Membangun Jakarta Masa Depan ...
Yusuf Wibisono
Wakil Kepala – Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI
Memasuki usianya yang ke-482, Jakarta terlihat semakin rapuh menanggung beratnya beban pembangunan. Pesatnya pertumbuhan kota, tidak diikuti dengan ketersediaan infrastruktur kota, daya dukung alam dan keseimbangan ekologis. Permasalahan sampah, eksploitasi air tanah yang berlebihan, hilangnya ruang terbuka hijau hingga rusaknya daerah aliran sungai, tidak kunjung terselesaikan secara tuntas bahkan nampak semakin mengental.
Jakarta juga menghadapi masalah segregasi fungsional antara daerah bisnis/perkantoran dan daerah pemukiman yang semakin meningkat dan telah menimbulkan pemborosan waktu dan biaya transportasi, inefisiensi lahan dan kawasan, penurunan kualitas lingkungan terutama akibat polusi udara yang parah, serta kebutuhan yang besar terhadap sarana transportasi dan infrastruktur terkait lainnya.
Di sisi lain, segregasi sosial juga nampak tidak semakin membaik. Kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan antar kelompok pendapatan, etnis, suku dan golongan, rawan menimbulkan konflik-konflik sosial. Hal ini semakin diperburuk semakin tergerusnya ruang-ruang publik kota dan tempat-tempat ibadah yang digantikan oleh pusat-pusat bisnis, perbelanjaan dan perumahan mewah.
Jakarta Masa Depan
Secara umum, terdapat tiga hal yang semestinya masuk dalam arus utama diskusi publik tentang arah pembangunan Jakarta ke depan. Pertama, pengurangan fungsi kota Jakarta. Jakarta sebagai ibukota negara memiliki kekhususan yang diakui oleh Pasal 227 ayat 1 huruf c UU No. 32/2004. Walau demikian, kedudukan Jakarta sebagai ibukota sendiri ke depan sebaiknya segera diakhiri. Dalam jangka panjang, hal ini tidak produktif. Jakarta ke depan membutuhkan pengurangan fungsi kota karena beban pembangunan telah melampaui kapasitas dan daya tampung optimal Jakarta sebagai daerah pertumbuhan sehingga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Jakarta.
Jakarta ke depan sebaiknya diarahkan menjadi pusat ekonomi-bisnis, sedangkan pusat pemerintahan dialihkan ke daerah lain. Pemisahan fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi-bisnis dari Jakarta akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, menurunkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pembangunan.
Perlu dipikirkan langkah-langkah perintis untuk memindahkan ibukota ini. Pemindahan ibukota juga sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 pasal 227 ayat 3 huruf d tentang kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Pemindahan ibukota ini juga selaras dengan amanat Pasal 30 UU No. 26/2007 dimana ruang terbuka hijau kota minimal 30% dari total luas wilayah. Dengan ruang terbuka hijau kini yang kurang dari 9%, mustahil mewujudkan amanat UU Penataan Ruang ini tanpa memindahkan ibukota dari Jakarta.
Kedua, kekhususan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah. Sebagai megapolitan dan sekaligus ibukota negara, Jakarta membutuhkan berbagai infrastruktur modern yang handal untuk menunjang aktivitas kota secara efisien. Ironisnya, Jakarta termasuk kota dengan infrastruktur yang buruk. Hal ini semakin diperparah dengan inefisiensi dalam pengelolaan infrastruktur kota akibat buruknya tata kelola dan mismanajemen.
Dengan kemampuan pemerintah kota yang sangat terbatas untuk membangun, mengoperasikan dan memelihara infrastruktur, maka harus didorong partisipasi pihak lain. Partisipasi pertama adalah pembiayaan dari pemerintah pusat, terutama dalam bentuk penerusan pinjaman dan hibah luar negeri, sebagaimana dalam kasus pembangunan MRT. Yang berikutnya adalah pembiayaan oleh swasta, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang layak secara komersial dan mampu mencapai pemulihan biaya secara penuh (full cost recovery). Dan terakhir, pembiayaan oleh masyarakat luas melalui penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Hal ini terbuka dilakukan mengingat DKI Jakarta memiliki kapasitas fiskal yang besar sehingga memiliki creditworthiness yang tinggi. Sukuk yang berbasis underlying assets lebih cocok untuk Jakarta yang membutuhkan banyak infrastruktur yang umumnya commercially viable, dan juga mendorong disiplin fiskal.
