Reformasi Haji ...
Yusuf Wibisono - Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI
Setelah melalui debat panjang, akhirnya pemerintah dan DPR menetapkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2009 sama dengan BPIH 2008. Sebelumnya, pemerintah dan DPR sempat berencana menaikkan BPIH 2009 sebesar US$ 84 (Koran Tempo, 15/6/2009).
Pemerintah selama ini dianggap gagal menyelenggarakan haji. Kisah haji Indonesia adalah wajah buram bangsa ini di dunia internasional. Kisruh penyelenggaraan haji yang nyaris terjadi setiap tahun, semestinya memberi kita pemahaman bahwa kegagalan ini bersifat struktural, sehingga solusi-solusi pragmatis ad-hoc tidak akan pernah memberi hasil memuaskan.
Kegagalan penyelenggaraan haji selama ini dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar. Pertama, mahalnya BPIH dan dengan disertai kecenderungan terus meningkat. Bila di tahun 2002, BPIH berada di kisaran US$ 2.700 maka di tahun 2009 kini telah berada di kisaran US$ 3.500. Penyusunan BPIH selama ini juga cenderung tertutup, begitupun halnya dengan kontrak-kontrak terkait operasional haji lainnya. Kedua, buruknya pelayanan terhadap jamaah haji, mulai dari bimbingan manasik, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi, hingga perlindungan keamanan. Pembinaan dan pelayanan pasca haji praktis terabaikan. Ketiga, rendahnya kinerja pengelolaan dana haji, termasuk Dana Abadi Umat (DAU). Tidak ada dampak signifikan dari dana haji dan DAU yang begitu besar untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan haji dan kemaslahatan umat. Selain tidak dikelola secara produktif dan sesuai syariah, pengelolaan dana haji juga ditengarai banyak penyimpangan.
Arsitektur Haji Indonesia
Faktor utama penyebab kisruh penyelenggaraan haji Indonesia selama ini adalah buruknya tata kelola. UU No. 17/1999 menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 sebenarnya telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Depag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.
Perhatian Depag selama ini banyak tercurah pada aspek operasional haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan dengan perputaran dana mencapai trilyun-an Rupiah per tahun. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Depag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh oknum birokrasi dan para kroni-nya.
Untuk alasan diatas, maka agenda reformasi haji terbesar adalah pemisahan fungsi yang jelas antara regulator-pengawas dan operator. Idealnya, Depag harus ditempatkan sebagai regulator-pengawas, bukan operator. UU No. 13/2008 justru melestarikan kesalahan UU No. 17/1999 dengan terus mempertahankan Depag sebagai operator-regulator dan memberikan “lahan kering” pengawasan ke KPHI. Depag yang berada di ranah publik seharusnya hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan pelayanan publik. Maka menjadi sebuah kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah untuk mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba.
Mencontoh best-practice di Malaysia, pemerintah ke depan sebaiknya membentuk sebuah badan pengelola khusus haji yang bertanggungjawab langsung ke Presiden, katakan Tabung Haji Indonesia (THI), sebagai operator haji profesional. Dengan demikian, Depag akan bisa lebih berfokus pada fungsi utamanya sebagai regulator dan pengawas yang selama ini praktis terabaikan. Keberadaan THI ini juga akan membebaskan APBN dan APBD dari beban operasional panitia haji. Begitupun dengan ribuan PNS baik di pusat maupun daerah, dapat berkonsentrasi pada tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, THI akan mendapat pengawasan ketat dari Depag dan KPHI, serta audit BPK. Untuk memacu efisiensi, THI harus dibekali dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), meliputi aspek BPIH, bimbingan haji, transportasi, pemondokan, katering, pelayanan medis, dan tenaga pembimbing. Dengan SPM ini maka akan terlihat korelasi yang jelas antara biaya dan pelayanan. THI juga tetap dihadapkan pada persaingan dan disiplin pasar dengan menempatkan biro haji swasta sebagai penyelenggara haji khusus. Dengan demikian, jamaah haji akan mendapat pelayanan prima dengan biaya yang wajar. Keberadaan DAU juga bisa dihapuskan tanpa mengganggu kualitas pelayanan dan sekaligus menghapus potensi korupsi.
