Friday, August 01, 2008

Menggugat Televisi ...

Ada hal yang menarik dari peluncuran salah satu TV swasta nasional oleh Presiden pekan lalu. Presiden mengharapkan agar Televisi Nasional menjadi bagian dari agen perubahan dalam membangun karakter bangsa. Presiden juga menekankan bahwa Televisi harus edukatif dan mencerdaskan bangsa (Republika, 15 Februari 2008).
Namun harapan Presiden ini nampak amat jauh dari kenyataan. Televisi kini justru semakin mengkhawatirkan, menuju tingkat yang tidak bisa lagi ditoleransi dari sudut pandang apapun. Setidaknya terdapat tiga “dosa besar” televisi kita. Pertama, kehancuran moral dan budaya luhur bangsa melalui tayangan-tayangan “sampah”. Kedua, inefisiensi dan penghambur-hamburan sumber daya produktif melalui tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai tambah. Ketiga, kerusakan pola pikir dan akal sehat masyarakat melalui tayangan-tayangan “bodoh” dan “menghina akal sehat”. Dalam prakteknya, sebuah tayangan bisa memiliki lebih dari satu dampak diatas sekaligus.
Sebagai misal, tayangan infotainment setidaknya berdampak ganda yaitu merusak moral sekaligus mengakibatkan inefisiensi ekonomi. Sebagai sebuah tayangan yang tidak memiliki nilai tambah ekonomi sedikitpun, infotainment merupakan bentuk pemborosan ekonomi yang luar biasa dilihat dari aspek hilangnya waktu kerja produktif maupun distorsi sumber daya yang diakibatkannya. Di saat yang sama, isi tayangan infotainment secara jelas juga telah menghancurkan moral dan budaya luhur bangsa. Ironisnya, sebagai hasil dari mekanisme pasar tanpa moral, supply tayangan infotainment justru telah meningkat secara luar biasa, hingga 775%, dalam lima tahun terakhir. Bila di tahun 2002 frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode per minggu atau 3 episode per hari, maka di tahun 2007 angka ini telah melejit menjadi 210 episode per minggu atau 30 episode per hari! (Irianto, 2008).
Tayangan-tayangan lain juga memperlihatkan pola serupa. Setelah booming tayangan-tayangan mistik berakhir, kini mewabah tayangan-tayangan anak dan remaja. Dampak dari tayangan-tayangan ini secara umum mirip yaitu merusak moral, pola pikir dan menghamburkan-hamburkan sumber daya produktif. Bila tayangan-tayangan anak banyak mengusung “keajaiban-keajaiban” yang berpotensi besar merusak pola pikir anak, tayangan remaja penuh dengan cerita cinta picisan yang jauh dari etika dan moral luhur bangsa. Sederet tayangan lain, seperti sinetron, musik dan film-film yang membanjiri TV kita, sarat dengan pembodohan, seronok, dan sering bertabrakan dengan moral dan agama.

