Wednesday, February 29, 2012

Reformasi Pengelolaan Dana Haji ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Dana haji kembali menyita perhatian publik. KPK (23/2/2012) mengeluarkan rekomendasi moratorium pendaftaran calon jemaah haji karena sistem akuntansi Kementrian Agama tidak mampu menjangkau keseluruhan audit dana haji dimana kini dana setoran awal BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) telah menumpuk hingga Rp 38 triliun. Tak lama berselang (25/2/2012) Menteri Agama menarik Rp 12 triliun dana haji di BPS (Bank Penerima Setoran) BPIH dan menempatkannya di sukuk negara.
BPIH adalah mahal dan dengan kecenderungan terus meningkat. Biaya haji di Malaysia tahun 2011 adalah RM 9.980 atau sekitar US$ 3.300 dengan pelayanan prima kepada jemaah, sedangkan biaya haji Indonesia di tahun yang sama berada dikisaran US$ 3.500, meningkat dari BPIH tahun 2005 yang masih di kisaran US$ 2.600. Ironisnya, mahalnya BPIH tidak berkorelasi dengan pelayanan dimana pelayanan terhadap jemaah cenderung buruk dan terjadi di hampir semua aspek seperti bimbingan haji, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, administrasi dan keamanan. Buruknya pelayanan juga merata terjadi di semua tahapan haji, mulai dari pelayanan sebelum keberangkatan, selama di tanah suci, hingga pelayanan pasca haji.
Kinerja pengelolaan dana haji juga sangat rendah. Tidak ada dampak signifikan dari dana haji yang jumlahnya begitu besar untuk peningkatan kinerja penyelenggaraan haji dan kemaslahatan umat. Dengan dana lebih dari Rp 7 triliun setiap tahunnya dan dana mengendap hingga Rp 38 triliun, BPIH harusnya murah karena tercapainya economies of scale. Pengelolaan dana haji yang tidak produktif dan juga tidak transparan membuat haji yang telah dilaksanakan puluhan tahun hanya menjadi ritual tahunan tanpa dampak ekonomi yang signifikan. Dana haji yang sangat besar seharusnya potensial digunakan untuk sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang sekaligus membebaskan dana-dana mahal jangka pendek di sektor perbankan nasional, sehingga akan menekan biaya dana (cost of fund) dan suku bunga.

Salah Kelola Dana Haji
Masalah pengelolaan dana haji telah terjadi puluhan tahun. Monopoli haji ditengarai menjadi akar masalah kisruh haji selama ini. Meski monopoli haji oleh pemerintah memberi banyak manfaat positif, seperti tidak adanya lagi kekisruhan akibat penipuan oleh penyelenggara swasta, posisi tawar ke pemerintah Arab Saudi yang lebih baik, dan efisiensi dari tercapainya skala ekonomi, namun disisi lain monopoli ini membawa banyak masalah kronis, terutama inefisiensi, unprofessional conducts dan korupsi dana haji. Akibatnya, pelayanan kepada jemaah haji cenderung rendah meskipun biaya haji mahal dan terus meningkat.
UU No. 17/1999 menguatkan pemerintah (Kemenag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah/PHU Kemenag) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Kemenag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.
Dengan kerangka regulasi ini, perhatian Kemenag lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai pelaksana haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan, sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji nyaris terabaikan. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Kemenag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh penyelenggara dan pihak-pihak terkait. Dalam sistem penyelenggaraan haji seperti ini, pengelolaan dana haji secara produktif, transparan, dan sesuai syariah, praktis terabaikan.
Sebelum tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran awal calon jemaah haji sebesar Rp 20 juta di Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH langsung masuk ke rekening Menteri Agama di BI tanpa mendapat manfaat (return) namun mendapat jaminan konversi ke US dollar. Sejak tahun 2006, setoran dana haji disimpan di BPS BPIH, dalam bentuk giro, deposito dan tabungan.
Dalam UU No. 13/2008, terdapat langkah maju dalam pengelolaan dana haji dimana dana haji didorong untuk dikelola oleh oleh perbankan syariah, namun UU masih memberi peluang bagi perbankan konvensional sepanjang memiliki unit layanan syariah. Pengelolaan dana haji juga diatur lebih rinci dan transparan dalam UU No. 13/2008 serta dikembangkan melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai syariah. Hal ini kemudian yang menjadi salah satu landasan penempatan dana haji di sukuk negara. Namun dengan tata kelola yang tetap buruk, semua faktor kondusif diatas seolah menjadi tidak berarti.

