Monday, July 23, 2007

Menarik Garis Kemiskinan Islam ...

Dekade terakhir menjadi saksi tumbuhnya lembaga-lembaga zakat di Indonesia secara signifikan. Di satu sisi, hal ini menggembirakan. Penghimpunan dana zakat terus meningkat, walaupun masih jauh di bawah potensinya. Di sisi lain, hal ini memunculkan tantangan bagi pendayagunaan dana zakat agar efektif dan berdampak luas di masyarakat.

Tantangan pertama dan terbesar dalam pendayagunaan dana zakat adalah bagaimana kita mendistribusikan dana zakat ke sasaran yang tepat. Sasaran yang tepat menjadi pintu pertama bagi efektifnya dampak zakat. Harus ada kesamaan cara pandang dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) terhadap mustahik. Siapa itu mustahik, di mana mereka berada, dan bagaimana karakteristik mereka?

Selama ini Baz dan LAZ masih berbeda-beda dalam menentukan kriteria mustahik. Selain mengindikasikan lemahnya konsep dan keterbatasan basis data, hal ini juga menyiratkan adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penyaluran dana zakat.

Kelemahan data kemiskinan
Mustahik yang mendapat perhatian terbesar dalam Alquran adalah fakir dan miskin (QS 9:60). Tujuan utama zakat adalah memberi kecukupan kepada golongan ini. Dengan demikian, fakir dan miskin harus menjadi prioritas utama dalam daftar penerima zakat (Qaradhawi, 1973). Di Indonesia, penyaluran dana zakat ke kelompok fakir dan miskin ini tidaklah mudah. BAZ dan LAZ tidak dapat begitu saja menggunakan data kemiskinan resmi yang ada dalam pendayagunaan dana zakat. Hal ini karena data kemiskinan yang ada memiliki sejumlah masalah.

Permasalahan basis data kemiskinan di Indonesia bersumber dari dua hal pokok. Pertama, ketiadaan garis kemiskinan yang fair dan well defined. Ketiadaan hal ini membuat data kemiskinan yang dikeluarkan BPS sering dipertanyakan banyak pihak, karena garis kemiskinan BPS sangat konservatif dan sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan.

Kedua, data kemiskinan yang dikeluarkan BPS adalah data agregat (nasional) yang merupakan hasil estimasi dari sampel. Data seperti ini tidak bisa digunakan sebagai basis program pengentasan kemiskinan yang well design dan targeted yang membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan di mana orang miskin itu berada.

Sebagai misal, untuk program JPS dan raskin pemerintah mempergunakan data BKKBN yang relatif lebih jelas karena berbasis data populasi walaupun kriterianya sangat kualitatif serta cenderung diragukan objektivitasnya. Sedangkan untuk penyaluran dana bantuan langsung tunai (BLT) di tahun 2006, pemerintah meminta BPS untuk membangun data kemiskinan baru yang memiliki 14 kriteria.

Di sini kita melihat inkonsistensi pemerintah dalam mempergunakan data kemiskinan. Untuk evaluasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data kemiskinan versi BPS, yang cenderung rendah karena garis kemiskinan yang sangat konservatif. Namun untuk implementasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data BKKBN atau membangun basis data baru yang angkanya jauh lebih tinggi, dan implisit, jauh lebih menggambarkan kondisi nyata.

Contohnya, untuk implementasi program BLT yang bertujuan meredam dampak kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, BPS membangun data baru berbasis rumah tangga dengan 14 kriteria. Dan hasilnya, jumlah rumah tangga miskin penerima BLT adalah 19,2 juta rumah tangga.

Jika kita asumsikan secara moderat setiap rumah tangga miskin memiliki 4 anggota, maka jumlah orang miskin pascakenaikan BBM 1 Oktober 2005 adalah 76,8 juta jiwa (34,91 persen). Jika setiap rumah tangga kita asumsikan memiliki 5 anggota, maka angka kemiskinan akan melonjak lebih tinggi lagi menjadi 96 juta jiwa (43,64 persen). Hal ini sejalan dengan data Bank Dunia yang mempergunakan batas garis kemiskinan berupa penghasilan 2 dolar AS per hari, menghasilkan jumlah orang miskin di tahun 2006 adalah 107,8 juta (49,0 persen). Bandingkan dengan jumlah orang miskin resmi versi BPS per Maret 2006 yang hanya 39,05 juta jiwa (17,75 persen).

