Thursday, September 27, 2012

Menyelamatkan Zakat Nasional ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Permohonan uji materiil UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz), mendapat kritikan tajam dari sebagian kalangan (Republika, 1/9/2012 dan 20/9/2012). Upaya uji materiil ini dipandang para pendukung UU No. 23/2011 sebagai langkah emosional yang tidak didasari pemahaman, bertentangan dengan pandangan syariah dan menghambat program penyejahteraan masyarakat miskin. Namun jika kita menelaah secara lebih jernih dan mendalam, hal sebaliknya yang justru terlihat.
UU No. 23/2011 diklaim sebagai produk legislasi yang baik, dibentuk melalui proses panjang yang transparan dan demokratis. Benar bahwa diskursus amandemen UU No. 38/1999 telah berlangsung sejak DPR periode 2004-2009, namun sejak awal pula selalu terdapat dua draft RUU yang berseberangan: RUU versi pemerintah dan RUU versi masyarakat sipil. RUU Zakat akhirnya gagal diselesaikan DPR periode 2004-2009, dan kemudian dilanjutkan DPR periode 2009-2014 sebagai RUU inisiatif DPR. Draft RUU versi DPR, yang sangat mencerminkan aspirasi masyarakat sipil, keluar pada awal 2010. Namun respon pemerintah berupa Daftar Isian Masalah (DIM) baru keluar setahun kemudian, pada awal 2011, dan lebih merupakan draft RUU tandingan dibandingkan DIM pada umumnya.
Dua draft RUU ini yang kemudian dibahas DPR pada pertengahan 2011, dan berlangsung singkat, hanya 3 bulan. Tanpa ada debat publik, RUU ini selesai dibahas pada September 2011, kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR 27 Oktober 2011. Hasilnya, draft RUU versi DPR hilang seluruhnya. UU No. 23/2011 seluruhnya berasal dari draft RUU versi Kementrian Agama (Kemenag), nyaris tanpa “perlawanan” dari DPR. Proses panjang amandemen UU No. 38/1999 berakhir antiklimaks: ditelikung di putaran akhir. Pembentukan UU No. 23/2011 secara jelas cacat proses. Karena itu, judicial review UU ini ke MK semestinya tidak hanya uji materiil namun juga sekaligus uji formil.
UU No. 23/2011 juga diklaim tidak melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional ke pemerintah melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Sentralisasi dipandang sebagai tafsiran yang salah, tidak ada kata dan istilah sentralisasi dalam UU ini. Namun jika kita melihat Pasal 6 UU N0. 23/2011 secara jelas disebutkan bahwa yang memiliki kewenangan pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS. Hal ini merubah secara mendasar sistem desentralisasi zakat nasional dibawah Pasal 8 UU No. 38/1999 dimana pengelolaan zakat nasional tidak hanya dilakukan pemerintah (BAZ) namun juga oleh masyarakat sipil (LAZ). Dengan meniadakan LAZ dalam Pasal 6 UU No. 23/2011, pemerintah secara jelas melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional.
Sebagai implikasi paradigma sentralisasi, maka status LAZ diturunkan di Pasal 17 UU No. 23/2011 menjadi sekedar “membantu” BAZNAS. Meski memiliki status sama sebagai operator zakat nasional, namun kedudukan, hak dan kewajiban BAZNAS dan LAZ kini berbeda. Karena kewenangan pengelolaan zakat nasional hanya milik BAZNAS, maka LAZ yang hendak ikut berpartisipasi dalam pengelolaan zakat nasional adalah sub-ordinat BAZNAS: LAZ harus mendapat rekomendasi BAZNAS untuk mendapat perizinan (Pasal 18 ayat 2 huruf c) dan harus membuat pelaporan atas pengelolaan zakat ke BAZNAS (Pasal 19 dan Pasal 29 ayat 3). Karena logika sub-ordinasi, maka LAZ tidak berhak mendapat fasilitas dari pemerintah sebagaimana BAZNAS seperti pembiayaan dari APBN dan APBD (Pasal 30, 31 dan 32).
