Friday, July 31, 2009

Perbedaan Tingkat Teknologi dan Kinerja Perekonomian ...

Dalam ekonomi pertumbuhan dan pembangunan, istilah teknologi memiliki makna yang spesifik; teknologi adalah cara bagaimana input dalam proses produksi ditransformasikan menjadi output. Sebagai misal jika kita memiliki fungsi produksi umum Y = F (K, L, ), maka teknologi produksi diberikan oleh fungsi F(); fungsi produksi ini menjelaskan bagaimana input ditransformasikan menjadi output. Dalam fungsi produksi Cob Douglass Y = K (AL)1-, A adalah indeks teknologi.
Romer (1993) memperluas definisi teknologi menjadi apa yang ia sebut sebagai “ideas”. Teknologi seringkali kita bayangkan dengan manufaktur, padahal kebanyakan aktivitas ekonomi terjadi di luar pabrik-pabrik. Ide-ide (ideas) mencakup perspektif tak terbatas tentang pengemasan barang, pemasaran, distribusi, pengawasan persediaan barang, sistem pembayaran, sistem informasi, proses transaksi, pengawasan kualitas, dan memotivasi pekerja, semuanya digunakan dalam proses produksi untuk menciptakan nilai ekonomi dalam perekonomian modern.
Jika kita memperhatikan detail dari operasi perusahaan seperti Frito-Lay misalnya, kita akan melihat bahwa disana terdapat begitu banyak ide-ide yang terhimpun dalam penawaran lembaran-lembaran kentang kepada konsumen yang jauh lebih besar daripada yang ada dalam pembuatan komputer. Dan mungkin ide-ide yang tercakup dalam penawaran kentang adalah lebih penting bagi keberhasilan pembangunan di negara-negara miskin.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa teknologi adalah kekuatan utama di balik konvergensi pendapatan di Indonesia. Perbedaan tingkat teknologi memberi kita pemahaman tentang perbedaan tingkat pertumbuhan antar propinsi. Ekualisasi tingkat teknologi antar perekonomian akan membawa pada tingkat konvergensi yang jauh lebih cepat.
Hal ini adalah tipikal negara-negara berkembang dimana “idea gaps” lebih menjadi masalah utama dibandingkan dengan akumulasi modal. Banyak ide-ide penting adalah dilindungi atau dirahasiakan, dan ide-ide lainnya hanya bisa didapatkan melalui pengalaman (learning by doing). Hal ini menjadi kendala utama dalam proses transfer teknologi yaitu terhambatnya proses adopsi teknologi terbaik dari luar negeri.
Jika propinsi-propinsi miskin tertinggal dalam efisiensi teknis, maka tidak ada alasan untuk berharap efisiensi antar perekonomian akan tumbuh pada tingkat yang sama. Hal inilah yang menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dalam tingkat pertumbuhan antar propinsi di Indonesia dalam rentang 1984-2000.

Dikutip dari:
Yusuf Wibisono. “Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Empiris antar Propinsi di Indonesia, 1984-2000”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 5, No. 2, Januari 2005.

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, July 14, 2009

Koperasi dan Keuangan Mikro Syariah ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS FEUI

Tepat pada 12 Juli 2009, gerakan koperasi di Indonesia genap berusia 62 tahun. Perkembangan koperasi hingga kini masih memprihatinkan. Sebagian besar koperasi kini berstatus tidak aktif, beroperasi hanya ketika ada program bantuan pemerintah. Dan lebih sedikit lagi koperasi yang memiliki manajemen kelembagaan yang baik, partisipasi anggota yang optimal, usaha yang fokus, terlebih lagi skala usaha yang besar. Sebagai pilar terpenting ekonomi bangsa yang diamanatkan langsung dalam konstitusi, secara ironis sokoguru perekonomian ini justru jauh tertinggal dari badan usaha swasta dan perusahaan negara.
Koperasi adalah lembaga usaha self-help, yaitu kumpulan orang-orang yang menolong diri-nya sendiri secara bersama-sama. Koperasi diharapkan menjadi sokoguru perekonomian yang menopang perekonomian bangsa dengan memberdayakan kekuatan bangsa sendiri (self-empowering) dan melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam usaha ekonomi produktif. Dengan kata lain, koperasi adalah strategi sekaligus instrument untuk mencapai demokrasi ekonomi; yaitu bahwa pembangunan ekonomi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Peran penting koperasi dalam mendorong pemberdayaan, pemerataan dan demokrasi ekonomi ini, telah dibuktikan di berbagai negara di seluruh dunia. Koperasi berkembang dan menjadi salah satu kekuatan penting dalam perekonomian nasional di banyak negara. Bahkan di negara-negara yang selama ini kita kenal sangat liberal dan kapitalis, koperasi tumbuh subur dan berkembang pesat.
Dari pemahaman terhadap konsep dasar koperasi inilah kita dapat secara cepat memahami mengapa pengembangan koperasi di Indonesia mengalami kegagalan. Selama ini koperasi lebih banyak dijadikan alat kebijakan pemerintah, bukan sebagai alat “menolong diri sendiri”. Koperasi menjadi lembaga top-down mulai dari inisiatif pendirian sampai pengelolaan, koperasi sangat bergantung pada aparat pemerintah. Dengan intervensi yang kuat dari pemerintah terutama di sisi permodalan, koperasi juga kemudian menjadi bersifat capital-centered, bukan lagi people-centered. Lebih celaka-nya lagi, banyak koperasi yang kemudian menjadi sangat bergantung pada permodalan dan bantuan dari pemerintah dan segera hilang aktivitas-nya ketika bantuan terhenti. Koperasi telah kehilangan jati diri-nya yang bottom-up, self-help dan self-empowering.