Garis kemiskinan Islam
Penentuan garis kemiskinan, dan karenanya jumlah orang miskin bisa dihitung, memiliki kaitan erat dengan bagaimana kita mendefinisikan kemiskinan. Sebagai misal, dengan definisi kemiskinan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan dan bukan makanan, BPS mendapatkan garis kemiskinan senilai Rp 152.847 per kapita per bulan untuk mendapatkan jumlah orang miskin 39,05 juta jiwa per Maret 2006.

Apakah BAZ dan LAZ dapat menerima garis kemiskinan resmi versi BPS ini? Jika menerima, maka konsekuensinya adalah jika ada orang yang mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 152.847 per bulan, maka ia bukan dianggap orang miskin yang berhak menerima zakat. Jika seorang kepala rumah tangga yang menanggung kebutuhan hidup 3 anggota keluarga, mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 611.388 per bulan, ia dianggap tidak miskin.

Maka, bila melihat definisi fakir dan miskin dalam konteks penerima zakat, sulit bagi kita menerima garis kemiskinan versi BPS ini. Kita membutuhkan definisi dan garis kemiskinan baru dalam konteks penyaluran dana zakat, khususnya kepada golongan fakir dan miskin. Kita sebut saja ia adalah garis kemiskinan Islam. Dalam fikih Islam, fakir dan miskin adalah mereka yang tidak memiliki harta dan usaha sama sekali atau memiliki harta dan usaha namun tidak bisa memenuhi kebutuhan. Lalu, bagaimana kita mendefinisikan kebutuhan dalam Islam?

Qaradhawi mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang semestinya tercukupi bagi setiap orang Islam adalah jumlah makanan dan air (HR Bukhari dan Muslim), pakaian yang menutup aurat (QS 7:26, 16:5,81), tempat tinggal yang sehat (QS 16:80, 24:27), sejumlah harta untuk pernikahan (QS 16:72, 30:21), sejumlah harta untuk mencari ilmu (HR Ibnu Majah), sejumlah harta untuk berobat jika sakit (HR Ahmad), dan kelebihan harta untuk ibadah haji (QS 3:97). Jika kita bisa menyepakati hal ini, kita dapat bergerak membentuk garis kemiskinan Islam.

Dengan adanya garis kemiskinan Islam, BAZ dan LAZ dapat membentuk basis data kemiskinan baru untuk penyaluran dana zakat. Dengan demikian, penyaluran zakat diharapkan lebih tepat sasaran, khususnya untuk fakir dan miskin. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun data kemiskinan Islam yang akurat.

Di tataran makro, garis kemiskinan Islam ini juga akan berfungsi sebagai alat evaluasi alternatif untuk menilai keberhasilan program pengentasan kemiskinan pemerintah. Hal ini juga menjadi sangat relevan mengingat Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah penduduk mayoritas, maka isu kemiskinan seharusnya menjadi isu utama umat Islam. Jika data kemiskinan versi Islam ini tersedia, maka umat Islam dapat mengetahui perkembangan kesejahteraan mereka dari waktu ke waktu. Ke depan, pengumpulan data kemiskinan oleh BPS seharusnya dapat juga mengakomodasi pengumpulan data terkait dengan kepentingan penyaluran zakat dan pembentukan garis kemiskinan Islam ini.

Ikhtisar
- BAZ dan LAZ masih menghadapi kendala untuk mencapai penyaluran zakat yang tepat sasaran.
- Selama ini, penentuan kriteria fakir miskin yang berhak menerima zakat masih berbeda-beda.
- Perlu segera dirumuskan data kemiskinan versi Islam yang didasarkan pada Alquran dan hadis.
- Data tersebut akan sangat berguna untuk memantau perkembangan upaya pemberantasan kemiskinan di kalangan umat Islam.

Yusuf Wibisono
Anggota Dewan Pakar BAZNAS-Dompet Dhuafa, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEUI

Republika, "Menarik Garis Kemiskinan Islam"
Jumat, 02 Maret 2007.

Labels:


Selengkapnya...

Zakat dan Lapangan Kerja ...

Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pengangguran masih menjadi salah satu masalah terbesar dalam perekonomian nasional. Presiden SBY dalam pidato awal tahun 2007 secara jujur mengakui bahwa pengangguran adalah salah satu dari tiga masalah mendasar bangsa ini selain kemiskinan dan besarnya utang pemerintah (Republika, 1/2/2007).

Masalah pengangguran adalah salah satu potret paling kelabu dalam proses pemulihan ekonomi nasional pascakrisis 1997. Seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, jumlah pengangguran tidak pernah berkurang, bahkan ikut meningkat. Sepanjang 2001-2006, ketika pertumbuhan ekonomi menguat dari 3,8 persen menjadi 5,5 persen, pada saat yang sama pengangguran bertambah 620 ribu orang setiap tahun.

