Friday, October 28, 2005

Cost of Adjusment?

TIRANI ANGKA

Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 meninggalkan lara mendalam bagi sebagian besar rakyat negeri ini. Pemerintahan SBY-JK yang mengusung perubahan pro-rakyat justru menaikkan harga BBM hingga tiga kali untuk tahun 2005 ini yaitu pada bulan Maret, Agustus (untuk industri), dan Oktober. Kenaikan BBM 1 Oktober menjadi klimaks karena kenaikannya yang fantastis. Apakah kenaikan BBM yang lebih dari 100% ini sudah diperhitungkan dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat luas?
Analisa dampak kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah cenderung underestimate. Pemerintah seringkali berpegangan pada sederet argumentasi teoritis formal tanpa mencoba menukik lebih dalam kepada kenyataan di lapangan. Kebijakan ekonomi tidak bisa selalu didasarkan pada asumsi linearitas, rasionalitas, dan sederet asumsi formal lainnya pada dunia nyata, terlebih pada perekonomian yang sedang tidak normal.
Sebagai misal, pemerintah menaikkan harga BBM hingga lebih 100% seraya pada saat yang sama menyatakan dampaknya akan kecil terhadap inflasi. Berdasarkan pengalaman historis, kenaikan harga BBM rata-rata 30% akan menaikkan inflasi sebesar 0,7-1,2%. Mungkin dengan argumen inilah kemudian diperkirakan dampak kenaikan BBM 1 Oktober terhadap inflasi adalah kecil yaitu hanya akan berkisar antara 2,5-3,0%. Dengan demikian diperkirakan inflasi hingga akhir tahun akan berada di posisi 12%. Menko Perekonomian bahkan berani menyatakan bahwa inflasi tahun ini bisa ditekan dibawah 11%. Yang menjadi pertanyaan, dengan kondisi perekonomian yang tidak normal, apakah normal memakai asumsi linearitas seperti itu?
Dalam situasi tidak normal, asumsi-asumsi formal seringkali tidak berjalan. Betapa banyak prediksi teori-teori formal rontok di negeri ini seperti pada kasus krisis ekonomi 1997. Hal ini juga kita lihat dalam kenaikan BBM 1 Oktober lalu. Harga-harga telah melambung terlebih dahulu, jauh sebelum kenaikan harga BBM ditetapkan. Pasca pengumuman, kenaikan harga kembali melonjak namun kini secara merata.
Yang meresahkan, perilaku pelaku ekonomi juga tidak bisa selalu diprediksi. Perilaku pelaku ekonomi seringkali irasional. Lihatlah antrian panjang pemilik kendaran di SPBU menjelang pemberlakukan harga baru atau serbuan konsumen ke mal dan supermarket dengan memborong berbagai kebutuhan rumah tangga. Lihat pula kelangkaan BBM yang terjadi diberbagai daerah yang menyebabkan masyarakat harus membeli BBM dari pihak ketiga dan tentunya dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Sebuah kebijakan hanya akan berjalan jika didukung institusi yang kuat. Lihat komitmen Menteri Perdagangan yang terus memonitor kenaikan harga, namun harga-harga tetap melambung tak terkendali. Tarif angkutan umum juga melambung jauh diatas ketentuan Dephub. Lihat juga komitmen pemerintah untuk tidak lagi akan menaikkan harga BBM, dengan harapan ekspektasi inflasi akan habis di tahun ini dan di tahun 2006 inflasi dapat diredam pada kisaran 7-8%. Namun tak lama berselang dari kenaikan BBM, PT PLN langsung meminta kenaikan TDL dan PT PGN ngotot hendak menaikkan harga elpiji. Ekspektasi inflasi yang diharapkan meredup, akhirnya kembali menyala. Mungkin dengan pertimbangan diatas, BI merevisi prediksi inflasi tahun ini pasca kenaikan BBM 1 Oktober dari semula 12% menjadi 14%.
Di lapangan sendiri, masyarakat mengalami beban yang jauh dari prediksi pemerintah, dan terdistribusi secara tidak merata. Sebagai misal, dari data statistik industri 2003 diketahui bahwa komponen input BBM hanya merupakan 3,68% dari input total industri. Sehingga kenaikan harga BBM 100% hanya akan menyebabkan kenaikan biaya produksi 3,68% saja.
Namun di lapangan, kenyataan berbicara lain. Industri kecil dan padat karya memiliki intensitas komponen input BBM jauh lebih tinggi, sehingga harus gulung tikar karena tidak mampu menahan kenaikan harga BBM yang fantastis. Industri tekstil yang 30% input-nya adalah BBM akhirnya memilih tutup daripada melanjutkan produksi. Industri tekstil di Bandung dan Solo mem-PHK 70 ribu karyawan-nya. Hingga akhir tahun diperkirakan setengah juta karyawan akan dirumahkan.
