Monday, July 23, 2007

Menarik Garis Kemiskinan Islam ...

Dekade terakhir menjadi saksi tumbuhnya lembaga-lembaga zakat di Indonesia secara signifikan. Di satu sisi, hal ini menggembirakan. Penghimpunan dana zakat terus meningkat, walaupun masih jauh di bawah potensinya. Di sisi lain, hal ini memunculkan tantangan bagi pendayagunaan dana zakat agar efektif dan berdampak luas di masyarakat.

Tantangan pertama dan terbesar dalam pendayagunaan dana zakat adalah bagaimana kita mendistribusikan dana zakat ke sasaran yang tepat. Sasaran yang tepat menjadi pintu pertama bagi efektifnya dampak zakat. Harus ada kesamaan cara pandang dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) terhadap mustahik. Siapa itu mustahik, di mana mereka berada, dan bagaimana karakteristik mereka?

Selama ini Baz dan LAZ masih berbeda-beda dalam menentukan kriteria mustahik. Selain mengindikasikan lemahnya konsep dan keterbatasan basis data, hal ini juga menyiratkan adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penyaluran dana zakat.

Kelemahan data kemiskinan
Mustahik yang mendapat perhatian terbesar dalam Alquran adalah fakir dan miskin (QS 9:60). Tujuan utama zakat adalah memberi kecukupan kepada golongan ini. Dengan demikian, fakir dan miskin harus menjadi prioritas utama dalam daftar penerima zakat (Qaradhawi, 1973). Di Indonesia, penyaluran dana zakat ke kelompok fakir dan miskin ini tidaklah mudah. BAZ dan LAZ tidak dapat begitu saja menggunakan data kemiskinan resmi yang ada dalam pendayagunaan dana zakat. Hal ini karena data kemiskinan yang ada memiliki sejumlah masalah.

Permasalahan basis data kemiskinan di Indonesia bersumber dari dua hal pokok. Pertama, ketiadaan garis kemiskinan yang fair dan well defined. Ketiadaan hal ini membuat data kemiskinan yang dikeluarkan BPS sering dipertanyakan banyak pihak, karena garis kemiskinan BPS sangat konservatif dan sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan.

Kedua, data kemiskinan yang dikeluarkan BPS adalah data agregat (nasional) yang merupakan hasil estimasi dari sampel. Data seperti ini tidak bisa digunakan sebagai basis program pengentasan kemiskinan yang well design dan targeted yang membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan di mana orang miskin itu berada.

Sebagai misal, untuk program JPS dan raskin pemerintah mempergunakan data BKKBN yang relatif lebih jelas karena berbasis data populasi walaupun kriterianya sangat kualitatif serta cenderung diragukan objektivitasnya. Sedangkan untuk penyaluran dana bantuan langsung tunai (BLT) di tahun 2006, pemerintah meminta BPS untuk membangun data kemiskinan baru yang memiliki 14 kriteria.

Di sini kita melihat inkonsistensi pemerintah dalam mempergunakan data kemiskinan. Untuk evaluasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data kemiskinan versi BPS, yang cenderung rendah karena garis kemiskinan yang sangat konservatif. Namun untuk implementasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data BKKBN atau membangun basis data baru yang angkanya jauh lebih tinggi, dan implisit, jauh lebih menggambarkan kondisi nyata.

Contohnya, untuk implementasi program BLT yang bertujuan meredam dampak kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, BPS membangun data baru berbasis rumah tangga dengan 14 kriteria. Dan hasilnya, jumlah rumah tangga miskin penerima BLT adalah 19,2 juta rumah tangga.

Jika kita asumsikan secara moderat setiap rumah tangga miskin memiliki 4 anggota, maka jumlah orang miskin pascakenaikan BBM 1 Oktober 2005 adalah 76,8 juta jiwa (34,91 persen). Jika setiap rumah tangga kita asumsikan memiliki 5 anggota, maka angka kemiskinan akan melonjak lebih tinggi lagi menjadi 96 juta jiwa (43,64 persen). Hal ini sejalan dengan data Bank Dunia yang mempergunakan batas garis kemiskinan berupa penghasilan 2 dolar AS per hari, menghasilkan jumlah orang miskin di tahun 2006 adalah 107,8 juta (49,0 persen). Bandingkan dengan jumlah orang miskin resmi versi BPS per Maret 2006 yang hanya 39,05 juta jiwa (17,75 persen).