Hal ini secara jelas menyiratkan lemahnya kualitas pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja. Pertumbuhan yang tidak ramah lapangan kerja ini merupakan hasil dari kombinasi pertumbuhan tinggi di sektor padat modal dan gelembung di sektor finansial (bubble economy). Selain berimplikasi pada masalah pengangguran dan kemiskinan, fenomena ini juga sekaligus berimplikasi pada semakin lebarnya kesenjangan struktural di mana sebagian besar penduduk tidak mampu mengambil manfaat dari pertumbuhan yang tinggi.

Perspektif Islam
Islam memberi perhatian besar pada masalah bekerja. Bekerja pada dasarnya adalah kewajiban setiap individu di mana Allah, Rasul, dan masyarakat secara langsung akan menilai hasil kerja-nya itu (QS 9: 105). Bekerja juga dipandang Islam sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT (QS 34:13). Dikaitkan dengan kehidupan manusia di Bumi, bekerja adalah kewajiban setiap individu untuk mencari nafkah (QS 67:15).

Dengan adanya jaminan rizki dan kewajiban bekerja, maka dalam perspektif Islam, pengangguran dan masalah ketenagakerjaan lainnya sepenuhnya disebabkan oleh masalah-masalah struktural. Pertama, pengangguran timbul karena kurangnya ilmu yang dimiliki manusia. Kedua, pengangguran timbul karena kelemahan fisik. Ketiga, pengangguran juga dapat timbul karena kelemahan moral. Keempat, pengangguran timbul karena ketiadaan faktor produksi pendukung untuk bekerja. Kelima, pengangguran timbul karena penerapan riba. Keenam, pengangguran timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam yang membuat penduduk kehilangan mata pencaharian atau peperangan.

Di banyak negara berkembang, masalah perekonomian adalah surplus tenaga kerja yang besar di sektor tradisional dengan upah pada tingkat minimum-subsisten. Pembangunan kemudian ditujukan pada penciptaan lapangan kerja yang luas di sektor modern untuk menyerap surplus tenaga kerja tersebut. Penciptaan lapangan kerja di sektor modern ini membutuhkan akumulasi modal yang besar, yang pada gilirannya membutuhkan mobilisasi tabungan dan sumber daya finansial lainnya. Kebutuhan terhadap akumulasi modal inilah yang kemudian memunculkan ketergantungan perekonomian terhadap para pemilik modal. Namun sebaliknya, kelas buruh seringkali terabaikan dan termarjinalkan.

Fokus dari strategi konvensional adalah ekspansi lapangan kerja pada tingkat yang semakin cepat untuk menyerap habis surplus tenaga kerja. Namun strategi ini terbukti gagal di banyak negara berkembang. Strategi ini mengalami kegagalan karena hanya berfokus pada penciptaan lapangan kerja dengan upah tetap di sektor modern-formal. Padahal, lapangan kerja dapat pula diciptakan melalui penciptaan peluang wirausaha. Strategi konvensional cenderung mengabaikan cara kedua ini.

Peran zakat
Aturan dan kerangka institusional dalam perekonomian Islam secara jelas mendorong penciptaan lapangan kerja baik melalui penciptaan pekerjaan dengan upah tetap maupun dengan menumbuhkan wirausahawan. Dan salah satu kerangka institusional terpenting dalam Islam untuk penciptaan lapangan kerja adalah zakat. Secara umum, strategi Islam untuk penciptaan lapangan kerja meliputi hal-hal berikut.

Pertama, larangan menganggur dan menyia-nyiakan sumber daya ekonomi baik sumber daya manusia, modal, maupun alam. Bekerja dalam Islam adalah sangat mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Sumber daya ekonomi juga tidak boleh ditimbun dan disia-siakan. Islam mengecam keras mereka yang menyia-nyiakan kekayaan pertanian dan peternakan (QS 6: 138; QS 10: 59).

Kedua, larangan bagi sumber daya modal finansial untuk menerima sewa berupa bunga dan mengarahkannya pada kegiatan bisnis-wirausaha. Modal finansial dilarang disewakan dan tidak boleh menuntut klaim sewa (bunga). Pilihan untuk menyimpan uang dan membiarkannya menganggur, sulit dilakukan dalam sistem Islam karena akan terkena penalti berupa pembayaran zakat sehingga akan berkurang setiap tahunnya. Satu-satunya cara bagi uang agar tidak berkurang dan memperoleh hasil agar berkembang adalah dengan cara terlibat dalam kegiatan wirausaha dengan bersedia menanggung risiko usaha untuk memperoleh laba.