Televisi dan Perekonomian
Dengan karakter seperti diatas, televisi kita jauh dari peran sebagai agen pembentuk karakter bangsa. Sebaliknya, televisi kita telah berperan sebagai agen penghancur karakter bangsa. Bangsa besar ini kini tidak lagi memiliki cita-cita besar dan heroisme untuk membangun peradaban paripurna. Bangsa besar ini telah terjerembab dalam lembah budaya “menerabas”, budaya rabun dekat, ingin cepat sukses, kaya, terkenal, atau berkuasa dengan sedikit usaha, bahkan jika perlu dengan menabrak aturan moral dan hukum. Televisi kita telah menjadi kontributor besar dalam menumbuhkan dan melestarikan budaya instant ini.
Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa bangsa ini tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Lebih dari tiga dekade bangsa ini dicekoki Pancasila sebagai ideologi tunggal. Namun dalam prakteknya, Pancasila tidak pernah dijalankan. Yang ada adalah budaya hedonisme dan pragmatisme, pengejaran kemajuan materialisme dan kemewahan jangka pendek diatas kerusakan moral, sosial dan alam. Yang terlihat kemudian adalah kemunafikan massal oleh elit otoritarian-kapitalistik.
Dan kini, setelah era otoritarian jatuh, pembentukan kebudayaan justru diserahkan sepenuhnya ke pasar yang berada dibawah kendali pemilik modal penguasa media. Yang kemudian berlaku adalah logika pasar-kapitalistik. Produksi tayangan televisi sepenuhnya didasarkan pada motif maksimisasi laba. Tak heran bila kemudian rating dan iklan menjadi indikator tunggal layak tidaknya sebuah tayangan. Tak ada norma dan nilai yang bisa bermain disini. Rating yang berbiaya besar yang dibuat perusahaan asing, telah menjadi kebenaran tunggal.
Dengan logika rating-pasar, tayangan yang menguasai televisi kemudian adalah tayangan yang menonjolkan kemewahan, kekuasaan, dan ketenaran yang diraih dengan sedikit usaha dan logika. Yang terbentuk kemudian adalah karakter bangsa yang suka “menerabas”, serba instant, karakter “menanam jagung”, bukan karakter “menanam jati”. Segala sesuatu bisa diraih dengan cepat, tanpa perlu berpikir dan bekerja keras. Padahal karakter bangsa maju dan modern adalah karakter “menanam jati”. Jepang, Korea dan kini China, meraih kejayaan ekonomi sekarang ini tidaklah dalam waktu singkat, namun karena usaha dan kerja keras puluhan tahun. Akumulasi modal fisik dan manusia, pembangunan infrastruktur dan institusi, serta strategi industri dan alih teknologi, dijalankan secara komprehensif dan konsisten dalam jangka panjang.
Dalam skala mikro, karakter “menanam jati” juga sangat penting bagi tumbuhnya wirausahawan dan industriawan yang tangguh, inovatif dan kompetitif. Kemajuan ekonomi sejati hanya bisa diraih melalui learning process yang panjang, disertai kerja keras dan usaha sungguh-sungguh di setiap langkahnya. Wirausahawan dan industriawan seperti inilah yang akan menjelma menjadi gelombang creative destruction, yang merupakan salah satu bagian terpenting bagi dinamika dan kemajuan perekonomian modern.
Lebih jauh lagi, televisi juga telah membuat distorsi sumber daya yang signifikan. Ratusan ribu tenaga kerja telah beralih ke industri tanpa nilai tambah yang berarti, meninggalkan industri dan sektor-sektor ekonomi produktif. Tidak ada lagi kebanggaan menjadi murid terpandai di kelas, juara lomba teknologi tepat guna, atau mendapat beasiswa studi. Yang membanggakan, dan mendatangkan banyak uang dan ketenaran dalam waktu singkat, adalah ketika kita pandai bernyanyi, berakting atau melawak.

Televisi Sebagai Barang Publik
Karakter dasar televisi adalah karakter barang publik, yaitu orang tidak dapat dihalangi darinya dan tidak ada rivalitas dalam mengkonsumsi-nya. Dengan karakter seperti ini, maka televisi menyandarkan penerimaan sepenuhnya dari non-konsumen, dalam hal ini pengiklan. Kepentingan pengiklan adalah mendapat publisitas dan penerimaan konsumen sebesar-besarnya atas produk mereka. Tak heran bila kemudian rating menjadi pertimbangan utama dalam keputusan beriklan.
Walau rating adalah indikator yang relatif ampuh secara bisnis-komersial, namun rating tidak selalu selaras dengan tujuan normatif. Dari perspektif normatif, rating seringkali menyesatkan, terutama ketika tingkat pendidikan dan moralitas masyarakat rendah, selera publik mudah dimanipulasi dan rating dimonopoli oleh segelintir pemain.
Dari perspektif ini, maka rating seharusnya diproduksi oleh pemerintah, bukan swasta. Rating adalah barang publik, dimana sekali ia diproduksi, semua pihak akan mendapat manfaat-nya tanpa harus membayar. Karena itu, menjadi penting untuk menjamin bahwa rating adalah independen dan tidak akan disalahgunakan untuk memanipulasi selera pasar.
Setelah memastikan bahwa mekanisme pasar berjalan baik tanpa ada manipulasi, maka langkah berikut yang harus ditempuh adalah rekonsiliasi tujuan positif dan normatif. Tujuan maksimalisasi laba harus dipastikan tidak merusak tujuan normatif perekonomian. Rating tidak bisa berjalan sendiri sebagai indikator tunggal layak tidaknya sebuah tayangan. Tidak akan pernah tercapai agregasi preferensi individu ke dalam fungsi preferensi sosial. Harus ada value judgement disini. Disini pemerintah bisa membentuk panel ahli, katakan Dewan Televisi Nasional, yang terdiri dari kumpulan pakar, agamawan, budayawan dan seniman dengan kredibilitas tinggi untuk membuat kriteria dan menseleksi tayangan-tayangan bermutu. Sebagai langkah awal, televisi harus dibersihkan dari tayangan bodoh, mistik dan tidak bermoral.
Langkah krusial terakhir adalah memastikan penegakan hukum. Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) semestinya diperkuat dengan memberinya kewenangan memberi sanksi, tidak hanya sebatas memberi teguran. Dengan langkah-langkah diatas, harapan Presiden diatas akan bergerak mendekati kenyataan, tidak lagi di awang-awang.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home