Begitupun yang terjadi dengan ribuan nelayan di seluruh nusantara yang tidak mampu lagi melaut dan memilih pergi ke kota menjadi kuli dan buruh. Komponen BBM (solar) mencapai 40% dari total biaya produksi nelayan. Sehingga kenaikan biaya produksi akibat kenaikan solar yang 107% semestinya berkisar 40%. Namun badai belum berlalu. Merekapun kesulitan mendapatkan solar sehingga harus membeli dari pihak ketiga hingga Rp 6.000,- per liter. Maka beban biaya produksi nelayan melambung dari 40% menjadi 70%. Hal ini masih ditambah lagi dengan harga alat-alat untuk melaut yang juga ikut terdongkrak naik hingga sekitar 90% seperti jaring dan batu timah yang sebelumnya Rp 40.000,- dan Rp 6.000,- naik menjadi Rp 70.000,- dan Rp 12.000,-. Ditambah dengan berbagai retribusi dan pungutan liar yang minimal 10% dari biaya produksi, lengkap penderitaan para nelayan.
Selain underestimate, analisa dampak kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah juga cenderung tidak manusiawi. Dampak kenaikan harga BBM terutama terhadap kondisi sosio-ekonomi, cenderung dipandang sebagai angka statistik semata.
Lihatlah komentar pemerintah terhadap angka kemiskinan yang dipastikan membengkak setelah kenaikan BBM. Pemerintah mengklaim bahwa beban inflasi yang dialami masyarakat miskin sudah tertutup dengan bantuan subsidi tunai (BLT) sebesar Rp 100.000,- per bulan, bahkan masyarakat miskin mendapat kelebihan Rp 40.000,- per bulan. Betapa banyak asumsi yang melandasi klaim ini? Bagaimana bisa dipastikan bahwa beban kenaikan harga yang ditanggung si miskin hanya Rp 60.000,- per bulan? Bagaimana bisa dipastikan semua masyarakat miskin mendapat BLT? Bagaimana bisa dipastikan bahwa si miskin benar-benar menerima Rp 100.000,- secara utuh, tanpa potongan? Bagaimana kelanjutan nasib si miskin setelah BLT berakhir karena kenaikan harga adalah permanen? Bagaimana pula nasib masyarakat yang tidak masuk kategori miskin BPS tetapi berada dekat dengan garis kemiskinan (near the poor)? Bagaimana pula dengan nasib orang-orang miskin “baru” dalam bulan-bulan ini akibat gelombang PHK?
Sebagai misal, kita cek satu saja asumsi diatas, yaitu memastikan si miskin memperoleh BLT. Kepala Bappenas mengklaim bahwa BLT tidak akan ada kebocoran karena disalurkan langsung dari rekening Depkeu ke rekening BRI dan PT Pos sebagai penyalur dana BLT. Namun apa lacur, petugas BPS gagal mengidentifikasi orang miskin, di lapangan semua orang berebut menjadi miskin, dan birokrasi tetap bekerja secara korup. Kebocoran-pun membengkak tak terkendali. Padahal, jika BLT bocor 10% saja, hal ini sama artinya menghancurkan hidup 1,5 juta keluarga miskin, ekivalen dengan 6 juta orang miskin!
Dampak kenaikan harga bagi masyarakat juga tidak terdistribusi secara merata. Keluarga dengan penghasilan tetap dipastikan akan langsung rontok daya beli-nya. Apalagi dengan keluarga yang penghasilannya tidak menentu. Terlebih lagi dengan keluarga yang kepala keluarganya di-PHK.
Prediksi angka kemiskinan yang dibuat pemerintah cenderung formalistik dan tidak memperlihatkan empati yang memadai terhadap kemanusiaan si miskin. Kemiskinan yang diprediksi kepala Bappenas bertambah 1 juta keluarga, tidaklah sebatas angka belaka. Dibaliknya ada biaya sosial, ekonomi, politik, budaya, dan kemanusiaan yang tidak dapat diperhitungkan secara moneter. Berbagai tragedi kemanusiaan tidak bisa dihargai hanya dengan sebatas BLT Rp 100.000,- per bulan atau program padat karya yang belum ketahuan kapan terealisirnya.
Prediksi tambahan 1 juta pengangguran oleh Menakertrans, semestinya membuat pemerintah segera melakukan perubahan radikal untuk mencegah dampak negatif dari pengangguran terhadap kemanusiaan. Atau apakah itu semua hanya dipandang sebagai cost of adjustment belaka oleh Tim Ekonomi SBY-JK?