Ketiga, eksistensi institusi kemitraan. Islam mendorong entrepreneurial resources untuk membentuk kerja sama bisnis seperti melalui mudharabah, musyarakah, dan muzara'ah. Laba usaha dibagi menurut kesepakatan di muka, sedangkan kerugian hanya dapat dibagi berdasarkan rasio sumber daya finansial yang diinvestasikan.

Islam mendorong kemitraan melalui pelarangan riba dan penerapan zakat di mana financial resources dilarang menerima fixed rent dan mengenakan zakat terhadap financial resources yang menganggur. Fungsi utama kemitraan adalah mendistribusikan entrepreneurial risk sehingga semakin banyak potensi wirausaha yang terserap dan meningkatkan output perekonomian melalui spesialisasi.

Dalam sistem konvensional, semua faktor produksi disewakan, kemitraan tidak berkembang. Dalam perekonomian dengan risiko bisnis tinggi, semua faktor produksi akan lebih memilih menjadi hired resources daripada menjadi entrepreneur resources. Dengan demikian, kelompok buruh di negara berkembang akan selalu terperangkap dalam upah rendah dan kemiskinan.

Keempat, eksistensi institusi jaminan sosial. Islam memiliki institusi zakat yang merupakan sedekah wajib. Selain itu, Islam juga menganjurkan sedekah tidak wajib seperti wakaf dan infaq. Keberadaan institusi jaminan sosial ini akan menjamin setiap penduduk memperoleh tingkat kehidupan minimum. Dengan demikian, partisipasi dalam entrepreneurial resources akan meningkat. Kenaikan ini akan mendorong kemitraan untuk berkembang sehingga output meningkat, kemiskinan menurun, dan distribusi pendapatan membaik.

Lebih jauh lagi, penciptaan lapangan kerja dengan upah-tetap juga akan meningkat dalam perekonomian Islam. Hal ini terjadi karena akumulasi modal juga akan terjadi secara masif dalam perekonomian Islam.

Ikhtisar

- Penangguran menjadi persoalan sangat serius sejak terjadi krisis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi saat ini juga diiringi pertumbuhan angka pengangguran.
- Pola konvensional selalu mengatasi pengangguran dengan membuat proyek penciptaan lapangan kerja, sambil melupakan upaya untuk menumbuhkan mental wirausaha.
- Zakat memiliki peran penting dalam Islam untuk mengurangi angka pengangguran.

Yusuf Wibisono
Anggota Dewan Pakar BAZNAS-Dompet Dhuafa

Republika, "Zakat dan Lapangan Kerja"
Jumat, 09 Februari 2007.

Labels:


Selengkapnya...

Strategi Mengefektifkan Dampak Zakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin ...

STRATEGI MENGEFEKTIFKAN DAMPAK ZAKAT DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

Yusuf Wibisono
Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion BAZNAS – Dompet Dhuafa “Tolok Ukur dan Strategi Mengefektifkan Impact Pemberdayaan Zakat Menuju Sistem Ekonomi Berkeadilan”, Jakarta, 14 Maret 2007.

Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi
Zakat memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui beberapa saluran, antara lain:
1. pengentasan kemiskinan. Alokasi zakat secara spesifik telah ditentukan oleh syariat (QS 9: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu: orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur ulama sepakat bahwa selain kelompok ini, haram menerima zakat. Dengan demikian, zakat secara inherent bersifat pro-poor dan self-targeted.
2. perbaikan distribusi pendapatan. Zakat hanya diambil dari orang kaya dan diberikan hanya kepada orang miskin. Dengan demikian, zakat mendistribusikan kekayaan dari orang kaya ke orang miskin di dalam perekonomian, sehingga memperbaiki distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat mengambil dua bentuk: (i) distribusi fungsional yang merujuk pada distribusi faktor produksi; (ii) distribusi kekayaan melalui transfer payments.
3. penciptaan lapangan kerja. Islam mendorong penciptaan lapangan kerja dengan memfasilitasi kerjasama bisnis (partnership) melalui pelarangan riba dan penerapan zakat. Financial resources dilarang menerima fixed rent dan financial resources yang menganggur akan terkena penalti zakat.
4. jaring pengaman sosial. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara melalui dana zakat (QS 9:60).

