Monday, April 02, 2012

Reformasi Pengelolaan Dana Haji ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Carut marut pengelolaan dana haji kembali mendapat sorotan. KPK (23/2/2012) mengeluarkan rekomendasi moratorium pendaftaran calon jemaah haji karena sistem akuntansi Kementrian Agama (Kemenag) tidak mampu menjangkau keseluruhan audit dana haji dimana kini setoran awal BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) telah menumpuk hingga Rp 38 triliun. Kemenag sendiri langsung menolak wacana ini, namun juga tanpa rencana perbaikan pengelolaan dana ke depan.
BPIH adalah mahal. Biaya haji 2011 di Malaysia adalah RM 9.980 (sekitar US$ 3.300) dengan pelayanan prima kepada jemaah. Di saat yang sama, biaya haji Indonesia berada dikisaran US$ 3.500. Ironisnya, mahalnya BPIH tidak berkorelasi dengan pelayanan dimana pelayanan terhadap jemaah cenderung buruk dan terjadi merata dari pelayanan sebelum keberangkatan hingga pasca haji, dari bimbingan haji hingga akomodasi.
Kinerja pengelolaan dana haji juga sangat rendah. Tidak ada dampak signifikan dari dana haji yang jumlahnya begitu besar untuk peningkatan pelayanan haji. BPIH seharusnya murah karena tercapainya economies of scale dari perputaran Rp 7 triliun dana haji setiap tahunnya dan produktivitas dana setoran awal BPIH yang Rp 38 triliun. Pada 2011, setiap jemaah haji Malaysia mendapat subsidi dari hingga RM 4.360 (sekitar Rp 13 juta), sedangkan setiap jemaah haji Indonesia hanya mendapat subsidi sekitar Rp 7 juta. Pengelolaan dana haji yang tidak produktif dan tidak transparan membuat haji yang telah dilaksanakan puluhan tahun hanya menjadi ritual tahunan tanpa dampak ekonomi yang signifikan.

Salah Kelola Dana Haji
Salah kelola dana haji telah terjadi puluhan tahun. Monopoli haji ditengarai menjadi akar masalah kisruh haji selama ini. Meski monopoli haji oleh pemerintah memberi banyak manfaat positif, seperti tidak adanya lagi kekisruhan akibat penipuan oleh penyelenggara swasta, posisi tawar ke pemerintah Arab Saudi yang lebih baik, dan efisiensi dari tercapainya skala ekonomi, namun disisi lain monopoli ini membawa banyak masalah kronis, terutama inefisiensi, unprofessional conducts dan korupsi.
UU No. 17/1999 mengukuhkan pemerintah (Kemenag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. UU No. 13/2008 telah bergerak ke arah yang tepat dengan membuat pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah/PHU Kemenag) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan ini tidak tegas dimana peran Kemenag masih sangat dominan di tiga fungsi ini. Masalah fundamental, kemenag sebagai lembaga publik yang mengelola dana masyarakat sehingga terjadi benturan kepentingan antara tujuan pelayanan publik dan mengejar laba, tetap tidak tersentuh.
Dengan kerangka regulasi ini, perhatian Kemenag lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai pelaksana haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan, sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji nyaris terabaikan. Dengan posisi monopoli yang menempatkan Kemenag sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, penyelenggaraan haji menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi oleh penyelenggara dan pihak-pihak terkait. Dalam sistem penyelenggaraan haji seperti ini, pengelolaan dana haji secara produktif, transparan, dan sesuai syariah, praktis terabaikan.
Sebelum tahun 2006, dana haji praktis menjadi aset diam dimana setoran awal BPIH sebesar Rp 20 juta di Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH langsung masuk ke rekening Menteri Agama di BI tanpa mendapat manfaat (return) namun mendapat jaminan konversi ke US dollar. Sejak tahun 2006, setoran dana haji disimpan di BPS BPIH, dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. Dana ini kian membengkak sejak Mei 2010 dimana setoran awal BPIH dinaikkan menjadi Rp 25 juta.
Dalam UU No. 13/2008, terdapat langkah maju dimana dana haji didorong untuk dikelola oleh perbankan syariah, namun perbankan konvensional masih diperbolehkan sepanjang memiliki unit layanan syariah. Pengelolaan dana haji juga diatur lebih rinci dan transparan dalam UU No. 13/2008 serta dikembangkan melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai syariah. Namun sayangnya, Kemenag kemudian menjadi sangat bergantung pada penempatan dana haji di sukuk negara dengan alasan keamanan dana.

