Friday, December 31, 2010

Mendorong Obligasi dan Sukuk Berbasis Proyek ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI

Derasnya arus modal masuk ke emerging markets, yang dipicu kebijakan quantitative easing tahap kedua (QE2) oleh Amerika Serikat, telah menimbulkan masalah dan kekhawatiran. Di Indonesia, derasnya capital inflow telah memberi tekanan apresiasi Rupiah yang signifikan, sehingga mendorong BI melakukan intervensi untuk menjaga daya saing ekspor, terlebih China juga melakukan intervensi agresif untuk meminimalkan apresiasi Renminbi. Namun selisih kurs membuat intervensi valas ini menjadi mahal. Defisit otoritas moneter di tahun 2010 dan 2011, dipastikan akan menggerus modal BI.
Arus modal masuk, khususnya dana jangka pendek yang sangat spekulatif dan melakukan round tripping dalam rangka melakukan arbitrase dari spread imbal hasil, tidak terhindarkan di Indonesia yang menganut rezim devisa bebas. Namun size pasar modal dan pasar uang domestik yang kecil membuatnya mudah didikte investor besar asing. Indonesia juga minim kanal-kanal finansial jangka panjang. Resiko dari sudden reversal secara jelas membentang di depan mata. Ironisnya, Indonesia kini belum memiliki UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan.

Respon Awal
BI merespon arus modal masuk dengan kombinasi apresiasi rupiah dan intervensi sehingga cadangan valas meningkat dan diperkirakan akan menembus US$ 100 miliar di akhir tahun 2010, memberi modal berharga untuk menghadapi sudden reversal. Untuk mencegah inflasi dan kenaikan harga aset, BI melakukan kebijakan sterilisasi dengan mengintesifkan penjualan SBI dengan implikasi biaya operasi moneter yang meningkat. Untuk menurunkan beban biaya sterilisasi, BI menaikan giro wajib minimum (GWM) Primer dalam rupiah dari 5% menjadi 8% dari DPK rupiah efektif 1 November 2010. Kebijakan menaikkan GWM ini terlihat cukup efektif menyerap likuiditas perekonomian.
Di sisi lain, BI yang sejak awal tidak tertarik dengan capital control ataupun pajak atas capital inflow, berupaya menekan arus modal masuk dengan berbagai short-term measures. Pertama, kebijakan perpanjangan profil jatuh tempo SBI per 1 Juni 2010, dengan cara mengubah lelang SBI dari mingguan ke bulanan. Kedua, penerapan ketentuan minimum one month holding period SBI dan penerbitan SBI tenor 9 dan 12 bulan, serta meniadakan lelang SBI tenor 3 bulan. Berbagai kebijakan ini berupaya menurunkan likuiditas SBI bertenor pendek sehingga menurunkan daya tarik SBI untuk arbitrase return. Di saat yang sama, arus modal masuk dipaksa mengalir ke SBI bertenor lebih panjang. Kombinasi hal ini akan meminimalkan arus modal masuk jangka pendek yang bersifat spekulatif.
Sementara itu pemerintah berupaya menyerap dan menahan dana panas ini agar lebih lama bertahan dalam perekonomian untuk menggerakkan sektor riil, antara lain dengan mendorong BUMN untuk melakukan initial public offering (IPO) di bursa serta mengeluarkan obligasi. Namun agar optimal, hal ini membutuhkan perbaikan infrastruktur pasar dan penghilangan hambatan-hambatan masuk.
Berbagai negara telah melangkah lebih jauh dari Indonesia dalam menghadapi derasnya arus modal masuk ini. Korea Selatan melakukan currency control, termasuk pembatasan perdagangan derivatif mata uang, serta membatasi penggunaan kredit valas. Sementara itu Brazil dan Thailand mengenakan pajak atas dana asing yang ditempatkan pada surat berharga domestik.
Indonesia ke depan sebaiknya lebih mengembangkan surat utang pemerintah untuk operasi moneter, bukan surat utang bank sentral. Ke depan, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) perlu memiliki tenor dibawah 1 tahun sehingga dapat sepenuhnya menggantikan SBI. Dengan demikian, operasi moneter BI akan lebih bermanfaat karena dana penyerapan likuiditas dapat secara langsung digunakan pemerintah untuk membiayai defisit anggaran.

