Thursday, January 15, 2009

Suku Bunga dan Ilusi Stabilitas Makroekonomi ....

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Sebagaimana telah diprediksi banyak pihak, otoritas moneter kembali menaikkan suku bunga acuan BI rate bulan Agustus 2008 ini menjadi 9%. Hal ini merupakan kenaikan ke-4 secara berturut-turut dalam 4 bulan terakhir, setelah bertahan 5 bulan di posisi terendah pada angka 8% sejak Desember 2007. Dan sebagaimana telah menjadi klasik, kenaikan BI rate ini ditujukan untuk memantapkan stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia, khususnya untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi jangka menengah.
Realisasi inflasi tahunan hingga Juli 2008 tercatat 11,9 persen, naik dari bulan sebelumnya yang 11,03 persen. Akibat kenaikan harga BBM pada Mei 2008, inflasi Januari-Juli 2008 sendiri mencapai 8,85 persen, jauh lebih tinggi dari periode sama tahun sebelumnya yang hanya 2,72 persen dan telah jauh melampaui target inflasi 2008 yang dipatok 4-6%. Tingginya tekanan inflasi bersumber dari gejolak harga minyak dan pangan dunia serta tekanan permintaan dalam negeri. Kenaikan BI rate akan menyerap ekses likuiditas melalui optimalisasi operasi pasar terbuka sehingga akan menjaga ekspektasi inflasi.
Kenaikan BI rate ini segera ditanggapi sinis oleh para pelaku sektor riil. Di tengah keterpurukan sektor riil dan lemahnya daya beli masyarakat, kenaikan BI rate menjadi pukulan telak yang semakin menenggelamkan kinerja sektor riil. Trade-off sektor riil dan moneter ini telah menjadi klasik dalam setiap kebijakan moneter berbasis bunga. Kenaikan suku bunga di satu sisi diyakini akan mampu menjaga inflasi, namun disisi lain sektor riil menjadi lesu, produksi menurun dan pengangguran meningkat.

Paradoks Manajemen Moneter Berbasis Bunga
Kebijakan moneter berbasis bunga selalu menghasilkan konflik dengan sektor riil akibat dampak inflatoir-nya melalui ekspansi jumlah uang beredar. Ketika otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dan secara simultan mengoptimalkan operasi pasar terbuka, maka ekses likuiditas diserap, keinginan meminjam menurun, sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat jumlah uang beredar mengalami kontraksi sehingga menurunkan tekanan terhadap kenaikan harga.
Namun rasionalitas ini tidak sahih secara empiris. Pertama, tingkat aktual suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang secara signifikan. Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bunga yang lebih tinggi dari kewajiban bunga dana pihak ketiga yang mereka himpun. Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial, atau meningkatkan size of the spread. Maka, ekspansi uang beredar dari sektor perbankan bisa terus berlanjut meskipun ketika suku bunga tinggi.
Kedua, perilaku konsumen tidak selalu sensitif terhadap suku bunga. Ketika konsumen benar-benar membutuhkan suatu barang, mereka tetap akan meminjam untuk membeli barang tersebut meskipun dengan suku bunga yang lebih tinggi. Dalam masyarakat yang konsumtif dan hedonis, suku bunga tinggi juga tidak berperan banyak dalam menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, sebagai kombinasi dari faktor pertama dan kedua, kenaikan suku bunga hanya akan mendorong neraca debit dan kredit untuk meningkat lebih cepat. Dalam jangka panjang, baik jumlah uang beredar maupun tingkat utang dalam perekonomian akan meningkat.
Mengendalikan inflasi dengan suku bunga tinggi hanyalah obat penenang jangka pendek, namun tidak menyelesaikan akar masalah. Ketika bank sentral melakukan operasi pasar terbuka untuk menurunkan uang beredar dalam peredaran, bank sentral melakukannya dengan menjual surat berharga ke publik tanpa membelanjakan kembali dana yang ditarik tersebut. Dengan demikian, hal ini akan membuat uang beredar mengalami kontraksi. Namun hal ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek, karena bank sentral harus membayar bunga ketika dana yang dihimpunnya tersebut jatuh tempo. Kebijakan suku bunga tinggi by default akan selalu berakhir dengan jumlah uang beredar yang lebih banyak. Jika pada saat yang sama tidak ada penambahan dalam kapasitas produksi perekonomian, dipastikan masalah inflasi akan berulang dalam derajat yang semakin parah.
Lebih jauh lagi, manajemen moneter berbasis bunga membawa dampak buruk terhadap pencapaian tujuan normatif perekonomian, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan stabilitas sistem. Dalam sistem berbasis bunga, kriteria utama penyaluran kredit adalah kemampuan peminjam untuk menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Penggunaan akhir dari kredit tidak terlalu mendapat perhatian. Dalam sistem seperti ini, kredit akan mengalir ke orang kaya dan sektor pemerintah, dua kelompok yang dipastikan mampu menjamin pinjaman. Faktanya, pengeluaran kelompok ini tidak selalu efisien dan produktif, serta seringkali tidak berjalan beriring dengan kepentingan masyarakat dan peradaban. Hal ini mendorong inefisiensi modal dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat terlepas dari berlimpahnya sumber daya finansial dalam perekonomian. Kenaikan suku bunga tidak selalu menurunkan pengeluaran orang kaya dan secara pasti mempengaruhi kelompok miskin secara tidak proporsional.
Terkait hal diatas, sistem bunga juga membuat kesenjangan pendapatan semakin memburuk akibat distribusi modal finansial yang sangat tidak merata. Perbankan konvensional sangat bergantung pada jaminan aset dalam penyaluran kredit. Sehingga, meskipun dana yang dihimpun perbankan berasal dari seluruh kelompok masyarakat, namun manfaat dana hanya mengalir ke kelompok kaya yang mampu menjamin kredit.
Sistem keuangan berbasis bunga secara agresif juga mendorong masyarakat dan bahkan pemerintah untuk menjadi konsumtif. Dengan ketiadaan sistem nilai yang tersosialisasi secara baik, keberadaan kredit secara mudah oleh perbankan telah mendorong kenaikan konsumsi secara berlebihan, dan mendorong turunnya tingkat tabungan. Hal ini memicu rendahnya investasi, turunnya kapasitas produksi perekonomian, tertahannya pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan ketergantungan terhadap modal asing dan pinjama luar negeri.
Pergerakan suku bunga yang fluktuatif telah menimbulkan ketidakpastian di pasar finansial dan menimbulkan kesulitan bagi pemilik dana untuk membuat keputusan investasi jangka panjang. Ketidakpastian ini membuat investasi jangka pendek meskipun spekulatif, menjadi jauh lebih atraktif. Hal ini menghasilkan fluktuasi yang tajam di pasar saham, komoditas dan valas.

