Monday, April 02, 2012

Reformasi Pengelolaan Dana Haji ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Carut marut pengelolaan dana haji kembali mendapat sorotan. KPK (23/2/2012) mengeluarkan rekomendasi moratorium pendaftaran calon jemaah haji karena sistem akuntansi Kementrian Agama (Kemenag) tidak mampu menjangkau keseluruhan audit dana haji dimana kini setoran awal BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) telah menumpuk hingga Rp 38 triliun. Kemenag sendiri langsung menolak wacana ini, namun juga tanpa rencana perbaikan pengelolaan dana ke depan.
BPIH adalah mahal. Biaya haji 2011 di Malaysia adalah RM 9.980 (sekitar US$ 3.300) dengan pelayanan prima kepada jemaah. Di saat yang sama, biaya haji Indonesia berada dikisaran US$ 3.500. Ironisnya, mahalnya BPIH tidak berkorelasi dengan pelayanan dimana pelayanan terhadap jemaah cenderung buruk dan terjadi merata dari pelayanan sebelum keberangkatan hingga pasca haji, dari bimbingan haji hingga akomodasi.
Kinerja pengelolaan dana haji juga sangat rendah. Tidak ada dampak signifikan dari dana haji yang jumlahnya begitu besar untuk peningkatan pelayanan haji. BPIH seharusnya murah karena tercapainya economies of scale dari perputaran Rp 7 triliun dana haji setiap tahunnya dan produktivitas dana setoran awal BPIH yang Rp 38 triliun. Pada 2011, setiap jemaah haji Malaysia mendapat subsidi dari hingga RM 4.360 (sekitar Rp 13 juta), sedangkan setiap jemaah haji Indonesia hanya mendapat subsidi sekitar Rp 7 juta. Pengelolaan dana haji yang tidak produktif dan tidak transparan membuat haji yang telah dilaksanakan puluhan tahun hanya menjadi ritual tahunan tanpa dampak ekonomi yang signifikan.

Salah Kelola Dana Haji
Salah kelola dana haji telah terjadi puluhan tahun. Monopoli haji ditengarai menjadi akar masalah kisruh haji selama ini. Meski monopoli haji oleh pemerintah memberi banyak manfaat positif, seperti tidak adanya lagi kekisruhan akibat penipuan oleh penyelenggara swasta, posisi tawar ke pemerintah Arab Saudi yang lebih baik, dan efisiensi dari tercapainya skala ekonomi, namun disisi lain monopoli ini membawa banyak masalah kronis, terutama inefisiensi, unprofessional conducts dan korupsi.
UU No. 17/1999 mengukuhkan pemerintah (Kemenag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah/PHU Kemenag) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Kemenag masih sangat dominan di tiga fungsi ini. Masalah fundamental, kemenag sebagai lembaga publik yang mengelola dana masyarakat sehingga terjadi benturan kepentingan antara tujuan pelayanan publik dan mengejar laba, tetap tidak tersentuh.
Dengan kerangka regulasi ini, perhatian Kemenag lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai pelaksana haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan, sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji nyaris terabaikan. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Kemenag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh penyelenggara dan pihak-pihak terkait. Dalam sistem penyelenggaraan haji seperti ini, pengelolaan dana haji secara produktif, transparan, dan sesuai syariah, praktis terabaikan.
Sebelum tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran awal BPIH sebesar Rp 20 juta di Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH langsung masuk ke rekening Menteri Agama di BI tanpa mendapat manfaat (return) namun mendapat jaminan konversi ke US dollar. Sejak tahun 2006, setoran dana haji disimpan di BPS BPIH, dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. Dana ini kian membengkak sejak Mei 2010 dimana setoran awal BPIH dinaikkan menjadi Rp 25 juta.
Dalam UU No. 13/2008, terdapat langkah maju dimana dana haji didorong untuk dikelola oleh perbankan syariah, namun perbankan konvensional masih diperbolehkan sepanjang memiliki unit layanan syariah. Pengelolaan dana haji juga diatur lebih rinci dan transparan dalam UU No. 13/2008 serta dikembangkan melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai syariah. Namun sayangnya, Kemenag kemudian menjadi sangat bergantung pada penempatan dana haji di sukuk negara dengan alasan keamanan dana.