Keuangan Mikro Syariah
Di tengah kekalutan dunia perkoperasian Indonesia, kini muncul koperasi syariah. Sejak kemunculan pertama-nya pada akhir dekade 1990-an, koperasi syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan dan telah merambah ke seluruh kabupaten di tanah air baik dalam bentuk koperasi pondok pesantren (kopontren), koperasi masjid, koperasi perkantoran, hingga koperasi pasar (kopas).
Dengan konsep dasar yang dikandungnya yang sangat selaras dengan budaya dan nilai-nilai Islam, koperasi sebenarnya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu bentuk badan usaha syariah yang sesungguhnya. Dalam perspektif Islam, koperasi yang menjunjung asas kebersamaan dan kekeluargaan, dapat dipandang sebagai bentuk syirkah ta’awunniyah untuk bekerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan. Ketika operasional koperasi berjalan dalam bingkai syariah Islam, seperti tidak berhubungan dengan aktivitas barang haram, riba, dan perusakan lingkungan, maka lengkaplah keselarasan koperasi dengan nilai-nilai Islam.
Di Indonesia, koperasi syariah banyak tumbuh sebagai lembaga pembiayaan mikro dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Sebagai keuangan mikro, koperasi syariah mampu menjalankan fungsi intermediasi finansial secara baik dan efisien ke usaha mikro dan kecil serta berada di lokasi-lokasi yang selama ini sulit dijangkau oleh perbankan.
Salah satu kelebihan terbesar dari bentuk usaha koperasi bagi keuangan mikro adalah bahwa koperasi syariah tidak hanya sekedar menjalankan fungsi intermediasi finansial, melainkan juga intermediasi sosial. Koperasi tidak hanya sekedar lembaga ekonomi, namun juga lembaga pendidikan demokrasi sehingga koperasi akan mampu membangun mutual-trust yang merupakan kunci bagi sebuah bangsa untuk membangun organisasi skala besar yang kuat. Dengan terbentuknya high-trust society, maka dalam jangka panjang, agenda-agenda transformasi ekonomi dan sosial bangsa akan berjalan lebih mulus.

