Friday, July 03, 2009

BPK, BPKP Dan Akuntabilitas Anggaran Publik ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Akuntabilitas anggaran publik kembali mendapat sorotan. Setelah beberapa waktu lalu BPK mengeluarkan hasil audit disclaimer terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun anggaran 2008 yang juga merupakan disclaimer kelima berturut-turut dalam lima tahun terakhir, sorotan publik kali ini justru menimpa BPKP. BPKP berencana melakukan audit operasional terhadap KPK. Hal ini kembali memunculkan kisah lama tentang rivalitas BPK dan BPKP.
Di era orde baru, BPK sebagai auditor eksternal secara sistematis dilemahkan oleh pemerintah antara lain dengan mengendalikan operasional pemeriksaan-nya, membatasi alokasi anggaran dan infrastruktur lain-nya, serta mengontrol sistem SDM-nya. Pada saat itu obyek pemeriksaan BPK dibatasi hanya pada aspek pengeluaran APBN saja. Bahkan laporan BPK pun harus dikonsultasikan kepada Pemerintah melalui Setneg sebelum disampaikan kepada DPR. Perlakuan sebaliknya diberikan kepada BPKP yang merupakan auditor pemerintah. Hasilnya adalah rendahnya akuntabilitas pemerintah.
Buruknya akuntabilitas sektor publik ini kemudian berimbas ke sektor swasta melalui praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Perselingkuhan kronis antara pemerintah dan pengusaha hitam ini yang membuat fundamental perekonomian menjadi rapuh sehingga begitu mudah hancur ketika krisis menerjang. Kongkalikong pemerintah-pengusaha ini juga telah menimbulkan contingent liability yang luar biasa pada APBN yang meledak ketika krisis menerjang dalam bentuk antara lain BLBI-KLBI dan utang BUMN.

Sinergi BPK dan BPKP
Transparansi dan akuntabilitas anggaran publik adalah kunci utama dalam setiap upaya pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance. Akuntabilitas anggaran publik setidaknya ditandai oleh dua hal yaitu bebas pemborosan dan bebas korupsi. Pemborosan anggaran publik selama ini sering muncul dalam berbagai bentuk seperti pengeluaran-pengeluaran negara yang berada pada tingkat yang tidak wajar, kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat seperti studi banding dan penelitian yang tidak jelas tujuannya, serta duplikasi kegiatan baik yang bersifat lintas program maupun lintas instansi. Sementara itu korupsi anggaran hingga kini masih merajalela untuk dua alasan utama yaitu rendahnya tindak lanjut atas hasil audit BPK baik terhadap APBN, APBD ataupun BUMN/BUMD, dan lemahnya penegakan hukum atas penyalahgunaan dana publik.
Dalam kaitan inilah, peranan BPK yang telah diberi amanat konstitusi sesuai amandemen ke-tiga UUD 1945 pasal 23E sebagai satu-satunya Supreme Audit Institution (pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemeriksaan keuangan negara) menjadi sangat penting untuk tercipta-nya tranparansi dan akuntabilitas anggaran pada semua instansi publik yang menggunakan uang negara. Selain itu BPK juga mengemban tugas berat dalam pemberantasan korupsi. Sesuai Pasal 8 UU No. 15/2006 tentang BPK, hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana akan dilaporkan kepada instansi yang berwenang. Tidak berlebihan bila kemudian BPK menjadi salah satu tumpuan harapan dan garda terdepan dalam program pemberantasan korupsi.
Terkait hal ini, menjadi penting dan mendesak untuk segera mensinergikan BPK dan BPKP dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan. Konstitusi secara jelas telah mengamanatkan bahwa BPK adalah satu-satunya auditor eksternal untuk keuangan negara. Hal ini harus dipertegas sehingga tidak ada lagi pemeriksaan dilakukan oleh BPKP atau bahkan oleh auditor swasta. Lebih buruk lagi, auditor eksternal selain BPK seringkali tidak mempergunakan Standar Audit Pemerintah (SAP). Dalam rangka menghilangkan duplikasi pemeriksaan, Pemeriksaan Intern hanya dilakukan oleh Inspektorat Jenderal di lingkungan Departemen, Inspektorat di lingkungan LPND, Bawasda di lingkungan Provinsi, Kabupaten dan kota, serta oleh SPI BUMN dan BUMD yang bersangkutan, sedangkan Pemeriksaan Ekstern hanya dilakukan oleh BPK.
Untuk efisiensi pemeriksaan, peleburan BPKP ke dalam BPK menjadi isu krusial. Keberadaan BPKP selama ini telah menimbulkan duplikasi fungsi terutama antara BPKP dan BPK serta antara BPKP dan Inspektorat Jenderal. Peleburan BPKP ke dalam BPK selain akan menghilangkan duplikasi dan inefisiensi dalam pemeriksaan, juga akan memperkuat jajaran BPK yang selama ini memiliki keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dengan SDM yang lebih kuat, maka BPK dapat memperluas cakupan pemeriksaan serta memperdalam kualitas dan intensitas pemeriksaan sesuai UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sehingga laporan pemeriksaan BPK ke depan tidak lagi hanya berupa audit finansial umum, namun juga akan dilengkapi dengan audit kinerja, audit forensik (forensic audit), dan audit kejahatan (fraud audit).