Pengelolaan Dana Haji Masa Depan
Dalam arsitektur haji Indonesia masa depan, Kemenag semestinya memainkan peran sebagai regulator, sedangkan KPHI sebagai pengawas, termasuk aspek kepatuhan syariah. Stakeholders utama haji, jemaah haji dan masyarakat Muslim, harus mendapat akses dan representasi yang memadai di regulator maupun KPHI. Pemerintah sebagai operator haji mendapatkan dukungan sejarah dan fakta bahwa haji lebih merupakan hubungan antar pemerintah (G to G). Swastanisasi haji bukan merupakan pilihan. Reformasi operator haji, termasuk pengelolaan dana haji, lebih merupakan upaya mencari bentuk kelembagaan operator yang terbaik.
Untuk pengelolaan dana haji yang efisien, produktif, prudent, dan sesuai syariah, terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan operator bagi haji Indonesia ke depan. Pertama, model Bank Dana Haji Indonesia (BDHI) sebagai BUMN (Bank Persero), namun dengan modifikasi sebagaimana Tabung Haji Malaysia. Model ini mengharuskan BDHI juga sebagai penyelenggara pelayanan haji, sesuatu yang sulit direalisasikan tanpa reformasi regulasi yang signifikan mengingat UU Perbankan membatasi operasional bank pada kegiatan intermediasi perbankan saja. UU BUMN juga kini hanya mengenal bentuk persero dan perum yang keduanya berorientasi mengejar laba, sesuatu yang ingin dihindari dari entitas pemerintah yang mengelola haji.
Kedua, model Badan Layanan Umum (BLU), sebagai satuan kerja dibawah Kemenag, sesuai UU Perbendaharaan Negara. Model ini memiliki beberapa keunggulan yaitu, operator tetap bagian dari pemerintah, berorientasi pada pelayanan, keuangan dikonsolidasikan dalam APBN sebagai PNBP namun dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, dapat dilakukan pengamanan atas aset yang dikelola, serta diterapkannya SPM (Standar Pelayanan Minimal) atas layanan yang diberikan. Namun model ini menyisakan permasalahan tata kelola yang tak terselesaikan dengan pemain kunci tetap adalah Kemenag, yang selama ini dipersepsikan tidak kompeten dan inefisien.
Ketiga, model konsorsium perbankan syariah nasional, dengan operator haji teknis dari pihak lain. Model ini mirip dengan model pertama, namun operator haji, katakan BLU, tidak melakukan pengelolaan keuangan dan menyerahkan sepenuhnya pada perbankan syariah nasional yang kini sudah ada. Model ini adalah proposal paling realistis dalam jangka pendek dimana perbankan syariah telah memiliki kompetensi dan kelengkapan infrastruktur sebagai manajer investasi syariah.
Keempat, model Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI) sebagai badan hukum publik wali amanat (trust fund) yang bertanggungjawab ke Presiden. Penulis menggagas dan mendukung trust fund sebagai operator haji Indonesia masa depan. Dalam proposal ini, BPHI dibentuk dengan UU khusus. Modal awal BPHI dapat berasal dari DAU (Dana Abadi Ummat). Dalam model ini, dana haji diperlakukan sebagai dana amanat, yang dikelola dengan prinsip nirlaba (not for profit). Dana yang terkumpul dan keuntungan dari pengembangan dana haji harus dan hanya digunakan untuk kemaslahatan jemaah (trust fund). Dalam model ini, pihak pembayar BPIH, jemaah haji, harus memiliki akses ke pengambil kebijakan tertinggi haji (regulator), sekaligus sebagai pengawas.
Dalam model trust fund ini juga digagas bahwa tabungan dan pendaftaran haji diwajibkan bagi seluruh penduduk muslim dewasa (demokratisasi haji), dan haji ulang mendapat restriksi yang ketat. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan BPIH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman di sektor riil dan sesuai syariah, tidak terbatas pada deposito dan sukuk negara saja. Model ini juga akan menghasilkan efisiensi yang berasal dari economies of scale karena skala bisnis yang besar, dan dari economies of scope karena pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan teknis haji akan menjadi lebih efisien dan efektif ketika dilakukan oleh satu lembaga.

Majalah Tempo, 2 April 2012

Labels:


Selengkapnya...

