Monday, July 06, 2009

Menanggulangi Krisis Listrik ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Proyek pembangkit listrik 10.000 MW menjadi salah satu topik panas dalam Pemilihan Presiden 2009. Dalam acara debat Capres, JK menuding bahwa krisis listrik salah satunya disebabkan oleh Boediono sebagai Menko Perekonomian yang menghambat proyek listrik 10.000 MW karena tidak mau memberi penjaminan untuk pendanaan perbankan. Akhirnya, penjaminan pemerintah tersebut keluar dari Menkeu, namun kendala pendanaan membuat proyek ini menjadi molor dari rencana. Dari 35 proyek pembangkit listrik 10.00 MW ini, hanya tiga proyek yang commercial on date pada tahun 2009 ini, selebihnya baru pada 2010 dan 2011.
Krisis listrik di Indonesia memang bisa dikatakan sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman bergilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan ter-interkoneksi juga masih sering mengalami masalah. Kebijakan ad-hoc jangka pendek seperti kebijakan dayamax plus dan tarif insentif-disinsentif tidak akan mampu meredam krisis.
Dampak krisis listrik ini sangat luas dan merugikan. Yang paling jelas terpukul adalah sektor industri pengguna listrik. Industri manufaktur terpaksa menurunkan produksi akibat ketidakpastian pasokan listrik. Selain merugikan industri besar seperti baja dan otomotif, industri berorientasi ekspor seperti sepatu dan tekstil juga terancam oleh turunnya kualitas produksi akibat ketidakstabilan pasokan listrik dan tidak bisa mengirim pesanan tepat waktu sehingga terancam penalti, bahkan kehilangan order. Sebagian industri bahkan terpaksa berhenti beroperasi sementara dan merumahkan karyawan-nya karena ketiadaan pasokan listrik.
Sektor lain juga tidak kalah terpukul. Pengembang perumahan, terutama tipe sederhana dan menengah, sering tidak mendapat pasokan listrik sehingga pengembang rugi karena tidak bisa melakukan serah terima dengan pembeli, rumah yang sudah dibangun jadi terbengkalai, dan modal tidak bisa berputar. Sektor perikanan yang memiliki potensi sangat besar, tidak bisa berkembang karena ketiadaan pasokan listrik untuk pabrik es dan cold storage yang sangat dibutuhkan sektor ini.
Yang paling menderita dari ketiadaan pasokan listrik ini adalah jutaan pelaku usaha kecil dan mikro karena mereka tidak memiliki alternatif pasokan lain. Pasokan listrik yang tidak stabil juga telah menurunkan kepuasan pelanggan serta merusak mesin dan perangkat lunak. Belum lagi jika kita memperhitungkan kerugian masyarakat luas. Dengan demikian, ketidakpastian pasokan listrik tidak saja menurunkan daya saing dan memperburuk iklim investasi sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi, namun juga memperburuk masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan dan kemiskinan.

Akar Permasalahan
Menimpakan seluruh kesalahan pada PLN adalah tidak bijak. Minimnya pasokan listrik sebagian memang dipicu oleh stagnasi produksi PLN. PLN sendiri yang memasok 90% kebutuhan listrik nasional, sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tinggi-nya kasus pencurian listrik hingga korupsi. Namun stagnasi produksi listrik sebagian merupakan warisan kesalahan masa lalu. Pembangunan listrik yang tidak ber-visi ke depan akibat subsidi BBM regresif, membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi dari bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan. Sampai kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Sementara itu, investasi swasta yang diharapkan masuk, terganjal oleh ketidakjelasan kerangka kebijakan (regulatory framework). Dianulirnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004, membuat karpet merah yang telah digelar kepada swasta seolah ditarik kembali. Dengan UU No. 20/2002 monopoli PLN atas bisnis listrik dihentikan. Keterbukaan pasar dan kompetisi diperkenalkan dengan penerapan sistem unbundling dimana swasta dapat masuk ke bisnis penyediaan tenaga listrik (meliputi usaha pembangkit, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem tenaga listrik) dan penunjang-nya (meliputi usaha jasa penunjang tenaga listrik dan industri penunjang tenaga listrik). Namun dibatalkannya UU Kelistrikan membuat pasar listrik kembali tertutup. Struktur tarif juga tidak kompetitif, akibatnya bisnis ini menjadi tidak menguntungkan. Ditambah dengan tinggi-nya resiko usaha dan kerentanan prospek jangka panjang, underinvestment tak terelakkan dan terjadi dari hulu (pembangkit) hingga hilir (transmisi dan distribusi).
Di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan pemulihan ekonomi pasca krisis. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan demikian, krisis listrik yang disebabkan oleh kesenjangan (gap) antara permintaan dan penawaran, sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali, sistem interkoneksi Sumatera dan daerah lainnya hanya tinggal menunggu waktu.

