Sunday, May 08, 2011

Menggapai Asa Market Share 5% ....

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Dalam Seminar Internasional "Can The Indonesia Islamic Finance Sustain The High Growth Regime Up to 2015 Beyond?" di Yogyakarta pada 20 – 21 April 2011 yang lalu, Bank Indonesia (BI) meneguhkan komitmen-nya untuk mendukung dan mengembangkan industri keuangan dan perbankan syariah nasional. Dalam seminar tersebut, BI menyatakan optimisme-nya bahwa market share perbankan syariah akan mampu menembus 5% pada tahun 2015 mendatang.
Dalam tahun-tahun terakhir, dukungan terhadap industri keuangan dan perbankan syariah nasional semakin menjanjikan. Eksperimen dual-banking system di Indonesia berpuncak pada tahun 2008 dengan terbitnya paket UU No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Setahun kemudian UU No. 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah menghapus masalah pajak ganda yang sangat memberatkan industri, yang efektif berlaku 1 April 2010. Masalah yang tersisa, yaitu utang pajak murabahah sebelum April 2010 yang masih terus ditagih, juga telah terselesaikan melalui kesepakatan politik di parlemen dalam pembahasan APBN-P 2010 dimana tagihan PPN Murabah menjadi pajak ditanggung pemerintah.
Kini, per Maret 2011, market share perbankan syariah mencapai 3,4 persen dengan total aset telah menembus Rp 100 triliun, yaitu sebesar Rp 104 triliun. Mampukah perbankan syariah menggapai market share 5% di tahun 2015? Dengan pertumbuhan rata-rata lima tahun terakhir sebesar 36%, lebih dua kali lipat dari pertumbuhan perbankan nasional yang sebesar 15%, target ini sangat realistis, bahkan cenderung konservatif. Market share 5% bahkan seharusnya dapat dicapai pada 2013 jika kinerja perbankan syariah dapat terus dipertahankan. Yang lebih menantang seharusnya target market share 2015 adalah 10%!
Dalam riset PEBS FEUI, Indonesia Shari’ah Economic Outlook 2011, setidaknya terdapat tiga agenda terpenting untuk mendorong pengembangan perbankan syariah nasional, yaitu membesarkan size dan jaringan perbankan syariah, dukungan dari sektor pemerintah, dan eksklusifitas dalam pengelolaan dana keagamaan dan sosial Islam.

Membesarkan Size
Inisiatif terpenting dan yang paling dibutuhkan perbankan syariah hingga kini adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical mass. Dengan tercapainya critical mass, perbankan syariah akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saing-nya terhadap perbankan konvensional. Jika hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif.
Salah satu permasalahan terpenting disini adalah edukasi pasar yang masif dengan diiringi inovasi produk. Perbankan syariah dituntut untuk semakin mampu meraih pasar “floating” yang potensinya masih terbuka lebar. Terkait dengan hal ini, upaya penting yang harus dilakukan secara serius adalah penciptaan produk sesuai dengan kebutuhan konsumen. Ketika publik sudah tercerahkan, perbankan syariah harus siap menyambut dengan produk-produk yang kompetitif dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan konsumen.
Upaya penting lain untuk penetrasi pasar adalah dengan memperluas jaringan. Berbagai inisiatif BI disini melalui insentif pendirian BUS, kelonggaran pendirian kantor cabang hingga office channeling, patut diapreasiasi. Namun aliansi strategis yang lebih signifikan harus dilakukan perbankan syariah. Salah satu pilihan menarik disini adalah aliansi perbankan syariah dan keuangan mikro syariah untuk penghimpunan dana pihak ketiga. Ribuan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) berpotensi besar menjadi garda terdepan perbankan syariah di seluruh tanah air. Aliansi ini akan melengkapi linkage program yang telah berjalan saat ini yang lebih banyak berfokus di aspek pembiayaan ritel ke UMKM.

