Wednesday, August 02, 2006

Suku Bunga Dan Stagnasi Ekonomi ...

Kondisi perekonomian Indonesia semakin muram. Pertumbuhan ekonomi semakin menurun dari 7,1% pada kuartal IV 2004 saat pemerintahan baru dilantik, menjadi 4,6% pada kuartal I 2006. Target pertumbuhan ekonomi 2006 sebesar 5,9% diyakini sulit tercapai. Sektor riil masih berjalan tertatih-tatih di tengah prestasi stabilitas makroekonomi. Ketika ekspor bulan Mei 2006 mencatat rekor tertinggi sepanjang Republik ini berdiri yaitu US$ 8,34 milyar, surplus perdagangan mencatat surplus US$ 3 milyar pada triwulan II 2006, dan nilai tukar semakin stabil dan menguat, sektor riil justru dalam kondisi yang semakin terpuruk.
Kondisi sektor riil yang terutama diwakili oleh industri manufaktur kini sudah dalam tahap merisaukan. Anjloknya penjualan, tipisnya likuiditas, rendahnya kucuran kredit, lambatnya restitusi pajak, dan maraknya penyelundupan, membuat industri nasional harus menanggung beban yang sangat berat. Penurunan kinerja emiten-emiten industri manufaktur di BEJ pada semester I 2006 menjadi bukti nyata bahwa terpuruknya sektor riil nasional bukan lagi sekedar wacana belaka.
Ironisnya, di saat sektor riil tertimpa beban luar biasa berat, sektor moneter ternyata tidak merasakan hal yang sama dan justru terus tumbuh. Industri perbankan secara konsisten terus meningkat laba-nya dari Rp 1,5 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 15,8 triliun pada Mei 2006. Pada waktu yang sama, aset perbankan nasional bertambah Rp 49,3 triliun. IHSG juga booming dan sempat menyentuh level 1.500 pada awal Mei 2006 lalu. Sektor finansial seolah berada di awan, tidak terpengaruh sama sekali oleh kondisi sektor riil. Fenomena decoupling begitu jelas terlihat di depan mata.

Jebakan Suku Bunga
Kontradiksi sektor riil-moneter diatas bersumber dari kebijakan suku bunga tinggi yang kini diterapkan oleh BI. Kebijakan suku bunga tinggi diyakini pembuat kebijakan akan membuat tekanan inflasi mereda melalui dampaknya pada kontraksi uang beredar. Namun, tingginya BI rate, yang sejak diperkenalkan pertama kali pada 5 Juli 2005 telah mengalami lima kali kenaikan, membuat sektor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak.
Ironisnya, tingginya BI rate justru membuat sektor finansial tetap terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja sama sekali. Per Mei 2006, dana perbankan yang “menganggur” tidak disalurkan ke sektor riil mencapai Rp 393 triliun, yang kemudian “ditanam” kembali di sektor finansial yaitu di SBI, SUN, dan instrumen lainnya. Sebagai misal, antara Januari hingga Mei 2006, penempatan dana perbankan di SBI melonjak dari Rp 79,1 triliun menjadi Rp 142,4 triliun.
Begitu menariknya BI Rate yang kini berada di level 12,25% bahkan juga telah mendorong BPD-BPD yang memegang dana pemerintah daerah untuk ikut bermain di SBI. Per Maret 2006, kepemilikan BPD di SBI mencapai Rp 70 triliun.
Dampak dari semua hal diatas adalah mengerikan. Di saat sektor finansial dengan konsep bunga berbunga terus menuntut imbalan yang semakin meningkat menuju tak terbatas, sektor riil justru mengalami kemunduran menuju titik nadir. Biaya operasi moneter menjadi sangat signifikan dan terus meningkat seiring dengan kenaikan suku bunga. Biaya pengendalian moneter pada 2005 adalah Rp 18 triliun dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 20 triliun pada tahun 2006 ini. Dengan demikian, jumlah uang beredar justru semakin tinggi, yang kemudian ditransmisikan pada kenaikan harga aset, inflasi semakin melambung, dan terciptalah buble economy. Ketika gap antara sektor riil dan moneter semakin membesar, pada titik tertentu dipastikan akan meledak dan berakhir dengan krisis ekonomi. Kebijakan suku bunga tinggi yang semula ditujukan untuk menekan inflasi, justru pada kenyataannya membuat jumlah uang beredar bertambah semakin cepat tanpa diikuti dengan pertambahan output di sektor riil.
Tingginya suku bunga juga ditengarai merupakan salah satu strategi BI untuk menarik modal asing sehingga nilai tukar menjadi nampak stabil dan bahkan mampu menguat. Dengan BI Rate bertengger diatas 12% dan ekspektasi inflasi 8%, Indonesia menawarkan suku bunga riil lebih dari 4%, salah satu yang tertinggi di dunia. Amerika Serikat saja yang sejak Juni 2004 telah 17 kali menaikkan the fed fund rate yang kini bertengger di 5,25%, hanya mampu menawarkan suku bunga riil tidak lebih dari 1,75%. Tidak heran bila modal-modal asing menabrak SBI dan SUN dalam jumlah signifikan yang membuat nilai tukar Rupiah menguat dan neraca pembayaran mengalami surplus. Prestasi makroekonomi yang menyedihkan.