Arah Ke Depan
Ke depan, harus ada perubahan kebijakan yang drastis. Kebijakan koperasi selama ini lebih banyak didorong oleh pertimbangan politis yang seringkali mereduksi rasionalitas ekonomi. Kebijakan koperasi sering mengalami kegagalan karena cenderung lebih dimotivasi oleh kepentingan politik daripada kepentingan pasar, dan karenanya lebih mencerminkan tujuan politik daripada kebutuhan bisnis. Selain tidak efektif bagi pembangunan ekonomi jangka panjang, kebijakan seperti ini juga sering menciptakan distorsi ekonomi jangka pendek.
Sebagai misal, pada akhir 1990-an, inisiatif untuk meningkatkan kucuran kredit ke koperasi-koperasi telah meningkatkan deposito bank-bank koperasi secara sangat cepat. Koperasi-koperasi yang meminjam kredit pada suku bunga yang disubsidi yang berkisar pada 16-18 persen, dapat dengan segera mendepositokan pinjaman tersebut pada suku bunga 30 persen. Sebagai hasilnya, kredit ke koperasi meningkat tajam tanpa ada kenaikan dalam aktivitas ekonomi riil.
Ke depan, intervensi kebijakan pemerintah sebaiknya lebih berorientasi pada intervensi yang berbasis mekanisme pasar. Hal ini akan mendorong efisiensi yang lebih tinggi dan menjamin keberlangsungan intervensi pemerintah itu sendiri dalam jangka panjang.
Dalam kaitan ini, pemerintah bisa berperan banyak dengan penguatan kelembagaan koperasi, bukan dengan kebijakan yang memanjakan. Pemerintah dapat memberi pelatihan dan penyuluhan kepada pengurus dan anggota koperasi, asistensi pemasaran, dan bantuan teknologi. Terkait pengembangan KJKS dan UJKS, pemerintah dapat berperan banyak dengan menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuh kembangnya jasa keuangan dan non-keuangan mikro yang fleksibel dan sehat. Pemerintah harus memberi kepastian hukum dengan menyediakan perangkat regulasi yang jelas dan memadai seperti menyelesaikan UU Lembaga Keuangan Mikro dan merevisi UU Koperasi.
Pemerintah juga harus mengintegrasikan kebijakan koperasi dengan kebijakan pembangunan lainnya. Kebijakan koperasi harus terkait dengan kebijakan pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Sehingga berbagai program pembangunan semestinya dapat melibatkan koperasi seperti program dana bergulir, kredit usaha tani, jaring pengaman sosial, pembangunan pedesaan dan pesisir dan lain-lain.

Labels:


Selengkapnya...

Monday, July 06, 2009

Menanggulangi Krisis Listrik ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Proyek pembangkit listrik 10.000 MW menjadi salah satu topik panas dalam Pemilihan Presiden 2009. Dalam acara debat Capres, JK menuding bahwa krisis listrik salah satunya disebabkan oleh Boediono sebagai Menko Perekonomian yang menghambat proyek listrik 10.000 MW karena tidak mau memberi penjaminan untuk pendanaan perbankan. Akhirnya, penjaminan pemerintah tersebut keluar dari Menkeu, namun kendala pendanaan membuat proyek ini menjadi molor dari rencana. Dari 35 proyek pembangkit listrik 10.00 MW ini, hanya tiga proyek yang commercial on date pada tahun 2009 ini, selebihnya baru pada 2010 dan 2011.
Krisis listrik di Indonesia memang bisa dikatakan sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman bergilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan ter-interkoneksi juga masih sering mengalami masalah. Kebijakan ad-hoc jangka pendek seperti kebijakan dayamax plus dan tarif insentif-disinsentif tidak akan mampu meredam krisis.
Dampak krisis listrik ini sangat luas dan merugikan. Yang paling jelas terpukul adalah sektor industri pengguna listrik. Industri manufaktur terpaksa menurunkan produksi akibat ketidakpastian pasokan listrik. Selain merugikan industri besar seperti baja dan otomotif, industri berorientasi ekspor seperti sepatu dan tekstil juga terancam oleh turunnya kualitas produksi akibat ketidakstabilan pasokan listrik dan tidak bisa mengirim pesanan tepat waktu sehingga terancam penalti, bahkan kehilangan order. Sebagian industri bahkan terpaksa berhenti beroperasi sementara dan merumahkan karyawan-nya karena ketiadaan pasokan listrik.
Sektor lain juga tidak kalah terpukul. Pengembang perumahan, terutama tipe sederhana dan menengah, sering tidak mendapat pasokan listrik sehingga pengembang rugi karena tidak bisa melakukan serah terima dengan pembeli, rumah yang sudah dibangun jadi terbengkalai, dan modal tidak bisa berputar. Sektor perikanan yang memiliki potensi sangat besar, tidak bisa berkembang karena ketiadaan pasokan listrik untuk pabrik es dan cold storage yang sangat dibutuhkan sektor ini.
Yang paling menderita dari ketiadaan pasokan listrik ini adalah jutaan pelaku usaha kecil dan mikro karena mereka tidak memiliki alternatif pasokan lain. Pasokan listrik yang tidak stabil juga telah menurunkan kepuasan pelanggan serta merusak mesin dan perangkat lunak. Belum lagi jika kita memperhitungkan kerugian masyarakat luas. Dengan demikian, ketidakpastian pasokan listrik tidak saja menurunkan daya saing dan memperburuk iklim investasi sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi, namun juga memperburuk masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan dan kemiskinan.