Mengefektifkan Dampak Zakat
Zakat memiliki dampak yang menjanjikan dalam mengentaskan kemiskinan. Dan secara empiris, zakat mampu membuktikan hal tersebut. Catatan sejarah otentik menunjukkan bahwa zakat pernah mampu menuntaskan masalah kemiskinan di Yaman pada masa Khalifah Umar bin Khattab (12-22 H) dan di Mesir pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis (99-101 H) .
Meski demikian, agar zakat dapat efektif dalam mengentaskan kemiskinan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. jumlah penerimaan dana zakat yang cukup signifikan.
2. distribusi dan pendayagunaan zakat yang lebih efektif.
3. reformasi regulasi dan institusi

Meningkatkan Penerimaan Zakat: Beberapa Isu Fiqh
Zakat memiliki potensi yang menjanjikan bagi perekonomian, namun dampak zakat tersebut baru akan terasa pada tingkat yang diharapkan jika dana zakat terkumpul dalam jumlah yang cukup signifikan. Dana zakat sangat mungkin tidak mencukupi untuk pengentasan kemiskinan, bahkan ketika semua potensi zakat telah tergali dan jumlah orang miskin tidak besar. Kesimpulan ini tidak terlalu mengejutkan. Tidak heran bila para ulama klasik, termasuk empat imam mazhab, telah menetapkan bolehnya penarikan pajak ketika dana zakat tidak mencukupi (lihat Qardawi, terj., 1988, bagian ke-sembilan, bab VII). Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa dana zakat yang terkumpul di berbagai negara muslim kontemporer, tidak mencukupi untuk menghasilkan dampak yang diinginkan.
Kemiskinan di negara-negara muslim adalah tinggi, sehingga dibutuhkan dana pengentasan kemiskinan yang besar, berkisar antara 0,3 hingga 107,7 persen dari PDB untuk masing-masing negara. Mengandalkan dana zakat untuk pengentasan kemiskinan adalah sulit ketika PDB per kapita adalah rendah dan jumlah orang miskin adalah besar (Ahmed, 2004). Malangnya, penerimaan zakat selalu lebih rendah dari potensi-nya. Sebagai misal, penerimaan zakat di negara-negara Muslim yang mewajibkan pembayaran zakat, tidak lebih dari 0,6% PDB. Penerimaan zakat di Arab Saudi hanya 0,4-0,6% dari PDB, di Yaman tidak lebih dari 0,4% PDB, di Pakistan tidak lebih dari 0,3% PDB, dan di Sudan 0,3-05% PDB. Padahal potensi penerimaan zakat di negara-negara tersebut mencapai 3,1%-6,2% (Kahf, 1999).
Di Indonesia sendiri, pengumpulan zakat memiliki dasar hukum yang kuat namun tidak ada kewajiban dan sanksi bagi pelanggaran. Pengumpulan dana zakat walau terus meningkat dari waktu ke waktu, namun masih jauh dibawah potensi-nya.
Rendahnya penerimaan zakat di Indonesia setidaknya disebabkan karena dua hal pokok: (i) rendahnya kesadaran wajib zakat dan rendahnya kepercayaan terhadap BAZ-LAZ; (ii) potensi zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat profesi; dan (iii) rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat.
Selain masalah kesadaran dan kepercayaan, penerimaan zakat di Indonesia dapat ditingkatkan secara signifikan dengan memperluas basis zakat. Beberapa basis zakat yang signifikan namun belum tergali secara optimal antara lain adalah: (i) zakat uang; (ii) zakat barang tambang dan hasil laut; dan (iii) zakat saham dan obligasi. Hal ini memang membutuhkan beberapa prasyarat yang tidak mudah dipenuhi. Berikut ini akan dibahas lebih dalam dua basis zakat yang potensial di Indonesia yaitu zakat uang dan zakat rikaz.
1. zakat uang. Ulama kontemporer memandang bahwa uang kertas wajib dikeluarkan zakat-nya sebagaimana uang emas-perak, yaitu 2,5% (Qardawi, terj., 1988, hal 266-270; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 33). Jika dioptimalkan, potensi zakat uang adalah signifikan (lihat tabel 1). Namun perlu dipertimbangkan aspek fiqh, yaitu bahwa non-muslim tidak wajib zakat dan harta haram, seperti kekayaan yang diperoleh dari riba, tidak wajib zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 131-133). Jika potensi hanya dari perbankan syariah, maka potensi zakat uang ini akan menyusut drastis (tabel 2).


