Thursday, February 13, 2014

Jalan Terjal Zakat Nasional ...

UU No. 23/2011 adalah “dosa kolektif” pemerintah dan DPR periode 2009-2014, yang sayangnya tidak mendapat koreksi yang memadai dari MK. Dengan “gagalnya” judicial review terhadap UU No. 23/2011 ini maka harapan mengoptimalkan dana sosial keagamaan Islam menjadi amat berat.

Tepat 2 tahun sejak disahkannya UU Pengelolaan Zakat yang baru pada 27 Oktober 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Oktober 2013 membacakan putusannya terhadap judicial review UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Terkait gugatan Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) terhadap Pasal 5, 6, 7, 17, 18, 19, 38 dan 41 dari UU No. 23/2011, MK hanya mengabulkan sebagian gugatan yaitu terkait syarat LAZ harus berbentuk ormas Islam, berbadan hukum dan memiliki pengawas syariah dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, b, dan d, dan frasa “setiap orang” dalam Pasal 38 dan 41, dan menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945.
Meski tetap harus diapresiasi, namun putusan MK ini tak pelak menghapus asa tersisa untuk mengurai permasalahan besar di dunia zakat nasional. MK secara jelas gagal memahami bahwa gugatan utama terhadap UU No. 23/2011 ini adalah perubahan sistem pengelolaan zakat nasional, dari semula sistem desentralisasi dibawah UU No. 38/1999, menjadi sistem sentralisasi dibawah UU No. 23/2011. Dalam memandang Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011, MK menilai bahwa “… pembentukan lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah yang bersifat nasional oleh Pemerintah yang dipadukan (bersinergi) dengan lembaga amil yang telah ada dan/atau yang akan ada, tidak menghalangi hak warga negara untuk, antara lain, membangun masyarakat, bangsa, dan negara; meyakini kepercayaan; bebas dalam berserikat dan berkumpul; maupun mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” .
Pemahaman MK ini tidak sahih dan ahistoris. Sejak awal, pembentukan lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah (ZIS) oleh pemerintah (BAZ), dari yang bersifat lokal antara lain BAZIS DKI Jakarta (1968) hingga yang bersifat nasional, yaitu BAZNAS (2001), tidak pernah mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Ketika lembaga pengelola ZIS bentukan masyarakat sipil (LAZ) muncul pada akhir 1980-an, keduanya kemudian bersinergi, berjalan beriringan mengelola zakat nasional. UU No. 38/1999 sebagai produk reformasi, secara bijak mengukuhkan sinergi ini, mengatur keduanya berdampingan sebagai operator zakat nasional, setara dan sejajar. Pasal 8 UU No. 38/1999 menetapkan BAZ dan LAZ memiliki kewenangan yang sama dalam pengelolaan zakat nasional.
Praktek sinergi yang telah berjalan baik 3 dekade terakhir dan dikukuhkan oleh UU No. 38/1999 inilah yang justru kemudian dirubah total oleh UU No. 23/2011. Pasal 6 UU No. 23/2011 secara eksplisit menetapkan bahwa “lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional” hanya BAZNAS. Ketentuan ini secara vulgar menghapus LAZ yang dalam Pasal 8 UU No. 38/1999 diakui sejajar dengan BAZ sebagai operator zakat nasional. Karena itu, kehadiran Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011 merupakan upaya sentralisasi oleh pemerintah sekaligus upaya kasar memonopoli pengelolaan zakat nasional. UU No. 23/2011 secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ yang dijamin Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya".
Partisipasi masyarakat sipil sejak 1990-an dalam pengelolaan dana sosial keagamaan telah berkontribusi positif dan signifikan dalam merevitalisasi pranata keagamaan, khususnya zakat, untuk kesejahteraan sosial. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana sosial keagamaan. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana sosial keagamaan sekaligus meningkatkan efektifitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di tubuh birokrasi dalam pengelolaan dana sosial keagamaan.
LAZ yang dibentuk atas prakarsa murni masyarakat sipil, sejak kemunculannya pada akhir era 1980-an, segera menjadi pemain utama zakat nasional melalui inisiasi kampanye sadar zakat secara masif, pengelolaan zakat secara kolektif dan transparan, serta pengelolaan zakat untuk kegiatan produktif. Disiplin pasar mendorong inovasi dalam pengelolaan zakat nasional dan perilaku transparan dan akuntabel oleh sebagian besar LAZ. Kompetisi sehat ini berdampak positif pada kinerja dunia zakat nasional: melonjaknya kapasitas dan legitimasi sosial pengelola zakat nasional. Kapasitas LAZ dalam mengelola zakat bahkan tidak hanya bersifat nasional, namun telah melintas batas negara. Karena itu kekhawatiran MK terhadap kapasitas LAZ dalam memperluas kemanfaatan zakat secara merata, adalah sangat tidak beralasan.
