Monday, July 23, 2007

Strategi Mengefektifkan Dampak Zakat dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin ...

STRATEGI MENGEFEKTIFKAN DAMPAK ZAKAT DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

Yusuf Wibisono
Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion BAZNAS – Dompet Dhuafa “Tolok Ukur dan Strategi Mengefektifkan Impact Pemberdayaan Zakat Menuju Sistem Ekonomi Berkeadilan”, Jakarta, 14 Maret 2007.

Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi
Zakat memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui beberapa saluran, antara lain:
1. pengentasan kemiskinan. Alokasi zakat secara spesifik telah ditentukan oleh syariat (QS 9: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu: orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur ulama sepakat bahwa selain kelompok ini, haram menerima zakat. Dengan demikian, zakat secara inherent bersifat pro-poor dan self-targeted.
2. perbaikan distribusi pendapatan. Zakat hanya diambil dari orang kaya dan diberikan hanya kepada orang miskin. Dengan demikian, zakat mendistribusikan kekayaan dari orang kaya ke orang miskin di dalam perekonomian, sehingga memperbaiki distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat mengambil dua bentuk: (i) distribusi fungsional yang merujuk pada distribusi faktor produksi; (ii) distribusi kekayaan melalui transfer payments.
3. penciptaan lapangan kerja. Islam mendorong penciptaan lapangan kerja dengan memfasilitasi kerjasama bisnis (partnership) melalui pelarangan riba dan penerapan zakat. Financial resources dilarang menerima fixed rent dan financial resources yang menganggur akan terkena penalti zakat.
4. jaring pengaman sosial. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara melalui dana zakat (QS 9:60).

Mengefektifkan Dampak Zakat
Zakat memiliki dampak yang menjanjikan dalam mengentaskan kemiskinan. Dan secara empiris, zakat mampu membuktikan hal tersebut. Catatan sejarah otentik menunjukkan bahwa zakat pernah mampu menuntaskan masalah kemiskinan di Yaman pada masa Khalifah Umar bin Khattab (12-22 H) dan di Mesir pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis (99-101 H) .
Meski demikian, agar zakat dapat efektif dalam mengentaskan kemiskinan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. jumlah penerimaan dana zakat yang cukup signifikan.
2. distribusi dan pendayagunaan zakat yang lebih efektif.
3. reformasi regulasi dan institusi

Meningkatkan Penerimaan Zakat: Beberapa Isu Fiqh
Zakat memiliki potensi yang menjanjikan bagi perekonomian, namun dampak zakat tersebut baru akan terasa pada tingkat yang diharapkan jika dana zakat terkumpul dalam jumlah yang cukup signifikan. Dana zakat sangat mungkin tidak mencukupi untuk pengentasan kemiskinan, bahkan ketika semua potensi zakat telah tergali dan jumlah orang miskin tidak besar. Kesimpulan ini tidak terlalu mengejutkan. Tidak heran bila para ulama klasik, termasuk empat imam mazhab, telah menetapkan bolehnya penarikan pajak ketika dana zakat tidak mencukupi (lihat Qardawi, terj., 1988, bagian ke-sembilan, bab VII). Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa dana zakat yang terkumpul di berbagai negara muslim kontemporer, tidak mencukupi untuk menghasilkan dampak yang diinginkan.
Kemiskinan di negara-negara muslim adalah tinggi, sehingga dibutuhkan dana pengentasan kemiskinan yang besar, berkisar antara 0,3 hingga 107,7 persen dari PDB untuk masing-masing negara. Mengandalkan dana zakat untuk pengentasan kemiskinan adalah sulit ketika PDB per kapita adalah rendah dan jumlah orang miskin adalah besar (Ahmed, 2004). Malangnya, penerimaan zakat selalu lebih rendah dari potensi-nya. Sebagai misal, penerimaan zakat di negara-negara Muslim yang mewajibkan pembayaran zakat, tidak lebih dari 0,6% PDB. Penerimaan zakat di Arab Saudi hanya 0,4-0,6% dari PDB, di Yaman tidak lebih dari 0,4% PDB, di Pakistan tidak lebih dari 0,3% PDB, dan di Sudan 0,3-05% PDB. Padahal potensi penerimaan zakat di negara-negara tersebut mencapai 3,1%-6,2% (Kahf, 1999).
Di Indonesia sendiri, pengumpulan zakat memiliki dasar hukum yang kuat namun tidak ada kewajiban dan sanksi bagi pelanggaran. Pengumpulan dana zakat walau terus meningkat dari waktu ke waktu, namun masih jauh dibawah potensi-nya.
Rendahnya penerimaan zakat di Indonesia setidaknya disebabkan karena dua hal pokok: (i) rendahnya kesadaran wajib zakat dan rendahnya kepercayaan terhadap BAZ-LAZ; (ii) potensi zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat profesi; dan (iii) rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat.
Selain masalah kesadaran dan kepercayaan, penerimaan zakat di Indonesia dapat ditingkatkan secara signifikan dengan memperluas basis zakat. Beberapa basis zakat yang signifikan namun belum tergali secara optimal antara lain adalah: (i) zakat uang; (ii) zakat barang tambang dan hasil laut; dan (iii) zakat saham dan obligasi. Hal ini memang membutuhkan beberapa prasyarat yang tidak mudah dipenuhi. Berikut ini akan dibahas lebih dalam dua basis zakat yang potensial di Indonesia yaitu zakat uang dan zakat rikaz.
1. zakat uang. Ulama kontemporer memandang bahwa uang kertas wajib dikeluarkan zakat-nya sebagaimana uang emas-perak, yaitu 2,5% (Qardawi, terj., 1988, hal 266-270; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 33). Jika dioptimalkan, potensi zakat uang adalah signifikan (lihat tabel 1). Namun perlu dipertimbangkan aspek fiqh, yaitu bahwa non-muslim tidak wajib zakat dan harta haram, seperti kekayaan yang diperoleh dari riba, tidak wajib zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 131-133). Jika potensi hanya dari perbankan syariah, maka potensi zakat uang ini akan menyusut drastis (tabel 2).


