Monday, October 31, 2011

Ironi UU Zakat ...

DPR secara resmi mensahkan RUU Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) menjadi UU pada rapat paripurna 27 Oktober 2011. RUU Zakat yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan naskah-nya telah selesai dibuat DPR sejak tahun 2010 sedangkan draft pemerintah baru masuk pada April 2011, ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat. Pembahasan RUU Zakat selesai di bulan September 2011, hanya sekitar 3 bulan saja.
Dalam UU baru ini terlihat pokok-pokok reformasi pengelolaan zakat nasional masa depan yaitu: (i) Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah, yaitu melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota dimana BAZNAS di setiap tingkatan dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) hingga ke tingkat kelurahan; (ii) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) dimarjinalkan dimana eksistensi LAZ hanya sekedar membantu BAZNAS; (iii) Sumber pembiayaan BAZNAS berasal dari APBN, APBD dan Hak Amil sedangkan LAZ hanya dari Hak Amil; dan (iv) Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ, dan dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi hingga pencabutan izin.
Hasil akhir dari pembahasan RUU ZIS ini adalah anti klimaks, selain karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan tanpa debat publik yang memadai, juga karena hampir keseluruhan isi UU didominasi oleh draft pemerintah (Kementrian Agama). Draft awal usulan DPR, karena UU ini merupakan UU inisiatif DPR dan banyak menampung aspirasi masyarakat sipil atas pengelolaan zakat nasional, nyaris hilang seluruhnya dari UU ini.
Disahkannya UU ini justru akan menjadi langkah mundur bagi dunia zakat nasional. UU yang merupakan amandemen terhadap UU No. 38 Tahun 1999 ini, gagal menjalankan misi utamanya dalam mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar dan perannya yang strategis dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU ZIS semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Namun UU ini justru mematahkan praktek pengelolaan zakat yang baik oleh masyarakat sipil yang telah berjalan lama sekaligus memarjinalkan partisipasi masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
Marjinalisasi LAZ dalam UU ini sangat jelas dan eksplisit. UU mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat hanya sekedar membantu BAZNAS. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, dimana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan atau merupakan bagian dari ormas Islam. LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan memang tetap diakui dalam UU ini, namun maksimal setahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan UU baru, artinya harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menag. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan "membunuh" LAZ karena LAZ-LAZ besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.
Hal ini secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.
UU ZIS baru juga tidak memberi kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. UU menempatkan Kemenag sebagai regulator dan pengawas, sedangkan BAZNAS sebagai operator. Namun BAZNAS melakukan fungsi perencanaan pengelolaan zakat nasional dan menerima laporan dari BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ. Dalam UU ini, BAZNAS secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus sebagai operator namun memiliki kewenangan regulator. Kewenangan otoritatif yang dimiliki BAZNAS tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas, karena BAZNAS merangkap sebagai operator. Fungsi regulasi yang dijalankan Kemenag-pun akhirnya terlihat menjadi setengah hati, dan karenanya diyakini tidak akan optimal. Kemenag akan sulit melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan secara optimal karena BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ melakukan pelaporan ke BAZNAS, bukan ke Kemenag.
UU Zakat baru ini juga memberi privilege secara luar biasa kepada BAZNAS, sehingga menciptakan level of playing field yang tidak sama antara BAZNAS dan LAZ. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada BAZNAS hanya karena ia adalah lembaga pemerintah. Bahkan pendirian BAZNAS menjadi amanat UU. Ketika LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional-nya, yaitu hak amil.
Meskipun UU menyatakan bahwa BAZNAS adalah lembaga pemerintah non struktural, namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat UU, maka ke depan selain BAZNAS di tingkat pusat maka akan terdapat 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota. Jika BAZNAS di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, maka akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa. Ketika pemerintah menolak proposal pendirian lembaga baru sebagai regulator zakat karena alasan beban anggaran negara, maka kini pemerintah justru jauh lebih parah dalam membebani anggaran negara dengan menetapkan struktur BAZNAS yang sangat tambun dan harus dibiayai oleh APBN dan APBD.
Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kemenag dengan BAZNAS yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, maka jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Pada tahun 2010, penghimpunan dana zakat BAZNAS, 33 BAZDA provinsi dan 447 BAZDA kabupaten/kota hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara rata-rata, masing-masing BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun. Sangat jauh dari ideal untuk mencapai economies of scale. Terlebih jika kita memperhitungkan beban penghimpunan oleh puluhan ribu UPZ kecamatan dan UPZ desa/kelurahan, inefisiensi dunia zakat nasional menjadi sangat mengkhawatirkan.
Di saat yang sama, kondisi LAZ jauh lebih baik. Pada tahun 2010, 18 LAZ nasional dan 22 LAZ daerah mampu menghimpun Rp 635 miliar, atau secara rata-rata, masing-masing LAZ mengelola dana lebih dari Rp 15 miliar per tahun. Dengan UU ini, LAZ yang memiliki kinerja jauh lebih baik justru dimarjinalkan, bahkan dilemahkan secara sistemik. Konsolidasi OPZ adalah keharusan untuk efisiensi dunia zakat nasional, karena itu restriksi LAZ sudah tepat. Namun restriksi tersebut menjadi ahistoris dan tidak valid ketika dikaitkan dengan keharusan afiliasi dengan ormas Islam. Di saat yang sama restriksi juga menjadi diskriminatif ketika BAZ tidak mendapat restriksi yang serupa, bahkan pendiriannya diperluas dan menjadi amanat UU.

