Friday, August 01, 2008

Peran Pemerintah dalam Pengembangan Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia ...

Yusuf Wibisono - Staf Pengajar FEUI, Oktober 2007

Dekade terakhir menjadi saksi perkembangan ekonomi syariah yang sangat signifikan di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah ini setidaknya bisa ditelusuri dari tiga aspek, yaitu keilmuan, institusi dan regulasi. Dari aspek keilmuan, ekonomi syariah mulai berkembang sejak tahun 1970an dan mengalami puncaknya pada akhir 1990an. Kini perkembangannya semakin pesat dengan telah dibukanya berbagai program studi formal ekonomi syariah dari jenjang D-3 hingga S-3 di banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Sedangkan dari aspek institusi, terjadi perkembangan yang luar biasa pada institusi ekonomi syariah sejak berdirinya Bank Muamalat pada awal 1990an. Berhembusnya angin segar terhadap Islam politik yang terutama diwakili oleh ICMI, telah berdampak positif pada perkembangan institusi ekonomi syariah ini. Sejak berdirinya bank syariah, segera menyusul kemudian asuransi syariah yang dipelopori Takaful dan - organisasi pengelola zakat yang dipelopori oleh Dompet Dhuafa. Pada akhir 1990an, perkembangan ini tidak tertahankan dengan berdirinya pasar modal syariah, reksadana syariah, pasar uang syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, koperasi syariah, hingga berbagai bisnis sektor riil yang mengusung syariah dalam operasional-nya seperti hotel, MLM, penerbit buku, rumah makan, lembaga pendidikan, sampai bengkel otomotif.
Sementara itu dari sisi regulasi, perkembangannya juga terlihat sangat positif. Dimulai dari UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan konsep bank bagi hasil, berdiri bank umum syariah (BUS) pertama, Bank Muamalat. Setelah itu hadir UU No. 10/1998 tentang perubahan UU No. 7/1992 yang mengizinkan bank konvensional membuka unit usaha syariah (UUS) dan Bank Indonesia (BI) secara resmi menerima eksistensi bank syariah dalam dual banking system. UU No. 23/1999 tentang BI menegaskan tanggung jawab BI untuk mengembangkan, mengatur dan mengawasi bank syariah. UU No. 3/2004 tentang perubahan UU No. 23/1999 semakin meneguhkan peran BI ini. Tidak berhenti disitu, pada saat yang tidak berjauhan pemerintah juga mengeluarkan UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Kini di parlemen sedang dibahas secara intensif RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Terdapat banyak optimisme terhadap perkembangan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Dari berbagai perpektif, optimisme ini memiliki banyak rasionalitas. Namun menjadi berlebihan dan mencemaskan jika mengharapkan implementasi sistem ekonomi syariah berjalan cepat di jalur yang tepat tanpa ada usaha sistemik yang memadai dari berbagai pihak, terutama pemerintah, untuk mendorong-nya. Menjadi pertanyaan kini adalah, bagaimana pemerintah dapat mendorong implementasi sistem ekonomi syariah ke depan? Apa peran strategis pemerintah? Apa strategi yang harus ditempuh dan apa opsi-opsi agenda yang tersedia?

Memahami Sistem Ekonomi Syariah
Adalah keliru jika menganggap bahwa maraknya perkembangan keilmuan, institusi dan regulasi ekonomi syariah saat ini sudah identik dengan implementasi sistem ekonomi syariah secara kaffah. Yang benar adalah bahwa Indonesia baru menerapkan sebagian, bahkan sebagian kecil, dari sistem ekonomi syariah. Perbankan syariah saja yang merupakan implementasi sistem ekonomi syariah yang paling maju di Indonesia, hingga April 2007 hanya merupakan 1,66% dari total industri perbankan nasional. Karena itu menjadi tidak relevan jika banyak pihak menuntut hasil yang terlalu tinggi dari ekonomi syariah untuk penerapan yang tidak komprehensif. Sistem manapun baru akan teruji jika sudah diterapkan secara keseluruhan.
Sistem ekonomi syariah memiliki dimensi yang luas, karena ia terikat dengan syariah, terkait dengan politik-sosial, dan tertuju pada maqashid. Ia memiliki bentuk yang jelas dimana sistem berdiri diatas 3 pondasi yaitu sistem fiskal zakat, sistem moneter emas-dinar dan sistem finansial non-riba, ditegakkan oleh 2 pilar yaitu sistem alokasi (system of allocation) mekanisme pasar dengan hisbah dan sistem kepemilikan (system of ownership) pribadi, negara dan wakaf, serta dinaungi 2 atap yaitu sistem tujuan (system of objective) maqashid syariah dan sistem insentif (system of incentive) moral dan material.
Pondasi menjadi basis bagi sistem agar berjalan dengan adil dan merata. Sedangkan pilar adalah mekanisme utama dalam sistem agar produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa berjalan efisien. Dan atap akan memberi panduan bagi sistem agar mampu mencapai tujuan-tujuan normatif sesuai dengan perspektif Islam.
Dari penjelasan diatas, secara cepat kita dapat menilai bahwa implementasi sistem ekonomi syariah masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu masih sangat dibutuhkan berbagai upaya dari semua pihak, terutama pemerintah, untuk mendorong percepatan implementasi sistem ekonomi syariah ini agar ia dapat memberi hasil sebagaimana yang dijanjikan-nya. Pemerintah memiliki peran strategis disini karena ia berada dalam posisi sebagai regulator dan policy maker yang akan menentukan arah dan bentuk perekonomian yang akan dibangun.
Sistem ekonomi syariah yang baru sebagian kecil diterapkan, dalam waktu yang singkat sudah mampu memberi bukti nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda jauh dengan sistem konvensional yang sudah berpuluh tahun diterapkan secara totalitas di Indonesia, namun justru membawa perekonomian pada jurang kenestapaan. Karena itu sudah saatnya kini arah kebijakan berubah, sudah saatnya ekonomi syariah mendapat dukungan dari pemerintah secara serius. Bentuk dukungan pemerintah bagi implementasi sistem ekonomi syariah bukan dengan memanjakan, namun dengan menciptakan iklim yang kondusif, tidak memberi beban yang berlebihan dan dengan memberi peluang dan kesempatan untuk berkembang sebagai sebuah alternatif sistem yang baru tumbuh.