Menuju Manajemen Moneter Bebas Bunga
Dalam manajemen moneter Islam, tujuan kebijakan moneter ditujukan untuk mengelola sumber daya finansial agar sejalan dengan maqashid syariah yang berfokus pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan perspektif ini, maka Islam mendorong manajemen moneter bebas bunga yang secara langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor riil. Selain meminimalkan potensi decoupling, mengkaitkan sektor moneter dan sektor riil secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun sektor privat. Dalam jangka panjang, hal ini secara substansial akan meningkatkan tingkat tabungan dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makroekonomi serta mendorong pemerataan pendapatan.
Pada saat yang sama, pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur, secara efektif akan memaksa pemilik sumber daya finansial untuk mencari peluang-peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhindar dari penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam sistem dimana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong dinamika perekonomian riil. Hal yang mirip dengan apa yang kini dilakukan oleh venture capital. Lebih jauh lagi, equity-based financial intermediation juga lebih stabil karena permintaan uang untuk kegiatan produktif dan tingkat return sektor riil adalah relatif stabil.
Setelah menstabilkan permintaan uang dan membuatnya sejalan dengan maqashid, maka tujuan kebijakan moneter berikutnya adalah mengestimasi permintaan uang dan menetapkan target pertumbuhan uang beredar yang sesuai. Pesan terpenting disini adalah bahwa pertumbuhan uang beredar harus sesuai dengan pertumbuhan sektor riil yang sejalan dengan maqashid. Friedman (1975) bahkan secara tegas mengajukan aturan (rules) kebijakan moneter, bukan diskresi, yaitu pertumbuhan uang beredar tetap sekitar 3-5% per tahun, terlepas dari pertumbuhan output dan perubahan velositas uang.
Untuk mengkontrol pertumbuhan uang beredar ini, maka menjadi keharusan bagi otoritas moneter untuk mengkontrol uang primer dan uang bank melalui penciptaan kredit. Kontrol terhadap uang primer dilakukan melalui kontrol terhadap defisit anggaran pemerintah, kredit bank sentral ke sistem perbankan dan surplus neraca pembayaran. Penghapusan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil, akan mendorong disiplin fiskal dan moneter yang lebih tinggi. Surplus neraca pembayaran dapat di-sterilisasi melalui instrument yang memungkinkan.
Kontrol kredit perbankan terpopuler adalah proposal full-reserve requirement dari Fisher (1935). Dampak esensial dari ide ini adalah menghapus kemampuan perbankan untuk menciptakan uang (money creation) sehingga jumlah uang beredar sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah. Hasil yang sama dari restrukturisasi Fisher dapat diraih dengan implementasi equity-based banking system. Lebih jauh lagi, alokasi kredit dalam Islam harus berorientasi pada pencapaian maqashid. Alokasi kredit yang tidak sejalan dengan maqashid harus dipandang sebagai inefisiensi dan kesia-siaan.
Dalam transisi menuju manajemen moneter bebas bunga ini, otoritas moneter memiliki fleksibilitas untuk melakukan pentahapan (sequencing) seiring kesiapan pasar dan instrument. Penggunaan instrument reserve requirement dapat dioptimalkan di tahap awal untuk kontrol kredit. Di tahap berikutnya, operasi pasar dengan equity-based government securities dapat diperkenalkan seiring pengembangan pasar finansial. Seiring kematangan institusi finansial dan infrastruktur pasar, manajemen moneter bebas bunga akan mendapatkan bentuk dan tempat yang ideal.

Majalah SHARING, Oktober 2008.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home