Friday, January 16, 2009

EKONOMI BOIKOT ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI

Setiap kali duka Palestina terbuncah, setiap kali itu pula dunia mengutuk Israel. Enam dekade berlalu, namun kebijakan dan sikap Israel tidak berubah sedikit-pun. Agresi brutal Israel terus berulang dan penjajahan atas Palestina terus berjalan. Dunia tidak berdaya atas kejahatan kemanusiaan yang begitu jelas dipertontonkan Israel. Dukungan penuh Amerika Serikat dan lemahnya dunia Islam, membuat Palestina terus tercabik. Seolah tiada asa tersisa untuk Palestina.
Di tengah ketidakberdayaan ini, berbagai respon masyarakat dunia terhadap kebrutalan Israel umumnya temporer, pragmatis-jangka pendek, retorika belaka, dan seringkali tidak realistis. Walau jelas bermanfaat dan penting, namun respon-respon seperti ini cenderung tidak efektif dan tidak mampu merubah situasi secara signifikan.
Di antara sedikit pilihan-pilihan respon yang signifikan dan memiliki prospek efektifitas yang cukup tinggi, adalah boikot ekonomi. Jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan, boikot memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen aspirasi dan perlawanan yang signifikan.

Boikot Sebagai Etika Konsumsi
Boikot terhadap Israel banyak mendapat kritik. Beberapa pihak memandang boikot terhadap Israel mirip dengan boikot Nazi terhadap Yahudi pada 1930-an dan menganggap hal ini sebagai bentuk anti-semitism (Washington Post, 24 April 2007). Boikot bahkan dipandang “flimsy” dan tidak efektif karena tidak didukung oleh pemimpin Palestina sendiri (The Economist, 13 September 2007). Namun, boikot terhadap Israel juga tidak sedikit mendapat dukungan, seperti dukungan Uskup Desmond Tutu yang menyerukan komunitas Internasional untuk memperlakukan Israel sebagaimana mereka memperlakukan rezim apartheid Afrika Selatan (New Internationalist Magazine, January/February 2003).
Secara teoritis, boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tidak berimplikasi pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan sistem pasar semestinya merefleksikan moralitas dari masyarakatnya (McMurtry, 1998). Dalam sistem yang lebih komprehensif, keputusan membeli dan konsumsi tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, namun juga kriteria moral dalam seluruh aktivitas produksi.
Kriteria moral ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service economy dimana seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai itu konsumen harus turut bertanggungjawab. Dalam perspektif kapitalisme kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism).
Membeli adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan moral mereka. Dalam perspektif ini, konsumsi harus dilakukan secara positif, seperti dengan memberi preferensi pada produk halal, organik dan daur ulang.
Boikot kini telah menjadi instrument penting untuk menyuarakan aspirasi konsumen di pasar global dan untuk meningkatkan sensitifitas perusahaan terhadap kepentingan ekonomi, politik dan sosial konsumen. Tidak kurang dari 800 produk, belum termasuk negara-negara, yang kini menjadi target boikot di seluruh dunia (Ferguson, 1997).
Salah satu kasus terbaik boikot adalah kasus boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi terhadap afrika selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan (Lundahl, 1984). Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan, dan berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, apartheid berakhir. Seluruh sanksi ekonomi dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994 (Teoh, Welch and Wazzan, 1999).
Dalam perspektif ini, boikot terhadap Israel mendapatkan pembenaran. Boikot seperti ini adalah moral boycott, yaitu menolak produk yang kita percaya berasosiasi dengan perilaku tidak beretika (unethical behaviour). Boikot oleh konsumen ini menjadi semakin penting ketika pasar dan pemerintah tidak merepresentasikan collective moral choice, dengan mengabaikan moralitas dan keinginan publik. Di banyak negara, pemerintah lebih banyak menunjukkan diri sebagai collective system of hypocrisy.
Boikot juga merupakan bentuk perlawanan tanpa kekerasan (nonviolence) yang efektif. Contoh klasik disini adalah perlawanan Mahatma Gandhi terhadap Inggris di India dengan gerakan swadesi-nya. Berbeda dengan embargo yang merupakan bentuk hukuman politis yang berlaku tanpa pandang bulu, seperti yang juga dilakukan Israel di Gaza, boikot tidak akan membunuh anak-anak negeri atau membuat orang-orang menjadi kelaparan. Tujuan boikot adalah menurunkan kinerja ekonomi Israel dan dukungan ekonomi dunia terhadap Israel, dengan tujuan akhir untuk menghapus kebijakan dan perilaku kriminal Israel.
Maka hal krusial disini adalah bagaimana menerjemahkan boikot menjadi sebuah perubahan kebijakan. Mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot. Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan.