Dukungan Konstitusi: Peluang untuk Implementasi Ekonomi Syariah yang Lebih Cepat dan Lebih Luas
Jejak rekam implementasi sistem ekonomi syariah di Indonesia selama ini adalah positif. Dalam arti bahwa implementasi sistem berjalan dalam koridor hukum dan sistem ketatanegaraan yang ada sehingga tidak menimbulkan polemik atau pertentangan di tengah masyarakat. Ke depan, pola ini harus diteruskan. Bahkan implementasi sistem ekonomi syariah seharusnya dapat lebih besar jika kita dapat memanfaatkan peluang-peluang konstitusional yang ada.
Jika kita melihat konstitusi, maka kita melihat begitu banyak ketentuan-ketentuan ekonomi dalam konstitusi yang sangat selaras dengan nilai dan prinsip ekonomi syariah.
Dukungan konstitusi ini merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan sehingga implementasi sistem ekonomi syariah ke depan menjadi lebih besar dan lebih cepat. Hal ini tidak lain karena konstitusi adalah basis dari tata perekonomian. Konstitusi memainkan peranan penting dalam membentuk wajah perekonomian.
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 secara jelas mengindikasikan bahwa perekonomian harus berdasar atas mutualism dan brotherhood (ukhuwwah), bukan persaingan individualisme (liberalisme). Karena itu, ekonomi syariah yang berdasar atas ukhuwwah semestinya mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 selaras dengan salah satu pilar terpenting ekonomi syariah bahwa komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai secara kolektif (co-ownership) sesuai hadits Nabi Muhammad SAW “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: rumput, air dan api” (HR Abu Daud). Realisasi amanat konstitusi ini juga merupakan implementasi sistem ekonomi syariah.
Sementara pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sejalan dengan semangat maqashid syariah bahwa co-ownership ditujukan untuk kemakmuran bersama, bukan kemakmuran orang-perorang. Bahkan maqashid memiliki perspektif lebih luas bahwa kemakmuran tidak hanya berdimensi material namun juga moral dan spiritual.
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 (amandemen ke-4) semakin memperkukuh kesamaan semangat antara konstitusi dengan ekonomi syariah bahwa perekonomian harus bersifat non-exploitatory dan berbasis cooperation dengan orientasi pada pemerataan, kemandirian, dan keberlanjutan.
Jika kita melihat lebih dalam, kita akan semakin banyak menemukan dukungan konstitusi terhadap ekonomi syariah. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kesejahteraan rakyat berawal dari pekerjaan yang layak. Hal ini sangat selaras dengan ekonomi syariah yang berfokus pada sektor riil dan penciptaan lapangan kerja. Dalam sistem Islam, semua transaksi keuangan harus memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, semua aktivitas perekonomian selalu terkait dengan aktivitas sektor riil dan karenanya penciptaan lapangan kerja. Hal ini berbeda jauh dengan sistem konvensional yang menerapkan dikotomi antara sektor riil dan moneter sehingga sering menciptakan kontradiksi dalam perekonomian.
Sementara itu, pasal 34 ayat 1 UUD 1945 secara jelas selaras dengan ekonomi syariah bahwa filantropi harus dilakukan untuk yang tidak mampu bekerja secara optimal karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran. Islam memiliki banyak instrument filantropi yang semestinya dapat mendukung pemerintah untuk menunaikan salah satu amanat terpenting konstitusi ini.
Sedangkan pasal 34 ayat 2 UUD 1945 (amandemen ke-4) mengindikasikan bahwa empowerment harus dilakukan bagi rakyat yang lemah menuju self-empowerment dan dignity. Seluruh instrument filantropi Islam memiliki tujuan empowerment. Belum lagi instrument fiskal dan moneter Islam yang semuanya memiliki orientasi pada sektor riil dan karenanya berorientasi pada empowerment.
Dan pasal 34 ayat 2 UUD 1945 (amandemen ke-4) selaras dengan prinsip ekonomi syariah bahwa pemerintah dibebankan tugas untuk penyediaan kebutuhan dasar publik oleh pemerintah untuk distribusi pendapatan yang merata (welfare state).