Bahkan kinerja BAZ yang kini telah banyak meningkat, justru merupakan akibat terpapar persaingan langsung dengan LAZ. Secara umum, pada 2010, LAZ (18 LAZ nasional dan 22 LAZ daerah) rata-rata menghimpun Rp 15,9 milyar per tahun, hampir 9 kali lipat dari BAZ (1 BAZNAS, 33 BAZ Provinsi dan 447 BAZ Kabupaten/Kota) yang rata-rata hanya menghimpun Rp 1,8 milyar per tahun. Namun jika kita melihat 10 LAZ terbesar, di tahun yang sama, 8 LAZ terbesar rata-rata menghimpun Rp 59,9 milyar per tahun, tidak banyak berbeda dari 2 BAZ terbesar (BAZNAS dan BAZIS DKI Jakarta) yang rata-rata menghimpun Rp 39,9 milyar per tahun.
Arus besar pengelolaan zakat modern pasca reformasi ini kemudian bertemu dengan kebangkitan kelas menengah (middle class) muslim ditengah menguatnya pemulihan ekonomi nasional. Jumlah masyarakat dengan pengeluaran per kapita $2-20 per hari, melonjak dari 81 juta orang (37,7%) pada 2003 menjadi 131 juta orang (56,5%) pada 2010. Pada kurun waktu ini, penghimpunan dana zakat nasional tumbuh di kisaran 40% per tahun. Tarik menarik pengelolaan dana zakat nasional membesar seiring meningkatnya dana yang dikelola ini. Kelas menengah Indonesia diperkirakan akan mencapai 171 juta orang (63%) pada 2020 dan 244 juta orang (78%) pada 2030.
Karena itu ketidakmampuan MK memahami UU No. 23/2011 sebagai upaya sentralisasi pengelolaan zakat nasional, dan bahkan memandangnya sebagai upaya “… memperkuat dan/atau mensinergikan pelayanan zakat, infak, dan sedekah yang telah dilakukan oleh lembaga pengelola zakat bentukan masyarakat maupun oleh amil perorangan” , menjadi sebuah hal yang amat memprihatinkan.
Ketidakmampuan ini membawa MK gagal memahami bahwa reformasi terpenting yang dibutuhkan dunia zakat nasional adalah pembentukan regulator yang kuat dan kredibel. Dalam konsepsi religious welfare state, negara memang berhak dan semestinya turut campur dalam memajukan kesejahteraan umum, termasuk dalam pelaksanaan ibadah yang memiliki relasi sosial. Namun campur tangan yang dikedepankan seharusnya adalah intervensi yang menguatkan masyarakat sipil dalam alam demokrasi, perlindungan warga negara dalam menunaikan ibadah di ranah forum externum, dan memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial.
Dibawah UU No. 38/1999, BAZ dan LAZ sama-sama menjadi operator zakat nasional, yang menghimpun, mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat. Kelemahan terbesar adalah tidak adanya regulator yang menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan untuk menjamin tata kelola yang baik (good governance). Yang dibutuhkan dunia zakat nasional saat ini adalah regulator yang kuat untuk menjaga transparansi, integritas dan kredibilitas operator zakat, sekaligus menyelamatkannya dari “penumpang-penumpang gelap”, baik LAZ maupun BAZ.
UU No. 23/2011 datang dengan memilih bentuk intervensi yang ekstrim: BAZNAS sebagai operator (Pasal 7 ayat (1) huruf b) sekaligus regulator (Pasal 7 ayat (1) huruf a, c dan d, serta Pasal 29 ayat (2)). Hal ini berpotensi melanggar Pasal 28 H angka 2 UUD 1945: “Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Namun terhadap conflict of interest yang vulgar di pasal 7 UU No. 23/2011 ini, MK bahkan memandangnya sebagai: “… syarat mutlak bagi terselenggaranya pelayanan zakat yang efektif dan efisien, yang selanjutnya akan memberikan jaminan terlaksananya ibadah zakat masyarakat” . Betapa menyedihkannya pemahaman ini.
