Tuesday, December 29, 2009

Catatan Akhir Tahun Perekonomian 2009 ...

MEMBANGUN OPTIMISME DI TENGAH PRAHARA
Yusuf Wibisono – Staf Pengajar FEUI dan Waka PEBS FEUI

Sepanjang 2009, perekonomian Indonesia memperlihatkan kinerja dan daya tahan yang tinggi di tengah terpaan berbagai prahara. Setelah mengalami tekanan cukup kuat pada pertengahan 2008 akibat krisis finansial global, pada pertengahan 2009 perekonomian Indonesia mulai memasuki siklus pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kuartalan terus mengalami akselerasi setelah tekanan tertinggi di kuartal terakhir 2008. Pertumbuhan ekonomi 2009 diperkirakan menembus 4%, yakni di kisaran 4,5%. Ke depan, perekonomian diperkirakan akan tumbuh dikisaran 5% dan 6% masing-masing pada 2010 dan 2011.
Namun daya tahan perekonomian sepanjang 2009 ini lebih banyak ditopang berbagai “keberuntungan” seperti kecilnya peran ekspor dan besarnya peran konsumsi domestik, datangnya jadwal pemilu, khususnya pemilu legislatif yang mendongkrak konsumsi swasta secara signifikan, serta belanja pemerintah dan stimulus fiskal untuk menaikkan daya beli masyarakat. Mulai membaiknya kinerja ekspor juga lebih banyak didorong oleh pulihnya perekonomian “Macan Asia” seperti Cina, Korea dan India, serta masif-nya stimulus fiskal di negara-negara maju. Belum terlihat kinerja “genuine” pemerintah seperti perbaikan iklim investasi dan daya saing perekonomian. Namun menguatnya konsumsi domestik dan ekspor produk perkebunan dan pertambangan, telah meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah penghasil komoditas primer tersebut.
Perekonomian belum mampu mengembalikan kepercayaan investasi di sektor riil. Pembelian barang modal (capital goods) masih terbatas meskipun pembangunan properti masih bergairah. Perlambatan dalam investasi secara keseluruhan ini sejalan dengan stagnan-nya pemberian kredit untuk investasi dan modal kerja sejak akhir 2008, kontras dengan pertumbuhan cepat di kredit konsumtif awal.
Rendahnya investasi banyak disumbang oleh tingginya suku bunga. Di bulan Desember 2009, Bank Indonesia untuk ke-lima kali-nya secara berturut-turut tidak mengubah suku bunga acuan (BI rate) di tingkat 6,5% setelah secara agresif melakukan pemotongan suku bunga 300 basis poin dalam 12 bulan terakhir. Namun suku bunga perbankan tidak banyak berubah, sehingga pada akhir Agustus 2009 lalu BI meminta 14 bank terbesar untuk menurunkan suku bunga tabungan mereka secara progresif tidak lebih dari 150 basis poin di atas suku bunga acuan BI, untuk menekan cost of fund. Meskipun telah menurun, namun hingga kini spread suku bunga deposito dan kredit masih di kisaran 6%.
Tingginya suku bunga ini juga menjadi kontras dengan inflasi yang semakin terkendali pada tingkat yang rendah. Inflasi November 2009 tercatat hanya 2,41%, jauh menurun dibandingkan tingkat inflasi tertinggi 12,14% pada September 2008. Yang kemudian menjadi atraktif dengan tingginya suku bunga ini adalah investasi – dan spekulasi - jangka pendek di pasar uang dan pasar modal. Pasar modal menguat sejak pertengahan 2009 dan investor portofolio kembali ke pasar, yang mengizinkan cadangan devisa meningkat dan pemerintah mendapat pembiayaan. Meningkatnya risk appetite investor global terhadap aset keuangan domestik telah mendorong penguatan rupiah sejak triwulan II dan pada akhir November 2009 berada di posisi Rp 9.445,- per dollar menguat 15% dari posisi akhir tahun 2008 yang masih di posisi Rp 10.900,- per dollar.
Pasca pemilu legislatif dan pemilu presiden yang berlangsung damai dan menghasilkan pemerintahan baru yang sangat legitimate, badai Bank Century menghantam pada akhir Agustus ketika kasus bailout Bank Century Rp 6,7 trilyun terungkap ke publik dalam Raker Komisi XI DPR. Eskalasi badai ini meningkat cepat karena berbaur dengan prahara KPK-Polri dan konspirasi politik tingkat tinggi pelemahan KPK. Badai Bank Century sendiri dengan cepat meningkatkan eskalasi politik nasional seiring keluarnya hasil audit investigatif BPK dan bergulirnya Hak Angket di DPR yang mengarah pada keterlibatan elit di lingkaran dalam kekuasaan.