Road-Map Implementasi Sistem Ekonomi Syariah: Agenda Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Untuk mencapai implementasi sistem ekonomi syariah yang menyeluruh, dibutuhkan pedoman strategi dan kebijakan (road-map). Road-map ini setidaknya harus memuat tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan untuk mencapai sistem ekonomi syariah disertai pelaksana, sumber daya yang dibutuhkan serta kerangka waktu. Kehadiran road-map ini sangat penting karena ia diharapkan akan menjadi panduan umum bagi semua stakeholders dalam implementasi sistem ekonomi syariah.
Penulis menilai bahwa implementasi sistem ekonomi syariah di Indonesia dalam jangka pendek sebaiknya difokuskan pada peletakan fondasi sistem dan dalam jangka panjang bisa diperluas ke elemen-elemen sistem lainnya (lihat tabel 1).

Tabel 1. Road-Map Implementasi Sistem Ekonomi Syariah di Indonesia: Sebuah Gagasan
Elemen Sistem Keterangan
Agenda Jangka Pendek
- Sistem finansial non-riba, non-gharar, non-maysir: Membebaskan sistem finansial perekonomian secara keseluruhan dari riba, gharar dan maysir, meliputi transaksi swasta, pemerintah, otoritas moneter maupun luar negeri.
- Sistem fiskal berbasis zakat: Menjadikan zakat sebagai garda terdepan sistem fiskal untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, serta dinamika dan stabilisasi perekonomian yang lebih baik.
- Sistem moneter berbasis emas-dinar: Menjaga keterkaitan sektor moneter dan sektor riil dengan menbatasi pertumbuhan sektor moneter serta mencegah decoupling dan bubble economy.
Agenda Jangka Panjang
- Sistem alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar dengan pengawasan pasar yang luas dan ketat: Alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar yang mendapat pengawasan secara luas dan ketat, meliputi aspek moral, kehalalan, kesehatan, keamanan, perlindungan lingkungan, dan persaingan usaha yang sehat.
- Sistem kepemilikan sumber daya pribadi, wakaf dan kepemilikan bersama untuk komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak: Kepemilikan sumber daya oleh pribadi secara bertanggungjawab dan sesuai tujuan normatif, wakaf sebagai motor pembangunan dan pengentasan kemiskinan, serta penguasaan komoditas strategis oleh negara untuk kepentingan dan kemakmuran bersama.
- Sistem insentif moral dan material: Insentif bagi pelaku ekonomi didorong tidak hanya oleh unsur material saja namun juga oleh unsur moral dan spiritual.
- Sistem tujuan maqashid syariah: Hasil-hasil ekonomi (economic outcomes) yang sesuai dengan maqashid yaitu perlindungan pada 5 unsur pokok kehidupan: keimanan (dien), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan kekayaan (maal).
Sumber: Assessment penulis

Road-map ini tentu tidak harus membuat implementasi sistem ekonomi syariah ke depan justru menjadi sekuensial, birokratis dan top-down. Pola pengembangan ekonomi syariah selama ini yang simultan, partisipatif dan bottom-up adalah kecenderungan positif dan harus diteruskan. Namun tetap harus ada arah dan tujuan bersama yang disepakati, titik tekan dan fokus agenda, serta program-program yang diprioritaskan. Disinilah road-map berperan sebagai panduan bagi semua stakeholders.
Agar dapat menjalankan fungsi-nya dengan baik, yang perlu mendapat perhatian adalah proses penyusunan road-map yang harus partisipatif, melibatkan semua komponen dan aplikatif. Road-map harus merupakan konsensus sosial dari masyarakat, swasta dan pemerintah sehingga tumbuh sense of ownership dan komitmen terhadap program-program road-map. Ia juga harus secara jelas memuat penanggungjawab, sumber daya yang dibutuhkan dan kerangka waktu agar bisa dijalankan secara aplikatif.