Wednesday, February 29, 2012

Reformasi Pengelolaan Dana Haji ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Dana haji kembali menyita perhatian publik. KPK (23/2/2012) mengeluarkan rekomendasi moratorium pendaftaran calon jemaah haji karena sistem akuntansi Kementrian Agama tidak mampu menjangkau keseluruhan audit dana haji dimana kini dana setoran awal BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) telah menumpuk hingga Rp 38 triliun. Tak lama berselang (25/2/2012) Menteri Agama menarik Rp 12 triliun dana haji di BPS (Bank Penerima Setoran) BPIH dan menempatkannya di sukuk negara.
BPIH adalah mahal dan dengan kecenderungan terus meningkat. Biaya haji di Malaysia tahun 2011 adalah RM 9.980 atau sekitar US$ 3.300 dengan pelayanan prima kepada jemaah, sedangkan biaya haji Indonesia di tahun yang sama berada dikisaran US$ 3.500, meningkat dari BPIH tahun 2005 yang masih di kisaran US$ 2.600. Ironisnya, mahalnya BPIH tidak berkorelasi dengan pelayanan dimana pelayanan terhadap jemaah cenderung buruk dan terjadi di hampir semua aspek seperti bimbingan haji, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi dan keamanan. Buruknya pelayanan juga merata terjadi di semua tahapan haji, mulai dari pelayanan sebelum keberangkatan, selama di tanah suci, hingga pelayanan pasca haji.
Kinerja pengelolaan dana haji juga sangat rendah. Tidak ada dampak signifikan dari dana haji yang jumlahnya begitu besar untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan haji dan kemaslahatan umat. Dengan dana lebih dari Rp 7 triliun setiap tahunnya dan dana mengendap hingga Rp 38 triliun, BPIH harusnya murah karena tercapainya economies of scale. Pengelolaan dana haji yang tidak produktif dan juga tidak transparan membuat haji yang telah dilaksanakan puluhan tahun hanya menjadi ritual tahunan tanpa dampak ekonomi yang signifikan. Dana haji yang sangat besar seharusnya potensial digunakan untuk sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang sekaligus membebaskan dana-dana mahal jangka pendek di sektor perbankan nasional, sehingga akan menekan biaya dana (cost of fund) dan suku bunga.

Salah Kelola Dana Haji
Masalah pengelolaan dana haji telah terjadi puluhan tahun. Monopoli haji ditengarai menjadi akar masalah kisruh haji selama ini. Meski monopoli haji oleh pemerintah memberi banyak manfaat positif, seperti tidak adanya lagi kekisruhan akibat penipuan oleh penyelenggara swasta, posisi tawar ke pemerintah Arab Saudi yang lebih baik, dan efisiensi dari tercapainya skala ekonomi, namun disisi lain monopoli ini membawa banyak masalah kronis, terutama inefisiensi, unprofessional conducts dan korupsi dana haji. Akibatnya, pelayanan kepada jemaah haji cenderung rendah meskipun biaya haji mahal dan terus meningkat.
UU No. 17/1999 menguatkan pemerintah (Kemenag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah/PHU Kemenag) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Kemenag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.
Dengan kerangka regulasi ini, perhatian Kemenag lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai pelaksana haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan, sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji nyaris terabaikan. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Kemenag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh penyelenggara dan pihak-pihak terkait. Dalam sistem penyelenggaraan haji seperti ini, pengelolaan dana haji secara produktif, transparan, dan sesuai syariah, praktis terabaikan.
Sebelum tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran awal calon jemaah haji sebesar Rp 20 juta di Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH langsung masuk ke rekening Menteri Agama di BI tanpa mendapat manfaat (return) namun mendapat jaminan konversi ke US dollar. Sejak tahun 2006, setoran dana haji disimpan di BPS BPIH, dalam bentuk giro, deposito dan tabungan.
Dalam UU No. 13/2008, terdapat langkah maju dalam pengelolaan dana haji dimana dana haji didorong untuk dikelola oleh oleh perbankan syariah, namun UU masih memberi peluang bagi perbankan konvensional sepanjang memiliki unit layanan syariah. Pengelolaan dana haji juga diatur lebih rinci dan transparan dalam UU No. 13/2008 serta dikembangkan melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai syariah. Hal ini kemudian yang menjadi salah satu landasan penempatan dana haji di sukuk negara. Namun dengan tata kelola yang tetap buruk, semua faktor kondusif diatas seolah menjadi tidak berarti.

