Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan di Era Otonomi Daerah...
Kemiskinan masih menjadi permasalahan terbesar bangsa ini. Pasca krisis, pemulihan ekonomi berjalan lambat. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi dan meluas. Pelaksanaan otonomi daerah secara drastis dan masif sejak 1 Januari 2001 juga tidak banyak membantu, jika tidak bisa dikatakan malah semakin memperburuk keadaan.Kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan setempat, tidak mampu membuat pemerintah daerah menangani masalah kemiskinan secara cepat dan efektif. Di era otonomi daerah ini, yang kita saksikan justru adalah kemiskinan yang semakin meluas dan terjadi dalam derajat yang semakin tinggi. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, kini kita dikejutkan oleh wabah busung lapar. Entah esok cerita kemiskinan apalagi yang akan terkuak.Setidaknya terdapat tiga alasan pokok mengapa otonomi daerah tak mampu menurunkan kemiskinan. Pertama, ketiadaan kebijakan yang secara umum memihak orang miskin (pro-poor policy). Otonomi daerah telah memberi peluang yang besar kepada setiap daerah untuk membuat pro-poor policy. Sebagai misal, sebagian besar perijinan investasi dan kegiatan usaha kini dapat diselesaikan daerah. Jika hal ini dimanfaatkan dengan baik, investasi dan produksi akan tumbuh dan menggerakkan perekonomian. Jika pertumbuhan yang tercipta memiliki dampak yang besar pada orang miskin (pro-poor growth), maka otonomi daerah sangat kuat untuk menurunkan kemiskinan. Ironisnya, pasca otonomi daerah, iklim usaha justru semakin memburuk yang ditandai dengan maraknya perda-perda “bermasalah” terutama dalam bentuk pajak dan retribusi daerah yang memberatkan dunia usaha.
Kedua, ketiadaan institusi yang memihak orang miskin (pro-poor institutions). Institusi-institusi pemerintah yang ada cenderung tidak sensitif dengan kepentingan orang miskin. Sebagai misal, DAU dan Dana bagi hasil yang merupakan komponen terbesar dalam penerimaan daerah, adalah dana block-grant dimana daerah memiliki kebebasan dalam penggunaannya. Namun sedikit sekali daerah yang mampu menghasilkan APBD yang memihak rakyat miskin (pro-poor budget) bahkan dengan kondisi anggaran yang berlimpah.
Ketiga, ketiadaan rezim pemerintahan yang memihak orang miskin (pro-poor government). Meningkatnya derajat demokratisasi yang diiringi dengan semakin banyaknya pilihan politik bagi rakyat, ternyata tidak menjamin secara otomatis akan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah justru memunculkan “raja-raja kecil” baru di daerah yang cenderung otoriter, korup, dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Kandungan aspek lokalitas yang kental dalam pembuatan kebijakan publik, tidak mampu membuat pemerintah daerah bersikap transparan dan akuntabel.
Keunggulan Zakat
Di tengah kekalutan inilah, zakat muncul menjadi alternatif instrument untuk pengentasan kemiskinan yang efektif, ramah pasar, dan lestari. Zakat sebagai instrument pengentasan kemiskinan di era otonomi daerah memiliki banyak keunggulan dibandingkan instrument fiskal konvensional yang kini telah ada.
Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS At Taubah: 60) dimana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu: orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepakat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak-pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran (self-targeted).
Kedua, zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syariat. Sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarif-nya hanya 2,5%. Ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau dirubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan publik serta memberikan kepastian usaha.
Ketiga, zakat memiliki tarif berbeda untuk jenis harta yang berbeda, dan mengizinkan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai misal, zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tarif-nya adalah 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tarif-nya 10%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly sehingga tidak akan mengganggu iklim usaha.
Keempat, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqh kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari aset atau keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan.
Kelima, zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Potensi Zakat
Dari pembahasan diatas tampak bahwa zakat memenuhi semua persyaratan pajak-pajak yang baik yaitu akuntabel, netral, memiliki basis pemungutan yang stabil dan kokoh, serta sederhana secara administrasi. Selain itu, zakat juga memiliki potensi yang besar jika dilaksanakan secara optimal. Bahkan potensi ini lebih besar dibandingkan penerimaan daerah dari pajak dan retribusi daerah yang ada. Karena itu zakat sangat layak untuk dipungut.
