Monday, September 06, 2010

Mengurai Kemacetan Jakarta ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Kemacetan Jakarta yang kian tidak tertahankan dengan kecepatan rata-rata berkendara hanya 8,3 kilometer per jam, dan diprediksi akan mengalami kemacetan total (grid-lock) pada 2012, membuat pemerintah pusat akhirnya mengambil alih permasalahan ini. Wakil Presiden menginstruksikan 17 langkah komprehensif yang bersifat lintas sektoral, lintas wilayah dan lintas kementrian, untuk mengurai kemacetan Jakarta, mulai dari langkah jangka pendek seperti penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi jalur busway, harga gas khusus transportasi, penertiban kendaraan yang parkir di bahu jalan dan angkutan umum di titik tunggu penumpang, restrukturisasi angkutan umum yang tidak efisien, sampai langkah-langkah jangka menengah-panjang seperti pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, mempercepat mass rapid transit (MRT), mengoptimalkan KRL Jabodetabek, proyek double-double track jalur kereta api ke arah Cikarang, 6 ruas jalan tol layang dalam kota, hingga revisi rencana induk transportasi terpadu dan pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek (Koran Tempo, 3/9/2010).

Masalah Struktural
Langkah pemerintah pusat mengambil alih masalah kemacetan adalah positif. Namun berbagai kesalahan dan kegagalan yang telah dilakukan pemerintah provinsi, tidak selayaknya diulang kembali. Jakarta membutuhkan kebijakan yang integral dan menyentuh akar permasalahan agar efektif mengurai kemacetan, sekaligus akan menjadi benchmark bagi kota-kota besar lain yang juga akan menghadapi ancaman grid-lock dalam 5-10 tahun ke depan seperti Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang.
Masalah struktural pertama terkait kemacetan yang tidak tersentuh dalam Instruksi Wapres adalah segregasi fungsional antara daerah bisnis/perkantoran dan daerah pemukiman yang telah menimbulkan masalah pemborosan dan inefisiensi, terutama dalam hal waktu dan biaya transportasi.
Jakarta dipenuhi oleh perumahan mewah yang hanya mampu diakses oleh rumah tangga kaya, sehingga kelompok pekerja menengah-bawah yang merupakan kelompok terbesar di Jakarta terpaksa bertempat tinggal jauh di luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Buruknya lagi, Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang bersifat massal, murah dan cepat. Akibatnya, segregasi fungsional ini harus dibayar mahal oleh Jakarta berupa munculnya kawasan-kawasan kumuh, penurunan kualitas lingkungan, rendahnya efisiensi lahan dan kawasan, jauhnya penduduk dengan tempat kerja sehingga memunculkan kebutuhan yang sangat besar terhadap transportasi dan infrastruktur transportasi, terutama kendaraan pribadi, menimbulkan kemacetan dan polusi, serta memboroskan BBM.
Solusi mendasar disini adalah mendekatkan warga dengan tempat aktivitas utama-nya. Karena itu pembangunan rusun yang nyaman dan terjangkau, harus segera direalisasikan. Sayangnya pembangunan rusun hingga kini berjalan sangat lambat, termasuk proyek ambisius pembangunan 1.000 menara rusun. Inisiatif pembangunan superblok di tengah kota, tidak berjalan dan justru memicu eskalasi kemacetan karena hanya dihuni segelintir warga kaya.
Masalah struktural yang juga luput dari Instruksi Wapres adalah langkah perintis memindahkan ibukota. Pengurangan fungsi kota Jakarta adalah sebuah keniscayaan karena beban pembangunan telah melampaui kapasitas dan daya tampung optimal Jakarta sebagai daerah pertumbuhan sehingga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan (sustainable development), termasuk kemacetan di dalamnya. Pemisahan fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi-bisnis dari Jakarta akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, menurunkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pembangunan.
Pemindahan ibukota sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 pasal 227 ayat 3 huruf d tentang kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Pemindahan ibukota ini juga selaras dengan amanat Pasal 30 UU No. 26/2007 bahwa ruang terbuka hijau kota minimal 30% dari total luas wilayah.