Kegagalan memahami upaya sentralisasi di Pasal 6 UU No. 23/201 kemudian membawa MK gagal memahami upaya subordinasi dan marjinalisasi LAZ oleh UU No. 23/2011. Sebagai implikasi paradigma sentralisasi, maka status LAZ kemudian diturunkan, dari “sejajar” dengan BAZ sebagaimana di Pasal 8 UU No. 38/1999, menjadi sekedar “membantu” BAZNAS di Pasal 17 UU No. 23/2011. Namun, karena tidak mampu memahami upaya sentralisasi Pasal 6 UU No. 23/2011 ini, maka MK hanya memandang bahwa Pasal 17 UU No. 23/2011 ini sebagai “… suatu bentuk opened legal policy dari pembentuk undang-undang …” dan frasa “membantu” BAZNAS harus dimaknai “… membantu negara melakukan pengelolaan zakat secara transparan dan akuntabel” .
MK tidak mampu melihat bahwa Pasal 17 UU No. 23/2011 ini merupakan implikasi logis dari Pasal 6 UU No. 23/2011, mereka merupakan satu rangkaian. Karena kewenangan melakukan pengelolaan zakat nasional kini hanya milik BAZNAS (Pasal 6 UU No. 23/2011), maka Pasal 17 UU No. 23/2011 menetapkan bahwa LAZ yang kini hendak ikut berpartisipasi dalam pengelolaan zakat nasional hanyalah sekedar “membantu” BAZNAS. Dalam konteks inilah maka frasa “membantu” BAZNAS secara jelas bermakna subordinat BAZNAS. Bahwa subordinasi LAZ ini bukan sekedar konotasi belaka sebagaimana pemahaman MK, dibuktikan kemudian dengan berbagai ketentuan lanjutan dalam UU No. 23/2011 ini: LAZ harus mendapat rekomendasi BAZNAS untuk mendapat perizinan (Pasal 18 ayat 2 huruf c) dan harus membuat pelaporan atas pengelolaan zakat ke BAZNAS (Pasal 19 dan Pasal 29 ayat 3). Karena logika subordinasi pulalah maka LAZ tidak berhak mendapat fasilitas dari pemerintah sebagaimana halnya BAZNAS, meski menyandang tugas yang sama sebagai operator zakat, seperti misalnya pembiayaan dari APBN dan APBD (Pasal 30, 31 dan 32).
Dengan ketidakmampuan memahami kaitan Pasal 17 dan Pasal 6 dari UU No. 23/2011 ini, maka MK kemudian tidak mampu memahami bahwa Pasal 19 UU No. 23/2011 merupakan bentuk diskriminasi dan conflict of interest yang parah, yang berpotensi melanggar Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". BAZNAS dan LAZ menyandang tugas yang sama sebagai operator zakat nasional, namun BAZNAS mendapat keistimewaan luar biasa dari UU: menjadi operator sekaligus regulator. Seluruh LAZ wajib melaporkan pelaksanaan tugas mereka sebagai operator zakat ke BAZNAS yang merupakan operator zakat juga (Pasal 7 ayat (1) huruf b).
Tidak ada yang menyangkal pemahaman MK bahwa kewajiban pelaporan di Pasal 19 UU No. 23/2011 ini adalah “… kewajiban administratif yang tujuannya tidak dapat diartikan lain selain untuk memastikan bahwa semua LAZ sedang atau telah mengumpulkan, mendistribusikan, serta mendayagunakan zakat sesuai dengan norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat” . Yang digugat dari ketentuan ini adalah logika sentralisasi dan subordinasi yang dikandungnya.
Dibawah UU No. 38/1999, dunia zakat nasional tidak memiliki regulator sehingga semua operator zakat nasional berjalan masing-masing tanpa koordinasi dan sinergi. Regulator yang menjalankan fungsi perencanaan, regulasi dan pengawasan akan membutuhkan laporan dari setiap operator zakat. Maka kehadiran Pasal 19 UU No. 23/2011 ini mendapatkan dukungan yang kuat. Operator zakat yang jumlahnya semakin banyak dengan ukuran (size) yang semakin membesar, perlu terus didorong untuk meraih efisiensi dan efektivitas pendayagunaan zakat dari tercapainya economies of scale dan menguatnya kapasitas lembaga. Yang harus dijaga dan dipastikan adalah transparansi, integritas dan kredibilitas operator zakat, serta kepatuhan syari’ah-nya. Jika pasal 19 UU No. 23/2011 ini dilekatkan dengan ketentuan bahwa BAZNAS adalah regulator saja, dan semua operator (baik BAZ maupun LAZ) wajib menyampaikan laporan ke BAZNAS, tentu tidak akan ada yang menolak ketentuan Pasal 19 UU No. 23/2011 ini.