Labels:


Selengkapnya...

Wednesday, October 26, 2005

Stabilitas Makroekonomi yang Membosankan

Setahun pemerintahan SBY-JK dipenuhi berbagai klaim tentang keberhasilan dan kegagalan dari kinerja pemerintah, terutama di bidang ekonomi. Keberhasilan ekonomi diklaim oleh pemerintah dengan bersandar pada indikator-indikator makroekonomi mulai dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kinerja pasar modal yang cemerlang, hingga konsolidasi fiskal yang semakin mantap. Sebaliknya, para pengamat ekonomi justru menyuarakan kegagalan ekonomi dengan mendasarkan diri pada sejumlah indikator sosio-ekonomi seperti angka pengangguran dan tingkat kemiskinan (Republika, 24/10/2005).
Klaim keberhasilan ekonomi yang diwakili stabilitas makroekonomi, sebenarnya bukanlah monopoli pemerintahan SBY-JK saja. Pemerintahan sebelumnya juga relatif berhasil meraih prestasi ini, bahkan dengan hasil yang lebih baik. Namun semua prestasi stabilitas makroekonomi itu tidak diikuti perbaikan dalam indikator sosio-ekonomi.
Delapan tahun sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia, nyaris tidak ada perbaikan yang berarti dalam kondisi sosio-ekonomi. Angka kemiskinan hingga kini masih tinggi sekitar 16%, ekuivalen dengan kondisi 1996. Angka pengangguran juga belum beranjak dari kisaran 10%, lebih buruk dari kondisi sebelum krisis. Pasca kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, angka-angka ini diprediksi akan semakin memburuk. Menakertrans sendiri memprediksi kenaikan pengangguran sekitar 1 juta orang (Republika, 21/10/2005). Implikasi-nya, angka kemiskinan dipastikan akan melonjak tajam.
Perdebatan diatas memunculkan sebuah pertanyaan, adakah alternatif kebijakan yang lebih superior baik dilihat dari sisi stabilitas makroekonomi maupun dari indikator sosio-ekonomi?