Pendukung UU No. 23/2011 mengklaim bahwa semangat UU adalah integrasi dan sinergi pengelolaan zakat nasional, dengan BAZNAS sebagai koordinator. Dibawah rezim UU No. 38/1999, zakat nasional berjalan tanpa arah, dengan kecenderungan masing-masing lembaga membesarkan diri masing-masing. Maka kemudian diklaim bahwa dengan BAZNAS menjadi koordinator zakat nasional, maka kecenderungan saat ini yang mengarah pada gigantisme korporasi zakat dapat dicegah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa dibawah UU No. 38/1999 operator zakat nasional berjalan masing-masing tanpa koordinasi dan sinergi. Karena itu dibutuhkan lembaga yang menjalankan fungsi perencanaan, regulasi dan pengawasan sehingga kinerja zakat nasional akan optimal. Operator zakat boleh, dan bahkan harus, menjadi lembaga yang besar. Hanya dengan ukuran (size) yang memadai, operator zakat akan efisien karena tercapainya economies of scale dan kapasitas lembaga akan semakin kuat sehingga pendayagunaan zakat semakin efektif. Tidak ada gigantisme dalam pengelolaan zakat. Semakin besar ukuran pengelola zakat, semakin baik kinerja zakat. Yang harus dijaga dan dipastikan adalah transparansi, integritas dan kredibilitas operator zakat. Di saat yang sama, gerak operator zakat harus diarahkan dalam sebuah perencanaan zakat nasional sehingga tercipta koordinasi dan sinergi. Disinilah kebutuhan zakat nasional terhadap regulator yang kuat dan kredibel menjadi sangat mendesak.
UU No. 23/2011 menjawab kebutuhan ini dengan memberi BAZNAS fungsi perencanaan dan pengendalian (Pasal 7 ayat 1 huruf a dan c) dan menerima laporan dari LAZ dan BAZNAS provinsi (Pasal 29 ayat 2). Padahal dalam UU No. 23/2011 ini BAZNAS juga berstatus sebagai operator zakat nasional. BAZNAS secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus operator dengan kewenangan regulator. Kewenangan otoritatif BAZNAS ini tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas. BAZNAS harus memilih: menjadi operator atau regulator. Integrasi dan sinergi zakat nasional yang akan dibangun harus didasarkan pada kesetaraan dan kemitraan, bukan atas dasar sub-ordinasi dan hegemoni. Integrasi dan sinergi akan kredibel dan bermartabat ketika dijalankan oleh lembaga yang bebas kepentingan dan fokus pada fungsi perencanaan, regulasi dan pengawasan.
Pendukung UU N0. 23/2011 juga mengklaim bahwa UU tetap mengakui LAZ, tidak ada pelemahan terhadap LAZ. LAZ tetap beroperasi sebagaimana biasa hanya dengan satu kewajiban tambahan, yaitu pelaporan ke BAZNAS. Benar bahwa LAZ tetap diakui dalam UU ini, namun LAZ kini diturunkan status-nya sebagai subordinat BAZNAS. Dengan logika sentralisasi dan subordinasi, UU No. 23/2011 sama sekali tidak memberi insentif bagi perkembangan LAZ. Bahkan berbagai ketentuan dalam UU No. 23/2011 secara jelas bersifat marjinalisasi dan berpotensi mematikan LAZ.
LAZ yang telah diakui pemerintah sebelum UU No. 23/2011 tetap diakui, namun harus menyesuaikan diri paling lambat 5 tahun (Pasal 43 ayat 3 dan 4). Namun ketika harus mengajukan perizinan baru, LAZ dihadapkan pada restriksi yang sangat ketat (Pasal 18). Ketentuan paling “mematikan” adalah keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam dan mendapat rekomendasi dari BAZNAS (Pasal 18 ayat 2 huruf a dan c). Seluruh LAZ besar dan sebagian besar LAZ lainnya saat ini tidak didirikan oleh ormas, yang berbasis keanggotaan, namun oleh yayasan, yang tidak memiliki anggota. Keharusan mendapat rekomendasi BAZNAS juga berpotensi “mematikan”: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal perizinan LAZ yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Kewajiban LAZ memberi laporan ke BAZNAS semakin memperparah conflict of interest ini. Kondisi lebih sulit dialami puluhan LAZ yang belum diakui karena sejak proses amandemen UU No. 38/1999 menghangat pada 2007-2008, Kemenag melakukan “moratorium” pengukuhan LAZ.
Jika LAZ tidak memenuhi persyaratan perizinan namun tetap beroperasi, maka ia akan menghadapi ketentuan pamungkas: kriminalisasi terhadap amil illegal (Pasal 38) dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta (Pasal 40). Lengkap sudah upaya pelemahan LAZ.
Jelas terlihat bahwa UU No. 23/2011 ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ. Hak konstitusional LAZ untuk turut serta membangun masyarakat sesuai Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 dan mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum sesuai Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, tercederai secara vulgar. Menjadi aneh bila upaya judicial review terhadap UU No. 23/2011 ini tidak didukung, terutama sebagian LAZ yang “masuk angin” dan lebih memilih cari aman dengan menjadi free-rider.

Republika, "Menyelamatkan Zakat Nasional", 5 Oktober 2012.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home