Pengelolaan Dana Haji Masa Depan
Untuk pengelolaan dana haji yang efisien, produktif, prudent, dan sesuai syariah, terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan operator bagi haji Indonesia ke depan. Pertama, model Bank Dana Haji Indonesia (BDHI) sebagai BUMN (Bank Persero), namun dengan modifikasi sebagaimana Tabung Haji Malaysia. Model ini mengharuskan BDHI juga sebagai penyelenggara pelayanan haji, sesuatu yang sulit direalisasikan tanpa reformasi regulasi yang signifikan mengingat UU Perbankan membatasi operasional bank pada kegiatan intermediasi perbankan saja. UU BUMN juga kini hanya mengenal bentuk persero dan perum yang keduanya berorientasi mengejar laba, sesuatu yang ingin dihindari dari entitas pemerintah yang mengelola haji.
Kedua, model Badan Layanan Umum (BLU), sebagai satuan kerja dibawah Kemenag, sesuai UU Perbendaharaan Negara. Model ini memiliki beberapa keunggulan yaitu, operator tetap bagian dari pemerintah, berorientasi pada pelayanan, keuangan dikonsolidasikan dalam APBN sebagai PNBP namun dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, dapat dilakukan pengamanan atas aset yang dikelola, serta diterapkannya SPM (Standar Pelayanan Minimal) atas layanan yang diberikan. Namun model ini menyisakan permasalahan tata kelola yang tak terselesaikan dengan pemain kunci tetap adalah Kemenag, yang selama ini dipersepsikan tidak kompeten dan inefisien.
Ketiga, model konsorsium perbankan syariah nasional, dengan operator haji teknis dari pihak lain. Model ini mirip dengan model pertama, namun operator haji, katakan BLU, tidak melakukan pengelolaan keuangan dan menyerahkan sepenuhnya pada perbankan syariah nasional yang kini sudah ada. Model ini adalah proposal paling realistis dalam jangka pendek dimana perbankan syariah telah memiliki kompetensi dan kelengkapan infrastruktur sebagai manajer investasi syariah.
Keempat, model Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI) sebagai badan hukum publik wali amanat yang bertanggungjawab ke Presiden. Penulis menggagas dan mendukung trust fund sebagai operator haji Indonesia masa depan. Dalam proposal ini, BPHI dibentuk dengan UU khusus. Modal awal BPHI dapat berasal dari DAU (Dana Abadi Ummat). Dalam model ini, dana haji diperlakukan sebagai dana amanat, yang dikelola dengan prinsip nirlaba (not for profit). Dana yang terkumpul dan keuntungan dari pengembangan dana haji hanya digunakan untuk kemaslahatan jemaah (trust fund). Dalam model ini, pihak pembayar BPIH, jemaah haji, harus memiliki akses ke pengambil kebijakan tertinggi haji (regulator), sekaligus sebagai pengawas.
Dalam model trust fund ini juga digagas bahwa tabungan dan pendaftaran haji diwajibkan bagi seluruh penduduk muslim dewasa (demokratisasi haji), dan haji ulang mendapat restriksi yang ketat. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan BPIH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman di sektor riil dan sesuai syariah, tidak terbatas pada deposito dan sukuk negara saja. Sebagai benchmark, Tabung Haji Malaysia yang hanya mengelola dana haji 26 ribu jemaah per tahunnya dengan biaya sekitar RM 10 ribu per jemaah, pada tahun 2009 mampu meraih keuntungan operasional RM 1,73 miliar, atau sekitar Rp 5,18 triliun. Model ini juga akan menghasilkan efisiensi yang berasal dari economies of scale karena skala bisnis yang besar, dan dari economies of scope karena pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan teknis haji akan menjadi lebih efisien dan efektif ketika dilakukan oleh satu lembaga.

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, June 30, 2009

Evaluasi Kinerja Departemen Agama ...



Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Salah satu agenda pemerintahan SBY-JK adalah pembangunan agama, yang merupakan salah satu hak dasar rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 29. Tulisan ini akan melihat kinerja Departemen Agama (Depag) dari perspektif sosial-ekonomi. Dengan demikian, policy measures yang digunakan untuk penilaian kinerja juga akan banyak dilihat dari aspek sosial-ekonomi.
Dari RPJM 2004-2009 serta rencana strategis (renstra) dan visi-misi Depag 2005-2009, setidaknya terdapat beberapa policy measures sosial-ekonomi yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Depag yaitu kinerja filantropi Islam (zakat dan wakaf), kinerja penyelenggaraan haji dan kinerja institusi pendidikan keagamaan. Dengan tiga ukuran kebijakan ini, kinerja Depag terlihat kurang memuaskan. Berbagai langkah reformasi mendasar masih harus terus didorong ke depan.