Mendorong Pembiayaan Proyek
Langkah terbaik menghadapi derasnya capital inflow adalah mengubah hot money menjadi IPO dan direct investment di sektor riil, sehingga mengeliminasi volatilitas-nya sekaligus mengubah masa maturity-nya. Disinilah kemudian wacana obligasi jangka panjang infrastruktur, seperti di India, menjadi menarik.
Obligasi pemerintah (Surat Berharga Negara/SBN) saat ini seluruhnya adalah general bond yang ditujukan untuk general financing APBN. SBN memang memiliki tenor jangka menengah (5 dan 10 tahun) hingga jangka panjang (15, 20 dan 30 tahun). Namun, dengan tujuan pembiayaan defisit APBN, penerbitan SBN dipastikan tidak akan mampu mengimbangi derasnya capital inflow.
Di sisi lain, Indonesia mengalami ketertinggalan dalam infrastruktur dan membutuhkan banyak modal untuk akselerasi pembangunan-nya. Maka, wacana penerbitan obligasi infrastruktur menjadi sangat relevan untuk menyerap hot money yang kini berlimpah. Terlebih dengan pengalaman skema PPP (public-private partnership) yang digulirkan secara serius sejak 2005 namun nampak kurang berhasil menarik investor untuk akselerasi pembangunan infrastruktur.
Desain yang paling realistis untuk menarik hot money ke obligasi infrastruktur adalah dengan mendesain-nya sebagai revenue bond atau revenue bond yang ditopang penerimaan pajak (hybrid bond). Dengan kata lain, dana obligasi infrastruktur akan diarahkan untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang menghasilkan penerimaan dan layak secara finansial (commercially viable) seperti infrastruktur transportasi perkotaan, telekomunikasi, energi, dan listrik. Dengan demikian, dana infrastruktur di APBN dapat difokuskan untuk pembiayaan infrastruktur yang tidak menghasilkan penerimaan namun layak secara ekonomi (economically viable) seperti infrastruktur irigasi dan pedesaan, perumahan rakyat serta air dan sanitasi.
Tantangan terbesar disini adalah perencanaan dan kesiapan proyek untuk beroperasi secara komersial. Pembangunan infrastruktur selama ini banyak terkendala pengadaan lahan sehingga menciptakan ketidakpastian yang tinggi. Disisi lain, bagi investor asing, obligasi infrastruktur ini bisa menjadi tidak menarik karena memberi penerimaan dalam mata uang lokal sehingga terdapat currency risk yang signifikan.

Sukuk Berbasis Proyek
Pilihan menarik lain yang secara langsung menghubungkan sektor finansial dan riil adalah SBN Syariah (SBSN/sukuk) berbasis proyek (project financing sukuk). Sukuk berbasis proyek telah memiliki landasan hukum yang kuat dalam UU No. 19/2008 tentang SBSN dimana SBSN dapat diterbitkan untuk membiayai pembangunan proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN. SBSN yang kini diterbitkan seluruhnya memiliki akad ijarah dengan tujuan general financing. Padahal dalam UU No. 19/2008 masih terdapat empat akad lain yang seluruhnya bertujuan project financing.
Penerbitan sukuk berbasis proyek, selain akan mendiversifikasi investor, memanfaatkan pool dana yang baru, dan menciptakan price tension, juga akan memberi pengenalan kepada investor luar negeri, khususnya investor Timur Tengah, yang kini secara serius mempertimbangkan pasar sukuk Asia pasca krisis Dubai seiring pecahnya bubble harga aset dan real estate di kawasan Teluk.
Desain paling realistis untuk menarik hot money ke dalam sukuk berbasis proyek adalah dengan mendesain sukuk musyarakah yang umumnya digunakan untuk pembiayaan proyek yang memiliki manfaat secara komersial (revenue generating project).
Struktur sukuk juga dapat didesain untuk mengakomodasi proyek build-operate-transfer (BOT), khususnya yang menghasilkan penerimaan valas sehingga akan memitigasi currency risk yang menjadi concern utama investor asing. Struktur hybrid dapat diterapkan disini seperti istishna’ untuk fase konstruksi, ijarah setelah proyek selesai, murabahah untuk penjualan produk, dan perjanjian transfer proyek ke pemerintah. Hal ini menarik bagi Indonesia yang memiliki sumber daya berlimpah yang menghasilkan hard currency seperti pertambangan dan perkebunan, sehingga dapat menurunkan ketergantungan pada perusahaan asing.
Kontrak-kontrak berbasis bagi hasil secara umum dapat digunakan untuk sekuritisasi hampir semua jenis aset yang menghasilkan arus dana yang halal dan predictable. Hal ini mencakup pembiayaan proyek baru, partisipasi pada aktivitas perusahaan yang telah berdiri, sektor industri, jasa hingga pertanian.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home