Tabel 1 dan 2 memperlihatkan estimasi terhadap potensi zakat di Indonesia dan perbandingannya dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Dengan asumsi bahwa zakat diterapkan secara luas dengan tarif 5% untuk produk pertanian, 20% untuk barang tambang, dan 2,5% untuk basis secara umum, maka akan di dapatkan potensi zakat sebesar Rp 64,75 triliun di tahun 2001 dan Rp 71,24 triliun di tahun 2002. Angka ini sekitar 12 kali lebih besar dari PAD seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang di tahun 2001 dan 2002 berturut-turut hanya mencapai Rp 5,23 triliun dan Rp 5,69 triliun.
Jika kita terapkan asumsi minimal dimana cakupan zakat hanya mencapai 10 persen saja, kita tetap akan mendapatkan potensi zakat 1,25 kali lebih besar dari PAD seluruh Kabupaten/Kota. Jika kita bandingkan potensi zakat ini dengan penerimaan pajak dan retribusi daerah, maka perbandingan tadi akan melonjak menjadi 1,60. Dengan kata lain, penerimaan zakat mampu sepenuhnya menutup penerimaan pajak dan retribusi daerah. Maka dimungkinkan untuk menghapus pajak dan retribusi daerah jika penerapan zakat optimal.
Bagi daerah-daerah yang potensi PAD-nya kecil, penerapan zakat menjadi sangat menjanjikan. Hal ini terjadi di Kabupaten Bulukumba yang telah menerapkan zakat berdasarkan Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan Shadaqah. Potensi zakat di daerah ini mencapai Rp 90 miliar, atau 9 kali lebih besar dari PAD-nya. Pemkab Bulukumba juga telah merencanakan untuk menghapus pajak dan retribusi daerah ketika penerimaan zakat telah optimal (Harian Fajar, 21/8/2004).
Tabel 1. Potensi Zakat dan PAD (Rp Miliar)
Potensi Zakat 10% Potensi Zakat PAD Kab/Kota
2001 64.757,30 6.475,73 5.232,85
2002 71.236,69 7.123,67 5.693,40
Sumber: Perhitungan Penulis
Tabel 2. Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah (Rp Miliar)
Pajak Kab/kota Retribusi Kab/Kota Pajak & Retribusi Kab/Kota
2001 2.268,61 1.749,86 4.018,47
2002 2.354,99 2.134,05 4.489,05
Sumber: Perhitungan Penulis
Pengelolaan Zakat
Sebagaimana telah disinggung diawal, bahwa zakat memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari instrument fiskal konvensional. Hal ini membawa implikasi pada pengelolaan zakat yang juga berbeda.
Harta zakat termasuk kategori harta milik individu, yaitu individu ashnaf, bukan milik negara. Namun negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaannya. Maka amilin zakat adalah mereka yang ditunjuk oleh negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Untuk alasan inilah maka dana zakat yang terkumpul harus dipisahkan pengelolaannya dari APBD. Maka, untuk pengelolaan zakat ini, dibutuhkan satu badan khusus yang bertugas sesuai dengan ketentuan syariah mulai dari perhitungan dan pengumpulan zakat hingga pendistribusiannya.
Semua ketentuan tentang zakat yang sudah termaktub secara eksplisit dalam syariah, membuat pengelolaan zakat menjadi akuntabel dan transparan. Semua pihak dapat mengawasi dan mengkontrol secara langsung pengelolaan dana zakat tersebut.
Namun semua hal diatas membutuhkan kemauan politik yang tinggi dari pemerintah daerah untuk menempatkan diri sebagai institusi yang berpihak pada orang miskin. Jika hal ini terpenuhi, maka kita akan memiliki semua persyaratan yang dibutuhkan untuk memerangi kemiskinan yaitu pro-poor policy, pro-poor institutions, dan pro-poor government.
Labels: Zakat dan Wakaf
2 Comments:
Untuk kasus Bukukumba saya kira yg 90 miliar itu baru potensi di atas kertas. Itupun gak jelas dari mana dapat angkanya.
Hingga kini "keajaiban" di bulukumba ini malah tidak terdengar lagi. Apa Pak Ucup punya data "update".
Di Aceh zakat sudah menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah, sesuai UU No. 11 Tahun 2006 Tetang Pemerintahan Aceh Pasal 180
Post a Comment
<< Home