Thursday, January 15, 2009

Menimbang Sentralisasi Pengelolaan Zakat Oleh Negara ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Dekade terakhir menjadi saksi kebangkitan dunia zakat Indonesia. Era baru ini ditandai oleh pengelolaan kolektif zakat secara profesional dan transparan oleh masyarakat sipil (civil society) yang dipelopori antara lain oleh Bamuis BNI (berdiri 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), dan Dompet Dhuafa Republika (1993). Di era baru inilah kita melihat penghimpunan dana zakat meningkat pesat dengan diikuti oleh pendayagunaan yang semakin efektif dan produktif. Zakat kemudian bertransformasi dari ranah amal-sosial-individual ke ranah ekonomi-pembangunan-keummatan.
Kehadiran UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat semakin meneguhkan peran masyarakat sipil ini dengan diakomodasi-nya Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya merupakan prakarsa masyarakat, dan diposisikan sejajar dengan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah. Dari UU ini, lahir puluhan LAZ tingkat nasional serta puluhan BAZ tingkat propinsi dan ratusan BAZ tingkat kabupaten/kota.
Di tengah gempita pengelolaan zakat oleh masyarakat sipil inilah kemudian, muncul wacana sentralisasi pengelolaan zakat menjadi sepenuhnya dilakukan oleh negara. Berdasarkan draft amandemen UU No. 38/ 1999 oleh pemerintah, LAZ di instansi pemerintah dan swasta akan dirubah statusnya menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari BAZ dalam tempo selambat-lambatnya 2 bulan sejak UU berlaku. Sedangkan LAZ yang murni prakarsa masyarakat akan diintegrasikan ke dalam BAZ sebagai wadah tunggal dalam tempo 6 bulan. Apakah pengelolaan zakat sepenuhnya oleh negara dan dengan jadwal sangat ketat ini merupakan jawaban tunggal yang tepat atas belum optimalnya kinerja zakat selama ini?

Pengelolaan Zakat di Era Kontemporer
Secara historis-yuridis, tak ada perdebatan bahwa zakat seharusnya dikelola oleh negara (QS 9: 103). Jumhur ulama sepakat bahwa negara harus menunjuk pengumpul zakat. Bukti sejarah juga secara jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para penerusnya mengirim para pengumpul zakat kepada para wajib zakat. Namun dalam konteks kontemporer saat ini dimana mayoritas negara muslim adalah sekuler, maka pengelolaan zakat menjadi suatu eksperimen baru yang sangat beragam.
Secara umum, terdapat 3 bentuk pengelolaan zakat kontemporer. Pertama, pengumpulan zakat secara wajib oleh negara seperti di Pakistan, Sudan, Arab Saudi dan Malaysia. Kedua, pengumpulan zakat secara sukarela oleh negara seperti di Kuwait dan Bangladesh. Ketiga, pengumpulan zakat secara sukarela di tingkatan individual seperti di negara-negara dimana muslim adalah minoritas.
Pengalaman struktur organisasi zakat jauh lebih kompleks lagi. Di Pakistan, zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh negara. Di Malaysia, zakat dikelola di tingkat negara bagian dengan institutional arrangements yang berbeda-beda. Di Kualalumpur dan Negeri Sembilan, pengumpulan zakat dilakukan oleh perusahaan dan distribusi-nya oleh pemerintah. Bahkan di Selangor, perusahaan mengelola seluruh operasional zakat. Sedangkan di Afrika Selatan, pengelolaan zakat sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat sipil melalui lembaga nirlaba.
Posisi Indonesia tergolong unik. Sebelum keluarnya UU No. 38/1999, zakat sepenuhnya bersifat sukarela di tingkatan individual namun kemudian bangkit di tahun 1990-an sebagai gerakan sosial-ekonomi di tangan masyarakat sipil melalui berbagai lembaga amil profesional. Pasca keluarnya UU No. 38/1999, pengelolaan zakat di Indonesia secara resmi terkait dengan otoritas negara, namun masih di tingkat sukarela dan tetap mengikutsertakan peran kelompok masyarakat secara luas. Dalam konteks ini, UU No. 38/1999 bijak dan tidak ahistoris karena praktek baik yang telah berjalan tidak diganggu dan negara memilih posisi memperkuat sistem. Namun harus diakui UU No. 38/1999 masih jauh dari sempurna seperti belum berjalannya good governance yang diindikasikan dari ketidakjelasan pemisahan fungsi regulator, pengawas dan operator.