Pengelolaan Zakat dan Wakaf
Zakat dan wakaf telah lama dipraktekkan di negeri ini, namun dampaknya belum luas dirasakan. Potensi dana filantropi Islam yang besar, belum mampu mengangkat kelompok miskin di negeri ini keluar dari kemiskinan. Terlepas dari keberadaan ratusan organisasi pengelola zakat (OPZ), baik BAZ (Pemerintah) maupun LAZ (Masyarakat), dana zakat yang terhimpun setiap tahunnya masih dibawah Rp 1 trilyun dari puluhan trilyun potensi-nya. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 19 LAZ tingkat nasional, 33 BAZ tingkat provinsi, dan 429 BAZ tingkat kabupaten/kota.
Masih rendahnya kinerja zakat setidaknya disebabkan empat faktor utama. Pertama, rendahnya penghimpunan dana zakat melalui lembaga amil karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal. Kedua, masih rendahnya efisiensi dan efektifitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih besarnya jumlah OPZ dengan skala usaha yang kecil. Ketiga, lemahnya kerangka regulasi dan institusional zakat karena ketiadaan lembaga regulator-pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat-pajak. Keempat, lemahnya kapasitas kelembagaan dan SDM zakat.
Arah kebijakan ke depan yang terpenting disini adalah membentuk “Arsitektur Zakat Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator zakat. Fungsi regulator-pengawas semestinya dipegang Depag atau lembaga independen, katakan Badan Zakat Indonesia, sedangkan BAZ dan LAZ sepenuhnya sebagai operator. Reformasi terpenting lainnya adalah memperjelas relasi zakat dan pajak dengan penerapan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) tidak lagi sekedar pengurang penghasilan kena pajak (tax deductible). Hal ini akan berdampak signifikan sebagai insentif muzakki untuk berzakat. Di Indonesia, wacana insentif berzakat lebih relevan dibandingkan wacana penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai.
Langkah maju telah terjadi di dunia wakaf nasional. UU No. 41/2004 telah memberi “Arsitektur Wakaf Indonesia” untuk tata kelola wakaf yang baik dimana terjadi pemisahan yang tegas antara regulator (Badan Wakaf Indonesia), pengawas (Menteri Agama) dan operator (nazhir). Keluarnya PP No. 42/2006 tentang Wakaf, memperkokoh landasan operasional bagi pengelolaan wakaf secara profesional dan akuntabel. Kini Depag telah bergerak jauh ke arah wakaf produktif melalui proyek percontohan wakaf tanah produktif dan mendorong wakaf uang dengan menunjuk lima bank syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Arah kebijakan terpenting ke depan adalah mendorong lebih jauh wakaf tanah produktif melalui identifikasi dan sertifikasi, penguatan kapasitas nazhir serta menemukan skema kemitraan dan pembiayaan yang sesuai. Sampai dengan tahun 2007, terdapat 185 ribu hektar tanah wakaf di lebih dari 400 ribu lokasi di seluruh provinsi, dengan 75% diantaranya telah bersertifikat. Diperkirakan setidaknya 10% dari lahan ini berlokasi di tempat strategis dan potensial dikembangkan sebagai wakaf produktif. Langkah penting lainnya adalah integrasi wakaf dan sektor keuangan syariah untuk pengembangan wakaf produktif termasuk dengan mendirikan bank wakaf nasional, serta integrasi wakaf dengan zakat dan lembaga keuangan mikro syariah untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.

Penyelenggaraan Haji
Hingga kini belum terlihat perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan haji. Mahalnya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan kecenderungan terus meningkat, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari pelayanan pra-haji, saat haji hingga pasca haji, dan rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU), adalah sederet permasalahan haji nasional yang tak kunjung terselesaikan.
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan ke-tiga fungsi ini. Sayangnya pemisahan ini tidak tegas dimana Depag masih terus dipertahankan sebagai regulator (Menteri) sekaligus operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dengan hanya memberikan “lahan kering” pengawasan ke masyarakat (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI).
Maka agenda reformasi haji terbesar adalah membentuk “Arsitektur Haji Indonesia” dengan fitur utama pemisahan fungsi yang tegas antara regulator-pengawas dan operator. Depag semestinya ditempatkan sebagai regulator-pengawas. Sebagai operator, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional.
Selain sebagai operator, fungsi strategis THI lainnya adalah mengelola dana haji secara produktif, terpusat, akuntabel dan sesuai syariah. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.

Penyelenggaraan Pendidikan
Secara umum, kondisi pendidikan keagamaan tidak jauh berbeda dari pendidikan umum seperti minimnya anggaran, rendahnya kualitas pengajar dan infrastruktur fisik, kelemahan kurikulum dan bahan pengajaran serta lemahnya keterkaitan antara pendidikan dan dunia kerja. Selain institusi pendidikan formal dari pendidikan dasar (MI, MTS dan MA) hingga tinggi (IAIN dan UIN), potensi terbesar lainnya adalah institusi pendidikan non formal yaitu pesantren dan masjid. Kini setidaknya terdapat 194 ribu Masjid, 62 ribu Mushalla dan 388 ribu Langgar, serta 15 ribu pesantren dengan 5-6 juta santri.
Ke depan, arah kebijakan terpenting adalah mendinamiskan kurikulum pendidikan keagamaan dengan memperhatikan tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, agama, dan dinamika perkembangan global. Pendidikan keagamaan selain dituntut untuk terus meningkatkan kualitas, disaat yang sama juga dituntut untuk membangun kompetensi baru terkait kebutuhan masyarakat (societal needs) sekarang dan masa depan, kebutuhan industri/dunia kerja (market signal), dan kebutuhan pengembangan ilmu (science vision). Terdapat prospek baik bagi pendidikan keagamaan untuk membangun kompetensi baru seperti misalnya di bidang zakat, wakaf, haji, dan keuangan syariah, khususnya perbankan dan asuransi syariah.

Koran Tempo, "Tiga Ukuran Kebijakan Departemen Agama", 30 Juni 2009.

Labels: ,


Selengkapnya...

Thursday, June 18, 2009

Reformasi Haji ...