Ketiga, kerjasama antar daerah untuk pengelolaan terpadu Jakarta sebagai megapolitan. Untuk Jakarta Raya, kerjasama antar daerah untuk pengelolaan kawasan secara terpadu adalah suatu keharusan, dan hal ini juga telah diatur dalam Pasal 27 UU No. 29/2007. Namun pola kerjasama antar daerah selama ini belum memberi kejelasan tentang bagaimana DKI Jakarta akan dikelola secara terpadu. Pembentukan badan kerjasama antar daerah antara DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, sebagaimana amanat UU No. 29/2007, tidak akan efektif jika tidak ada kejelasan dalam kewenangan dan sanksi. Besarnya ego sektoral dan daerah telah membuat kerjasama antar daerah selama ini menjadi mandul.
Harus diperjelas, aspek-aspek mana saja yang merupakan kepentingan bersama semua daerah dan siapa yang memegang kewenangan tersebut. Kerjasama antar daerah sebaiknya difokuskan pada aspek perencanaan tata ruang kawasan, pengelolaan sistem transportasi, serta pengelolaan lingkungan hidup khususnya penyediaan air bersih, pengendalian banjir dan penanganan sampah. Konsep pengelolaan kawasan megapolitan sebaiknya menjadi hak pemerintah pusat (regulator). Lembaga bersama antar daerah lebih bersifat sebagai operator yang berkoordinasi dalam mengimplementasikan aturan yang telah dibuat oleh pusat.
Menuju Welfare City
Menciptakan kesejahteraan bagi semua warga adalah tugas pertama dan utama setiap pemerintahan. Ide dasar dari konsep ini berangkat dari fakta bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengelola semua sumber daya dalam perekonomian untuk digunakan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyatnya. Jakarta relatif kurang berhasil dalam hal ini. Permasalahan kemiskinan, pengangguran, kesenjangan yang semakin lebar, hingga carut marut pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan dan kesehatan, masih menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi sebagian besar warga Jakarta. Kesejahteraan masih menjadi barang mahal di kota ini.
Dalam jangka pendek, Jakarta membutuhkan perubahan arah kebijakan yang drastis untuk menjamin Jakarta ke depan berjalan secara optimal menuju kesejahteraan untuk semua. Pertama, menahan laju kerusakan lingkungan. Ruang terbuka hijau kota harus segera direhabilitasi, pencemaran udara, air dan tanah serta masalah sampah harus dikurangi, daerah aliran sungai harus dinormalisasi dan ruang-ruang publik yang semakin luas harus terus ditambah. Tanpa perubahan radikal di bidang ini, Jakarta akan semakin tenggelam dalam kubangan air, lumpur dan sampah.
Kedua, membangun ekonomi kerakyatan dan menciptakan lapangan kerja untuk mengentaskan kemiskinan. Penggusuran dan razia PKL harus dihentikan, hak-hak ekonomi rakyat harus dihormati. Birokrasi harus berubah dan berorientasi pada pelayanan publik. Pasar tradisional harus ditingkatkan daya saing-nya, sektor informal potensial harus dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembangunan, BLK harus direvitalisasi dan program PPMK diarahkan untuk penciptaan pasar kredit mikro yang fleksibel. BMT atau KJKS cocok sebagai penyalur PPMK untuk kredit mikro.
Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur yang penting dan mendesak untuk mengatasi kemacetan dan banjir. Infrastruktur transportasi kota semestinya difokuskan pada mass rapid transportation (MRT) berbasis jalan raya (busway) dan berbasis rel (KRL), bukan jalan tol atau monorail dan subway yang sangat mahal dan tidak ramah lingkungan. Sinergi antara percepatan busway hingga koridor 15 dan revitalisasi KRL akan mengurangi kemacetan Jakarta secara signifikan, dengan biaya yang jauh lebih murah, lebih cepat dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Sedangkan infrastruktur pengendali banjir harus difokuskan pada percepatan penyelesaian BKT, normalisasi daerah aliran sungai, dan infrastruktur pengolahan sampah yang modern, efisien dan ramah lingkungan.
Terakhir, penguatan kebijakan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dan kesehatan harus semakin merata dan dapat diakses semua kalangan. Program-program kesejahteraan seperti Raskin, JPK-GAKIN, PPMK dan BOP harus disinergikan ke dalam program jaminan kesejahteraan daerah secara terpadu.
Labels: Ekonomi Regional
0 Comments:
Post a Comment
<< Home