Dari perspektif ini, maka ide sentralisasi kelembagaan pengelola zakat oleh negara seperti yang diusung pemerintah dalam draft amandemen UU No. 38/1999, perlu mendapat banyak pertimbangan. Pertama, sentralisasi kelembagaan zakat oleh pemerintah tidak menjamin peningkatan kinerja, bahkan bisa menjadi bumerang. Di banyak negara muslim, penghimpunan zakat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah adalah kecil dibandingkan potensinya (Ahmed, 2004). Bahkan, meskipun sentralisasi ini diikuti dengan penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai, tetap tidak bisa menjamin kenaikan kinerja penerimaan zakat secara memuaskan. Di Pakistan, Sudan dan Arab Saudi yang menerapkan compulsory system, penghimpunan dana zakat relatif masih jauh lebih kecil dibandingkan potensinya. Namun kinerja compulsory system memang jauh lebih baik dibandingkan dengan sistem sukarela.
Kedua, wacana sentralisasi untuk peningkatan kinerja zakat adalah tidak valid, ahistoris dan mengingkari peran civil society dalam masyarakat yang demokratis. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Operasional perusahaan dan organisasi nirlaba yang transparan lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. Trust menjadi kata kunci disini. Di tengah carut marutnya reputasi birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat, maka kita sulit berharap, jika tidak bisa dikatakan mustahil, bahwa kinerja zakat akan meningkat pasca sentralisasi. Wacana ini juga ahistoris mengingat rekam jejak panjang dari organisasi nirlaba sejak tiga dekade lalu dan menafikan partisipasi masyarakat yang merupakan komponen pembangunan terpenting.
Ketiga, peningkatan kinerja zakat saat ini lebih banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menurunkan kebocoran penyaluran zakat secara individual, bukan sentralisasi kelembagaan. Berbagai pihak menunjukkan potensi zakat yang sangat besar mulai dari yang paling konservatif seperti Nasution (Rp 8,7 trilyun per tahun) dan PIRAC (Rp 9 trilyun per tahun) hingga yang paling optimis seperti PBB UIN Syarif Hidayatullah (Rp 19 trilyun per tahun) dan Sudewo (Rp 32,4 trilyun per tahun). Namun realisasi penerimaan zakat hingga kini masih berkisar di angka Rp 0,5 – 1 trilyun per tahun. Salah satu faktor dominan dari besarnya kesenjangan antara potensi dan realisasi penghimpunan zakat adalah penyaluran zakat secara individual. Yang seharusnya diperkuat pemerintah disini adalah upaya meningkatkan kapasitas dan kredibilitas BAZ dan LAZ, serta sosialisasi yang masif bahwa zakat harus ditunaikan ke lembaga amil zakat.

Arah Pengelolaan Zakat Ke Depan
Dalam negara demokratis di era partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan zakat tidak bisa disentralisasi secara tergesa-gesa. Idealisme tanpa visi hanya akan membawa pada kondisi yang tidak lebih baik, bahkan semakin buruk. Dalam jangka panjang, pengelolaan zakat oleh negara dengan sistem wajib adalah kondisi ideal. Dengan sistem wajib, maka zakat akan bersifat memaksa dengan sanksi bagi pelanggaran sehingga dipastikan penerimaan zakat akan meningkat tajam. Selain itu dengan dikelola oleh negara, pendayagunaan zakat akan jauh lebih efektif karena pemerintah telah memiliki SDM dan infrastruktur yang tersebar di seluruh negeri. Lebih jauh lagi, pendayagunaan zakat dapat disinergikan dengan program-program pembangunan lainnya.