Akar Permasalahan
Menimpakan seluruh kesalahan pada PLN adalah tidak bijak. Minimnya pasokan listrik sebagian memang dipicu oleh stagnasi produksi PLN. PLN sendiri yang memasok 90% kebutuhan listrik nasional, sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tinggi-nya kasus pencurian listrik hingga korupsi. Namun stagnasi produksi listrik sebagian merupakan warisan kesalahan masa lalu. Pembangunan listrik yang tidak ber-visi ke depan akibat subsidi BBM regresif, membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi dari bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan. Sampai kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Sementara itu, investasi swasta yang diharapkan masuk, terganjal oleh ketidakjelasan kerangka kebijakan (regulatory framework). Dianulirnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004, membuat karpet merah yang telah digelar kepada swasta seolah ditarik kembali. Dengan UU No. 20/2002 monopoli PLN atas bisnis listrik dihentikan. Keterbukaan pasar dan kompetisi diperkenalkan dengan penerapan sistem unbundling dimana swasta dapat masuk ke bisnis penyediaan tenaga listrik (meliputi usaha pembangkit, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem tenaga listrik) dan penunjang-nya (meliputi usaha jasa penunjang tenaga listrik dan industri penunjang tenaga listrik). Namun dibatalkannya UU Kelistrikan membuat pasar listrik kembali tertutup. Struktur tarif juga tidak kompetitif, akibatnya bisnis ini menjadi tidak menguntungkan. Ditambah dengan tinggi-nya resiko usaha dan kerentanan prospek jangka panjang, underinvestment tak terelakkan dan terjadi dari hulu (pembangkit) hingga hilir (transmisi dan distribusi).
Di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan pemulihan ekonomi pasca krisis. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian, krisis listrik yang disebabkan oleh kesenjangan (gap) antara permintaan dan penawaran, sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali, sistem interkoneksi Sumatera dan daerah lainnya hanya tinggal menunggu waktu.

Agenda Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Penanggulangan krisis listrik membutuhkan kebijakan yang terpadu, menyeluruh dan visioner. Percepatan pasokan melalui proyek pembangkit listrik 10.000 MW adalah langkah tepat, namun hanya merupakan salah satu bagian saja. Dalam jangka pendek, langkah taktis-pragmatis yang paling mudah dan murah adalah kampanye penghematan dan efisiensi penggunaan listrik, terutama pada saat beban puncak (Pk. 17.00-22.00). Efisiensi tidak identik dengan menurunkan aktivitas. Efisiensi adalah menggunakan listrik seperlu-nya dan menghindari pemborosan seperti pemakaian AC, komputer, lampu dan TV yang tidak perlu. Sektor publik juga memiliki peran besar disini, seperti mengurangi pemakaian listrik untuk lampu taman, lampu hias atau air mancur. Green building yang hemat energi juga harus diperluas penerapannya secara masif.
Pengendalian permintaan juga dapat dilakukan melalui insentif tarif, terutama ketentuan insentif dan penalti untuk pemakaian listrik saat beban puncak. Namun, insentif tarif harus dilakukan secara hati-hati agar usaha mengerem pertumbuhan konsumsi listrik tidak berdampak negatif pada produksi dan iklim investasi, khususnya UKM dan sektor informal.
Dalam jangka pendek, krisis listrik juga harus dikombinasikan dengan usaha meningkatkan pasokan listrik oleh PLN secara cepat seperti menekan tingkat kehilangan (losses) dan menekan kasus pencurian. Kemampuan PLN untuk merawat, repowering dan bahkan ekspansi pembangkit, dapat dilakukan jika kondisi keuangan PLN membaik yang hanya bisa diraih melalui efisiensi dan rasionalisasi operasional yang signifikan. Sebagai misal, setiap penurunan 1-2% losses, akan meningkatkan pendapatan PLN antara Rp 0,7-1,4 triliun. Pengurangan pemakaian BBM akan menurunkan pengeluaran PLN secara signifikan mengingat biaya BBM adalah sangat mahal dibandingkan gas atau batu bara. Potensi penghematan dari efisiensi dan negosiasi ulang listrik swasta, juga signifikan bagi PLN.
Untuk jangka menengah, kita perlu mempersiapkan proyek pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang tender-nya direncanakan akan dimulai pada September 2009. Alternatif pembiayaan perlu dipikirkan, seperti dengan pembiayaan syariah atau penerbitan sukuk untuk menjaring Islamic fund yang berlimpah, terutama dana Timur Tengah. Pembangunan pembangkit tahap I yang berbasis batu bara juga perlu dikaji ulang karena batu bara terkenal memiliki polutan paling tinggi walau memiliki rasionalitas ekonomi karena harga yang murah dan ketersediaan yang besar. Kita menyambut baik bahwa pada proyek tahap II telah ada rencana diversifikasi dimana peranan batu bara tinggal 40% dan sisanya didominasi oleh energi terbarukan dan ramah lingkungan seperti pembangkit berbasis air dan panas bumi.
Sedangkan dalam jangka panjang, krisis listrik hanya bisa diatasi oleh kebijakan kelistrikan yang mengintegrasikan kebijakan energi nasional, fiskal, BUMN dan teknologi. Partisipasi swasta dan masyarakat juga amat dibutuhkan disini. Fokus utama adalah menyediakan regulatory framework dan lingkungan yang kondusif untuk investasi kelistrikan. Kerangka regulasi setidaknya harus memperjelas struktur tarif yang lebih kompetitif dengan mengizinkan perbedaan tarif antar daerah, dan memperkenalkan persaingan dengan mengijinkan BUMN/BUMD lain (bukan swasta, agar sesuai konstitusi) untuk berkompetisi dengan PLN.
Untuk wilayah Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau dengan kondisi geografis yang sulit dijangkau, krisis listrik tidak cukup hanya dengan membangun pembangkit, transmisi dan distribusi. Dibutuhkan berbagai kebijakan inovatif yang menumbuhkan inisiatif daerah, sentralisasi pengadaan listrik harus diakhiri. Ke depan, harus didorong inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan tenaga air skala kecil. Potensi mikro hidro adalah signifikan, sekitar 7.500 MW, namun yang dimanfaatkan baru 600 MW. Selain sederhana dan murah, mikro hidro juga ramah lingkungan dan potensial untuk menggerakkan ekonomi lokal dan pedesaan. Ke depan harus juga didorong gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi. Jangan lagi terjadi ironi dimana daerah lumbung energi justru mengalami krisis listrik.
Di saat yang sama, diversifikasi pembangkit listrik harus terus ditingkatkan. Indonesia memiliki cadangan sumber energi alternatif yang berlimpah. Potensi panas bumi Indonesia tercatat sekitar 27.000 MW, merupakan 40% cadangan dunia. Pembangkit geothermal dikenal sebagai energi bersih dan murah biaya operasional-nya, namun investasi-nya memang mahal. Indonesia juga memiliki potensi energi surya yang berlimpah dengan potensi 4,5 KWh/m2/hari (KBI) dan 5,1 KWh/m2/hari (KTI). Selain bersih dan bebas polusi, energi ini juga tersedia dimana-mana dan tidak memerlukan instalasi yang rumit.