Implementasi Sistem Keuangan Syariah
Salah satu agenda jangka pendek dari road-map sistem ekonomi syariah yang harus mendapat prioritas adalah bagaimana membebaskan sistem keuangan perekonomian dari riba, gharar dan maysir dalam skala yang luas dan signifikan. Hal ini tidak lain karena implementasi sistem keuangan syariah saat ini memiliki momentum yang tepat baik global maupun domestik, mendapat dukungan politik dan publik yang luas dan karenanya sudah menjadi konsensus sosial, serta layak secara bisnis-komersial sehingga hanya membutuhkan sumberdaya minimal dan tidak akan membebani anggaran publik.
Dengan terbebaskannya sistem finansial perekonomian dari riba, gharar dan maysir, maka setiap transaksi keuangan akan memiliki transaksi riil (underlying transactions). Dengan demikian, sektor finansial ‘dipaksa’ untuk mengikuti sektor riil. Return sektor finansial ditentukan oleh sektor riil, bukan sebaliknya. Dengan demikian, tidak akan ada penggelembungan di sektor moneter (bubble economy) yang berujung pada krisis dan kenaikan harga-harga. Disinilah sistem keuangan Islam yang selalu terkait dengan sektor riil, tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi model solutif masalah perekonomian.
Dalam jangka pendek, implementasi sistem keuangan syariah sebaiknya berfokus pada perluasan jaringan dan size perbankan syariah, pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah, dan penguatan pasar uang syariah. Sedangkan dalam jangka panjang, implementasi sistem keuangan syariah sebaiknya berfokus pada membebaskan sistem keuangan nasional secara keseluruhan dari riba, gharar dan maysir.
Dikaitkan dengan agenda jangka pendek ini, target terdekat saat ini adalah mencapai share perbankan syariah 5% dari perbankan nasional pada akhir 2008 yang diusung BI melalui program “Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah” pada 11 Desember 2006 lalu. Untuk mencapai target ini dibutuhkan berbagai upaya riil –terutama dari pemerintah dan BI- yang semestinya terfokus pada tiga aspek yaitu perluasan jaringan dan size perbankan syariah, pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah, dan penguatan pasar uang syariah (lihat tabel 2).

Tabel 2. Implementasi Sistem Keuangan Syariah: Agenda Jangka Pendek untuk Mencapai Target Share 5% Perbankan Syariah pada Akhir 2008

Perluasan jaringan dan size perbankan syariah
Peran Pemerintah
- Menyelesaikan RUU PPn untuk menghapus ketentuan pajak berganda dalam transaksi syariah
- Insentif untuk investasi asing
- Menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran (BPS) haji
- Mengkonversi satu bank BUMN menjadi bank syariah
- Menyelesaikan RUU Perbankan Syariah untuk kepastian usaha
Peran BI
- Ketentuan office channeling (OC) yang lebih fleksibel agar berfungsi lebih besar dalam mendorong pertumbuhan bank syariah
- Insentif untuk investasi asing
- Ketentuan modal dasar bank induk yang lebih besar di Unit Usaha Syariah (UUS)
- Insentif untuk spin-off UUS dari bank induk

Pengayaan dan diversifikasi produk keuangan syariah
Peran Pemerintah
- Menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerimaan negara (BPSPN)
- Menggulirkan dana program ekonomi kerakyatan melalui bank syariah, BPRS dan BMT
Peran BI
- Kajian dan regulasi untuk pengayaan produk dan jasa keuangan syariah
- Ketentuan kualifikasi SDM perbankan syariah yang lebih baik dan ter-standarisasi
Penguatan pasar uang syariah
Peran Pemerintah
- Menyelesaikan RUU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN)
Peran BI
- Kebijakan BI rate yang netral terhadap sektor riil dan kebijakan SWBI yang menunjang
Sumber: Assessment Penulis

Referensi

Bank Indonesia. Statistik Perbankan Syariah. Jakarta: Mei 2007.
Bank Indonesia. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2006. Jakarta: 2007.
Chapra, M. Umer. “Monetary Management in an Islamic Economy”. Islamic Economics Studies, Vol. 4, No. 1, December 1996.
Chapra, M. Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, terj., Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
El Diwany, Tarek. The Problem with Interest, 2nd ed., London: Kreatoc Ltd., 2003.
Gardner, H. Stephen. Comparative Economic Systems, 2nd ed., Orlando: The Dryden Press, 1998.
Qaradhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj., Jakarta: Robbani Press, 2001.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat, 2004.
Swasono, Sri Edi. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustep-UGM, 2005.
Wibisono, Yusuf. “Era Baru Perbankan Syariah: Dampak UU Perbankan Syariah Terhadap Prospek Industri Perbankan Syariah Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar Menyongsong Kehadiran UU Perbankan Syariah, FHUI Depok, 9 April 2007.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home