2. zakat barang tambang (rikaz). Potensi zakat barang tambang adalah menjanjikan karena: (i) rikaz meliputi semua harta yang tersimpan dan terpendam di dalam tanah; (ii) tidak memperhitungkan nisab; (iii) tidak ada haul; dan (iv) siapapun yang menemukan, baik muslim ataupun non-muslim, wajib mengeluarkan zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 410-413; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 73-78). Tarif zakat barang tambang bervariasi antara 2,5%, 5%, 10%, dan 20% sesuai dengan perbandingan antara barang yang dihasilkan dengan usaha dan biaya yang dihabiskan. Semakin sedikit tingkat kesulitan, semakin besar tarif zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 417-423).
Potensi zakat barang tambang ini di Indonesia sangat besar mengingat Indonesia dikarunia kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia adalah penghasil terbesar ke-dua di dunia untuk timah, ke-empat untuk tembaga, ke-lima untuk nikel, ke-tujuh untuk emas, dan ke-delapan untuk batu bara (World Bank, 2005). Belum lagi jika kita pertimbangkan juga minyak dan gas bumi yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
Satu perusahaan seperti PT Freeport Indonesia (FI) saja, mengeksploitasi tambang di Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia yaitu 2,16 juta kg dan cadangan tembaga terbesar ke tiga di dunia yaitu 22 juta ton, dan meraup keuntungan luar biasa dengan setiap harinya memproduksi sedikitnya 1.800 ton tembaga dan 9.000 troy ounce emas.
Dengan menggunakan nilai tambah bruto sektor pertambangan dan penggalian sebagai proksi nilai rikaz, pada 2006 kita mendapatkan estimasi potensi zakat rikaz minimal Rp 8,9 triliun dan maksimal Rp 71 triliun (tabel 3).