Penguatan BPK
Harapan besar terhadap BPK masih berbenturan dengan kelemahan-kelemahan struktural yang selama ini melingkupi BPK. Setidaknya terdapat tiga agenda utama ke depan agar dapat mendorong kinerja BPK.
Pertama, menghapus peraturan perundang-undangan yang menghambat kerja BPK. Walau telah mendapat landasan hukum yang kuat dari konsitusi dan UU, namun sejumlah UU secara nyata telah membatasi ruang gerak BPK dalam melakukan pemeriksaan sehingga mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas keuangan negara seperti UU Perpajakan, Pasar Modal, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak, dan Perbankan khususnya tentang kerahasiaan bank.
Sebagai misal, Pasal 68 yo Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur bahwa hanya akuntan yang memperoleh izin Menteri Keuangan dan terdaftar di Bapepam yang diperbolehkan memeriksa laporan keuangan emiten, termasuk perusahaan negara yang bersifat Perseroan Terbuka. Sementara itu Pasal 52 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah membuat BPK tidak dapat memeriksa yayasan-yayasan yang terkait dengan Instansi Pemerintah baik sipil maupun militer. Banyak terdapat kasus dimana yayasan-yayasan, terutama yang terkait dengan militer, menolak untuk diaudit oleh BPK. BPK hingga kini juga belum bisa mengaudit penerimaan pajak karena terganjal Pasal 34 UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kedua, memantapkan independensi BPK. Independensi BPK ini semestinya mendapat perhatian yang memadai karena akan menjadi basis bagi efektivitas dan kualitas pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Selama ini BPK tidak independen dalam mengatur struktur organisasinya sendiri dimana pengaturan personel BPK harus tunduk pada pengaturan yang ketat oleh Menneg PAN. BPK juga tidak independen dalam anggaran dimana BPK mengajukan anggaran ke Departemen Keuangan. Semestinya anggaran BPK bersumber langsung dari DPR, bukan dari pemerintah apalagi dari auditee. Untuk anggaran ini, telah terdapat langkah maju dalam UU No. 15/2006 Pasal 35 dimana BPK mengajukan anggaran ke DPR.
Terkait hal ini, BPK juga harus mendapat landasan hukum untuk independensi legislasi yaitu BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah kantor akuntan publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan pembukuan sektor negara serta menilai hasil kerjanya. Hal ini penting karena BPK tidak akan mungkin mampu memeriksa seluruh keuangan negara sehingga BPK harus melimpahkan sebagian tugas tersebut ke KAP. Dititik inilah diperlukan standardisasi peraturan pemeriksaan untuk keuangan negara.
Ketiga, tindak lanjut atas temuan BPK. Selama ini tindak lanjut atas temuan BPK sangat rendah. Walau mekanisme baku untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK baik oleh DPR, BPK, dan Instansi terkait telah ditegaskan dalam Pasal 20 UU No. 15/2004 dan Pasal 8 UU No. 15/2006, namun pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK hanya diancam sanksi administratif kepegawaian saja. Temuan BPK juga seringkali berhenti di Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak heran bila kemudian hasil pemeriksaan BPK sering menjadi mubazir karena rendahnya tindak lajut terhadap hasil temuan BPK.
BPK sendiri juga cenderung tertutup dan ekslusif sehingga rawan menjadi lahan korupsi. Auditor dilarang keras untuk mengungkapkan proses pemeriksaan ke publik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penyusunan laporan. Di area tertutup inilah auditor “hitam” dapat bermain dengan memperjualbelikan proses pemeriksaan, bahkan sejak tahap perencanaan. Dalam menempatkan obyek pemeriksaan misal-nya, sudah ditentukan sejak awal bagian mana yang boleh diperiksa dan mana yang tidak.
Terkait hal ini diperlukan peraturan untuk mempublikasikan hasil pemeriksaan BPK ke publik. Publik sering tidak mengetahui temuan BPK walau Pasal 7 UU No. 15/2006 telah menyatakan bahwa laporan pemeriksaan yang telah disampaikan ke DPR adalah terbuka untuk umum. Laporan pemeriksaan BPK juga semestinya dibuat dalam format yang jauh lebih sederhana daripada format baku selama ini. Dengan demikian pengawasan publik akan berjalan sehingga tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan BPK akan meningkat.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home