Pengelolaan Dana Haji Masa Depan
Untuk pengelolaan dana haji yang efisien, produktif, prudent, dan sesuai syariah, terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan operator bagi haji Indonesia ke depan. Pertama, model Bank Dana Haji Indonesia (BDHI) sebagai BUMN (Bank Persero), namun dengan modifikasi sebagaimana Tabung Haji Malaysia. Model ini mengharuskan BDHI juga sebagai penyelenggara pelayanan haji, sesuatu yang sulit direalisasikan tanpa reformasi regulasi yang signifikan mengingat UU Perbankan membatasi operasional bank pada kegiatan intermediasi perbankan saja. UU BUMN juga kini hanya mengenal bentuk persero dan perum yang keduanya berorientasi mengejar laba, sesuatu yang ingin dihindari dari entitas pemerintah yang mengelola haji.
Kedua, model Badan Layanan Umum (BLU), sebagai satuan kerja dibawah Kemenag, sesuai UU Perbendaharaan Negara. Model ini memiliki beberapa keunggulan yaitu, operator tetap bagian dari pemerintah, berorientasi pada pelayanan, keuangan dikonsolidasikan dalam APBN sebagai PNBP namun dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, dapat dilakukan pengamanan atas aset yang dikelola, serta diterapkannya SPM (Standar Pelayanan Minimal) atas layanan yang diberikan. Namun model ini menyisakan permasalahan tata kelola yang tak terselesaikan dengan pemain kunci tetap adalah Kemenag, yang selama ini dipersepsikan tidak kompeten dan inefisien.
Ketiga, model konsorsium perbankan syariah nasional, dengan operator haji teknis dari pihak lain. Model ini mirip dengan model pertama, namun operator haji, katakan BLU, tidak melakukan pengelolaan keuangan dan menyerahkan sepenuhnya pada perbankan syariah nasional yang kini sudah ada. Model ini adalah proposal paling realistis dalam jangka pendek dimana perbankan syariah telah memiliki kompetensi dan kelengkapan infrastruktur sebagai manajer investasi syariah.
Keempat, model Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI) sebagai badan hukum publik wali amanat yang bertanggungjawab ke Presiden. Penulis menggagas dan mendukung trust fund sebagai operator haji Indonesia masa depan. Dalam proposal ini, BPHI dibentuk dengan UU khusus. Modal awal BPHI dapat berasal dari DAU (Dana Abadi Ummat). Dalam model ini, dana haji diperlakukan sebagai dana amanat, yang dikelola dengan prinsip nirlaba (not for profit). Dana yang terkumpul dan keuntungan dari pengembangan dana haji hanya digunakan untuk kemaslahatan jemaah (trust fund). Dalam model ini, pihak pembayar BPIH, jemaah haji, harus memiliki akses ke pengambil kebijakan tertinggi haji (regulator), sekaligus sebagai pengawas.
Dalam model trust fund ini juga digagas bahwa tabungan dan pendaftaran haji diwajibkan bagi seluruh penduduk muslim dewasa (demokratisasi haji), dan haji ulang mendapat restriksi yang ketat. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan BPIH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman di sektor riil dan sesuai syariah, tidak terbatas pada deposito dan sukuk negara saja. Sebagai benchmark, Tabung Haji Malaysia yang hanya mengelola dana haji 26 ribu jemaah per tahunnya dengan biaya sekitar RM 10 ribu per jemaah, pada tahun 2009 mampu meraih keuntungan operasional RM 1,73 miliar, atau sekitar Rp 5,18 triliun. Model ini juga akan menghasilkan efisiensi yang berasal dari economies of scale karena skala bisnis yang besar, dan dari economies of scope karena pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan teknis haji akan menjadi lebih efisien dan efektif ketika dilakukan oleh satu lembaga.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home