Distribusi Zakat: Sebuah Studi Literatur
Distribusi zakat menjadi titik paling kritis dalam strategi mengefektifkan dampak pemberdayaan zakat. Untuk itu penting diperhatikan beberapa hal berikut:
1. prioritas dalam distribusi zakat. Distribusi zakat sudah ditentukan untuk 8 ashnaf (QS 9: 60). Namun demikian, Al Qur’an menyebutkan fakir dan miskin sebagai kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat. Mereka inilah yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa mengatasi masalah kemiskinan merupakan tujuan utama zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 510). Hal ini menjadi sangat penting ketika dana zakat adalah terbatas. Untuk mewujudkan kemaslahatan, diperbolehkan tidak menyamaratakan pemberian zakat pada semua sasaran zakat, bahkan diperbolehkan memberikan zakat untuk satu sasaran saja (Qardawi, terj., 1988, hal 664-672).
2. bentuk pemberdayaan yang sesuai. Kadar zakat untuk fakir miskin tidak ditentukan menurut besarnya dana zakat yang terkumpul. Hal ini karena tujuan zakat adalah memberikan tingkat hidup yang layak sebagai seorang Muslim dengan cara memampukan mustahik untuk menghidupi diri-nya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya (Qaradhawi, terj., 2005, hal. 7-12).
Bagi fakir miskin yang sanggup bekerja namun menjadi miskin karena tidak dapat menggunakan secara penuh sumber daya mereka karena keterbatasan human, physiscal, dan financial capital yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai, zakat harus ditujukan sebagai modal produktif. Disini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang di desain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan orang miskin (Ahmed, 2004, hal 64).
Pemberian modal produktif mungkin tidak sesuai untuk kelompok pekerja atau buruh miskin yang memiliki keterbatasan waktu dan kontrak kerja. Disini zakat dapat ditujukan sebagai equity transfer yaitu pemberian zakat dalam bentuk modal saham sehingga pekerja-buruh miskin mendapat manfaat dari aktivitas ekonomi yang luas, meningkatnya motivasi kerja, dan nilai saham yang cenderung stabil (Sadeq, 2002, hal. 18).
Sedangkan bagi fakir miskin yang tidak sanggup bekerja dan mencari nafkah, zakat dapat ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. Disini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, dan anak-anak terlantar (Ahmed, 2004, hal 64).
3. menyesuaikan dengan kondisi lokal dan perkembangan terkini. Perlu untuk difikirkan bentuk pemberdayaan zakat yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan pemikiran pemberdayaan ekonomi masyarakat. Misal, dalam kondisi bencana alam, distribusi zakat semestinya tidak hanya dalam bentuk cash transfer namun juga bisa dalam bentuk cash for work.

Kerangka Regulasi dan Institusional Zakat di Indonesia
Titik kritis terakhir dalam strategi mengefektifkan dampak pemberdayaan zakat adalah reformasi regulasi dan institusi zakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan disini:
1. revisi UU Zakat. Untuk meningkatkan penerimaan zakat, terdapat beberapa point penting yang perlu dilakukan dalam revisi UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat.
a. Pemberian insentif yang memadai bagi pembayar zakat. Efek pewajiban zakat adalah signifikan dalam meningkatkan penerimaan zakat (Kahf, 2000, hal 43). Namun dibandingkan dengan wacana pewajiban zakat dan pemberian sanksi, pemberian insentif mungkin lebih cocok dan lebih efektif di Indonesia untuk alasan politik dan sosial-budaya. Dalam pemberian insentif ini, zakat harus di-integrasikan dalam sistem fiskal nasional seperti pembayaran zakat sebagai pengurang pajak, pembayaran zakat oleh BUMN/BUMD, dll.
b. Sinergi pendayagunaan zakat dengan kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Selama ini pendayagunaan zakat dalam terpisah dari program pemerintah. Ke depan perlu digagas model sinergi dalam pengentasan kemiskinan antara dana zakat dan dana pemerintah.
2. revitalisasi BAZ-LAZ. Ada beberapa agenda penting disini: (i) aliansi strategis antar BAZ-LAZ baik dalam hal penghimpunan, pendayagunaan maupun manajemen zakat; (ii) pemberdayaan amil tradisional berbasis masjid sekaligus untuk menggali potensi zakat fitrah; (iii) kejelasan fungsi regulator dan operator untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas BAZ-LAZ.

Daftar Pustaka

Ahmed, Habib. Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTI, 2004.
Bank Indonesia. Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 5, No. 1, Desember 2006.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 10/02/Th. X, 16 Februari 2007.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 9/IX/15 Februari 2006.
BPS. Berita Resmi Statistik, No. 12/VIII/16 Februari 2005.
Kahf, Monzer. “The Performance of the Institution of Zakah in Theory and Practice”, Paper Prepared for the International Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kualalumpur, April 26-30, 1999.
Kahf, Monzer. Zakah Management in Some Muslim Countries. Jeddah: IRTI, 2000.
Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadits (terj.). Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1988.
Qaradhawi, Yusuf. Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan (terj.). Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Republik Indonesia. UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT Al Ma’arif, 1996.
Sadeq, Abu al-Hasan. A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories and Administration. Jeddah: IRTI, 2002.
World Bank. “Attracting New Mining Investment”, Indonesia Policy Briefs, Jakarta, 2005.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home