2. zakat barang tambang (rikaz). Potensi zakat barang tambang adalah menjanjikan karena: (i) rikaz meliputi semua harta yang tersimpan dan terpendam di dalam tanah; (ii) tidak memperhitungkan nisab; (iii) tidak ada haul; dan (iv) siapapun yang menemukan, baik muslim ataupun non-muslim, wajib mengeluarkan zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 410-413; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 73-78). Tarif zakat barang tambang bervariasi antara 2,5%, 5%, 10%, dan 20% sesuai dengan perbandingan antara barang yang dihasilkan dengan usaha dan biaya yang dihabiskan. Semakin sedikit tingkat kesulitan, semakin besar tarif zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 417-423).
Potensi zakat barang tambang ini di Indonesia sangat besar mengingat Indonesia dikarunia kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia adalah penghasil terbesar ke-dua di dunia untuk timah, ke-empat untuk tembaga, ke-lima untuk nikel, ke-tujuh untuk emas, dan ke-delapan untuk batu bara (World Bank, 2005). Belum lagi jika kita pertimbangkan juga minyak dan gas bumi yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
Satu perusahaan seperti PT Freeport Indonesia (FI) saja, mengeksploitasi tambang di Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia yaitu 2,16 juta kg dan cadangan tembaga terbesar ke tiga di dunia yaitu 22 juta ton, dan meraup keuntungan luar biasa dengan setiap harinya memproduksi sedikitnya 1.800 ton tembaga dan 9.000 troy ounce emas.
Dengan menggunakan nilai tambah bruto sektor pertambangan dan penggalian sebagai proksi nilai rikaz, pada 2006 kita mendapatkan estimasi potensi zakat rikaz minimal Rp 8,9 triliun dan maksimal Rp 71 triliun (tabel 3).


Distribusi Zakat: Sebuah Studi Literatur
Distribusi zakat menjadi titik paling kritis dalam strategi mengefektifkan dampak pemberdayaan zakat. Untuk itu penting diperhatikan beberapa hal berikut:
1. prioritas dalam distribusi zakat. Distribusi zakat sudah ditentukan untuk 8 ashnaf (QS 9: 60). Namun demikian, Al Qur’an menyebutkan fakir dan miskin sebagai kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat. Mereka inilah yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 510). Hal ini menjadi sangat penting ketika dana zakat adalah terbatas. Untuk mewujudkan kemaslahatan, diperbolehkan tidak menyamaratakan pemberian zakat pada semua sasaran zakat, bahkan diperbolehkan memberikan zakat untuk satu sasaran saja (Qardawi, terj., 1988, hal 664-672).
2. bentuk pemberdayaan yang sesuai. Kadar zakat untuk fakir miskin tidak ditentukan menurut besarnya dana zakat yang terkumpul. Hal ini karena tujuan zakat adalah memberikan tingkat hidup yang layak sebagai seorang Muslim dengan cara memampukan mustahik untuk menghidupi diri-nya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya (Qaradhawi, terj., 2005, hal. 7-12).
Bagi fakir miskin yang sanggup bekerja namun menjadi miskin karena tidak dapat menggunakan secara penuh sumber daya mereka karena keterbatasan human, physiscal, dan financial capital yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai, zakat harus ditujukan sebagai modal produktif. Disini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang di desain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan orang miskin (Ahmed, 2004, hal 64).
Pemberian modal produktif mungkin tidak sesuai untuk kelompok pekerja atau buruh miskin yang memiliki keterbatasan waktu dan kontrak kerja. Disini zakat dapat ditujukan sebagai equity transfer yaitu pemberian zakat dalam bentuk modal saham sehingga pekerja-buruh miskin mendapat manfaat dari aktivitas ekonomi yang luas, meningkatnya motivasi kerja, dan nilai saham yang cenderung stabil (Sadeq, 2002, hal. 18).
Sedangkan bagi fakir miskin yang tidak sanggup bekerja dan mencari nafkah, zakat dapat ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. Disini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, dan anak-anak terlantar (Ahmed, 2004, hal 64).
3. menyesuaikan dengan kondisi lokal dan perkembangan terkini. Perlu untuk difikirkan bentuk pemberdayaan zakat yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan pemikiran pemberdayaan ekonomi masyarakat. Misal, dalam kondisi bencana alam, distribusi zakat semestinya tidak hanya dalam bentuk cash transfer namun juga bisa dalam bentuk cash for work.