Agenda Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Penanggulangan krisis listrik membutuhkan kebijakan yang terpadu, menyeluruh dan visioner. Percepatan pasokan melalui proyek pembangkit listrik 10.000 MW adalah langkah tepat, namun hanya merupakan salah satu bagian saja. Dalam jangka pendek, langkah taktis-pragmatis yang paling mudah dan murah adalah kampanye penghematan dan efisiensi penggunaan listrik, terutama pada saat beban puncak (Pk. 17.00-22.00). Efisiensi tidak identik dengan menurunkan aktivitas. Efisiensi adalah menggunakan listrik seperlu-nya dan menghindari pemborosan seperti pemakaian AC, komputer, lampu dan TV yang tidak perlu. Sektor publik juga memiliki peran besar disini, seperti mengurangi pemakaian listrik untuk lampu taman, lampu hias atau air mancur. Green building yang hemat energi juga harus diperluas penerapannya secara masif.
Pengendalian permintaan juga dapat dilakukan melalui insentif tarif, terutama ketentuan insentif dan penalti untuk pemakaian listrik saat beban puncak. Namun, insentif tarif harus dilakukan secara hati-hati agar usaha mengerem pertumbuhan konsumsi listrik tidak berdampak negatif pada produksi dan iklim investasi, khususnya UKM dan sektor informal.
Dalam jangka pendek, krisis listrik juga harus dikombinasikan dengan usaha meningkatkan pasokan listrik oleh PLN secara cepat seperti menekan tingkat kehilangan (losses) dan menekan kasus pencurian. Kemampuan PLN untuk merawat, repowering dan bahkan ekspansi pembangkit, dapat dilakukan jika kondisi keuangan PLN membaik yang hanya bisa diraih melalui efisiensi dan rasionalisasi operasional yang signifikan. Sebagai misal, setiap penurunan 1-2% losses, akan meningkatkan pendapatan PLN antara Rp 0,7-1,4 triliun. Pengurangan pemakaian BBM akan menurunkan pengeluaran PLN secara signifikan mengingat biaya BBM adalah sangat mahal dibandingkan gas atau batu bara. Potensi penghematan dari efisiensi dan negosiasi ulang listrik swasta, juga signifikan bagi PLN.
Untuk jangka menengah, kita perlu mempersiapkan proyek pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang tender-nya direncanakan akan dimulai pada September 2009. Alternatif pembiayaan perlu dipikirkan, seperti dengan pembiayaan syariah atau penerbitan sukuk untuk menjaring Islamic fund yang berlimpah, terutama dana Timur Tengah. Pembangunan pembangkit tahap I yang berbasis batu bara juga perlu dikaji ulang karena batu bara terkenal memiliki polutan paling tinggi walau memiliki rasionalitas ekonomi karena harga yang murah dan ketersediaan yang besar. Kita menyambut baik bahwa pada proyek tahap II telah ada rencana diversifikasi dimana peranan batu bara tinggal 40% dan sisanya didominasi oleh energi terbarukan dan ramah lingkungan seperti pembangkit berbasis air dan panas bumi.
Sedangkan dalam jangka panjang, krisis listrik hanya bisa diatasi oleh kebijakan kelistrikan yang mengintegrasikan kebijakan energi nasional, fiskal, BUMN dan teknologi. Partisipasi swasta dan masyarakat juga amat dibutuhkan disini. Fokus utama adalah menyediakan regulatory framework dan lingkungan yang kondusif untuk investasi kelistrikan. Kerangka regulasi setidaknya harus memperjelas struktur tarif yang lebih kompetitif dengan mengizinkan perbedaan tarif antar daerah, dan memperkenalkan persaingan dengan mengijinkan BUMN/BUMD lain (bukan swasta, agar sesuai konstitusi) untuk berkompetisi dengan PLN.
Untuk wilayah Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau dengan kondisi geografis yang sulit dijangkau, krisis listrik tidak cukup hanya dengan membangun pembangkit, transmisi dan distribusi. Dibutuhkan berbagai kebijakan inovatif yang menumbuhkan inisiatif daerah, sentralisasi pengadaan listrik harus diakhiri. Ke depan, harus didorong inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan tenaga air skala kecil. Potensi mikro hidro adalah signifikan, sekitar 7.500 MW, namun yang dimanfaatkan baru 600 MW. Selain sederhana dan murah, mikro hidro juga ramah lingkungan dan potensial untuk menggerakkan ekonomi lokal dan pedesaan. Ke depan harus juga didorong gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi. Jangan lagi terjadi ironi dimana daerah lumbung energi justru mengalami krisis listrik.
Di saat yang sama, diversifikasi pembangkit listrik harus terus ditingkatkan. Indonesia memiliki cadangan sumber energi alternatif yang berlimpah. Potensi panas bumi Indonesia tercatat sekitar 27.000 MW, merupakan 40% cadangan dunia. Pembangkit geothermal dikenal sebagai energi bersih dan murah biaya operasional-nya, namun investasi-nya memang mahal. Indonesia juga memiliki potensi energi surya yang berlimpah dengan potensi 4,5 KWh/m2/hari (KBI) dan 5,1 KWh/m2/hari (KTI). Selain bersih dan bebas polusi, energi ini juga tersedia dimana-mana dan tidak memerlukan instalasi yang rumit.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home