Labels:


Selengkapnya...

Friday, July 03, 2009

BPK, BPKP Dan Akuntabilitas Anggaran Publik ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Akuntabilitas anggaran publik kembali mendapat sorotan. Setelah beberapa waktu lalu BPK mengeluarkan hasil audit disclaimer terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun anggaran 2008 yang juga merupakan disclaimer kelima berturut-turut dalam lima tahun terakhir, sorotan publik kali ini justru menimpa BPKP. BPKP berencana melakukan audit operasional terhadap KPK. Hal ini kembali memunculkan kisah lama tentang rivalitas BPK dan BPKP.
Di era orde baru, BPK sebagai auditor eksternal secara sistematis dilemahkan oleh pemerintah antara lain dengan mengendalikan operasional pemeriksaan-nya, membatasi alokasi anggaran dan infrastruktur lain-nya, serta mengontrol sistem SDM-nya. Pada saat itu obyek pemeriksaan BPK dibatasi hanya pada aspek pengeluaran APBN saja. Bahkan laporan BPK pun harus dikonsultasikan kepada Pemerintah melalui Setneg sebelum disampaikan kepada DPR. Perlakuan sebaliknya diberikan kepada BPKP yang merupakan auditor pemerintah. Hasilnya adalah rendahnya akuntabilitas pemerintah.
Buruknya akuntabilitas sektor publik ini kemudian berimbas ke sektor swasta melalui praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Perselingkuhan kronis antara pemerintah dan pengusaha hitam ini yang membuat fundamental perekonomian menjadi rapuh sehingga begitu mudah hancur ketika krisis menerjang. Kongkalikong pemerintah-pengusaha ini juga telah menimbulkan contingent liability yang luar biasa pada APBN yang meledak ketika krisis menerjang dalam bentuk antara lain BLBI-KLBI dan utang BUMN.