Yusuf Wibisono - Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Setelah melalui debat panjang, akhirnya pemerintah dan DPR menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2009 sama dengan BPIH 2008. Sebelumnya, pemerintah dan DPR sempat berencana menaikkan BPIH 2009 sebesar US$ 84 (Koran Tempo, 15/6/2009).
Pemerintah selama ini dianggap gagal menyelenggarakan haji. Kisah haji Indonesia adalah wajah buram bangsa ini di dunia internasional. Kisruh penyelenggaraan haji yang nyaris terjadi setiap tahun, semestinya memberi kita pemahaman bahwa kegagalan ini bersifat struktural, sehingga solusi-solusi pragmatis ad-hoc tidak akan pernah memberi hasil memuaskan.
Kegagalan penyelenggaraan haji selama ini dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar. Pertama, mahalnya BPIH dan dengan disertai kecenderungan terus meningkat. Bila di tahun 2002, BPIH berada di kisaran US$ 2.700 maka di tahun 2009 kini telah berada di kisaran US$ 3.500. Penyusunan BPIH selama ini juga cenderung tertutup, begitupun halnya dengan kontrak-kontrak terkait operasional haji lainnya. Kedua, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari bimbingan manasik, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi, hingga perlindungan keamanan. Pembinaan dan pelayanan pasca haji praktis terabaikan. Ketiga, rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU). Tidak ada dampak signifikan dari dana haji dan DAU yang begitu besar untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan haji dan kemaslahatan umat. Selain tidak dikelola secara produktif dan sesuai syariah, pengelolaan dana haji juga ditengarai banyak penyimpangan.

Arsitektur Haji Indonesia
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji Indonesia selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Depag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.
Perhatian Depag selama ini banyak tercurah pada aspek operasional haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan dengan perputaran dana mencapai trilyun-an Rupiah per tahun. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Depag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh oknum birokrasi dan para kroni-nya.
Untuk alasan diatas, maka agenda reformasi haji terbesar adalah pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator. Idealnya, Depag harus ditempatkan sebagai regulator-pengawas, bukan operator. UU No. 13/2008 justru melestarikan kesalahan UU No. 17/1999 dengan terus mempertahankan Depag sebagai operator-regulator dan memberikan “lahan kering” pengawasan ke KPHI. Depag yang berada di ranah publik seharusnya hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan pelayanan publik. Maka menjadi sebuah kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah untuk mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba.
Mencontoh best-practice di Malaysia, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional. Dengan demikian, Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi utamanya sebagai regulator dan pengawas yang selama ini praktis terabaikan. Keberadaan THI ini juga akan membebaskan APBN dan APBD dari beban operasional panitia haji. Begitupun dengan ribuan PNS baik di pusat maupun daerah, dapat berkonsentrasi pada tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, THI akan mendapat pengawasan ketat dari Depag dan KPHI, serta audit BPK. Untuk memacu efisiensi, THI harus dibekali dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), meliputi aspek BPIH, bimbingan haji, transportasi, pemondokan, katering, pelayanan medis, dan tenaga pembimbing. Dengan SPM ini maka akan terlihat korelasi yang jelas antara biaya dan pelayanan. THI juga tetap dihadapkan pada persaingan dan disiplin pasar dengan menempatkan biro haji swasta sebagai penyelenggara haji khusus. Dengan demikian, jamaah haji akan mendapat pelayanan prima dengan biaya yang wajar. Keberadaan DAU juga bisa dihapuskan tanpa mengganggu kualitas pelayanan dan sekaligus menghapus potensi korupsi.

