Stabilitas Makroekonomi yang Membosankan
Setahun pemerintahan SBY-JK dipenuhi berbagai klaim tentang keberhasilan dan kegagalan dari kinerja pemerintah, terutama di bidang ekonomi. Keberhasilan ekonomi diklaim oleh pemerintah dengan bersandar pada indikator-indikator makroekonomi mulai dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kinerja pasar modal yang cemerlang, hingga konsolidasi fiskal yang semakin mantap. Sebaliknya, para pengamat ekonomi justru menyuarakan kegagalan ekonomi dengan mendasarkan diri pada sejumlah indikator sosio-ekonomi seperti angka pengangguran dan tingkat kemiskinan (Republika, 24/10/2005).Klaim keberhasilan ekonomi yang diwakili stabilitas makroekonomi, sebenarnya bukanlah monopoli pemerintahan SBY-JK saja. Pemerintahan sebelumnya juga relatif berhasil meraih prestasi ini, bahkan dengan hasil yang lebih baik. Namun semua prestasi stabilitas makroekonomi itu tidak diikuti perbaikan dalam indikator sosio-ekonomi.
Delapan tahun sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia, nyaris tidak ada perbaikan yang berarti dalam kondisi sosio-ekonomi. Angka kemiskinan hingga kini masih tinggi sekitar 16%, ekuivalen dengan kondisi 1996. Angka pengangguran juga belum beranjak dari kisaran 10%, lebih buruk dari kondisi sebelum krisis. Pasca kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, angka-angka ini diprediksi akan semakin memburuk. Menakertrans sendiri memprediksi kenaikan pengangguran sekitar 1 juta orang (Republika, 21/10/2005). Implikasi-nya, angka kemiskinan dipastikan akan melonjak tajam.
Perdebatan diatas memunculkan sebuah pertanyaan, adakah alternatif kebijakan yang lebih superior baik dilihat dari sisi stabilitas makroekonomi maupun dari indikator sosio-ekonomi?
Stabilitas Vs Kesejahteraan
Pasca krisis ekonomi 1997, kebijakan ekonomi Indonesia berfokus pada stabilitas makroekonomi dengan menerapkan kebijakan moneter ketat, mempertahankan defisit anggaran rendah, serta serangkaian penyesuaian struktural yang bermuara pada liberalisasi dan privatisasi perekonomian. Hal ini tipikal negara-negara yang mengikuti program IMF.
Pendekatan ortodoks ala IMF ini menghasilkan biaya sosial-ekonomi bahkan politik yang sangat berat bagi rakyat Indonesia. Untuk memperbaiki nilai tukar rupiah, IMF mendorong pemerintah mempertahankan suku bunga tinggi untuk mendorong aliran modal masuk, menahan pelarian modal dan mengontrol inflasi. Pemerintah juga diminta menjalankan kebijakan anggaran ketat dengan menurunkan subsidi, menaikkan penerimaan pajak dan privatisasi, serta menjaga defisit anggaran rendah. Namun pada saat yang sama pemerintah tetap dituntut untuk memenuhi semua kewajibannya pada kreditor.
Dampak dari semua kebijakan diatas adalah luar biasa pada penurunan kesejahteraan rakyat. Kebijakan moneter ketat telah mematikan dunia usaha, melonjakkan angka pengangguran, dan meningkatkan beban utang domestik pemerintah. Kenaikan penerimaan pajak alih-alih memberi stimulus fiskal, justru menciptakan kontraksi perekonomian. Hal ini tidak lain karena sebagian besar penerimaan habis untuk membayar utang. Sedangkan privatisasi telah menjadi arena perburuan rente ekonomi tanpa memberi manfaat ekonomi yang berarti.
Ketika kondisi perekonomian tidak kunjung membaik, pada saat yang sama kemampuan masyarakat dalam menahan gejolak perekonomian justru semakin tergerus karena pengurangan subsidi yang masif dan penurunan pengeluaran sosial (pendidikan dan kesehatan). Lebih buruk lagi, prioritas anggaran untuk membayar utang telah mengalahkan anggaran untuk sektor-sektor yang berjasa besar dalam menopang kehidupan rakyat seperti pertanian, perikanan, dan UKM.
Pola kebijakan seperti ini nampak tidak mengalami perubahan berarti sejak krisis 1997 hingga kini. Tidak heran bila kemudian Indonesia terus mengalami berbagai masalah sosial-ekonomi dalam bentuk pengangguran, kemiskinan, dan distribusi pendapatan yang kian memburuk.
Solusi Islam
Dualisme hasil pembangunan yang dialami oleh perekonomian konvensional seperti dalam kasus Indonesia diatas, bersumber pada lepasnya keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter (decoupling). Perkembangan sektor moneter tidak mencerminkan perkembangan di sektor riil. Sektor moneter tumbuh cepat dengan meninggalkan sektor riil jauh dibelakangnya. Hal ini tidak lain merupakan buah dari penerapan sistem bunga.
Riba adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan riba membuat keputusan investasi terpisah dengan keputusan menabung. Pemilik modal akan selalu mendapatkan hasil tanpa peduli apapun yang terjadi di sektor riil. Maka, untuk mempertahankan sistem, perekonomian berbasis riba akan selalu menghasilkan pertumbuhan uang beredar yang lebih cepat dari pertumbuhan sektor riil. Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat dari sektor riil inilah yang kemudian mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menciptakan kemiskinan, meningkatkan kesenjangan, dan mengalihkan kedaulatan ekonomi ke tangan para pemilik modal.
Di Indonesia, penerapan suku bunga tinggi telah membawa pada kelesuan sektor riil berupa turunnya produksi dan investasi, kebangkrutan perusahaan, dan inflasi. Pada saat yang sama pemilik modal tetap harus mendapat imbalan dengan besaran tetap. Akibatnya sistem perbankan mengalami akumulasi masalah baik yang berasal dari kredit macet sektor riil maupun dari negative spread.