Pengelolaan Dana Haji Masa Depan
Dalam arsitektur haji Indonesia masa depan, Kemenag semestinya memainkan peran sebagai regulator, sedangkan KPHI sebagai pengawas, termasuk aspek kepatuhan syariah. Stakeholders utama haji, jemaah haji dan masyarakat Muslim, harus mendapat akses dan representasi yang memadai di regulator maupun KPHI. Pemerintah sebagai operator haji mendapatkan dukungan sejarah dan fakta bahwa haji lebih merupakan hubungan antar pemerintah (G to G). Swastanisasi haji bukan merupakan pilihan. Reformasi operator haji, termasuk pengelolaan dana haji, lebih merupakan upaya mencari bentuk kelembagaan operator yang terbaik.
Untuk pengelolaan dana haji yang efisien, produktif, prudent, dan sesuai syariah, terdapat beberapa pilihan bentuk kelembagaan operator bagi haji Indonesia ke depan. Pertama, model Bank Dana Haji Indonesia (BDHI) sebagai BUMN (Bank Persero), namun dengan modifikasi sebagaimana Tabung Haji Malaysia. Model ini mengharuskan BDHI juga sebagai penyelenggara pelayanan haji, sesuatu yang sulit direalisasikan tanpa reformasi regulasi yang signifikan mengingat UU Perbankan membatasi operasional bank pada kegiatan intermediasi perbankan saja. UU BUMN juga kini hanya mengenal bentuk persero dan perum yang keduanya berorientasi mengejar laba, sesuatu yang ingin dihindari dari entitas pemerintah yang mengelola haji.
Kedua, model Badan Layanan Umum (BLU), sebagai satuan kerja dibawah Kemenag, sesuai UU Perbendaharaan Negara. Model ini memiliki beberapa keunggulan yaitu, operator tetap bagian dari pemerintah, berorientasi pada pelayanan, keuangan dikonsolidasikan dalam APBN sebagai PNBP namun dengan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel, dapat dilakukan pengamanan atas aset yang dikelola, serta diterapkannya SPM (Standar Pelayanan Minimal) atas layanan yang diberikan. Namun model ini menyisakan permasalahan tata kelola yang tak terselesaikan dengan pemain kunci tetap adalah Kemenag, yang selama ini dipersepsikan tidak kompeten dan inefisien.
Ketiga, model konsorsium perbankan syariah nasional, dengan operator haji teknis dari pihak lain. Model ini mirip dengan model pertama, namun operator haji, katakan BLU, tidak melakukan pengelolaan keuangan dan menyerahkan sepenuhnya pada perbankan syariah nasional yang kini sudah ada. Model ini adalah proposal paling realistis dalam jangka pendek dimana perbankan syariah telah memiliki kompetensi dan kelengkapan infrastruktur sebagai manajer investasi syariah.
Keempat, model Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI) sebagai badan hukum publik wali amanat (trust fund) yang bertanggungjawab ke Presiden. Penulis menggagas dan mendukung trust fund sebagai operator haji Indonesia masa depan. Dalam proposal ini, BPHI dibentuk dengan UU khusus. Modal awal BPHI dapat berasal dari DAU (Dana Abadi Ummat). Dalam model ini, dana haji diperlakukan sebagai dana amanat, yang dikelola dengan prinsip nirlaba (not for profit). Dana yang terkumpul dan keuntungan dari pengembangan dana haji harus dan hanya digunakan untuk kemaslahatan jemaah (trust fund). Dalam model ini, pihak pembayar BPIH, jemaah haji, harus memiliki akses ke pengambil kebijakan tertinggi haji (regulator), sekaligus sebagai pengawas.
Dalam model trust fund ini juga digagas bahwa tabungan dan pendaftaran haji diwajibkan bagi seluruh penduduk muslim dewasa (demokratisasi haji), dan haji ulang mendapat restriksi yang ketat. Pembayaran biaya haji secara terpusat dengan sistem tabungan dimuka, memungkinkan BPIH mengelola dana haji secara produktif pada sektor usaha yang aman di sektor riil dan sesuai syariah, tidak terbatas pada deposito dan sukuk negara saja. Model ini juga akan menghasilkan efisiensi yang berasal dari economies of scale karena skala bisnis yang besar, dan dari economies of scope karena pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan teknis haji akan menjadi lebih efisien dan efektif ketika dilakukan oleh satu lembaga.

Majalah Tempo, 2 April 2012

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home