Kerangka Regulasi dan Institusional Zakat di Indonesia
Titik kritis terakhir dalam strategi mengefektifkan dampak pemberdayaan zakat adalah reformasi regulasi dan institusi zakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan disini:
1. revisi UU Zakat. Untuk meningkatkan penerimaan zakat, terdapat beberapa point penting yang perlu dilakukan dalam revisi UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat.
a. Pemberian insentif yang memadai bagi pembayar zakat. Efek pewajiban zakat adalah signifikan dalam meningkatkan penerimaan zakat (Kahf, 2000, hal 43). Namun dibandingkan dengan wacana pewajiban zakat dan pemberian sanksi, pemberian insentif mungkin lebih cocok dan lebih efektif di Indonesia untuk alasan politik dan sosial-budaya. Dalam pemberian insentif ini, zakat harus di-integrasikan dalam sistem fiskal nasional seperti pembayaran zakat sebagai pengurang pajak, pembayaran zakat oleh BUMN/BUMD, dll.
b. Sinergi pendayagunaan zakat dengan kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Selama ini pendayagunaan zakat dalam terpisah dari program pemerintah. Ke depan perlu digagas model sinergi dalam pengentasan kemiskinan antara dana zakat dan dana pemerintah.
2. revitalisasi BAZ-LAZ. Ada beberapa agenda penting disini: (i) aliansi strategis antar BAZ-LAZ baik dalam hal penghimpunan, pendayagunaan maupun manajemen zakat; (ii) pemberdayaan amil tradisional berbasis masjid sekaligus untuk menggali potensi zakat fitrah; (iii) kejelasan fungsi regulator dan operator untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas BAZ-LAZ.

Daftar Pustaka

Ahmed, Habib. Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTI, 2004.
Bank Indonesia. Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 5, No. 1, Desember 2006.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 10/02/Th. X, 16 Februari 2007.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 9/IX/15 Februari 2006.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 12/VIII/16 Februari 2005.
Kahf, Monzer. “The Performance of the Institution of Zakah in Theory and Practice”, Paper Prepared for the International Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kualalumpur, April 26-30, 1999.
Kahf, Monzer. Zakah Management in Some Muslim Countries. Jeddah: IRTI, 2000.
Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadits (terj.). Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1988.
Qaradhawi, Yusuf. Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan (terj.). Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Republik Indonesia. UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT Al Ma’arif, 1996.
Sadeq, Abu al-Hasan. A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories and Administration. Jeddah: IRTI, 2002.
World Bank. “Attracting New Mining Investment”, Indonesia Policy Briefs, Jakarta, 2005.

Labels:


Selengkapnya...

Prospek Ekonomi & Bisnis Syariah 2007 ...