Stabilitas Vs Kesejahteraan
Pasca krisis ekonomi 1997, kebijakan ekonomi Indonesia berfokus pada stabilitas makroekonomi dengan menerapkan kebijakan moneter ketat, mempertahankan defisit anggaran rendah, serta serangkaian penyesuaian struktural yang bermuara pada liberalisasi dan privatisasi perekonomian. Hal ini tipikal negara-negara yang mengikuti program IMF.
Pendekatan ortodoks ala IMF ini menghasilkan biaya sosial-ekonomi bahkan politik yang sangat berat bagi rakyat Indonesia. Untuk memperbaiki nilai tukar rupiah, IMF mendorong pemerintah mempertahankan suku bunga tinggi untuk mendorong aliran modal masuk, menahan pelarian modal dan mengontrol inflasi. Pemerintah juga diminta menjalankan kebijakan anggaran ketat dengan menurunkan subsidi, menaikkan penerimaan pajak dan privatisasi, serta menjaga defisit anggaran rendah. Namun pada saat yang sama pemerintah tetap dituntut untuk memenuhi semua kewajibannya pada kreditor.
Dampak dari semua kebijakan diatas adalah luar biasa pada penurunan kesejahteraan rakyat. Kebijakan moneter ketat telah mematikan dunia usaha, melonjakkan angka pengangguran, dan meningkatkan beban utang domestik pemerintah. Kenaikan penerimaan pajak alih-alih memberi stimulus fiskal, justru menciptakan kontraksi perekonomian. Hal ini tidak lain karena sebagian besar penerimaan habis untuk membayar utang. Sedangkan privatisasi telah menjadi arena perburuan rente ekonomi tanpa memberi manfaat ekonomi yang berarti.
Ketika kondisi perekonomian tidak kunjung membaik, pada saat yang sama kemampuan masyarakat dalam menahan gejolak perekonomian justru semakin tergerus karena pengurangan subsidi yang masif dan penurunan pengeluaran sosial (pendidikan dan kesehatan). Lebih buruk lagi, prioritas anggaran untuk membayar utang telah mengalahkan anggaran untuk sektor-sektor yang berjasa besar dalam menopang kehidupan rakyat seperti pertanian, perikanan, dan UKM.
Pola kebijakan seperti ini nampak tidak mengalami perubahan berarti sejak krisis 1997 hingga kini. Tidak heran bila kemudian Indonesia terus mengalami berbagai masalah sosial-ekonomi dalam bentuk pengangguran, kemiskinan, dan distribusi pendapatan yang kian memburuk.

