Friday, May 14, 2010

RUU Zakat dan Kesejahteraan Umat

Yusuf Wibisono, Wakil Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah FEUI

Salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan Zakat, yang merupakan amendemen terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. RUU Zakat ini menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal.

Dalam pembahasan RUU Zakat ini terdapat beberapa isu utama yang penting untuk didorong masuk ke pembahasan dan debat publik, yaitu desentralisasi pengelolaan zakat dengan regulator yang kuat dan kredibel, konsolidasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) menuju dunia zakat nasional yang efisien, dan kemitraan pemerintah-OPZ untuk akselerasi pengentasan kemiskinan.

Otoritas zakat

Di bawah rezim UU No. 38/1999, dunia zakat nasional berjalan tanpa tata kelola yang memadai. Ribuan OPZ, baik bentukan pemerintah (Badan Amil Zakat/BAZ) maupun masyarakat (Lembaga Amil Zakat/LAZ), muncul tanpa mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai. Hal ini secara jelas rawan memunculkan penyimpangan dana zakat masyarakat oleh pengelola yang tidak amanah. Kebangkitan dunia zakat nasional di tangan masyarakat sipil era 1990-an, yang telah mentransformasikan zakat dari ranah amal-sosial-individual ke ranah ekonomi-pembangunan-keumatan, terancam tergerus oleh “penumpang-penumpang gelap” di dunia zakat. Perkembangan dunia zakat nasional juga berjalan lambat karena tidak ada upaya koordinasi dan sinergi antar-OPZ yang berjalan dengan agenda masing-masing. Hasilnya, kinerja dunia zakat nasional, khususnya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terasa jauh dari optimal.

Maka, agenda terbesar dunia zakat nasional saat ini adalah mendorong tata kelola yang baik dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan di tiga aspek utama, yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat. BZI dibentuk di tingkat pusat dan dapat membuka perwakilan di tingkat provinsi jika dibutuhkan.

Wacana yang digulirkan pemerintah dan sebagian ormas untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kinerja zakat nasional adalah tidak valid, ahistoris, dan mengingkari peran masyarakat sipil dalam Indonesia kontemporer yang demokratis. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil. Kegiatan operasional organisasi nirlaba yang transparan dan akuntabel lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. Kepercayaan (trust) menjadi kata kunci di sini. Kepercayaan masyarakat inilah yang dibangun melalui tata kelola yang baik, yaitu operator zakat (OPZ) mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai dari otoritas zakat (BZI).

Konsolidasi

Di bawah rezim UU No. 38/1999, jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional dalam kaitan dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi, dan 429 BAZ kabupaten/kota, belum termasuk 4.771 BAZ kecamatan, ribuan LAZ provinsi-kabupaten-kota dan puluhan ribu amil tradisional berbasis masjid serta pesantren. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien, karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Dampak zakat pun menjadi minimal.

Langkah reformasi paling mendasar di sini adalah dengan memperketat pendirian OPZ baru dan melarang pihak yang tidak berhak untuk menghimpun dan mengelola zakat. Langkah berikutnya adalah mendorong upaya konsolidasi OPZ menuju dunia zakat nasional yang efisien dan efektif. UU Zakat harus mendorong upaya reward and punishment bagi OPZ dalam upaya konsolidasi dunia zakat nasional ini, yaitu dalam bentuk peningkatan kapasitas OPZ, merger dan akuisisi antar-OPZ, serta penurunan status OPZ dengan kinerja rendah menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat).

Untuk mendorong konsolidasi, UU Zakat harus memberi batasan minimal penghimpunan dana, katakan Rp 5 miliar per tahun, agar sebuah OPZ dapat terus beroperasi. Jika batas ini tak dapat dipenuhi, OPZ harus merger dengan OPZ lain, bergabung dengan OPZ jangkar, atau diturunkan statusnya menjadi UPZ. UPZ berbasis masjid, pesantren, perusahaan dan institusi harus berafiliasi dan berinduk kepada OPZ dan dapat melakukan pendayagunaan dana maksimal 50 persen untuk prioritas lokal, termasuk bagian amil. UPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 juta per tahun tidak berhak melakukan pendayagunaan dana, kecuali bagian amil.

Di sisi lain, OPZ besar didorong beroperasi lintas negara menjadi OPZ berskala internasional, katakan dengan penghimpunan dana di atas Rp 500 miliar per tahun. Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana antara Rp 100-500 miliar, didorong menjadi OPZ nasional, yang melakukan penghimpunan dan pendayagunaan secara umum di seluruh Nusantara. Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 miliar per tahun diarahkan menjadi OPZ fokus wilayah atau fokus program pendayagunaan (seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan UKM, anak jalanan, petani dan nelayan gurem, buruh migran/TKI, desa tertinggal, dan lain-lain).

Dengan konsolidasi dan sistem kelembagaan jejaring, pengelolaan zakat secara formal kelembagaan akan optimal. Semua potensi zakat dapat dihimpun, dan didayagunakan secara professional dan amanah untuk kesejahteraan umat. Di sisi lain, format kelembagaan khusus bagi UPZ akan memberdayakan potensi amil tradisional dengan tetap memberi peluang bagi penggunaan untuk kepentingan lokal.

Kemitraan

Berbagai wacana muncul dalam RUU Zakat untuk mendorong kinerja dunia zakat nasional, antara lain zakat sebagai pengurang pajak penghasilan (tax credit) dan sanksi bagi muzakki yang lalai. Zakat sebagai tax credit diyakini akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki dalam menunaikan kewajibannya. Namun wacana ini, jika terealisasi, akan memberi dampak signifikan bagi penerimaan pajak, berpotensi disalahgunakan, dan bermasalah secara yuridis karena ketentuan soal pajak semestinya diatur dalam UU Perpajakan. Karena itu, diperkirakan wacana ini sulit diterima dan diimplementasikan oleh otoritas pajak. Sedangkan wacana sanksi bagi muzakki cenderung tidak produktif karena secara politis akan mendapat banyak stigma negatif dan secara ekonomi diyakini tidak akan efektif pelaksanaannya.

Wacana yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah mendorong kemitraan pemerintah dan OPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. UU Zakat harus mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan OPZ dalam program penanggulangan kemiskinan. Kemitraan pemerintah-OPZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant), dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.

Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola pendayagunaan dana pengentasan masyarakat miskin melalui kemitraan dengan OPZ seperti ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana pengentasan masyarakat miskin dan meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi pengelolaan dana pengentasan masyarakat miskin. *

Koran Tempo, 14 Mei 2010

Labels:


Selengkapnya...