… maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu (A), … kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (B).” (QS Al-Isrâ’: 16).
Berbagai bencana yang menimpa, dalam Islam dipandang sebagai bentuk hukuman atas perilaku ekonomi yang tidak dibenarkan seperti pelacuran dan riba. “Jika pelacuran dan riba telah merajalela di suatu masyarakat (A) maka mereka telah menghalalkan bagi diri mereka azab Allah azza wajalla (B).” (HR Thabrani dan Hakim).
Dalam ekonomi Islam, kesejahteraan adalah fungsi dari ketaatan terhadap ketentuan Tuhan, kesejahteraan = f (ketaatan terhadap Tuhan). “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’râf: 96)
Sebaliknya, dalam ekonomi Islam, penurunan kesejahteraan sosial secara terus menerus (mahq) adalah fungsi dari perilaku ekonomi tidak etis, seperti riba, mahq = f (riba). “Allah memusnahkan riba …” (QS Al-Baqârah: 276). Mahq (musnah) adalah menurun setelah penurunan, a continuous process of diminishing.
Dalam ilmu ekonomi Islam, penetapan hipotesis dan teori tidak sekedar bertujuan untuk analisis dan prediksi ekonomi semata, namun yang lebih penting adalah pencapaian visi kehidupan. Ilmu ekonomi Islam, sebagaimana ilmu lainnya dalam Islam, harus ilmu yang bermanfaat dengan secara pragmatis mampu memecahkan masalah dan mempromosikan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah puas, dan do’a yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim dan An-Nasâ’i).

Labels:


Selengkapnya...

Saturday, September 15, 2012

Islamisasi Ilmu ...

Buletin Jum'at UI Edisi 16/September/XII

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Ilmu seharusnya menuntun kita pada Tuhan, bukan justru menyesatkan kita dari-Nya. Ilmu semestinya mendekatkan kita pada kebenaran, bukan justru menjauhkan kita darinya. Namun realitas saat ini memperlihatkan bahwa ilmu modern yang kita pelajari di kampus-kampus di penjuru negeri, tidak mendekatkan kita pada Tuhan dan kebenaran. Ilmu yang kita ajarkan tidak mampu menuntun masyarakat memahami hakikat hidup dan kehidupan, tidak mampu membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik di dunia dan di akhirat.
Ilmu saat ini lebih banyak dipelajari sekedar untuk mendapat pekerjaan dan posisi, tanpa perduli bahwa hal tersebut melanggengkan status-quo dan ketidakadilan. Ilmu lebih banyak digunakan untuk membanggakan diri, diperdebatkan, untuk gelar dan kenaikan jabatan, tanpa manfaat nyata bagi masyarakat. Kemajuan llmu pengetahuan modern hari ini gagal memberi manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat, baik untuk urusan dunia dan terlebih urusan akhirat mereka.
Dalam Islam, pengetahuan adalah kebenaran tentang hakikat Tuhan, ciptaan-Nya dan seluruh fenomena kehidupan, yang diperoleh melalui wahyu, pemikiran dan pengalaman manusia. Setiap ide dan gagasan harus didukung dengan bukti kebenarannya, bukan sekedar dari prasangka dan hawa nafsu. Tanpa meyakini kebenarannya, kita hanya akan berdusta.
“… Adakah kamu memiliki pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka dan kamu tidak lain hanyalah berdusta”. (QS Al-An’âm: 148)
Maka, esensi mendasar dari ilmu dan pengetahuan adalah ia harus membawa kita kepada kebenaran. Untuk menjamin hal ini maka ilmu yang dipelajari dan dikembangkan harus diperoleh dari sumber yang diyakini pasti kebenarannya, yaitu Tuhan.
“ … dan (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS An-Nisâ: 126)
Islam menghormati akal dan pikiran rasional, namun Islam menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan. Karena itu, tidak layak bila kita terkungkung semata dengan pikiran rasional atau investigasi ilmiah dengan mengabaikan sumber ilmu paling terpercaya: wahyu Tuhan. Allah SWT telah memberikan kepada manusia panduan hidup yang sempurna tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui seluruh urusan, baik hal-hal yang terlihat dan terlebih hal-hal yang tidak terlihat. Islam menyatukan antara hal-hal yang dapat diobservasi dengan hal-hal yang tidak dapat diobservasi, mempercayai hal-hal yang nyata maupun yang tidak terlihat. Sesuatu yang dapat diobservasi tidak selalu benar, dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat diobservasi tidak selalu salah.
Dengan demikian, Islam melarang kita menggantungkan diri sepenuhnya pada akal dan rasionalitas untuk penjelasan dan penyelidikan ilmiah. Kita dilarang untuk memaksakan diri atau berspekulasi atas sesuatu hal yang kita tidak cukup memiliki pengetahuan tentangnya. Tidak semua realitas selalu harus dapat dijelaskan atau diprediksi secara ilmiah.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya …” (QS Al-Isrâ’:36)
Dalam Islam maka pengetahuan yang diperoleh dari wahyu adalah pengetahuan absolut (haqq al-yaqin), bentuk pengetahuan tertinggi yang terjamin kebenarannya. Pemikiran rasional dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, namun intelektualitas manusia memiliki keterbatasan sehingga tetap membutuhkan wahyu untuk memastikan kebenarannya. Demikian pula panca indera dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan (ayn al yaqin), namun juga memiliki keterbatasan. Dengan demikian, pengetahuan yang kita peroleh dari rasionalisme dan empirisme tidak boleh bertentangan dengan wahyu.
Rasionalisme dan empirisme semata tidak cukup untuk menjamin kita sampai pada kebenaran. Keterbatasan akal dan panca indera manusia akan membuat kebenaran dari pengetahuan manusia selalu bersifat relatif. Ketika kita bergantung sepenuhnya pada akal dan pada saat yang sama mengabaikan pengetahuan dari wahyu Tuhan, maka hal itu akan menyesatkan kita dari kebenaran.
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS An-Najm: 28)