Dukungan Pemerintah
Dukungan paling mendasar terhadap perbankan syariah adalah dengan tidak membebani perbankan syariah dengan hal-hal yang tidak seharusnya. Sebagai misal, perbankan syariah tidak semestinya secara dini dihadapkan pada persaingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana syariah ritel, khususnya melalui penerbitan sukuk negara ritel (SBSN-SR). Dengan tingkat imbal hasil yang menarik yaitu 12,0% dan 8,7% per tahun, SBSN-SR 001 dan SBSN-SR 002 yang diterbitkan pada Februari 2009 dan 2010 mendapat sambutan antusias dan mampu menghimpun dana Rp 5,56 triliun dan Rp 8,033 triliun, berturut-turut merupakan tiga kali dan dua setengah kali lipat dari target awal. Ke depan, sukuk negara ritel sebaiknya dibatasi. Sukuk negara semestinya lebih ditujukan untuk investor institusi dan luar negeri sehingga tidak memberi tekanan pada penghimpunan dana pihak ketiga perbankan syariah.
Perbankan syariah juga secara dini dihadapkan pada persaingan dengan pemerintah dalam pengelolaan dana haji melalui penerbitan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Dana setoran haji yang baru diterima Bank Penerima Setoran (BPS) Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), termasuk perbankan syariah, langsung ditempatkan oleh Kementrian Agama di SDHI sehingga dana masuk tersebut tidak cukup waktu untuk dikelola di BPS. Ke depan, SDHI sebaiknya hanya bersumber dari Dana Abadi Umat (DAU) atau dari dana setoran BPIH yang ada di BPS-BPIH konvensional.
Perbankan syariah juga membutuhkan keberpihakan yang nyata dari pemerintah seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana (cash management) baik pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai misal, pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan semestinya dapat disalurkan sepenuhnya dengan skim syariah. Pemerintah juga dapat menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerimaan negara (BPSPN) dan bahkan merintis upaya mengkonversi salah satu bank BUMN konvensional, katakan Bank BTN, menjadi bank syariah. Hal ini akan memberi dampak yang signifikan bagi peningkatan size perbankan syariah. Sebagai misal, Bank BTN per Februari 2011 memiliki aset Rp 67,79 triliun, setara dengan 2,26% dari total aset bank umum, sehingga jika bank ini dikonversi menjadi bank syariah maka ambisi market share 5% akan terlewati di tahun 2011 ini juga.

Pengelolaan Dana Sosial Islam
Untuk menjaga kesucian pelaksanaan ibadah keagamaan dari hal-hal yang dilarang syariah Islam, dibutuhkan regulasi yang jelas dan tegas tentang kewajiban transaksi-transaksi yang terkait ibadah keagamaan agar dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan syariah, seperti kewajiban setoran haji melalui perbankan syariah dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq dan sadaqah melalui perbankan syariah.
Sebagai misal, UU No. 13/2008 tentang Haji masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai BPS-BPIH sepanjang memiliki unit usaha syariah. Hal ini memang memiliki rasionalitas dipandang dari aspek bahwa outlet perbankan syariah masih tidak mencukupi untuk melayani calon jamaah haji dari seluruh pelosok negeri. Namun pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, seharusnya dapat mewajibkan perbankan konvensional yang ditunjuk sebagai BPS-BPIH untuk langsung memindahkan dana setoran BPIH yang diterimanya ke Unit Usaha Syariah-nya, sehingga dana haji sepenuhnya dikelola perbankan syariah.
Terkait dengan hal diatas, rencana Kementrian Agama untuk mendirikan Badan Layanan Umum (BLU) untuk pengelolaan DAU, sebaiknya dibatalkan. Hal tersebut merupakan inefisiensi dan tidak akan memberikan return yang optimal. Pengelolaan DAU sebaiknya diserahkan pada perbankan syariah sebagai manajer investasi yang telah memiliki kelengkapan institusi dan kompetensi, sehingga akan efisien dan memberikan return yang optimal. Pengelolaan dana secara eksklusif oleh perbankan syariah seharusnya juga diterapkan untuk pengelolaan dana zakat, infaq, sadaqah dan wakaf. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tidak memberi kewajiban ini.
Selain itu pemerintah juga semestinya melakukan sosialisasi secara masif serta memberi dorongan dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah. Potensi dana-dana sosial dan pendidikan Islam ini adalah signifikan. Sebagai misal, sampai dengan tahun 2008, di seluruh Indonesia terdapat 21.521 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,8 juta santri. Di tahun yang sama di seluruh Indonesia terdapat 109.094 masjid, belum termasuk Langgar dan Musholla.

Labels:


Selengkapnya...