Fokus ke Busway dan KRL
Masalah struktural berikutnya, yang menjadi fokus Instruksi Wapres, adalah kesalahan dalam kebijakan transportasi kota. Sejak awal, kebijakan transportasi Jakarta telah salah dengan menggantungkan diri pada transportasi berbasis jalan yang bukan pengangkut massal serta boros BBM. Lebih buruk lagi, Jakarta lalai membangun angkutan umum kota yang aman dan nyaman. Kendaraan pribadi-pun menjadi pilihan dimana pangsa-nya mencapai hingga 98% dari total populasi kendaraan bermotor.
Maka menjadi ironis jika Instruksi Wapres masih menjadikan proyek 6 ruas jalan tol dalam kota sebagai solusi kemacetan, meskipun dengan konsep jalan layang. Satu-satunya jalur jalan tol dalam kota yang masih mendapat pembenaran adalah jalur Tanjung Priok – Cikarang untuk melancarkan jalur distribusi barang, itupun dengan pintu masuk tol yang terbatas agar tidak memicu kemacetan di jalan arteri.
Dua jalur melingkar jalan tol (Jakarta intra urban and outer ring roads) yang menghubungkan Jakarta dengan daerah sub-urban dan jaringan tol antar kota, selama ini telah memicu arus masuk kendaraan ke Jakarta secara signifikan. Menambah jalan tol di dalam kota, akan semakin memperparah kemacetan Jakarta di masa depan, bertentangan dengan sistem transportasi massal yang akan dibangun, serta semakin mengancam ruang terbuka hijau kota.
Prioritas dan fokus kebijakan Instruksi Wapres semestinya hanya diletakkan pada bus rapid transit (BRT) atau busway dan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, bukan subway (MRT) yang mahal, butuh waktu yang lama, kandungan impor yang tinggi, serta membutuhkan dukungan subsidi yang masif. Busway dan KRL harus menjadi fokus karena biaya keduanya jauh lebih murah dari subway ataupun monorail, teknologinya sangat terjangkau dan SDM-nya melimpah, memiliki kandungan lokal akan tinggi, sehingga dampak pengganda (multiplier effect) akan besar bagi perekonomian lokal dan nasional, serta dapat langsung dirasakan manfaatnya dalam waktu yang relatif singkat.
Maka dalam jangka pendek prioritas terpenting adalah pembangunan busway hingga 15 koridor, dan menekankan berbagai perbaikan dari kondisi sekarang. Pembangunan busway yang selama ini masih lebih berorientasi proyek dan tidak komprehensif, harus dirubah. Pembangunan busway ke depan harus lengkap dan komprehensif, baik pada tahapan, tujuan maupun regulasi-nya.
Kebijakan sterilisasi dan penertiban perparkiran dibahu jalan yang dilalui jalur busway adalah positif. Begitupun dengan langkah penetapan harga gas untuk transportasi. Langkah penting lainnya disini adalah memperbaiki jarak antar bus (headway) dengan penambahan armada, memperbaiki sistem pengumpan (feeder system) dan park & ride, serta mengintegrasikan busway khususnya dengan KRL. Langkah penting lainnya adalah membangun badan pengelola Transjakarta yang modern, transparan, berbasis pada pelayanan dan berkesinambungan secara finansial. Secara teoritis, pengelolaan busway harusnya mampu mandiri secara finansial, bahkan meraih laba, bukan justru merugi seperti saat ini.
Instruksi Wapres seharusnya memberi perhatian penuh kepada KRL Jabodetabek yang selama ini terbukti efektif sebagai kereta komuter (commuter rail) dengan menghubungkan Jakarta dan daerah sub-urban sekitarnya. Dengan revitalisasi yang memadai, kapasitas KRL Jabodetabek berpotensi ditingkatkan dari sekitar 500 ribu penumpang per hari saat ini menjadi 2 juta penumpang per hari. Dengan demikian, arus masuk kendaraan dari Bodetabek ke Jakarta dapat diminimalkan dari yang saat ini sekitar 600 ribu kendaraan per hari.
Revitalisasi KRL juga akan berpotensi menciptakan sinergi besar dengan busway. Sistem KRL Jabodetabek saat ini terdiri dari hampir seluruh circular route (jalur melingkar) daerah perkotaan Jakarta (jalur timur dan barat) maupun jalur melingkar yang menghubungkan ke daerah sub-urban (jalur Bogor, Bekasi, Tangerang dan Tanjung Priok). Integrasi 15 jalur Busway dan circular line rel KRL ini akan mampu menciptakan ratusan kilometer jalur rotasi (flow line) dan sekaligus secara efektif menciptakan jalur penghubung dari wilayah urban dan sub-urban ke pusat kota (Monas) dan pusat bisnis (Sudirman-Thamrin). Hal ini secara efektif dan signifikan akan mengurai kemacetan Jakarta, dengan biaya yang jauh lebih murah, dalam waktu yang relatif pendek, dan dalam cara yang merata dan berkeadilan.

Koran Tempo, 15 September 2010.

Labels:


Selengkapnya...

