Friday, January 13, 2006

Islam Tontonan: Kapitalisasi Agama?

Seorang ulama sepuh hanya bisa prihatin, lalu bermunajat kepada Allah swt. “Tuhan, kini Islam yang kami lihat di media massa, bukan lagi Islam Tuntunan, tetapi Islam tontonan…" Itulah munajat kyai sepuh dan tokoh ulama yang barangkali mewakili ribuan suara ulama dan kyai di Indonesia, Prof KH Alie Yafie, ketika memperingati kemerdekaan RI menurut kalender Hijriyah, bertepatan di bulan suci Ramadhan lalu.
Tahun-tahun terakhir ini kita melihat fenomena yang cukup menyejukkan, bangkitnya semangat ber-islam di ranah publik, termasuk di media massa. Di berbagai media massa, terutama TV, kita melihat warna Islam mulai dominan. Maka muncullah berbagai produk seperti sinetron islami, lagu islami, film islami, ruqyah syar'iyyah, reality show islami, pemilihan da'i kecil, dll.
Kita tentu bersyukur dengan fenomena menyejukkan ini. Masyarakat yang selama ini dijejali tayangan-tayangan TV yang tidak mendidik, cenderung melecehkan akal sehat, amoral, dan tidak humanis, kini mulai mendapat alternatif tontonan.
Yang kemudian jadi masalah adalah ketika Islam "tontonan" ini mulai dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal di tengah-tengah kebodohan ummat dan kelemahan ulama. Lihat misalnya ketika stasiun TV berlomba menayangkan acara "islami" yang rating-nya tinggi bahkan di waktu prime-time meski secara kualitas content-nya tidak terlalu bagus, bahkan kontroversial. Sedangkan acara Islami yang berkualitas, seperti kajian tafsir Prof Quraish Shihab misalnya, menjadi tergusur hanya karena rating-nya yang rendah.
Maka lahirlah kemudian sebuah industri entertainment baru berjubah agama: "Islam tontonan". Islam di TV - yang menjadi tuntunan masyarakat- bukanlah Islam yang dipandu oleh Ulama yang lurus dan ikhlas. Islam yang muncul di TV adalah Islam yang sesuai dengan keinginan dan selera masyarakat, seperti terekam dalam rating, dan menguntungkan para pemilik modal baik pengelola TV, rumah produksi, artis, biro iklan, dsb. Tak peduli apakah keinginan masyarakat itu benar atau salah, tak peduli apakah tayangan tersebut bermanfaat, tak peduli apakah tayangan itu sesuai secara syariah, dsb. Pokoknya masyarakat senang dan pemilik modal untung.
Islam yang muncul di TV bukan untuk membuat ummat menjadi paham syariat Allah, bukan untuk memenuhi panggilan dakwah Rasul, bukan untuk membuat ummat melek dengan agama-nya. Ia semata tampil untuk kepentingan pemilik modal; mengeruk laba sebesar-besarnya! Maka terjadilah seleksi terhadap Islam yang muncul di TV; Islam yang menguntungkan muncul, yang tidak menguntungkan jangan berharap bisa muncul. Ironisnya, Islam yang tidak menguntungkan itulah yang justru substansif dan menjadi ruh Islam yang sebenarnya!
Hal ini persis seperti apa yang terjadi pada pengalaman kapitalisasi kehidupan sosial. Kapitalisme telah memasuki ruang kehidupan sosial dalam bentuk co-modification. Jika seseorang mampu membayar jasa pendidikan atau kesehatan, maka fasilitas tersebut akan dipenuhi. Jika tidak, maka mereka tidak akan bisa meng-akses fasilitas tersebut. Kesehatan dan pendidikan disediakan bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi sederhana, disediakan untuk kepentingan pemilik modal, untuk mencetak laba!
Tentu menyedihkan melihat kini panutan dan imam masyarakat bukan lagi Ulama yang shaleh, tetapi justru
artis, dai panggung, ustadz teaterikal, selebritis, dan sederet produk industri entertainment agama ini. Ummat kini beralih dari majelis-majelis ilmu di pesantren, masjid, surau ke Islam hiburan, Islam tontonan.
Siapa yang salah?

Labels: