Sunday, August 23, 2009

Ekonomi Ramadhan ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Ramadhan adalah momentum besar tahunan umat Islam untuk melakukan perbaikan diri baik secara moral, spiritual maupun material. Peningkatan kualitas diri secara moral dan spiritual melalui Ramadhan, telah lama dan banyak dibahas. Namun perbaikan kualitas diri secara material, tidak banyak mendapat perhatian. Tulisan ini akan menganalisis aspek ekonomi dari Ramadhan.

Konsumsi dan Pengeluaran Agregat
Ibadah terpenting di bulan Ramadhan adalah ibadah puasa. Puasa secara langsung akan merubah pola konsumsi umat muslim, yaitu turunnya konsumsi individu yang berpuasa. Secara makro, hal ini akan menurunkan konsumsi agregat, khususnya barang kebutuhan pokok. Di saat yang sama, di bulan Ramadhan terdapat anjuran yang sangat kuat untuk berderma, seperti memberi makan orang yang berbuka puasa. Hasil akhirnya adalah terjadi efek saling meniadakan, konsumsi orang kaya menurun, konsumsi orang miskin meningkat.
Dengan demikian, tujuan akhir yang ingin dicapai Ramadhan adalah pemerataan konsumsi melalui consumption-transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin sehingga proporsi konsumsi kelompok miskin dalam konsumsi agregat akan meningkat. Dengan demikian, tidak akan ada tekanan permintaan yang mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation). Distribusi konsumsi yang lebih merata, akan menekan masalah-masalah sosial di masyarakat seperti kelaparan ekstrim, kurang gizi dan gizi buruk pada anak, minimnya akses terhadap air bersih, menurunnya tingkat kematian bayi, hingga meningkatkan kohesi sosial.
Namun yang kita saksikan hari ini sangat jauh dari idealita. Konsumsi kelompok kaya tidak menurun, bahkan meningkat pesat. Akibatnya, terjadi kenaikan permintaan barang dan jasa secara signifikan sehingga mendorong inflasi. Dan yang paling keras terpukul oleh kenaikan harga ini jelas adalah kelompok miskin. Transfer konsumsi dari kelompok kaya ke kelompok miskin juga tidak berjalan mulus. Alih-alih meningkat, proporsi konsumsi kelompok miskin justru menurun tergerus oleh inflasi.
Lebih jauh lagi, selama bulan Ramadhan umat muslim juga sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan meninggalkan aktivitas yang tidak bermanfaat. Dengan demikian, konsumsi kelompok kaya yang umumnya merupakan konsumsi barang non-primer akan menurun. Ramadhan juga akan mendorong aktivitas konsumsi yang berbasis moral dan etika seperti makanan dan minuman halal, busana muslim, perlengkapan ibadah, dan lain-lain. Hal ini akan mendorong konsumsi yang lebih berkualitas melalui consumption-switching dari konsumsi barang-barang mewah dan tidak ber-etika ke barang-barang primer dan berbasis etika.
Namun sekali lagi kita menyaksikan hal yang jauh dari ideal. Konsumsi non-primer masyarakat muslim terlihat tidak menurun, bahkan meningkat. Pusat-pusat perbelanjaan justru semakin dipadati pengunjung, tempat-tempat wisata dan hiburan tidak menjadi sepi. Aktivitas TV justru meningkat menjadi 24 jam di bulan Ramadhan, yang isi dan kualitas tayangannya secara ironis justru jauh dari semangat Ramadhan. Hasrat konsumerisme berbalut ritual artifisial justru semakin dikobarkan di bulan suci.

Pengentasan Kemiskinan dan Efisiensi Alokatif
Aktvitas lain yang sangat didorong di bulan Ramadhan adalah sedekah. Sedekah adalah bentuk pengakuan paling mendasar atas konsep istikhlaf (perwakilan); bahwa pada esensi-nya seluruh harta adalah milik Allah (QS 10: 66). Terinternalisasi-nya konsep istikhlaf ini secara kuat akan menekan aktivitas penimbunan harta, perlombaan dalam mengejar kekayaan, kejahatan ekonomi, dan kesenjangan sosial.
Secara umum terdapat dua jenis sedekah, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunnah. Sedekah wajib adalah zakat, yaitu zakat fitrah (jiwa) dan zakat maal (harta). Sedangkan sedekah sunnah memiliki banyak bentuk mulai dari infaq, sedekah jariyah, dan wakaf hingga sumbangan tenaga dan pemikiran. Filantropi Islam, berbeda dengan filantropi konvensional, berakar dari kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan bumi dan langit serta seluruh isinya untuk kepentingan semua manusia. Filantropi Islam bernilai transendental tinggi, tidak akan menjadi sarana pencucian dosa atau tameng dari agenda tersembunyi, dan bukan kegiatan insidental.
Filantropi Islam memiliki peran penting dalam perekonomian. Peran penting pertama terkait pengentasan kemiskinan. Instrument filantropi Islam adalah mekanisme transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin yang tepat sasaran. Di saat yang sama, instrument filantropi Islam telah berperan sebagai jaring pengaman sosial yang efektif.
Dengan adanya transfer pendapatan dari kelompok kaya ke kelompok miskin maka akan terjadi peningkatan permintaan barang dan jasa dari kelompok miskin, yang umumnya adalah kebutuhan dasar. Permintaan yang lebih tinggi untuk kebutuhan dasar masyarakat terkait filantropi Islam ini, akan mempengaruhi komposisi produksi barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian, sehingga akan membawa pada alokasi sumber daya menuju ke sektor-sektor yang lebih diinginkan secara sosial. Hal ini akan meningkatkan efisiensi alokatif dalam perekonomian.
Dalam perekonomian yang tidak memiliki mekanisme transfer pendapatan dan sebagian besar penduduknya adalah miskin, maka kebutuhan riil masyarakat sering tidak tercermin dalam permintaan pasar. Barang dan jasa yang amat dibutuhkan rakyat banyak, seperti pangan, papan, air bersih, kesehatan dan pendidikan, seringkali tidak diproduksi. Dengan instrument filantropi yang mentransfer pendapatan orang kaya ke orang miskin, maka permintaan barang dan jasa orang miskin akan meningkat. Dalam konteks ini kita dapat memandang fungsi alokatif filantropi Islam yang me-realokasi sumber daya dari orang kaya ke orang miskin ini, sebagai cara yang efektif untuk memerangi kemiskinan.
Di Indonesia, potensi filantropi Islam yang sangat besar, belum mampu mengangkat kelompok miskin keluar dari jurang kemiskinan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh perilaku penderma yang masih amat karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek, de-sentralistis dan interpersonal. Filantropi sering dilakukan dalam bentuk konsumtif, dilakukan secara individual, dan tidak terorganisir.
Dibutuhkan upaya revitalisasi dengan menggugah kesadaran dan sekaligus merubah perilaku penderma. Menggugah kesadaran ummat sangat penting karena sampai kini terdapat kesenjangan yang besar antara potensi dengan realisasi dana filantropi Islam. Selain itu dibutuhkan rekontruksi paradigma sedekah dari sedekah personal-jangka pendek yang bersifat karikatif menjadi sedekah institusional-jangka panjang yang lebih bersifat pemberdayaan. Upaya penting lainnya adalah meningkatkan kapasitas lembaga amil dan pengelola dana filantropi Islam. Selain untuk meningkatkan efektifititas pendayagunaan dana filantropi Islam, hal ini juga penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola dana filantropi.

IPTEK dan Produktivitas
Salah satu aktivitas lain yang banyak dianjurkan di bulan Ramadhan adalah aktivitas menuntut ilmu, baik ilmu dunia maupun akhirat. Ramadhan adalah momentum bagi umat Islam untuk memperdalam ilmu, menyebarluaskan-nya dan mengembangkan-nya. Hal ini sangat relevan di tengah kecenderungan perekonomian yang saat ini semakin bergeser ke keunggulan berbasis pengetahuan (knowledge economy).
Ilmu dan teknologi adalah satu-satunya sumber produktivitas dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Perekonomian-perekonomian maju umumnya tumbuh tinggi dan berkesinambungan dengan membuat teknologi berkembang secara built-in dan sistemik dalam perekonomian (endogenous growth). Hal ini dilakukan antara lain melalui pengembangan sektor pendidikan, belanja R & D yang memadai, penghargaan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, link and match antara pendidikan, riset dan industri, dan lain-lain.
Romer (1993) memperluas definisi teknologi menjadi apa yang ia sebut sebagai “ideas”. Teknologi seringkali kita bayangkan dengan manufaktur, padahal kebanyakan aktivitas ekonomi terjadi di luar pabrik-pabrik. Ide-ide (ideas) mencakup perspektif tak terbatas tentang pengemasan barang, pemasaran, distribusi, pengawasan persediaan barang, sistem pembayaran, sistem informasi, proses transaksi, pengawasan kualitas, dan memotivasi pekerja, semuanya digunakan dalam proses produksi untuk menciptakan nilai ekonomi dalam perekonomian modern.
Pengembangan ilmu agama juga berpengaruh signifikan bagi perekonomian. Peningkatan iman dan taqwa, sebagai hasil menuntut ilmu agama, akan memberi dampak signifikan terhadap hakikat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan material dan non-material manusia beserta cara pemuasannya. Iman dan taqwa juga berfungsi sebagai filter moral yang akan mengkontrol self-interest dalam batas-batas social-interest. Filter iman dan taqwa ini menyerang langsung pusat masalah dalam perekonomian konvensional yaitu klaim yang tidak terbatas terhadap sumber daya (unlimited wants) dengan cara mengubah perilaku manusia dan skala preferensi-nya agar selaras dengan tujuan-tujuan normatif perekonomian. Pemahaman yang lebih baik terhadap nilai dan ajaran agama juga akan berpengaruh signifikan terhadap variabel-variabel ekonomi yang penting seperti konsumsi, tabungan dan investasi, lapangan kerja dan produksi, serta distribusi pendapatan.
Dengan demikian, Ramadhan semestinya menjadi ajang evaluasi sektor pendidikan dan riset kita. Sudah saatnya negeri ini memiliki sistem pendidikan agama dan umum yang terintegrasi, penghargaan terhadap hasil karya teknologi anak bangsa, keterkaitan yang erat antara riset dan industri, dan strategi penguasaan teknologi yang jelas menuju industri nasional yang tangguh dan mandiri. Hanya dengan demikian, produktivitas perekonomian meningkat dan pertumbuhan akan berkelanjutan.

Koran Tempo, "Ekonomi Ramadhan", Selasa, 25 Agustus 2009

Labels:


Selengkapnya...

Saturday, August 15, 2009

Visi Pembangunan Islam ...

VISI PEMBANGUNAN ISLAM DAN PERANAN SISTEM KEUANGAN DALAM MEWUJUDKAN-NYA

Press Release, Kuliah Umum Ekonomi dan Bisnis Syariah, “The Islamic Vision of Development (Maqashid Al Shari’ah) and Its Implications for Islamic Economics and Finance”, Dr. M. Umer Chapra, diselenggarakan oleh PEBS FEUI dan IRTI-IDB, Auditorium FEUI, Depok, 15 Agustus 2009.

Kejatuhan kapitalisme global yang ditandai dengan kekacauan sistem keuangan dan moneter dunia, krisis pangan dan energi global, serta kemiskinan dan pengangguran struktural yang masif dan persisten, memberi jalan lurus bagi kebangkitan ekonomi Islam. Visi Islam tentang kehidupan, termasuk pembangunan, didefinisikan dalam konsep Maqashid al Syari’ah. Menurut Imam Al-Ghazali, maqashid al syari’ah adalah perlindungan dan pengembangan terhadap keyakinan, jiwa, intelektualitas, keturunan dan kekayaan.
Dalam perspektif Islam, manusia adalah tujuan sekaligus cara pembangunan. Dengan demikian, kesejahteraan harus dijamin dan masyarakat harus memiliki motivasi, karakter dan kemampuan untuk melakukan apa yang dibutuhkan dalam rangka mencapai kesejahteraan tersebut.
Dunia saat ini bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Masyarakat menjadi sangat kaya dan dalam waktu yang sama sangat tidak merata. Tidak akan pernah ada harga diri, persaudaraan dan kebebasan selama kemiskinan tersebar luas, kebutuhan tidak terpenuhi dan kesenjangan pendapatan semakin melebar.
Sektor keuangan memiliki peran krusial dalam mewujudkan pembangunan berkeadilan. Melalui intermediasi finansial, dapat di dorong pembangunan yang berkualitas melalui perbaikan motivasi, karakter dan kemampuan masyarakat, mempromosikan sektor-sektor ekonomi produktif, menekan pengeluaran yang tidak bermanfaat dan mendorong modal ventura. Di saat yang sama, sektor keuangan dapat mendorong keadilan melalui pembagian resiko yang adil antara bank dan pengusaha (“no risk, no gain”), mempromosikan keuangan mikro dan penggunaan zakat dan wakaf secara lebih efektif.
Visi pembangunan Islam ini sangat relevan untuk Indonesia kontemporer. Setelah lebih dari enam dekade merdeka, hingga kini Indonesia masih berkutat pada berbagai permasalahan mendasar yang tak kunjung terselesaikan, seperti kemiskinan dan pengangguran yang luas serta distribusi pendapatan yang sangat tidak merata. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk merekonstruksi ulang sistem ekonomi-nya menuju Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan.

Labels:


Selengkapnya...

Thursday, August 13, 2009

Public Lecture on Islamic Economics and Finance ...

Labels:


Selengkapnya...

Sunday, August 02, 2009

Merumuskan Kembali Sistem Ekonomi Indonesia ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Wacana besar untuk merumuskan kembali sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan UUD 1945, bergema dalam Kongres ISEI XVII di Bukittinggi akhir Juli lalu. Fenomena ini menarik dan penting untuk dicermati. Pada kampanye Pilpres 2009 lalu bahkan isu ekonomi neoliberal begitu keras disuarakan. Semua ini bermuara pada hal yang sama: ada ketidakpuasan yang semakin membesar dan mengental tentang sistem ekonomi yang kita anut sekarang ini.
Setelah lebih dari enam dekade merdeka, hingga kini kita masih berkutat pada berbagai permasalahan ekonomi mendasar yang tak kunjung terselesaikan seperti kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan dan infrastruktur dasar. Di saat yang sama, berbagai permasalahan struktural lainnya kian menyeruak seperti daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merekonstruksi ulang sistem ekonomi Indonesia.

Konstitusi dan Perekonomian
Konstitusi adalah basis dari tata perekonomian. Konstitusi memainkan peran penting dalam membentuk wajah perekonomian suatu negara. Sebagai misal, perekonomian Amerika Serikat yang liberal, dibentuk oleh Konstitusi Amerika Serikat yang mengedepankan kebebasan ekonomi (economic liberties). Sedangkan perekonomian Perancis yang lebih egaliter dan merata, dibentuk oleh Konstitusi Perancis 1946 yang mencerminkan semangat komunal.
Perubahan sistem ekonomi dimulai dari perubahan konstitusi. China beralih ke sistem pasar dengan mengubah konstitusi komunis menjadi konstitusi yang pro-pasar, dimulai dengan Amandemen 1993 yang mengadopsi sistem pasar sosialis (socialist-market economy) hingga Amandemen 2004 yang mengakui kepemilikan pribadi.
Indonesia memiliki pengalaman yang paradoks. Walau konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, secara jelas telah mengamanatkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan sektor produksi strategis dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun wajah perekonomian kita demikian liberal. Berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan berbagai UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan dan UU No. 21/2001 tentang Migas pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, pasal 28 ayat 2-3.
Pemerintah juga dianggap gagal memenuhi amanat Pasal 27 UUD 1945: menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. Hingga kini jutaan penduduk negeri berstatus pengangguran dan jutaan lainnya berdiaspora di penjuru dunia untuk mencari nafkah yang tidak dapat mereka peroleh di negeri sendiri. Pemerintah hingga kini juga dianggap belum mampu memberi jaminan sosial bagi seluruh lapiran masyarakat sesuai amanat Pasal 34 UUD 1945.
Selain sistem ekonomi, kinerja perekonomian juga banyak ditentukan oleh sistem politik yang menaungi. Sistem politik dan kenegaraan mempengaruhi kebijakan ekonomi dan kinerja perekonomian. Person dan Tabellini (2004) menunjukkan bahwa Pemerintahan presidensial pada demokrasi dengan kualitas yang rendah, akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Kombinasi eksekutif yang kuat dengan lingkungan politik yang buruk dimana penyalahgunaan kekuasaan merajalela, banyak bertanggungjawab atas rendahnya kinerja perekonomian.
Pasca krisis 1997, Indonesia mengalami perubahan sistem politik dan kenegaraan yang signifikan yang berdampak signifikan pada kebijakan ekonomi dan kinerja perekonomian seperti kembali-nya sistem multipartai dan fragmentasi politik, penguatan peran parlemen, Presiden dipilih langsung oleh rakyat hingga menguatnya peran daerah melalui otonomi dan desentralisasi fiskal.
Perubahan signifikan terjadi pada tiga institusi makroekonomi terpenting yaitu Bappenas, Bank Indonesia (BI), dan Departemen Keuangan (Depkeu). Bappenas yang sebelumnya sangat berkuasa dan bertindak sebagai super-body, banyak dilucuti kekuasaannya dan kemudian dialihkan ke Depkeu. Di saat yang sama, BI menjadi independen dan sepenuhnya bebas dari intervensi pemerintah. Akibatnya, koordinasi kebijakan fiskal-moneter menjadi jauh lebih sulit dilakukan pasca reformasi, begitupun halnya dengan sinkronisasi antara perencanaan, penganggaran dan implementasi program pembangunan.
Ke depan, Indonesia membutuhkan rancang bangun sistem ekonomi baru, dimana ekonomi rakyat mendapat penghormatan yang semestinya, kontrol terhadap aset, sektor ekonomi dan sumber energi strategis bangsa terjaga, industri nasional yang tangguh dan mandiri serta strategi penguasaan sains dan teknologi yang jelas. Selain rekayasa ekonomi, pada saat yang sama dibutuhkan juga rekayasa politik dan sosial untuk mempercepat transformasi ekonomi bangsa.

Sistem Ekonomi Alternatif
Yang menarik, dalam forum Kongres ISEI XVII muncul juga wacana sistem ekonomi alternatif yaitu sistem ekonomi syariah. Hal ini menarik karena bila kita melihat konstitusi, terdapat begitu banyak ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi yang sangat selaras dengan nilai dan prinsip ekonomi Islam.
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 misalnya, secara jelas mengindikasikan bahwa perekonomian harus berdasar atas mutualism dan brotherhood, sesuatu yang sangat selaras dengan ekonomi Islam yang berdasar atas keadilan dan ukhuwwah. Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 selaras dengan salah satu pilar terpenting ekonomi Islam bahwa komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai bersama dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan maqashid shariah memiliki perspektif lebih luas bahwa kemakmuran tidak hanya berdimensi material namun juga moral dan spiritual.
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa kesejahteraan rakyat berawal dari pekerjaan yang layak, sangat selaras dengan ekonomi Islam yang berfokus pada sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Dalam sistem Islam, semua transaksi keuangan harus memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, semua aktivitas perekonomian selalu terkait dengan aktivitas sektor riil dan karenanya penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 secara jelas selaras dengan ekonomi Islam bahwa filantropi harus dilakukan untuk yang tidak mampu bekerja secara optimal karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran. Islam memiliki banyak instrument filantropi seperti zakat dan wakaf yang semestinya dapat mendukung pemerintah untuk menunaikan salah satu amanat terpenting konstitusi ini.
Secara singkat, upaya menegakkan konstitusi dalam perekonomian Indonesia sesungguhnya sangat selaras dengan semangat ekonomi Islam yang menekankan nilai-nilai keadilan yang bersumber dari kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan bumi dan air dan segalanya isinya untuk kepentingan semua manusia.Ekonomi syariah selayaknya ditempatkan dalam konteks yang luas seperti ini, tidak hanya secara sempit dipandang sebagai perbankan syariah dan zakat semata.

Koran Tempo, "Merumuskan Kembali Sistem Ekonomi Indonesia", Jumat, 7 Agustus 2009.

Labels:


Selengkapnya...