Islamisasi Ilmu
Dalam Islam, ilmu, karena bersumber dari Tuhan, seharusnya sempurna, permanen, netral dan universal. Namun mitos, ketidaksempurnaan akal, serta nilai-nilai dan paradigma yang tidak benar, telah mengotori ilmu sehingga menjadi tidak sempurna. Ilmu yang tidak sempurna inilah, yang tertanam dalam diri kita baik melalui sistem pendidikan formal maupun non-formal, yang menghalangi kita dari kebenaran tentang Tuhan, ciptaan-Nya, serta seluruh fenomena hidup dan kehidupan.
Mitos merupakan salah satu penyebab ketersesatan terbesar bahkan hingga di era modern, seperti Lenin dan penganut atheisme yang meyakini agama adalah candu bagi masyarakat yang menenggelamkan mereka pada khayalan-khayalan kehidupan. Ilmu juga menjadi tidak sempurna atau terkontaminasi oleh kesalahan dan bias pikiran manusia. Demokrasi, misalnya, yang menyandarkan kedaulatan sepenuhnya pada rakyat, tidak akan pernah menjadi sempurna karena kontradiksi dengan prinsip Islam bahwa kedaulatan ada pada Tuhan. Islamisasi ilmu dibutuhkan disini agar manusia tidak tersesat oleh mitos atau ketidaksempurnaan akal. Ketika ilmu sempurna, maka ia akan netral dan universal, sehingga tidak membutuhkan Islamisasi.
Berbagai disiplin ilmu modern juga bersifat tidak bebas nilai: filosofi dan isi pengetahuan merefleksikan paradigma, nilai dan kepentingan tertentu. Islamisasi dibutuhkan untuk membebaskan ilmu dari worldview yang tidak Islami ini. Dua ilmuwan dengan dua worldview yang berbeda akan menghasilkan penjelasan yang berbeda dari sebuah fenomena yang sama. Dalam konteks ini, ilmu alam dan terapan membutuhkan lebih sedikit upaya Islamisasi dibandingkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Islamisasi ilmu adalah kebutuhan, bukan kemewahan, intelektual. Ia bertujuan untuk menjamin isi dan kandungan ilmu tidak bertentangan dengan semangat dan ajaran Islam, memastikan prosedur, metodologi, dan cara memperoleh, memvalidasi dan menerapkan ilmu sejalan dengan aturan Islam, serta membuat sasaran dan tujuan dari upaya memperoleh dan menerapkan ilmu sesuai dengan ajaran Islam. Dimana dan oleh siapa ilmu ditemukan, tidak dipermasalahkan dalam Islam.

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, September 04, 2012

Bersahabat dengan Glaukoma (Kongenital) ...