Tabung Haji Indonesia
Hingga tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran calon jamaah haji sebesar Rp 20 juta langsung masuk ke rekening Menteri di BI, tanpa mendapat manfaat namun mendapat jaminan konversi ke US$. Sejak 2006, setoran dana haji disimpan di Bank Penerima Setoran (BPS), dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. UU No. 13/2008 telah mendorong pengelolaan dana haji ini oleh perbankan syariah, namun masih memberi peluang bagi perbankan konvensional sepanjang memiliki layanan syariah.
Ke depan, pengelolaan dana haji semestinya dilakukan secara profesional, terpusat dan sepenuhnya sesuai syariah, katakan dengan membentuk Tabung Haji Indonesia, Bank Syariah Haji Indonesia atau setidaknya membentuk konsorsium bank syariah dengan jumlah maksimum, katakan 5 bank. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya.
Pelaksanaan ibadah haji melibatkan dana yang sangat besar. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.
Dana sebesar ini jika dikelola dengan baik dan benar, seharusnya mampu memberi dampak yang signifikan pada kemaslahatan jemaah haji dan kesejahteraan ummat. Lembaga Tabung Haji (TH) Malaysia misalnya, yang hanya mengelola dana haji 26 ribu jemaah per tahunnya dengan biaya sekitar RM 9 ribu per jemaah, pada tahun 2007 memiliki aset RM 11,3 milyar dengan laba bersih RM 1,07 milyar. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan TH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman dan sesuai syariah. TH melalui anak perusahaan-nya yaitu TH travel & services, TH plantations, TH properties, TH technologies, dan TH global services, terlibat secara aktif dalam berbagai investasi pembangunan. Dengan pengelolaan yang efisien, profesional dan transparan, haji telah bertransformasi menjadi salah satu tulang punggung perekonomian di Malaysia.
Dana haji yang bersifat jangka pendek, dapat disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito, sehingga akan meningkatkan size dan pertumbuhan perbankan syariah nasional. Sedangkan dana haji yang bersifat jangka panjang, seperti tabungan haji dimuka, DAU dan setoran haji untuk keberangkatan hingga 5 tahun ke depan, sebaiknya dikelola untuk investasi jangka panjang.
Dengan demikian, dana haji ini sangat potensial menjadi alternatif untuk sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI ini akan membebaskan dana-dana mahal jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang seperti infrastruktur. Dengan demikian, dana haji juga akan menekan potensi miss-match dan instabilitas sistem perbankan nasional. Pada saat yang sama, dana THI ini juga akan menambah volume kredit dan menekan tingkat suku bunga sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga.
Dalam kasus Indonesia yang mengalami defisit anggaran, dana THI juga dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang di-privatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara.

"Reformasi Haji", Koran Tempo, 19 Juni 2009

Labels:


Selengkapnya...

Monday, December 12, 2005

Haji yang Memberdayakan ...

Menyambut Pelaksanaan Ibadah Haji 2006
HAJI YANG MEMBERDAYAKAN UMMAT

Salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki dampak ekonomi besar adalah ibadah haji. Dengan 200 ribu jemaah haji, ritual ini di Indonesia mampu memobilisasi dana tak kurang dari Rp 6 triliun per tahun-nya. Namun event ekonomi besar tahunan ini tak mampu memberi dampak yang signifikan pada kehidupan ekonomi ummat. Sekian puluh tahun haji dilakukan, ummat tetap terpuruk dalam kemiskinan.
Kenyataan ironis ini memunculkan wacana yang semakin mengental untuk mereformasi penyelenggaraan ibadah haji. Secara umum, ketidak-mampuan haji menjadi kekuatan ekonomi ummat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kesalahan sistem yang menempatkan Depag sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan evaluator. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan jelas-jelas bertentangan dengan prinsip good governance.
Kedua, dana haji masyarakat dikelola oleh Depag yang berada di ranah publik. Lembaga pemerintah hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan publik. Menjadi kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba.
Ketiga, tidak ada grand strategy dan political will yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan haji sebagai pendorong kebangkitan ekonomi ummat. Haji selama ini hanya dipandang sebagai ritual ibadah belaka yang tidak memiliki dampak ekonomi apapun. Paradigma ini seolah ini dilestarikan sehingga jemaah haji kita rela dengan pelayanan ibadah haji yang sangat buruk walau telah membayar ongkos yang mahal. Haji-pun tak pernah dihubungkan sama sekali dengan aktivitas ekonomi ummat lainnya.
Tulisan berikut ini mencoba melihat potensi ekonomi haji secara keseluruhan dan peluang implementasi-nya di Indonesia.

Haji dan Pembiayaan Pembangunan
Lembaga Tabung Haji Indonesia (THI) menjadi usulan yang paling luas mengemuka untuk mengganti peran Depag. Mencontoh kisah sukses Malaysia dengan Tabung Haji Nasional Malaysia (THNM), THI diharapkan akan menjadi BUMN keuangan non-bank yang mengelola dana haji masyarakat secara profesional. THI ini akan menggantikan peran Depag sebagai operator penyelenggara haji.
THI akan menerima pembayaran dana haji dengan memakai sistem tabungan, sehingga akan membantu setiap umat Islam untuk menunaikan haji secara terencana dan dengan waktu yang lebih cepat. Hal ini tidak hanya membawa implikasi positif secara agama tetapi juga secara ekonomi. Dana tabungan haji yang disetor lebih awal, dapat diinvestasikan terlebih dahulu pada sektor usaha yang aman dan sesuai dengan ketentuan syariah.
Dengan demikian, dana tabungan haji akan menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI akan membebaskan dana-dana jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang. Dana THI juga akan menambah volume kredit tanpa menambah uang beredar sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga.
Dalam kasus Indonesia yang mengalami defisit anggaran, dana THI dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang diprivatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis seperti Indosat dan PT DI. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara.