Mengelola Boikot
Boikot terhadap Israel telah lama dilakukan, bahkan sejak sebelum Israel berdiri. Gerakan boikot terhadap Israel secara resmi dideklarasikan pada 1945 oleh 7 negara Liga Arab, tak lama setelah berdirinya Liga Arab pada 1944. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negara-nya, diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948. Pada 1950, Liga Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk mengkoordinasi gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954, Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary boycott (Turck, 1977).
Walau tidak mampu melumpuhkan kekuatan ekonomi Israel, dampak boikot adalah signifikan. Israel mengalami tekanan ekonomi cukup tinggi dan banyak kehilangan peluang investasi dan perdagangan. Salah satu dampak terbesar yang diderita Israel akibat blokade negara-negara Arab adalah tingginya inflasi dan turunnya daya saing di pasar internasional akibat mahalnya biaya transportasi dan bahan baku, termasuk minyak (Losman, 1972). Bukti lain dari signifikansi boikot ini adalah reaksi sekutu utama Israel, Amerika Serikat, yang berusaha menolong Israel dengan mengeluarkan “UU anti-boikot” melalui amandemen Tax Reform Act pada 1976 dan Export Administration Act pada 1977. Kedua UU ini melarang setiap individu dan perusahaan Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam boikot dengan ancaman hukuman denda dan penjara.
Namun, seiring waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh negara Arab tidak lagi menerapkan secondary dan tertiary boycott, dengan berbagai alasan, seperti
Kegagalan boikot Liga Arab disebabkan banyak faktor. Pertama, besarnya jumlah produk yang diboikot namun tidak diikuti dengan mekanisme blacklist dan pengelolaan boikot yang memadai. CBO cenderung tidak mampu mengelola boikot secara efektif. Besarnya jumlah produk yang di-blacklist juga menimbulkan resistensi anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda dan memunculkan insentif untuk berbohong dan tidak mematuhi boikot. Kedua, inkonsistensi boikot. Boikot seringkali rentan ketika berhadapan dengan kepentingan rezim berkuasa dan kroni-kroni-nya. Sebagai misal, produk militer tidak diboikot meskipun diproduksi oleh perusahaan yang masuk dalam blacklist. Jaringan hotel dan kapal pariwisata juga dikecualikan dari boikot. Ketiga, kelemahan pengawasan. Boikot menjadi tidak efektif ketika banyak produk blacklist yang di re-ekspor ke dunia Arab. Siprus disinyalir sebagai salah satu titik transshipment terbesar. Keempat, boikot kental bernuansa kewilayahan, yaitu arab, tidak bersifat universal. Padahal dukungan terhadap boikot ini bersifat lintas wilayah, agama dan ras. Kekuatan boikot akan berlipat ganda ketika boikot terhadap Israel dilakukan secara global.
Apakah kini boikot mungkin untuk dilakukan secara global? Dari perspektif social dilemma theory dan reference group theory, keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi konsumen akan probabilitas keberhasilan boikot, kerentanan konsumen terhadap pengaruh normatif sosial dan biaya yang mereka tanggung akibat boikot (Sen, Gurhan-Canli and Morwitz, 2001). Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan dalam komunikasi pro-boikot. Untuk hal ini maka menjadi penting bagi pengelola dan aktivis pro-boikot untuk secara masif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan rasional. Ketersediaan internet, memudahkan komunikasi masif dengan biaya murah. Pesan-pesan boikot harus lebih rasional dan universal, tidak semata dilandasi emosi dan semangat keagamaan.
Sedangkan biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka menjadi penting untuk berfokus pada beberapa produk “prioritas” yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Di saat yang sama, harus ada upaya sistematis untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang diboikot.
Di saat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk membangun ekspektasi bahwa boikot akan dilakukan oleh publik secara luas sehingga akan menimbulkan dampak besar. Dalam jangka pendek, ketika ketergantungan terhadap produk-produk global begitu kuat, hal ini terlihat begitu sulit. Yang dibutuhkan disini adalah langkah-langkah perintis yang konsisten. Langkah-langkah kecil ini akan membesar ketika pihak-pihak terkait akan berekspektasi gerakan boikot diikuti banyak pihak. Jepang, yang sangat tergantung pada minyak, mematuhi boikot Liga Arab karena melihat boikot diikuti semua negara Arab secara konsisten (Reingold and Lansing, 1994). Sayangnya, kita masih sedikit melihat mereka yang memilih prinsip “lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan”.

Labels: ,

2 Comments:

At Sunday, April 19, 2009 2:31:00 PM, Blogger Unknown said...

Alhamdulillah, masalah Palestine dah selesai sementara,tapi saya mau keluarsedikit dari topik. Mas, saya sedang membuat tugas akhir mengenaiisu yang sedang hangatsaat ini, yaitu mengenai CSR. Saya kesulitan untuk mencari referensi buku mas yang judulnya kalo nggak salah 'membedah konsep dan aplikasi CSR', bolehkah kiranya saya mendapatkan ebooknya atau file pdfnya dari Mas Yusuf. terima kasih atas perhatiannya.

 
At Tuesday, April 21, 2009 10:01:00 AM, Blogger islamic economics from munjul said...

Trims mas ahmad, tp saya pikir anda salah orang, saya tidak pernah menulis tentang CSR, bidang saya ekonomi syariah, makro dan regional.

 

Post a Comment

<< Home