Alhamdulillah, hari ini, 4 September 2012, putri kami, Salma Shakila Yusuf, genap berumur 1 tahun. Salma kini telah bisa melakukan banyak hal untuk anak seusianya. Setahun ini pula Salma berjuang mengobati glaukoma kongenital yang dideritanya.
Glaukoma adalah penyebab kedua kebutaan terbesar di dunia. Berbeda dengan katarak yang hilangnya penglihatan dapat dipulihkan dengan operasi, kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen, tidak dapat lagi disembuhkan. Karena itu menjadi sangat penting untuk mendeteksi penyakit ini sedini mungkin.
Kami mengetahui penyakit Salma sehari setelah kelahirannya. Awalnya, dokter yang mengobservasi mendiagnosa katarak karena mata kiri Salma terlihat keruh, tidak jernih sebagaimana seharusnya, yang umumnya disebabkan virus rubella, sehingga saat itu Salma langsung diperiksa seluruh organ vital lainnya seperti pendengaran dan jantung, karena rubella menyerang seluruh organ. Namun dua hari kemudian setelah kami membawa Salma ke RS JEC Menteng baru diketahui bahwa Salma menderita glaukoma, dan tidak hanya mata kiri namun juga mata kanan. Di satu sisi kami tentu sedih dan khawatir atas kondisi anak kami, namun di sisi lain kami bersyukur karena mengetahui hal ini sejak dini sedari Salma berusia 3 hari. Banyak kasus lain dimana glaukoma terlambat dideteksi yang berakibat fatal.Glaukoma umumnya diderita orang tua seiring bertambahnya usia, glaukoma kongenital adalah sangat jarang terjadi. Glaukoma adalah penyempitan atau tertutupnya saluran yang mengalirkan cairan yang diproduksi mata. Akibatnya cairan tersebut menumpuk di dalam mata sehingga tekanan bola mata meningkat. Umumnya bola mata penderita glaukoma membesar seiring semakin tingginya tekanan bola mata. Hal ini membuat syaraf mata tertekan, sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi penglihatan, bahkan dapat berakhir pada kebutaan. Semakin kecil usia penderita, penanganan glaukoma semakin sulit. Alternatif yang diberikan dokter kepada kami hanya operasi. Untuk anak-anak, operasi umumnya dilakukan dengan pembiusan total, sedangkan untuk orang dewasa cukup dengan pembiusan lokal. Karena Salma masih 3 hari, maka ditunggu hingga 3 bulan agar kondisi tubuhnya lebih kuat untuk pembiusan.
Setelah tiga bulan, Salma menjalani operasi pertama untuk mata kiri-nya, yang kondisinya paling parah. Operasi berjalan lancar dan hasilnya positif, tekanan bola mata Salma menurun. Sebulan kemudian Salma melakukan operasi kedua untuk mata kanan-nya, lancar dan hasilnya positif. Namun setelah beberapa bulan kemudian, tekanan bola mata Salma, yang kiri dan kanan, meningkat kembali. Treatment yang diberikan kemudian adalah terapi obat, yaitu obat tetes. Mata kanan berhasil stabil namun mata kiri tetap tinggi. Memasuki usia tujuh bulan, Salma menjalani operasi ke-tiga yaitu kembali untuk mata kiri-nya. Operasi lancar dan hasilnya positif. Namun lagi-lagi selang sebulan kemudian tekanan mata kiri meningkat lagi. Dokter kemudian menawarkan treatment berikutnya adalah pemberian sinar laser.
Merasa awam dengan obat dan treatment, kami mencoba mencari second opinion, yaitu ke Klinik Talang dengan Prof. Sidharta Ilyas. Dari beliau, kami direkomendasikan ke RS Aini. Di RS Aini Salma menjalani operasi ke-empat, kembali untuk mata kirinya. Operasi lancar dan hasilnya positif. Namun setelah itu kembali tekanan mata kiri meningkat. Karena obat dan treatment tidak banyak berbeda, kami kembali ke JEC dan kembali direkomendasikan untuk pemberian sinar laser, yang bertujuan menurunkan produksi cairan di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata menurun.
Hingga kini, mata kanan Salma secara umum stabil dengan tekanan dibawah 20. Namun mata kiri Salma, selain tekanannya masih tinggi, di kisaran 30-an, juga kornea mata-nya keruh dan butuh donor untuk dapat melihat. Karena itu penglihatan Salma sangat mengandalkan mata kanannya. Terakhir dokter masih optimis bahwa mata kiri Salma masih dapat berfungsi meski entah berapa persen, setelah dapat donor kornea, karena dari pemeriksaan syaraf mata kiri masih bagus. Pemberian sinar laser menjadi penting untuk menyelamatkan syaraf mata kiri ini.
Kami bersyukur hingga kini diberikan kekuatan fisik, mental dan finansial selama mendampingi Salma. Mohon doa restu semua keluarga dan rekan sahabat untuk Salma, semoga Salma dapat menjalani dengan baik semuanya dan mendapat kesembuhan. Amiin.

Depok, 4 September 2012.
Yusuf - Fina

Labels:


Selengkapnya...