Untuk mencegah kehancuran sektor perbankan, BI menyalurkan BLBI dan pemerintah menyuntikkan obligasi rekap ke perbankan. Jumlah uang beredar-pun semakin melonjak dan inflasi-pun melejit. Kebijakan bunga tinggi yang semula ditujukan untuk mengurangi uang beredar dalam rangka menjaga rupiah dan inflasi, justru semakin menambah uang beredar.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, riba dilarang. Sebagai gantinya, Islam menganjurkan bagi hasil dan jual beli. Pada saat yang sama zakat diterapkan. Kombinasi hal tersebut akan membuat sektor moneter akan selalu terkait dengan sektor riil karena keputusan investasi menjadi bagian integral dari keputusan menabung.
Pada tingkat tabungan yang lebih tinggi, pembayaran zakat akan lebih tinggi, sehingga akan semakin sedikit pendapatan yang tersisa. Jika investasi tidak menjadi bagian terintegrasi dalam keputusan menabung, maka kepuasan pemilik modal dipengaruhi secara negatif oleh tabungan. Jika tabungan diikuti dengan investasi, maka kepuasan pemilik modal akan tergantung sepenuhnya pada tingkat bagi hasil dan tingkat pengembalian proyek, karena tarif zakat adalah konstan. Sebagai hasilnya, kepuasan pemilik modal secara langsung dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Jika perekonomian lesu, tingkat pengembalian proyek turun, tingkat bagi hasil turun, sehingga kepuasan pemilik modal lebih rendah. Sebaliknya, jika perekonomian sedang booming, tingkat pengembalian proyek naik, tingkat bagi hasil naik, sehingga kepuasan pemilik modal lebih tinggi. Hal ini akan membawa stabilitas dalam perekonomian.
Dalam sistem Islam, tabungan berhubungan secara positif dengan peluang dan ekspektasi investasi. Hal ini berimplikasi, ketika ekspektasi investasi menurun, tabungan akan menurun dan konsumsi naik. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat sehingga akan memperbaiki ekspektasi investasi. Hal ini tidak kita temui dalam sistem berbasis bunga. Dalam Sistem berbasis bunga, keputusan investasi sama sekali terpisah dari keputusan menabung. Dikotomi ini menjadi penyebab utama fluktuasi dalam perekonomian konvensional. Inilah hikmah firman Allah SWT: “… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … “ (QS 2: 275).
Di sisi lain, dengan penerapan zakat pemilik modal didorong untuk mempertahankan tingkat kesejahteraannya dengan meningkatkan tabungan (investasi). Pada saat yang sama, distribusi zakat akan meningkatkan pendapatan disposabel penerima zakat, dan karenanya meningkatkan konsumsi. Hasilnya, sistem zakat dalam Islam memberi jalan bagi kenaikan penawaran agregat melalui kenaikan kapasitas produksi (hasil dari keputusan menabung yang ditransformasikan ke keputusan investasi) dan pada saat yang sama juga memberi jalan bagi kenaikan permintaan agregat.
Dengan demikian, kombinasi pelarangan riba dan penerapan zakat akan membawa perekonomian pada kesejahteraan sekaligus stabilitas makroekonomi. Inilah cara Islam untuk keluar dari krisis. Jadi, kenapa mesti terus berkutat pada sistem yang telah terbukti gagal?
Republika, 26 Oktober 2005
“Klaim Keberhasilan Pemerintah”
Labels: Ekonomi Makro
3 Comments:
Jek, kayaknya lesunya perbankan syariah terkait lags dg lesunya sektor real krn dlm kondisi inflasi biasanya suku bunga riba ikut naik...so bagi hasil perbankan syariah jadi kecil. Justru kalo nasabah perbankan syariah tetap bertahan, malah menyulitkan perbankan syariah dlm menjaga likuiditasnya.
Ups itu komentar gue juga loh..
-nurman-
Jek, seharusnya sih sektor moneter bersinergi dg sektor real. Yg jadi masalah karena nilai uangnya mengalami inflasi krn uang itu sendiri menjadi komoditi. Sialnya dimana inflasi meningkat, eh suku bunga juga ikut naik dg dalih untuk menjaga IDR agar valas tidak menjadi incaran spekulan.
Jadi sebenarnya yg saya sinyalir
Deflasi---masa emas bagi perbankan syariah.
Inflasi---masa emas bagi perbankan riba
yg jadi masalah tentu alternatif bagi masyarakat bila pada saat inflasi tidak tergiur memindahkan dananya. Dan menurut saya juga bila terlalu banyak dana yg parkir di perbankan syariah tentu bakal menimbulkan kesulitan tersendiri---ingat dana idle.
Gue gak tau gimana perlakuan akuntansi bagi dana pihak ketiga di perbankan syariah. Apakah diperlakukan sbg kewajiban jangka pendek atau jangka panjang. Sebab bila kita mengacu pada Investment, tentu ada jangka waktunya, dan biasanya jangka panjang. Bila diperlakukan sbg dana jangka pendek tentu Bank mengalami kesulitan likuiditas. Dan bila diperlakukan jangka panjang, tentu berakibat kurang baik bagi pertumbuhan perekonomian. Krn seolah dana yg parkir itu unused dan spt sunk cost aja. Padahal dana2 tsb bersifat likuid.
Sekali lagi tantangan bagi perekonomian syariah ya..harus ada sinergi antara sektor riil dan moneter. Selama ini yg dirasakan akibat ekonomi rente, keduanya seolah punya dunianya masing2.
Wassalam
-nurman-
Post a Comment
<< Home