Tabung Haji Indonesia
Hingga tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran calon jamaah haji sebesar Rp 20 juta langsung masuk ke rekening Menteri di BI, tanpa mendapat manfaat namun mendapat jaminan konversi ke US$. Sejak 2006, setoran dana haji disimpan di Bank Penerima Setoran (BPS), dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. UU No. 13/2008 telah mendorong pengelolaan dana haji ini oleh perbankan syariah, namun masih memberi peluang bagi perbankan konvensional sepanjang memiliki layanan syariah.
Ke depan, pengelolaan dana haji semestinya dilakukan secara profesional, terpusat dan sepenuhnya sesuai syariah, katakan dengan membentuk Tabung Haji Indonesia, Bank Syariah Haji Indonesia atau setidaknya membentuk konsorsium bank syariah dengan jumlah maksimum, katakan 5 bank. Hal ini akan mendorong efisiensi dan fokus kegiatan dalam pengelolaan dana haji karena dana haji ini signifikan skala bisnis-nya.
Pelaksanaan ibadah haji melibatkan dana yang sangat besar. Dengan jemaah haji Indonesia yang di tahun 2008 mencapai 207 ribu orang, dan dengan asumsi rata-rata BPIH per calon jemaah adalah Rp 34 juta, maka pelaksanaan haji setidaknya melibatkan dana Rp 7,23 trilyun per tahun-nya. Jika ditambah dengan dana awal dari 800 ribu calon jamaah haji yang kini telah masuk dalam daftar tunggu yang mencapai Rp 17 trilyun, dan juga individu yang menabung secara perorangan di berbagai bank, maka dana haji ini mencapai puluhan trilyun.
Dana sebesar ini jika dikelola dengan baik dan benar, seharusnya mampu memberi dampak yang signifikan pada kemaslahatan jemaah haji dan kesejahteraan ummat. Lembaga Tabung Haji (TH) Malaysia misalnya, yang hanya mengelola dana haji 26 ribu jemaah per tahunnya dengan biaya sekitar RM 9 ribu per jemaah, pada tahun 2007 memiliki aset RM 11,3 milyar dengan laba bersih RM 1,07 milyar. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan TH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman dan sesuai syariah. TH melalui anak perusahaan-nya yaitu TH travel & services, TH plantations, TH properties, TH technologies, dan TH global services, terlibat secara aktif dalam berbagai investasi pembangunan. Dengan pengelolaan yang efisien, profesional dan transparan, haji telah bertransformasi menjadi salah satu tulang punggung perekonomian di Malaysia.
Dana haji yang bersifat jangka pendek, dapat disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito, sehingga akan meningkatkan size dan pertumbuhan perbankan syariah nasional. Sedangkan dana haji yang bersifat jangka panjang, seperti tabungan haji dimuka, DAU dan setoran haji untuk keberangkatan hingga 5 tahun ke depan, sebaiknya dikelola untuk investasi jangka panjang.
Dengan demikian, dana haji ini sangat potensial menjadi alternatif untuk sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI ini akan membebaskan dana-dana mahal jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang seperti infrastruktur. Dengan demikian, dana haji juga akan menekan potensi miss-match dan instabilitas sistem perbankan nasional. Pada saat yang sama, dana THI ini juga akan menambah volume kredit dan menekan tingkat suku bunga sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga.
Dalam kasus Indonesia yang mengalami defisit anggaran, dana THI juga dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang di-privatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara.
"Reformasi Haji", Koran Tempo, 19 Juni 2009
Labels: Haji
0 Comments:
Post a Comment
<< Home