Haji dan Lembaga Keuangan Syariah
Dalam mengelola dana tabungan haji, THI selain dituntut profesional juga harus sesuai dengan tuntunan syariah. Tidak boleh ada pengelolaan dana haji yang terkait dengan riba, gharar, maysir, dan hal-hal yang bathil.
Maka dalam operasional-nya, THI akan selalu berhubungan dengan lembaga keuangan syariah, baik perbankan syariah, asuransi syariah, maupun lembaga investasi syariah lainnya. Menjadi ironis bila selama ini dana haji dikelola oleh lembaga keuangan konvensional.
Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka dampak terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah akan sangat besar. Sebagai misal, hingga November 2004, dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah baru mencapai Rp 10,5 triliun. Bayangkan bila dana Rp 6 triliun dapat sepenuhnya dikelola di dalam bank syariah, tentu akan terjadi penambahan dana yang luar biasa bagi perbankan syariah. Dengan mobilisasi dana lembaga keuangan syariah yang semakin besar, maka dampak terhadap perekonomian akan semakin positif yaitu dinamisasi sektor riil terutama UKM, stabilitas sektor keuangan, dan stabilitas tingkat harga.

Haji dan Bisnis Komersial
Penyelenggaraan ibadah haji banyak melibatkan berbagai komponen yang memiliki nilai ekonomi besar sehingga berpotensi menciptakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan, mulai dari transportasi dari tanah air ke tanah suci, pemondokan, katering hingga bisnis kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Untuk aspek-aspek pelaksanaan haji inilah perhatian Depag banyak tercurah. Dengan posisi monopoli yang menempatkannnya sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia”, Depag telah membuat haji sebagai arena perburuan rente ekonomi tahunan oleh birokrasi dan para kroni-nya.
Aroma bisnis yang kental di tangan satu pihak inilah yang selama ini menjadi arena KKN yang sangat subur. Terlebih dengan akumulasi sisa dana haji yang dilegalkan menjadi Dana Abadi Ummat (DAU) telah membuka praktik politik uang, tidak hanya di lingkungan Depag tetapi juga telah menyebar ke lingkaran kekuasaan lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan, bahwa ibadah haji yang suci justru menjadi sumber praktik bisnis dan politik tidak terpuji.
Dengan pendirian THI, maka THI akan menggantikan peran pelaksana ibadah haji yang selama ini dilakukan Depag. Dengan demikian Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi regulasi dan pengawasan yang selama ini terabaikan. Untuk memacu efisiensi, THI tidak boleh menjadi monopoli. THI harus dihadapkan pada persaingan sehat dengan menempatkan biro perjalanan haji swasta sebagai pelaksana haji pendamping. Dengan demikian, jamaah akan mendapat pelayanan prima dengan ongkos yang murah. Pada saat yang sama, peran sektor swasta teroptimalkan sehingga akan menggerakkan sektor riil.

Haji dan Kemiskinan
Dari sisi agama, salah satu permasalahan dalam ibadah haji adalah haji ulang; yaitu mereka yang melaksanakan haji untuk yang kedua kali dan seterusnya. Secara formal, haji ulang adalah sunnah. Namun, dalam perspektif kontemporer, sangat mungkin haji ulang bukan lagi sunnah.
Di Indonesia, kemiskinan adalah luas dan persisten. Kemiskinan adalah sumber dari semua permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti kriminalitas, penurunan kualitas hubungan sosial, kenakalan remaja, anak-anak terlantar, hingga penyalahgunaan obat terlarang. Maka di dalam Islam, menyantuni fakir miskin adalah maslahah yang bersifat qath’i karena secara jelas disebut Al Qur’an berulang kali. Dalam perspektif ini, tentu lebih baik untuk mengentaskan kemiskinan yang bersifat wajib daripada mendahulukan haji ulang yang hanya sunnah.
Maka THI dapat mensosialisakan kepada mereka yang hendak haji ulang agar mengurungkan niatnya karena dalam kasus Indonesia dimana kemiskinan dan masalah sosial ummat Islam lainnya yang bersifat wajib masih sangat banyak, maka haji ulang sangat mungkin tidak lagi bernilai sunnah. Pada saat yang sama, mereka dihimbau untuk menyerahkan dana haji ulang ke THI atau LSM untuk program pengentasan kemiskinan.
Jika haji ulang tidak bisa dicegah, setidaknya harus ada dis-insentif. Sebagai misal, bagi mereka yang ingin haji ulang diharuskan membayar setoran tabungan secara penuh di awal namun dengan keberangkatan 4-5 tahun kemudian. Sehingga dana haji ulang ini akan tertahan lama di THI dan akan menjadi dana murah yang dapat dipergunakan untuk investasi jangka panjang, khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan.

Republika, 12 Desember 2005
Haji Yang Memberdayakan

Labels:


Selengkapnya...