Namun hal ini memerlukan banyak kualifikasi dan membutuhkan waktu panjang. Pertama, perubahan sistem administrasi dan pengelolaan keuangan negara. Zakat dikelola secara terpisah dari keuangan negara karena memiliki alokasi distribusi khusus (QS 9: 60). UU keuangan negara saat ini tidak mengizinkan hal ini ketika zakat menjadi penerimaan negara. Kedua, perubahan sistem perpajakan nasional. Agar tidak terjadi double taxation bagi muzakki, dibutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi yang kuat antara zakat dan pajak.
Ketiga, penyiapan kerangka kelembagaan dan reformasi SDM. Kerangka kelembagaan dan SDM yang amanah dan profesional adalah dua kata kunci penting dalam pengelolaan zakat oleh negara sepenuhnya. Keempat, masa transisi untuk memperhalus perpindahan dari era pengelolaan oleh masyarakat ke era pengelolaan oleh negara. Perubahan gradual lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan resistensi ketika dalam masa transisi diikuti dengan perbaikan yang nyata di dalam pemerintah menuju pengelolaan penuh oleh negara.
Kini, dalan jangka pendek-menengah, fokus pengelolaan zakat semestinya diletakkan pada empat aspek. Pertama, pemisahan yang jelas antara fungsi regulator, pengawas dan operator. Hal ini penting untuk meningkatkan tata kelola yang baik, peningkatan kapasitas operator dan peningkatan kepercayaan publik. Disini kita membutuhkan, katakan, Badan Zakat Indonesia (BZI) yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas dengan BAZ dan LAZ sebagai operator. Dengan kehadiran BZI maka kepercayaan muzakki akan meningkat, hak mustahiq akan terjaga dan dampak zakat akan jauh lebih terasa.
Kedua, mendorong ketaatan zakat dan menurunkan penghindaran zakat (zakah evasion) masyarakat. Terdapat dua isu besar disini yaitu merubah zakat dari pengurang penghasilan kena pajak (PPKP) menjadi pengurang pajak (tax deductible) dan sosialisasi zakat secara masif untuk merubah perilaku zakat muzakki. Untuk isu pertama, dibutuhkan koordinasi kebijakan yang kuat dengan Depkeu dan akomodasi dalam UU PPh. Untuk isu kedua, BZI dapat dibebankan tugas ini dengan dukungan anggaran pemerintah.
Ketiga, mendorong transformasi BAZ-LAZ ke arah manajemen organisasi korporasi untuk penghimpunan zakat dan mendorong sinergi pendayagunaan zakat BAZ-LAZ dengan program pemerintah. Best practice di Malaysia menunjukkan bahwa penghimpunan zakat dapat dilakukan secara sangat efisien oleh korporasi dengan penerimaan korporasi adalah persentase dari dana zakat yang dihimpun. Cara ini membuat korporasi menggunakan seluruh kemampuannya untuk mendapatkan kepercayaan dari muzakki sehingga penerimaan dana zakat adalah optimal. Di saat yang sama, sinergi pendayagunaan zakat dengan program pemerintah diyakini akan membuat zakat memiliki daya dorong yang lebih kuat dalam peningkatan kesejahteraan ummat. Dalam jangka pendek, program-program BAZ-LAZ seharusnya bisa mendapat bantuan pemerintah dengan BAZ-LAZ menyediakan dana pendamping. Dalam jangka menengah, zakat harus masuk ke dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan SNPK (Strategi Nasional Pengentasan Kemiskinan).
Keempat, sebagai implikasi dari faktor ketiga diatas, maka kapasitas kelembagaan BAZ-LAZ akan meningkat pesat, inovasi dan kreativitas menjadi hal lumrah dan persaingan akan muncul. Disinilah kemudian fungsi pengawasan oleh BZI menjadi krusial. Selain membuat regulasi penghimpunan, pendayagunaan dan pengadministrasian zakat, tugas terpenting BZI adalah melakukan pengawasan terhadap operator terkait tiga aspek yaitu pengawasan kepatuhan syariah, pengawasan transparansi finansial, dan pengawasan efisiensi ekonomi. Disini dibutuhkan supporting system yang kuat antara lain penguatan fungsi Dewan Pengawas Syariah di BAZ-LAZ, standardisasi sistem akuntansi zakat, sistem pelaporan keuangan dan sistem monitoring efisiensi operasional BAZ-LAZ.

Majalah SHARING, Desember 2008.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home