Prospek Ekonomi & Bisnis Syariah 2007

Yusuf Wibisono - Wakil Kepala PEBS FEUI

Di level global, keuangan Islam diproyeksikan akan mencatat pertumbuhan masif pada 2007. Trend pertumbuhan pasar utama untuk industri keuangan syariah 2007 diprediksikan adalah ekspansi di perbankan ritel, sukuk, dan pasar sekunder.
Faktor pendorong utama adalah tingginya surplus anggaran negara-negara Timur Tengah yang diperkirakan akan terus berlanjut sebagai hasil dari tingginya harga minyak dunia. Faktor ini menjadi penting bagi industri keuangan Islam karena hal ini akan mendorong lebih lanjut keterlibatan baik dana publik maupun swasta dalam industri ini.
Tahun 2006 juga menjadi titik balik meningkat-nya keterlibatan perusahaan-perusahaan besar Timur Tengah –seperti Saudi Aramco, Sabic Emirates, Qatar Gas 7 Petroleum Company, Alba, Dubai- dalam keuangan syariah terutama dalam penerbitan Sukuk dan dalam sindikasi fasilitas Murabahah, baik untuk keperluan umum perusahaan maupun untuk ekspansi usaha. Sebagai misal, sampai Agustus 2006, penerbitan sukuk di seluruh dunia mencapai US$ 21,8 milyar, terdiri dari sukuk domestik dan internasional, dimana penerbitan sukuk senilai US$ 13,74 milyar dilakukan pada Januari-Agustus 2006.
Di dua pasar utama keuangan syariah global, Timur Tengah dan Malaysia, arah pertumbuhan nampak akan berbeda. Di Malaysia, pertumbuhan akan didorong secara vertikal. Hal ini dapat dibaca dari langkah Malaysia mendirikan Malaysia International Islamic Financial Centre (MIFC) pada September 2006 yang bertujuan mengkonsolidasikan 12 bank syariah Malaysia dalam rangka globalisasi, mencari pasar baru dan menarik investor asing ke Malaysia. Hal ini kebalikan dari negara-negara Timur Tengah, dimana pertumbuhan horizontal yang akan lebih dominan melalui pendirian bank dan perusahaan baru, serta penciptaan produk-produk baru.
Pada saat yang sama, pasar potensial lain diperkirakan akan tumbuh di tahun 2007 ini. Salah satunya adalah Singapura yang terlihat begitu serius mempersiapkan diri sebagai pusat keuangan Islam global, antara lain dengan mempersiapkan indeks syariah SGX/FTSE Asia 1000. Pasar lain adalah Turki, yang kini sudah siap menangkap peluang sukuk dan struktur keuangan Islam lainnya yang lebih kompleks.
Seiring kebutuhan yang semakin meningkat terhadap pembiayaan swasta dan publik yang tidak bisa dibiayai hanya dari modal dan anggaran pemerintah, walau di negara-negara Timur Tengah, industri keuangan syariah ke depan diprediksikan akan semakin meningkat posisi-nya karena harga yang kompetitif dan struktur yang semakin bisa diterima. Aspek kepatuhan terhadap syariah juga tidak menjadi hambatan masuk (barriers to entry) yang berarti ke industri ini. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pemain konvensional di Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Afrika Selatan yang memasuki industri keuangan syariah ini, termasuk pemain-pemain besar dunia seperti Citigroup, HSBC, UBS, Standard Chartered, BNP Paribas, Societe Generale, Credit Suisse, dan Deutsche Bank.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan industri keuangan syariah di tahun 2007 diprediksikan akan meningkat. Karim Business Consulting bahkan memproyeksikan pertumbuhan perbankan syariah akan mencapai puncak-nya lagi setelah tahun 2004. Dalam lima tahun terakhir, aset perbankan syariah tumbuh meyakinkan yaitu rata-rata 60% per tahun dengan puncaknya pada 2004 yang tumbuh mencapai 95%.
Optimisme di tahun 2007 ini cukup beralasan mengingat perkembangan global yang sangat menjanjikan dan iklim yang kondusif di dalam negeri. Setelah meluncurkan program Office Channeling, BI mencanangkan program “Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah” pada 11 Desember 2006 yang berisi tiga agenda utama yaitu program sosialisasi kepada masyarakat, pengayaan produk dan jasa keuangan syariah serta perluasan outlet pelayanan, dan peran aktif dalam mendukung masuknya investasi luar negeri. Selain itu, BI kini juga berkonsentrasi pada penyempurnaan cetak biru pengembangan perbankan syariah yang rentang waktu pelaksanaanya hingga 2015, serta peningkatan kualitas SDI melalui program sertifikasi pengurus perbankan syariah.
Dari sisi regulasi, RUU Perbankan Syariah kini sudah memasuki tahap pembahasan akhir di DPR dan diperkirakan akan segera disahkan pada masa persidangan awal tahun 2007 ini. Depkeu kini juga sudah menyusun draft RUU Surat Utang Negara Syariah yang siap dikirim ke DPR untuk segera dibahas. Kehadiran sukuk, dipastikan akan memperkuat industri keuangan syariah nasional.
Namun prospek cerah ini harus tetap mewaspadai berbagai tantangan, terutama dari kondisi makroekonomi. Dalam tahun-tahun terakhir, perkembangan perbankan syariah mengalami tekanan cukup berat terkait kondisi makroekonomi ini. Setelah mengalami pertumbuhan pesat sebesar 95% pada tahun 2004, perbankan syariah hanya mampu tumbuh 36,2% pada tahun 2005. Dan di tahun 2006, pertumbuhan perbankan syariah sampai bulan Oktober tercatat hanya 33,8% (yoy).
Disinilah peran penting pemerintah dan BI untuk memberi dukungan bagi perbankan syariah, bukan dengan memanjakan, namun dengan menciptakan iklim yang kondusif, tidak memberi beban yang berlebihan dan dengan memberi peluang dan kesempatan untuk berkembang sebagai sebuah industri yang baru tumbuh. Pemerintah misalnya diharapkan memberi perlakuan pajak yang adil, menunjuk bank syariah sebagai bank pemerintah, dan bahkan mengkonversi bank BUMN konvensional menjadi bank syariah.
Bank sentral juga dapat berperan lebih jauh dengan membuat pengendalian moneter semakin diarahkan pada kebijakan moneter berbasis syariah. Selain SWBI, otoritas moneter dituntut untuk mampu menciptakan instrument pengendalian moneter lain yang tidak mengandung unsur bunga dan memenuhi kaidah-kaidah syariah. Mencontoh pengalaman negara lain seperti Sudan, Malaysia, dan Bahrain, bank sentral dapat menggunakan instrument pengendalian moneter dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah antara lain transaksi dengan prinsip wadiah, musyarakah, mudharabah, rahn, atau ijarah.

Labels:


Selengkapnya...