Sunday, September 05, 2010

Menimbang RAPBN 2011 ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Dalam RUU APBN 2011 beserta Nota Keuangan-nya yang disampaikan Presiden pada Rapat Paripurna Luar Biasa DPR RI 16 Agustus 2010, terlihat bahwa secara umum pengelolaan perekonomian kita telah berada di jalur yang tepat. Hal ini antara lain terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terus mengalami akselerasi di tahun 2010, nilai tukar rupiah yang stabil dan bahkan terus menguat sejak awal tahun 2010, cadangan devisa yang terus meningkat hingga setara dengan 6 bulan impor, serta inflasi dan BI rate yang terjaga di kisaran yang rendah. Namun sejumlah masalah dan tantangan struktural masih terus menghantui perekonomian.

Arah Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi nasional pasca krisis finansial global 2008 telah menunjukkan kinerja yang semakin membaik. Pertumbuhan 2009 mencapai 4,5%, tertinggi ke-tiga di dunia, dan terus mengalami akselerasi pada 2010 yaitu mencapai 5,7% pada kuartal I dan 6,2% pada kuartal II sehingga pertumbuhan 2010 diperkirakan akan melampaui 6%, lebih tinggi dari asumsi APBN-P 2010 yang hanya 5,8%. Ke depan, Indonesia diprediksi akan terus tumbuh tinggi meski di tengah ketidakpastian pemulihan global, ditopang oleh permintaan domestik yang kuat dan stabilitas politik yang kondusif.
Namun menyatakan bahwa pertumbuhan ini pasti paralel dengan kesejahteraan sebagian besar penduduk, tentu sebuah hal yang berlebihan. Data regional mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati sebagian penduduk di wilayah tertentu dengan meninggalkan sebagian penduduk di wilayah lainnya. Per Maret 2010, berbagai provinsi mencatat tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, jauh diatas tingkat kemiskinan nasional yang 13,3% antara lain Papua (36,8%), Papua Barat (34,9%), Maluku (27,7%), Gorontalo (23,2%), Nusa Tenggara Timur (23,0%), Nusa Tenggara Barat (21,5%), dan Nanggroe Aceh Darussalam (20,1%).
Di sisi lain, provinsi dengan tingkat pendapatan yang tinggi dan angka kemiskinan yang rendah, ternyata menyimpan permasalahan serius berupa tingkat pengangguran terbuka yang tinggi, jauh diatas rata-rata nasional yang pada Februari 2010 tercatat 7,4%, antara lain Banten (14,1%), DKI Jakarta (11,3%), Jawa Barat (10,6%), Sulawesi Utara (10,5%) dan Kalimantan Timur (10,4%). Hal ini secara jelas mengisyaratkan permasalahan urbanisasi yang akut, lemahnya daya serap industri manufaktur, dan rendahnya kualitas SDM.
Jelas terlihat bahwa kualitas pertumbuhan (quality of growth) kita adalah rendah. Permasalahan struktural ini membutuhkan langkah-langkah progresif dan visioner untuk memutus lingkaran permasalahan dan menciptakan kesejahteraan secara merata dan berkeadilan, antara lain dengan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru, pengembangan agroindustri pertanian dan kelautan skala besar, pengembangan wilayah terpencil dan perbatasan, serta pembangunan infrastruktur pedesaan dan pesisir. Dibutuhkan keberpihakan anggaran negara secara signifikan dan berkelanjutan untuk mendorong perubahan struktural ini.

Prioritas Pembangunan
Dalam RKP 2011, sasaran utama pembangunan nasional untuk tingkat kemiskinan 2011 adalah sebesar 11,5%-12,5%. Target ini positif, namun sulit tercapai tanpa upaya-upaya terobosan. Tingkat kemiskinan 2009 masih bertengger di kisaran 14,15%, dan di tahun 2010 ada di kisaran 13,33%. Untuk menekan angka kemiskinan di kisaran 11,5% pada 2011, tentu dibutuhkan upaya ekstra.
Komitmen pemerintah yang pada tahun 2011 mengalokasikan anggaran Rp 49,3 triliun untuk membiayai program-program penanggulangan kemiskinan seperti Raskin, Jamkesmas, PKH, BOS, KUR dan PNPM Mandiri, masih konservatif terkait ruang fiskal (fiscal space) yang terbatas. Namun selain besaran anggaran, yang kini lebih penting dan dibutuhkan untuk mencapai target 2011 adalah perbaikan perencanaan dan implementasi program agar lebih efektif.
BOS harus memastikan bahwa program wajib belajar 9 tahun dapat terlaksana secara efektif. Jamkesmas harus mencakup biaya pelayanan kesehatan dasar dan persalinan di semua rumah sakit kelas III sehingga tercipta jaminan kesehatan secara universal. Program raskin dapat ditingkatkan cakupan dan besaran beras yang diberikan secara signifikan jika terdapat efisiensi dalam biaya operasional program oleh Bulog yang mahal. Sementara KUR harus mampu menekan tingkat suku bunga dan mendorong tingkat penyaluran yang cenderung rendah.
Sasaran utama pembangunan nasional 2011 lainnya adalah infrastruktur. Fokus belanja negara pada pembangunan infrastruktur yang ditunjukkan oleh besaran dan kecenderungan alokasi belanja modal yang terus meningkat dari Rp 32,9 triliun pada 2005 menjadi Rp 121,7 triliun pada 2011, dengan Kementrian Pekerjaan Umum mendapat alokasi anggaran tertinggi sebesar Rp 56,5 triliun, adalah tepat dan positif.
Namun fokus pembangunan infrastruktur masih sangat terfokus pada pembangunan jalan dan jalan tol. Kebijakan ini secara jelas bias terhadap daerah perkotaan, khususnya Jawa-Bali, tidak konsisten dengan upaya perlindungan lahan pertanian produktif, boros bahan bakar minyak dan tidak sejalan strategi ketahanan energi, serta tidak berpihak pada kelompok miskin. Fokus pembangunan infrastruktur seharusnya mulai diarahkan pada pembangunan infrastruktur transportasi massal yaitu Bus Rapid Transport (BRT) dan kereta api, khususnya untuk daerah perkotaan di Jawa dan Sumatera seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Medan.