Solusi Islam
Dualisme hasil pembangunan yang dialami oleh perekonomian konvensional seperti dalam kasus Indonesia diatas, bersumber pada lepasnya keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter (decoupling). Perkembangan sektor moneter tidak mencerminkan perkembangan di sektor riil. Sektor moneter tumbuh cepat dengan meninggalkan sektor riil jauh dibelakangnya. Hal ini tidak lain merupakan buah dari penerapan sistem bunga.
Riba adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan riba membuat keputusan investasi terpisah dengan keputusan menabung. Pemilik modal akan selalu mendapatkan hasil tanpa peduli apapun yang terjadi di sektor riil. Maka, untuk mempertahankan sistem, perekonomian berbasis riba akan selalu menghasilkan pertumbuhan uang beredar yang lebih cepat dari pertumbuhan sektor riil. Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat dari sektor riil inilah yang kemudian mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menciptakan kemiskinan, meningkatkan kesenjangan, dan mengalihkan kedaulatan ekonomi ke tangan para pemilik modal.
Di Indonesia, penerapan suku bunga tinggi telah membawa pada kelesuan sektor riil berupa turunnya produksi dan investasi, kebangkrutan perusahaan, dan inflasi. Pada saat yang sama pemilik modal tetap harus mendapat imbalan dengan besaran tetap. Akibatnya sistem perbankan mengalami akumulasi masalah baik yang berasal dari kredit macet sektor riil maupun dari negative spread.
Untuk mencegah kehancuran sektor perbankan, BI menyalurkan BLBI dan pemerintah menyuntikkan obligasi rekap ke perbankan. Jumlah uang beredar-pun semakin melonjak dan inflasi-pun melejit. Kebijakan bunga tinggi yang semula ditujukan untuk mengurangi uang beredar dalam rangka menjaga rupiah dan inflasi, justru semakin menambah uang beredar.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, riba dilarang. Sebagai gantinya, Islam menganjurkan bagi hasil dan jual beli. Pada saat yang sama zakat diterapkan. Kombinasi hal tersebut akan membuat sektor moneter akan selalu terkait dengan sektor riil karena keputusan investasi menjadi bagian integral dari keputusan menabung.
Pada tingkat tabungan yang lebih tinggi, pembayaran zakat akan lebih tinggi, sehingga akan semakin sedikit pendapatan yang tersisa. Jika investasi tidak menjadi bagian terintegrasi dalam keputusan menabung, maka kepuasan pemilik modal dipengaruhi secara negatif oleh tabungan. Jika tabungan diikuti dengan investasi, maka kepuasan pemilik modal akan tergantung sepenuhnya pada tingkat bagi hasil dan tingkat pengembalian proyek, karena tarif zakat adalah konstan. Sebagai hasilnya, kepuasan pemilik modal secara langsung dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Jika perekonomian lesu, tingkat pengembalian proyek turun, tingkat bagi hasil turun, sehingga kepuasan pemilik modal lebih rendah. Sebaliknya, jika perekonomian sedang booming, tingkat pengembalian proyek naik, tingkat bagi hasil naik, sehingga kepuasan pemilik modal lebih tinggi. Hal ini akan membawa stabilitas dalam perekonomian.
Dalam sistem Islam, tabungan berhubungan secara positif dengan peluang dan ekspektasi investasi. Hal ini berimplikasi, ketika ekspektasi investasi menurun, tabungan akan menurun dan konsumsi naik. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat sehingga akan memperbaiki ekspektasi investasi. Hal ini tidak kita temui dalam sistem berbasis bunga. Dalam Sistem berbasis bunga, keputusan investasi sama sekali terpisah dari keputusan menabung. Dikotomi ini menjadi penyebab utama fluktuasi dalam perekonomian konvensional. Inilah hikmah firman Allah SWT: “… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … “ (QS 2: 275).
Di sisi lain, dengan penerapan zakat pemilik modal didorong untuk mempertahankan tingkat kesejahteraannya dengan meningkatkan tabungan (investasi). Pada saat yang sama, distribusi zakat akan meningkatkan pendapatan disposabel penerima zakat, dan karenanya meningkatkan konsumsi. Hasilnya, sistem zakat dalam Islam memberi jalan bagi kenaikan penawaran agregat melalui kenaikan kapasitas produksi (hasil dari keputusan menabung yang ditransformasikan ke keputusan investasi) dan pada saat yang sama juga memberi jalan bagi kenaikan permintaan agregat.
Dengan demikian, kombinasi pelarangan riba dan penerapan zakat akan membawa perekonomian pada kesejahteraan sekaligus stabilitas makroekonomi. Inilah cara Islam untuk keluar dari krisis. Jadi, kenapa mesti terus berkutat pada sistem yang telah terbukti gagal?

Republika, 26 Oktober 2005
“Klaim Keberhasilan Pemerintah”

Labels:


Selengkapnya...

Tuesday, October 25, 2005

Why study economics?

