Menakar UU Perbankan Syariah ...
Yusuf WibisonoWakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI
Industri perbankan syariah kini memasuki era baru. UU Perbankan Syariah (PS) resmi disahkan oleh parlemen pada 17 Juni 2008. Dukungan regulasi ini dipastikan akan memberi dampak positif bagi perbankan syariah nasional. Perkembangan pesat perbankan syariah selama ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan regulasi. Kehadiran bank syariah pertama pada 1992, Bank Muamalat, terjadi berkat dukungan UU No. 7/1992. Perkembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999 juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 yang kemudian diperkuat oleh UU No. 3/2004.
Yang kini menjadi pertanyaan, seberapa besar dampak UU PS bagi perkembangan industri ke depan? Apakah target share 5% dapat dicapai? Hal-hal apa yang masih membutuhkan perhatian lebih dalam untuk pengembangan perbankan syariah?
Pokok-Pokok Pikiran UU PS
Secara umum, UU PS memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS, kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa.
Kedua, menjamin kepatuhan syariah (shari’ah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta pembentukan Komite Pengawas Syariah di Bank Indonesia (BI).
Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini terlihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan resiko serta pembinaan dan pengawasan. Semangat “stabilitas sistem” ini semakin terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi administratif dan ketentuan pidana.
Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak sudah berada pada arah yang tepat antara lain: [i] ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau BPR; [ii] mengizinkan kepemilikan asing secara kemitraan dengan investor domestik; [iii] mendorong spin-off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketika aset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [iv] dalam hal terjadi merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus menjadi bank syariah; [v] dana zakat dan sosial yang dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke organisasi pengelola zakat; [vi] bank syariah dapat menghimpun wakaf uang; [vii] penegasan dan landasan yang kuat untuk BPR Syariah; dan [viii] kewajiban tata kelola yang baik dan penyampaian laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi syariah.
Menakar Dampak UU PS
Dengan kecenderungan diatas, UU PS akan memiliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan syariah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan rencana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru tahun ini juga, termasuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring proses sosialisasi.
Namun beberapa agenda penting pengembangan industri perbankan syariah nampak belum mendapat perhatian memadai. Pertama, UU PS secara umum masih minim insentif untuk membesarkan size perbankan syariah. Aturan kepemilikan asing di industri perbankan syariah nasional sudah diakomodasi, namun belum memberi insentif yang memadai. Insentif untuk konversi bank konvensional menjadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum mendapat perhatian.
Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Perpres No. 77/2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun harus ada upaya agar proses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar, dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank konvensional yang telah ada dan mengkonversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini.
Namun juga harus diakui bahwa sebagian besar inisiatif lain yang dibutuhkan berada di luar wilayah UU PS ini. Karena itu maka UU PS harus segera diikuti dengan sejumlah regulasi penting lain seperti netralitas pajak untuk penyamaan level of playing field, insentif fiskal dan inisiatif yang memadai dari BI. Sejumlah negara lain telah melangkah jauh terkait hal ini. Salah satu yang paling ambisius adalah Malaysia.
Untuk mempercepat peningkatan size industri dan mendorong keterkaitan sektor finansial domestik dengan global, sektor perbankan syariah Malaysia diliberalisasi pada tahun 2004 dengan penerbitan izin untuk institusi keuangan Islam asing. Kepemilikan asing di institusi keuangan Islam dinaikkan hingga 49% dari total saham. Izin baru juga diperluas untuk perusahaan yang menjalankan bisnis perbankan syariah, takaful dan retakaful dalam mata uang internasional, dimana untuk institusi ini kepemilikan asing diperbolehkan hingga 100%, keleluasaan operasional untuk mendirikan kantor cabang atau pembantu, dan fasilitas tax holiday selama 10 tahun berdasarkan UU Pajak Pendapatan Malaysia.
Kedua, sementara UU PS memuat aturan yang ekstensif tentang kegiatan usaha dan akad syariah yang digunakan bank syariah, namun tidak diimbangi dengan ketentuan tentang institusi yang bertugas untuk product development dan sekaligus shari’ah approval. DSN-MUI seharusnya mendapat kewenangan ini dan diperkuat dengan sumberdaya agar mampu melakukan riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima permintaan fatwa dari industri. Industri ini masih sangat membutuhkan produk yang beragam sesuai kebutuhan masyarakat dan dunia usaha namun tetap terjaga shari’ah compliance-nya.
Ketiga, masalah ketiadaan payung hukum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) belum terselesaikan. Sebagai sebuah realitas sosial, eksistensi LKMS tidak bisa diabaikan. Walau telah mengatur BPRS, namun keberadaan BMT, KJKS dan LKMS lainnya tetap tidak tersentuh. Seharusnya, ada inisiatif-inisiatif untuk mendorong LKMS menjadi sehat dan kompetitif seperti insentif LKMS untuk melebur menjadi BPRS, memperkuat linkage programme, pembuatan SOP untuk pengawasan yang efektif, dll.
Meningkatkan Dampak UU PS
Untuk kasus Indonesia, inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical mass. Dengan tercapainya critical mass, perbankan syariah akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saing-nya.
Perbankan syariah membutuhkan keberpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana baik pemerintah pusat maupun daerah, pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerima negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional menjadi bank syariah.
Dibutuhkan pula penegasan kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan oleh perbankan syariah, seperti kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq dan sadaqah melalui perbankan syariah, dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji. UU No. 13/2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain itu perlu ada sosialisasi, dorongan dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah.
Selain itu, mendorong pengembangan industri perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara simultan dengan pengembangan SDM dan riset. Disini hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. Adalah hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu namun ketersediaan SDM sangat minim karena memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven.
DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan, maka perkembangan industri akan berkelanjutan karena ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.
Labels: Keuangan Islam
0 Comments:
Post a Comment
<< Home