Postur APBN dan Defisit Anggaran
RAPBN 2011 masih menerapkan defisit anggaran untuk menstimulus perekonomian, yaitu sebesar 1,7% dari PDB yang dibiayai dari SBN dan pinjaman LN. RAPBN 2011 seharusnya dapat lebih progresif dalam menurunkan ketergantungan terhadap utang tanpa harus menurunkan peran pemerintah dalam perekonomian, jika pemerintah lebih serius dalam mereformasi anggaran.
Target pertumbuhan yang dipatok 6,3% seharusnya dapat lebih optimis di kisaran 6,5-7,0%, sejalan dengan pemulihan ekonomi global khususnya di kawasan Asia. Target lifting minyak 970 ribu barel per hari, juga terlalu konservatif, semestinya dapat lebih ditingkatkan hingga 1 juta barel per hari, terlebih dengan telah stabilnya produksi Blok Cepu. Dari sini setidaknya terdapat potensi penurunan defisit anggaran Rp 12 triliun.
Jika di saat yang sama pemerintah serius melakukan reformasi perpajakan, maka bukanlah hal yang sulit untuk mendorong naik target tax ratio dari 12% menjadi 13% atau setara dengan penerimaan perpajakan di kisaran Rp 900 triliun. Pemerintah harus melakukan extra effort dalam rangka menghapus mafia perpajakan, meningkatkan tax compliance wajib pajak KPP large tax office dan KPP Khusus, serta menurunkan tingkat tax evasion perusahaan asing melalui upaya transfer pricing. Jika tax ratio mencapai 13%, maka pendapatan negara dapat ditingkatkan menjadi 16,5% dari PDB sehingga defisit anggaran 2011 dapat ditekan menjadi dibawah 1% dari PDB tanpa menurunkan kemampuan belanja pemerintah.
Di saat yang sama, penghematan dan penajaman belanja pemerintah harus dilakukan secara progresif, khususnya pada pos belanja barang dan jasa yang di tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 100,4 triliun serta pos belanja perjalanan yang mencapai Rp 20,9 triliun. Beban pembayaran bunga utang yang sejak 2010 telah menembus Rp 100 triliun, atau 9,4% dari belanja negara, dan pada 2011 akan mencapai Rp 116,4 triliun, atau 9,7% dari belanja negara, harus ditekan dengan pengendalian outstanding utang dan rekayasa finansial yang berani.
Penurunan penarikan pinjaman luar negeri bruto yang pada 2011 direncanakan sebesar Rp 57,1 triliun, jauh menurun dari tahun 2010 yang sebesar Rp 70,8 triliun, ke depan harus dilakukan secara lebih progresif menuju kemandirian ekonomi secara penuh. Penarikan pinjaman luar negeri tidak dapat terus dipertahankan di tengah semakin terbatasnya ketersediaan pinjaman murah dan tuntutan yang semakin deras agar utang tidak bersifat lender-driven dan tied loan. Pembiayaan defisit sudah seharusnya diarahkan pada pembiayaan yang meningkatkan country ownership dan hubungan kemitraan yang sejajar. Saatnya pemerintah mengeluarkan sukuk negara dengan underlying proyek (project-based sukuk) yang akan mendorong disiplin fiskal lebih tinggi dan berdampak langsung pada dinamika sektor riil.

Labels:


Selengkapnya...