Sewaktu SMA, saya bercita-cita jadi konglomerat. Alasannya karena setiap hari sepanjang 2 jam perjalanan dari rumah di cibubur ke sekolah di SMA 14 cililitan, yang saya saksikan adalah parade kenestapaan anak negeri, mulai dari perumahan kumuh, pasar becek, tumpukan sampah di sepanjang jalan, bazaar murahan pedagang kaki lima, orkes pengamen anak-anak jalanan, sampai terminal bau pesing yang saya harus transit di situ setiap hari-nya.
Dan untuk jadi konglomerat, saya harus ngerti ekonomi. Maka di UMPTN saya pilih FEUI. Alhamdulillah keterima, dan masuklah saya di kampus ekonomi terbaik di negeri ini (katanya!).
Ketika di FEUI saya menyadari bahwa untuk mengubah negeri ini tidak mesti harus jadi konglomerat, jadi birokrat juga bisa. Bahkan mungkin peluang merubah negeri bisa lebih besar karena ia berada di posisi sebagai policy makers. Maka saya masuk jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan, dan melupakan mimpi jadi konglomerat dengan tidak memilih jurusan manajemen atau akuntansi.
Tapi apa lacur, ternyata ekonomi yang saya pelajari justru adalah ilmu yang menjadi sumber kenestapaan negeri ini! Inilah wajah Indonesia setelah 60 tahun merdeka: Penduduk dibawah garis kemiskinan 52,4% (dengan garis kemiskinan $2 sehari), pengeluaran konsumsi 10% penduduk termiskin hanya 3,6% dari total, jauh dari pengeluaran konsumsi 10% penduduk terkaya yang 28,5% dari total. Hutan-hutan gundul, air tercemar, udara penuh timbal, pantai habis dimakan abrasi, dst. Ribuan rekomendasi kebijakan pembangunan lahir dari ilmu ekonomi, namun yang kita saksikan adalah ketimpangan, kemiskinan, dan kehancuran lingkungan. Siapa yang salah? Ilmu ekonomi? Ekonom-nya? atau Pak Harto?
Excuse yang sering muncul adalah: "kesalahan bukan pada teori, tetapi pada implementasi", "keputusan ekonomi seringkali diintervensi oleh kepentingan non-ekonomi", dsb. Well, mungkin itu benar. Tetapi mengapa ketika pertumbuhan ekonomi tinggi, sektor perbankan tumbuh pesat, pasar modal terus menggelembung, namun pada saat yang sama kemiskinan dan ketimpangan tetap terus menyertai, bahkan dengan derajat yang semakin tinggi? Mengapa dunia tumbuh dengan iringan tragedi di belakangnya?
Inilah wajah dunia hari ini: setiap jam 1.200 anak meninggal karena kemiskinan, setiap tahun 10,7 juta anak hidup tanpa punya harapan merayakan ulang tahun-nya yang ke-5, 500 individu terkaya di dunia memiliki pendapatan lebih besar dari 416 juta penduduk termiskin, 2,5 milyar orang (40% penduduk dunia) hidup dengan pendapatan kurang dari $2 sehari – setara dengan 5% pendapatan dunia, 10% penduduk terkaya dunia menguasai 54% dari total pendapatan dunia.
Mengapa pembangunan ekonomi berwajah begitu beringas? Mengapa si kaya tidak mau membantu si miskin? Padahal untuk mengangkat 1 milyar manusia dari batas kemiskinan absolut $1 sehari, hanya dibutuhkan $300 milyar – sekitar 1,6% dari total pendapatan 10% penduduk terkaya dunia. There must be something wrong with (conventional) economics.
Mungkin benar kata Heilbroner and Thurow (1994), “… the market is an insufficient instrument for provisioning society, even rich societies … the market is assiduous servant of the wealthy, but indifferent servant of the poor … market system promote imorality, it is not just an economic failure, but it is also a moral failure …”
Jadi, harus semakin banyak dari kita yang mempelajari economics, untuk mereformasi, bahkan mengganti (conventional) economics. Saya menyebutnya fardhu kifayah.

Labels:


Selengkapnya...

Monday, October 24, 2005

Foreword


Assalamu'alaikum,

Saya mungkin tidak punya maksud apa-apa menulis foreword ini selain meyakinkan diri sendiri bahwa saya membuat blog ini bukan sekedar iseng belaka. Manfaat pertama tentu untuk diri sendiri, memperdalam kemampuan menulis, mengasah emotional quotient agar selalu bersinar, dan mengikat ilmu. Yang berikutnya, saya tujukan blog ini untuk orang-orang terdekat saya, keluarga dan teman-teman tercinta. Last but not least, saya tujukan blog ini untuk mereka yang sama seperti saya, yang sedang dalam proses transformasi menuju hidup yang lebih bermakna. Semoga berguna setetes hikmah ini di lautan hikmah-Nya yang tiada bertepi.

Wassalam

Al-faqir ila robbihi
Yusuf Wibisono

Labels:


Selengkapnya...