Menuju Free-Interest Economy
Bunga adalah akar dari semua krisis finansial yang dialami perekonomian modern. Penerapan bunga membuat output di sektor riil “dipaksa” tumbuh sesuai dengan tingkat yang diinginkan sektor finansial. Dengan demikian, penerapan bunga secara sistemik akan membuat upaya-upaya mendapatkan laba jangka pendek semakin marak sehingga mendorong eksploitasi sumber daya manusia dan alam secara berlebihan yang sering berujung pada krisis sosial dan ekologi.
Di dalam dunia modern, dampak bunga terhadap perekonomian dan lingkungan menjadi semakin mengkhawatirkan. Ketika sistem bunga dikombinasikan dengan reserve fractional banking, maka efek inflasioner bunga bertemu dengan kemampuan sektor perbankan untuk menciptakan uang. Dampaknya adalah pertumbuhan uang beredar yang masif dan semakin cepat menuju tak terbatas. Dalam jangka panjang, perekonomian dengan sistem bunga dan fractional reserve banking akan selalu menemui masalah pertumbuhan uang beredar secara berlebihan walau telah dilakukan berbagai upaya pengendalian.
Sistem keuangan modern juga sangat labil karena secara sistemik memfasilitasi kegiatan spekulasi. Pasar uang telah menjadi arena perjudian legal terbesar di dunia. Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods pada 1973, gap antara perdagangan uang dan perdagangan barang semakin melebar dengan kecepatan yang semakin tinggi. Menurut BIS, pada April 2004, rata-rata volume transaksi harian valas mencapai US$ 1,9 triliun, yang terdiri dari transaksi spot US$ 0,6 triliun dan transaksi derivatif US$ 1,3 triliun.
Untuk menghindarkan perekonomian dari instabilitas, kita membutuhkan reformasi total dalan sistem keuangan modern yang bermuara pada penghapusan sistem bunga, fractional reserve banking, dan kegiatan spekulasi di pasar uang.
Dalam konteks inilah, menjadi penting bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk selalu mengarahkan kegiatan sektor keuangan sebagai pendukung sektor riil. Sektor riil-lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan, bukan sebaliknya. Disinilah sistem keuangan Islam yang selalu terkait dengan sektor riil, tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi model solutif masalah perekonomian bangsa.
Perbankan syariah di Indonesia telah terbukti tangguh terhadap krisis, menjalankan fungsi intermediasi dengan sangat baik, tidak membebani perekonomian dengan biaya operasi moneter yang tinggi, dan berorientasi pada ekonomi kerakyatan sehingga memiliki dampak besar pada pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.
Pengendalian moneter juga sudah saat-nya semakin diarahkan pada kebijakan moneter berbasis syariah. Selain SWBI, otoritas moneter dituntut untuk mampu menciptakan instrument pengendalian moneter lain yang tidak mengandung unsur bunga dan memenuhi kaidah-kaidah syariah. Mencontoh pengalaman negara lain seperti Sudan, Malaysia, dan Bahrain, bank sentral dapat menggunakan instrument pengendalian moneter dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah antara lain transaksi dengan prinsip wadiah, musyarakah, mudharabah, rahn, atau ijarah.

Republika, 2 Agustus 2006
"Suku Bunga dan Stagnasi Ekonomi"

Labels: ,

1 Comments:

At Tuesday, October 17, 2006 11:54:00 AM, Anonymous Anonymous said...

btw, ini tulisan elo apa tulisan orang lain cup...
sorry ga baca republika edisi tanggal tsb

 

Post a Comment

<< Home