Republika, "Ironi UU Zakat", 31 Oktober 2011.

Labels:


Selengkapnya...

Sunday, October 23, 2011

Ironi RUU Zakat ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Pembahasan RUU Pengelolaan Zakat di parlemen saat ini telah menuju tahap akhir dengan tercapainya kesepakatan antara pemerintah (Kemenag) dan DPR. RUU Zakat yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan naskah-nya telah selesai dibuat DPR sejak tahun 2010 sedangkan draft pemerintah baru masuk pada April 2011, ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat. Pembahasan RUU Zakat selesai di bulan September 2011, hanya sekitar 3 bulan saja, dan direncanakan akan disahkan pada rapat paripurna DPR 25 Oktober 2011.
Dari draft akhir RUU Pengelolaan Zakat yang akan disahkan terlihat pokok-pokok reformasi pengelolaan zakat nasional masa depan yaitu: (i) Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah, yaitu melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota dimana BAZNAS di setiap tingkatan dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) hingga ke tingkat kelurahan; (ii) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) dimarjinalkan dimana eksistensi LAZ hanya sekedar membantu BAZNAS; (iii) Sumber pembiayaan BAZNAS berasal dari APBN, APBD dan Hak Amil sedangkan LAZ hanya dari Hak Amil; dan (iv) Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ, dan dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi hingga pencabutan izin.
Hasil akhir dari pembahasan RUU Zakat ini adalah anti klimaks, selain karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan tanpa debat publik yang memadai, juga karena hampir keseluruhan isi UU didominasi oleh draft pemerintah. Draft awal usulan DPR, karena UU ini merupakan UU inisiatif DPR dan banyak menampung aspirasi masyarakat sipil atas pengelolaan zakat nasional, nyaris hilang seluruhnya dari UU ini.
Jika disahkan, UU ini justru akan menjadi langkah mundur bagi dunia zakat nasional. UU yang merupakan amandemen terhadap UU No. 38 Tahun 1999 ini, gagal menjalankan misi utamanya dalam mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar dan perannya yang strategis dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU Pengelolaan Zakat ini semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Namun UU ini justru mematahkan praktek pengelolaan zakat yang baik oleh masyarakat sipil yang telah berjalan lama sekaligus memarjinalkan partisipasi masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
Ketentuan sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah. Klaim pemerintah bahwa sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara adalah pola umum di negara-negara muslim kontemporer adalah tidak tepat.
Di Pakistan, Sudan dan Arab Saudi, zakat dikumpulkan secara wajib dan dikelola oleh negara. Namun di Mesir dan Malaysia zakat dikumpulkan secara sukarela dan dikelola oleh Swasta. Di Afrika Selatan, dan di Indonesia dibawah rezim UU No. 38 Tahun 1999, zakat dikumpulkan secara sukarela dan dikelola oleh masyarakat sipil (Imtiazi, 1989; el-Ashker and Haq, 1995; Ahmed, 2004).
Sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah juga tidak menjamin peningkatan kinerja. Di banyak negara muslim, penghimpunan zakat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah adalah kecil dibandingkan potensinya, meskipun sentralisasi ini diikuti penerapan compulsory system dengan sanksi bagi muzakki yang lalai.
Sentralisasi untuk peningkatan kinerja zakat di Indonesia adalah tidak valid dan ahistoris mengingat rekam jejak panjang dari masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat sejak tiga dekade lalu. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel. Di Pakistan, setelah pemberlakuan kewajiban zakat oleh negara, masyarakat tetap melakukan pembayaran secara sukarela ke lembaga amal yang kredibel dalam jumlah besar (Faiz, 1990).