Sinergi BPK dan BPKP
Transparansi dan akuntabilitas anggaran publik adalah kunci utama dalam setiap upaya pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance. Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk seperti pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar, kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya, serta duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi. Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu rendahnya tindak lanjut atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD, dan lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.
Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai Pasal 8 UU No. 15/2006 tentang BPK, hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana akan dilaporkan kepada instansi yang berwenang. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi salah satu tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi.
Terkait hal ini, menjadi penting dan mendesak untuk segera mensinergikan BPK dan BPKP dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.
Untuk efisiensi pemeriksaan, peleburan BPKP ke dalam BPK menjadi isu krusial. Keberadaan BPKP selama ini telah menimbulkan duplikasi fungsi terutama antara BPKP dan BPK serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Peleburan BPKP ke dalam BPK selain akan menghilangkan duplikasi dan inefisiensi dalam pemeriksaan, juga akan memperkuat jajaran BPK yang selama ini memiliki keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dengan SDM yang lebih kuat, maka BPK dapat memperluas cakupan pemeriksaan serta memperdalam kualitas dan intensitas pemeriksaan sesuai UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sehingga laporan pemeriksaan BPK ke depan tidak lagi hanya berupa audit finansial umum, namun juga akan dilengkapi dengan audit kinerja, audit forensik (forensic audit), dan audit kejahatan (fraud audit).

Penguatan BPK
Harapan besar terhadap BPK masih berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Setidaknya terdapat tiga agenda utama ke depan agar dapat mendorong kinerja BPK.
Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara seperti UU Perpajakan, Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.
Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK. BPK hingga kini juga belum bisa mengaudit penerimaan pajak karena terganjal Pasal 34 UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kedua, memantapkan independensi BPK. Independensi BPK ini semestinya mendapat perhatian yang memadai karena akan menjadi basis bagi efektivitas dan kualitas pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Selama ini BPK tidak independen dalam mengatur struktur organisasinya sendiri dimana pengaturan personel BPK harus tunduk pada pengaturan yang ketat oleh Menneg PAN. BPK juga tidak independen dalam anggaran dimana BPK mengajukan anggaran ke Departemen Keuangan. Semestinya anggaran BPK bersumber langsung dari DPR, bukan dari pemerintah apalagi dari auditee. Untuk anggaran ini, telah terdapat langkah maju dalam UU No. 15/2006 Pasal 35 dimana BPK mengajukan anggaran ke DPR.
Terkait hal ini, BPK juga harus mendapat landasan hukum untuk independensi legislasi yaitu BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah kantor akuntan publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan pembukuan sektor negara serta menilai hasil kerjanya. Hal ini penting karena BPK tidak akan mungkin mampu memeriksa seluruh keuangan negara sehingga BPK harus melimpahkan sebagian tugas tersebut ke KAP. Dititik inilah diperlukan standardisasi peraturan pemeriksaan untuk keuangan negara.
Ketiga, tindak lanjut atas temuan BPK. Selama ini tindak lanjut atas temuan BPK sangat rendah. Walau mekanisme baku untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK baik oleh DPR, BPK, dan Instansi terkait telah ditegaskan dalam Pasal 20 UU No. 15/2004 dan Pasal 8 UU No. 15/2006, namun pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK hanya diancam sanksi administratif kepegawaian saja. Temuan BPK juga seringkali berhenti di Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak heran bila kemudian hasil pemeriksaan BPK sering menjadi mubazir karena rendahnya tindak lajut terhadap hasil temuan BPK.
BPK sendiri juga cenderung tertutup dan ekslusif sehingga rawan menjadi lahan korupsi. Auditor dilarang keras untuk mengungkapkan proses pemeriksaan ke publik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan laporan. Di area tertutup inilah auditor “hitam” dapat bermain dengan memperjualbelikan proses pemeriksaan, bahkan sejak tahap perencanaan. Dalam menempatkan obyek pemeriksaan misal-nya, sudah ditentukan sejak awal bagian mana yang boleh diperiksa dan mana yang tidak.
Terkait hal ini diperlukan peraturan untuk mempublikasikan hasil pemeriksaan BPK ke publik. Publik sering tidak mengetahui temuan BPK walau Pasal 7 UU No. 15/2006 telah menyatakan bahwa laporan pemeriksaan yang telah disampaikan ke DPR adalah terbuka untuk umum. Laporan pemeriksaan BPK juga semestinya dibuat dalam format yang jauh lebih sederhana daripada format baku selama ini. Dengan demikian pengawasan publik akan berjalan sehingga tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan BPK akan meningkat.

Labels:


Selengkapnya...