Lebih jauh lagi, regulator zakat nasional juga sangat dibutuhkan agar gerak operator zakat terarah dalam sebuah perencanaan zakat nasional sehingga tercipta koordinasi dan sinergi. Dalam konteks ini maka berbagai ketentuan tentang peran dan fungsi regulator dalam UU No. 23/2011 mendapat pijakan yang kuat, seperti fungsi perencanaan, pengendalian dan pelaporan (Pasal 7 ayat 1 huruf a, c dan d) dan menerima laporan dari LAZ dan BAZNAS provinsi (Pasal 29 ayat 2). Namun semua ketentuan yang positif ini menjadi bermasalah ketika dilekatkan dengan logika sentralisasi dan penggabungan kekuasaan di tangan BAZNAS.
UU No. 23/2011 merupakan satu kesatuan yang saling terimplikasi: satu ketentuan berimplikasi pada ketentuan berikutnya. Maka, sebagaimana sebelumnya, pengujian terhadap Pasal 18 UU No. 23/2011 semestinya tidak dilakukan secara parsial karena ia juga merupakan produk turunan dari logika sentralisasi di Pasal 6 UU No. 23/2011 ini. Dengan logika sentralisasi dan subordinasi di Pasal 6 dan 17 UU No. 23/2011, maka UU sama sekali tidak memberi insentif bagi perkembangan LAZ. Bahkan sebaliknya, UU No. 23/2011 menerapkan berbagai restriksi yang sangat ketat terhadap LAZ yang secara jelas bersifat marjinalisasi dan berpotensi mematikan, yaitu di Pasal 18 UU No. 23/2011 ini.
LAZ yang telah diakui pemerintah sebelum UU No. 23/2011 tetap diakui, namun harus menyesuaikan diri paling lambat 5 tahun (Pasal 43 ayat 3 dan 4). Namun ketika harus mengajukan perizinan baru, LAZ dihadapkan pada restriksi yang sangat ketat (Pasal 18), khususnya keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam (Pasal 18 ayat 2 huruf a). Seluruh LAZ besar dan sebagian besar LAZ lainnya saat ini tidak didirikan oleh ormas, yang berbasis keanggotaan, namun oleh yayasan, yang tidak memiliki anggota. MK secara jernih melihat hal ini akan “…mengakibatkan ketidakadilan sebab menafikan keberadaan lembaga atau perorangan yang selama ini telah bertindak sebagai amil zakat” . LAZ tentu harus mensyukuri dibatalkannya ketentuan paling “mematikan” ini oleh MK.
Terkait syarat “mendapat rekomendasi dari BAZNAS” (Pasal 18 ayat 2 huruf c), pemahaman MK memang benar bahwa ketentuan ini “…bukan dalam konteks BAZNAS menjadi pihak yang menentukan dapat atau tidak dapatnya suatu lembaga menjadi LAZ” . Namun ketentuan ini menjadi bermasalah dan bahkan berpotensi “mematikan” karena BAZNAS adalah regulator sekaligus operator: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal perizinan LAZ yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Kewajiban LAZ memberi laporan ke BAZNAS semakin memperparah conflict of interest ini. Jika LAZ tak berizin tetap beroperasi, ia akan menghadapi ketentuan pamungkas: kriminalisasi terhadap amil illegal (Pasal 38) dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta (Pasal 41). MK gagal menangkap upaya pelemahan secara sistematis terhadap LAZ yang merupakan pemain utama zakat nasional ini, yang berpotensi melanggar Pasal 28 E angka 3 UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan Pasal 28 H angka 3 UUD 1945: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
UU No. 23/2011 adalah “dosa kolektif” pemerintah dan DPR periode 2009-2014, yang sayangnya tidak mendapat koreksi yang memadai dari MK. Dengan “gagalnya” judicial review terhadap UU No. 23/2011 ini maka harapan mengoptimalkan dana sosial keagamaan Islam menjadi amat berat. UU ini juga menjadi preseden buruk karena mematahkan gerakan masyarakat sipil yang independen dan berkhidmat pada kesejahteraan umat. UU No. 23/2011 adalah “original sin” bagi dunia zakat nasional ke depan. Semoga masih ada secercah cahaya pasca pemilu 2014.

Yusuf Wibisono. “Jalan Terjal Zakat Nasional”, Majalah Sharing, Edisi 83, Thn VIII, Desember 2013 - Januari 2014.


Labels:


Selengkapnya...