Peningkatan kinerja zakat nasional saat ini lebih banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menurunkan kebocoran penyaluran zakat secara individual. Studi PIRAC (2007) menunjukkan bahwa tingkat pembayaran zakat masyarakat Indonesia melalui lembaga adalah sangat rendah, hanya berada kisaran 7%. Yang seharusnya diperkuat pemerintah disini adalah upaya meningkatkan kapasitas dan kredibilitas BAZ dan LAZ, serta sosialisasi, bukan sentralisasi kelembagaan.
UU Zakat baru juga tidak memberi kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. UU menempatkan Kemenag sebagai regulator dan pengawas, sedangkan BAZNAS sebagai operator. Namun BAZNAS melakukan fungsi perencanaan pengelolaan zakat nasional dan menerima laporan dari BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ. Dalam UU ini, BAZNAS secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus sebagai operator namun memiliki kewenangan regulator. Kewenangan regulator yang dimiliki BAZNAS tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas, karena BAZNAS merangkap sebagai operator. Fungsi regulasi yang dijalankan Kemenag-pun akhirnya terlihat menjadi setengah hati, dan karenanya diyakini tidak akan optimal. Kemenag akan sulit melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan secara optimal karena BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ melakukan pelaporan ke BAZNAS, bukan ke Kemenag.
UU Zakat baru ini juga memberi privilege secara luar biasa kepada BAZNAS, sehingga menciptakan level of playing field yang tidak sama antara BAZNAS dan LAZ. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada BAZNAS hanya karena ia adalah lembaga pemerintah. Bahkan pendirian BAZNAS menjadi amanat UU. Ketika LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional-nya, yaitu hak amil.
Meskipun UU menyatakan bahwa BAZNAS adalah lembaga pemerintah non struktural, namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat UU, maka ke depan selain BAZNAS di tingkat pusat maka akan terdapat 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota. Jika BAZNAS di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, maka akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa. Ketika pemerintah menolak proposal pendirian lembaga baru sebagai regulator zakat karena alasan beban anggaran negara, maka kini pemerintah justru jauh lebih parah dalam membebani anggaran negara dengan menetapkan struktur BAZNAS yang sangat tambun dan harus dibiayai oleh APBN dan APBD.
Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kemenag dengan BAZNAS yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, maka jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Hingga tahun 2010, penghimpunan dana zakat nasional baru mencapai Rp 1,5 triliun per tahun. Jika kita gunakan data ini sebagai baseline, dan dengan mengasumsikan seluruh kinerja zakat nasional seluruhnya dilakukan BAZNAS, BAZDA provinsi dan BAZDA kabupaten/kota, maka secara rata-rata masing-masingnya hanya mengelola dana sekitar Rp 5 miliar. Terlebih jika kita memperhitungkan beban penghimpunan oleh puluhan ribu UPZ kecamatan dan UPZ desa/kelurahan, inefisiensi dunia zakat nasional menjadi sangat mengkhawatirkan.
Lebih setahun yang lalu, dalam “RUU Zakat dan Kesejahteraan Ummat”, Koran Tempo 14 Mei 2010, saya pernah berargumen bahwa dalam pembahasan RUU Pengelolaan Zakat ini isu utama yang seharusnya didorong masuk dalam pembahasan adalah desentralisasi pengelolaan zakat dengan regulator yang kuat dan kredibel, konsolidasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) menuju dunia zakat nasional yang efisien, dan kemitraan pemerintah-OPZ untuk akselerasi pengentasan kemiskinan. Namun nampaknya tidak cukup keras untuk menembus tembok gedung parlemen.

Labels:


Selengkapnya...