Garis kemiskinan Islam
Penentuan garis kemiskinan, dan karenanya jumlah orang miskin bisa dihitung, memiliki kaitan erat dengan bagaimana kita mendefinisikan kemiskinan. Sebagai misal, dengan definisi kemiskinan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan dan bukan makanan, BPS mendapatkan garis kemiskinan senilai Rp 152.847 per kapita per bulan untuk mendapatkan jumlah orang miskin 39,05 juta jiwa per Maret 2006.

Apakah BAZ dan LAZ dapat menerima garis kemiskinan resmi versi BPS ini? Jika menerima, maka konsekuensinya adalah jika ada orang yang mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 152.847 per bulan, maka ia bukan dianggap orang miskin yang berhak menerima zakat. Jika seorang kepala rumah tangga yang menanggung kebutuhan hidup 3 anggota keluarga, mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 611.388 per bulan, ia dianggap tidak miskin.

Maka, bila melihat definisi fakir dan miskin dalam konteks penerima zakat, sulit bagi kita menerima garis kemiskinan versi BPS ini. Kita membutuhkan definisi dan garis kemiskinan baru dalam konteks penyaluran dana zakat, khususnya kepada golongan fakir dan miskin. Kita sebut saja ia adalah garis kemiskinan Islam. Dalam fikih Islam, fakir dan miskin adalah mereka yang tidak memiliki harta dan usaha sama sekali atau memiliki harta dan usaha namun tidak bisa memenuhi kebutuhan. Lalu, bagaimana kita mendefinisikan kebutuhan dalam Islam?

Qaradhawi mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang semestinya tercukupi bagi setiap orang Islam adalah jumlah makanan dan air (HR Bukhari dan Muslim), pakaian yang menutup aurat (QS 7:26, 16:5,81), tempat tinggal yang sehat (QS 16:80, 24:27), sejumlah harta untuk pernikahan (QS 16:72, 30:21), sejumlah harta untuk mencari ilmu (HR Ibnu Majah), sejumlah harta untuk berobat jika sakit (HR Ahmad), dan kelebihan harta untuk ibadah haji (QS 3:97). Jika kita bisa menyepakati hal ini, kita dapat bergerak membentuk garis kemiskinan Islam.

Dengan adanya garis kemiskinan Islam, BAZ dan LAZ dapat membentuk basis data kemiskinan baru untuk penyaluran dana zakat. Dengan demikian, penyaluran zakat diharapkan lebih tepat sasaran, khususnya untuk fakir dan miskin. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun data kemiskinan Islam yang akurat.

Di tataran makro, garis kemiskinan Islam ini juga akan berfungsi sebagai alat evaluasi alternatif untuk menilai keberhasilan program pengentasan kemiskinan pemerintah. Hal ini juga menjadi sangat relevan mengingat Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah penduduk mayoritas, maka isu kemiskinan seharusnya menjadi isu utama umat Islam. Jika data kemiskinan versi Islam ini tersedia, maka umat Islam dapat mengetahui perkembangan kesejahteraan mereka dari waktu ke waktu. Ke depan, pengumpulan data kemiskinan oleh BPS seharusnya dapat juga mengakomodasi pengumpulan data terkait dengan kepentingan penyaluran zakat dan pembentukan garis kemiskinan Islam ini.

Ikhtisar
- BAZ dan LAZ masih menghadapi kendala untuk mencapai penyaluran zakat yang tepat sasaran.
- Selama ini, penentuan kriteria fakir miskin yang berhak menerima zakat masih berbeda-beda.
- Perlu segera dirumuskan data kemiskinan versi Islam yang didasarkan pada Alquran dan hadis.
- Data tersebut akan sangat berguna untuk memantau perkembangan upaya pemberantasan kemiskinan di kalangan umat Islam.

Yusuf Wibisono
Anggota Dewan Pakar BAZNAS-Dompet Dhuafa, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEUI

Republika, "Menarik Garis Kemiskinan Islam"
Jumat, 02 Maret 2007.

Labels:

1 Comments:

At Wednesday, September 26, 2007 10:46:00 AM, Anonymous Anonymous said...

Ass,
Tadinya saya senang waktu baca judul artikel ini di republika. Pertanyaan besar saya selama ini: berapa garis kemiskinan versi islam terjawab sudah.

Ah, tetapi ternyata sama juga masih pertanyaan. Apakah baznas setuju dengan angka BPS.

Jadi, garis kemiskinan versi islam itu nominalnya berapa, Pak Ucup?

 

Post a Comment

<< Home