Dampak politik-ekonomi badai Century ini dapat signifikan mempengaruhi perekonomian. Pertama, prahara ini melibatkan pengambil kebijakan ekonomi tertinggi dan bahkan oleh sebagian kalangan diyakini melibatkan pusat kekuasaan. Kedua, kasus Century ini dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku di perbankan nasional dan mengirimkan market signal yang salah ke perekonomian.
Kasus Century mengirimkan pesan yang jelas ke pasar: ketidakpastian. Ekspektasi pasar akan terbentuk bahwa penegakan hukum tidak berjalan, aturan bisa dibeli, keuntungan ekonomi bisa diraih dengan segala cara. Yang mendominasi pasar kemudian adalah pelaku bisnis hitam, pelaku usaha yang jujur dan andal akan tersingkir atau menjadi pragmatis. Seluruh pelaku ekonomi akan berorientasi pada usaha ekonomi yang memberi keuntungan besar dalam jangka pendek, dengan menghalalkan segala cara.
Yang menarik, terlepas dari tekanan berat pada perekonomian sejak pertengahan 2008 hingga pertengahan 2009, tingkat kemiskinan dan pengangguran justru menurun. Antara 2008–2009, angka kemiskinan turun dari 15,42% menjadi 14,15% dan penganguran dari 9,43% menjadi 9,26%. Hal ini mengesankan karena penurunan terjadi di tengah peningkatan biaya hidup kelompok miskin dan penurunan pendapatan ketika harga komoditas anjlok dan kegiatan ekonomi mengalami stagnasi akibat terpaan krisis finansial global 2008. Pemerintah dan Bank Dunia bahkan memberi proyeksi optimis bahwa angka kemiskinan akan terus menurun hingga 2011, meskipun ke depan terdapat potensi naiknya permintaan domestik dan harga komoditas global sehingga mendorong naik-nya inflasi dan disaat yang sama program BLT telah selesai.
Ke depan, perekonomian membutuhkan langkah yang lebih mendasar dan bervisi, untuk meningkatkan daya saing, mendorong dinamika sektor riil dan mengentaskan kemiskinan. Stabilitas makro semata tidak akan pernah cukup untuk membawa pada kesejahteraan. Berbagai krisis struktural perlu mendapat perhatian dan ketegasan yang memadai. Krisis listrik telah terjadi bertahun-tahun tanpa ada kemajuan yang signifikan, krisis pangan dan energi setiap saat mengintai dan rentan terhadap perubahan harga global, serta krisis infrastruktur hingga kini terus menjadi masalah utama integrasi ekonomi domestik dan daya saing industri nasional.
Sektor keuangan harus memberi kontribusi bagi sektor riil dan berbagi resiko usaha dengan-nya. Kejahatan-kejahatan keuangan dan perbankan harus diusut secara efektif dan tuntas. Penyelesaian kasus Century menjadi krusial dampaknya terhadap ekspektasi pasar dan prospek pertumbuhan jangka panjang. Pasar modal dan pasar uang kita tidak boleh lagi menjadi surga hot money dan tempat money laundering. Kejahatan perpajakan dan tax evasion juga harus diberantas tuntas.
Di sisi lain, permasalahan di sektor riil membutuhkan perhatian yang lebih masif dan kompleks, terkait berbagai aspek teknis produksi barang dan jasa. Kemunduran sektor riil memberi dampak yang terlihat jelas di lapangan dan tidak bisa ditutup oleh angka-angka statistik. Ketika pemerintah mengklaim angka kemiskinan 2009 adalah 14,15%, maka di tahun sebelumnya jumlah penerima BLT yang ditetapkan oleh BPS adalah 18,5 juta rumah tangga miskin. Jika kita asumsikan secara moderat setiap rumah tangga miskin memiliki 4-5 anggota, maka jumlah orang miskin 2008 yang realistis adalah 74-92,5 juta jiwa atau berkisar antara 32,64% - 40,80%! Inilah fakta yang sesungguhnya yang dihadapi pemerintah, dan untuk kenyataan seperti inilah semestinya kebijakan ekonomi kita berfokus.

Koran Tempo, 29 Desember 2009.

Labels:


Selengkapnya...