Saturday, September 15, 2012

Islamisasi Ilmu ...

Buletin Jum'at UI Edisi 16/September/XII

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Ilmu seharusnya menuntun kita pada Tuhan, bukan justru menyesatkan kita dari-Nya. Ilmu semestinya mendekatkan kita pada kebenaran, bukan justru menjauhkan kita darinya. Namun realitas saat ini memperlihatkan bahwa ilmu modern yang kita pelajari di kampus-kampus di penjuru negeri, tidak mendekatkan kita pada Tuhan dan kebenaran. Ilmu yang kita ajarkan tidak mampu menuntun masyarakat memahami hakikat hidup dan kehidupan, tidak mampu membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik di dunia dan di akhirat.
Ilmu saat ini lebih banyak dipelajari sekedar untuk mendapat pekerjaan dan posisi, tanpa perduli bahwa hal tersebut melanggengkan status-quo dan ketidakadilan. Ilmu lebih banyak digunakan untuk membanggakan diri, diperdebatkan, untuk gelar dan kenaikan jabatan, tanpa manfaat nyata bagi masyarakat. Kemajuan llmu pengetahuan modern hari ini gagal memberi manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat, baik untuk urusan dunia dan terlebih urusan akhirat mereka.
Dalam Islam, pengetahuan adalah kebenaran tentang hakikat Tuhan, ciptaan-Nya dan seluruh fenomena kehidupan, yang diperoleh melalui wahyu, pemikiran dan pengalaman manusia. Setiap ide dan gagasan harus didukung dengan bukti kebenarannya, bukan sekedar dari prasangka dan hawa nafsu. Tanpa meyakini kebenarannya, kita hanya akan berdusta.
“… Adakah kamu memiliki pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka dan kamu tidak lain hanyalah berdusta”. (QS Al-An’âm: 148)
Maka, esensi mendasar dari ilmu dan pengetahuan adalah ia harus membawa kita kepada kebenaran. Untuk menjamin hal ini maka ilmu yang dipelajari dan dikembangkan harus diperoleh dari sumber yang diyakini pasti kebenarannya, yaitu Tuhan.
“ … dan (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS An-Nisâ: 126)
Islam menghormati akal dan pikiran rasional, namun Islam menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan. Karena itu, tidak layak bila kita terkungkung semata dengan pikiran rasional atau investigasi ilmiah dengan mengabaikan sumber ilmu paling terpercaya: wahyu Tuhan. Allah SWT telah memberikan kepada manusia panduan hidup yang sempurna tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui seluruh urusan, baik hal-hal yang terlihat dan terlebih hal-hal yang tidak terlihat. Islam menyatukan antara hal-hal yang dapat diobservasi dengan hal-hal yang tidak dapat diobservasi, mempercayai hal-hal yang nyata maupun yang tidak terlihat. Sesuatu yang dapat diobservasi tidak selalu benar, dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat diobservasi tidak selalu salah.
Dengan demikian, Islam melarang kita menggantungkan diri sepenuhnya pada akal dan rasionalitas untuk penjelasan dan penyelidikan ilmiah. Kita dilarang untuk memaksakan diri atau berspekulasi atas sesuatu hal yang kita tidak cukup memiliki pengetahuan tentangnya. Tidak semua realitas selalu harus dapat dijelaskan atau diprediksi secara ilmiah.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya …” (QS Al-Isrâ’:36)
Dalam Islam maka pengetahuan yang diperoleh dari wahyu adalah pengetahuan absolut (haqq al-yaqin), bentuk pengetahuan tertinggi yang terjamin kebenarannya. Pemikiran rasional dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, namun intelektualitas manusia memiliki keterbatasan sehingga tetap membutuhkan wahyu untuk memastikan kebenarannya. Demikian pula panca indera dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan (ayn al yaqin), namun juga memiliki keterbatasan. Dengan demikian, pengetahuan yang kita peroleh dari rasionalisme dan empirisme tidak boleh bertentangan dengan wahyu.
Rasionalisme dan empirisme semata tidak cukup untuk menjamin kita sampai pada kebenaran. Keterbatasan akal dan panca indera manusia akan membuat kebenaran dari pengetahuan manusia selalu bersifat relatif. Ketika kita bergantung sepenuhnya pada akal dan pada saat yang sama mengabaikan pengetahuan dari wahyu Tuhan, maka hal itu akan menyesatkan kita dari kebenaran.
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS An-Najm: 28)

Islamisasi Ilmu
Dalam Islam, ilmu, karena bersumber dari Tuhan, seharusnya sempurna, permanen, netral dan universal. Namun mitos, ketidaksempurnaan akal, serta nilai-nilai dan paradigma yang tidak benar, telah mengotori ilmu sehingga menjadi tidak sempurna. Ilmu yang tidak sempurna inilah, yang tertanam dalam diri kita baik melalui sistem pendidikan formal maupun non-formal, yang menghalangi kita dari kebenaran tentang Tuhan, ciptaan-Nya, serta seluruh fenomena hidup dan kehidupan.
Mitos merupakan salah satu penyebab ketersesatan terbesar bahkan hingga di era modern, seperti Lenin dan penganut atheisme yang meyakini agama adalah candu bagi masyarakat yang menenggelamkan mereka pada khayalan-khayalan kehidupan. Ilmu juga menjadi tidak sempurna atau terkontaminasi oleh kesalahan dan bias pikiran manusia. Demokrasi, misalnya, yang menyandarkan kedaulatan sepenuhnya pada rakyat, tidak akan pernah menjadi sempurna karena kontradiksi dengan prinsip Islam bahwa kedaulatan ada pada Tuhan. Islamisasi ilmu dibutuhkan disini agar manusia tidak tersesat oleh mitos atau ketidaksempurnaan akal. Ketika ilmu sempurna, maka ia akan netral dan universal, sehingga tidak membutuhkan Islamisasi.
Berbagai disiplin ilmu modern juga bersifat tidak bebas nilai: filosofi dan isi pengetahuan merefleksikan paradigma, nilai dan kepentingan tertentu. Islamisasi dibutuhkan untuk membebaskan ilmu dari worldview yang tidak Islami ini. Dua ilmuwan dengan dua worldview yang berbeda akan menghasilkan penjelasan yang berbeda dari sebuah fenomena yang sama. Dalam konteks ini, ilmu alam dan terapan membutuhkan lebih sedikit upaya Islamisasi dibandingkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Islamisasi ilmu adalah kebutuhan, bukan kemewahan, intelektual. Ia bertujuan untuk menjamin isi dan kandungan ilmu tidak bertentangan dengan semangat dan ajaran Islam, memastikan prosedur, metodologi, dan cara memperoleh, memvalidasi dan menerapkan ilmu sejalan dengan aturan Islam, serta membuat sasaran dan tujuan dari upaya memperoleh dan menerapkan ilmu sesuai dengan ajaran Islam. Dimana dan oleh siapa ilmu ditemukan, tidak dipermasalahkan dalam Islam.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home