Wednesday, November 16, 2005

Mulianya Islam di Tangan Si Kecil...

Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingat jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk, saya singgah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di depan saya.

"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum. Tangannya segera menyingkapkan daun pisang yang menjadi penutup bakul kue jajanannya. "Tidak dik ... Abang sudah pesan makanan," jawab saya ringkas. Dia pun berlalu. Begitu pesanan tiba, saya segera menikmatinya. Lebih kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pengunjung lain, sepasang suami istri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu saja.

"Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?" katanya tenang ketika menghampiri meja saya. "Abang baru selesai makan dik, masih kenyang nih," kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma disekitar restoran. Sampai disitu dia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu ditawari ... "Tak mau beli kue saya bang ... mba ... pak ... kak ... atau ibu." Molek budi bahasanya.

Pemilik restoran itu pun tak melarang dia keluar masuk ke restorannya menemui pengunjung. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan cermin. Membalas senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin abang perlukan kue saya untuk adik-adik abang, ibu atau ayah abang," katanya sopan sekali sambil tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyingkap daun pisang penutupnya. Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja. Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mengulurkan selembar uang Rp 20.000,- saya berikan padanya.

"Ambil ini dik! Abang sedekah ... tak usah abang beli kue itu." Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya. Setelah mesin mobil saya hidupkan ... Saya memundurkan mobil. Alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan uang Rp 20.000,- pemberian saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua matanya. Saya terkejut; saya hentikan mobil, memanggil anak itu. "Kenapa Bang mau beli kue kah?" tanyanya.

"Kenapa adik berikan duit abang tadi pada pengemis itu? Duit itu abang berikan buat adik!" kata saya tanpa menjawab pertanyaannya. "Bang saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah. Kalau dia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih banyak, mak pasti marah. Kata mak mengemis kerja orang yang tak berupaya, saya masih kuat bang!" katanya begitu lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak Soal saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk. Lidah saya kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja bang....." Selepas itu dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam kantong plastik, saya ulurkan Rp 25.000,-.

Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya perhatikan dia hingga hilang dari pandangan. Dalam perjalanan, baru saya terfikir untuk bertanya statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasar kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu. Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya ... Apa yang kita ajarkan selama ini pada anak-anak kita ... berharap jadi apakah anak-anak kita ... nanti ... Apa yang kita dapatkan selama ini dari orang tua kita ... Generasi sekarang ini, siapa yang mengajari dan mendidiknya ... Teruslah bertanya, siapa kita ...? Mahluk apakah kita ...? Mampukah kita menjawabnya ...?

Source: Unknown

Labels:

3 Comments:

At Tuesday, December 13, 2005 12:38:00 PM, Anonymous Anonymous said...

enak kali ya kalo masih punya kampung...he..he..gue mah udah gak punya kampung neh...

-NRM-

 
At Tuesday, October 17, 2006 11:43:00 AM, Anonymous Anonymous said...

bagus ceritanya

 
At Friday, July 31, 2009 9:15:00 PM, Blogger Unknown said...

mas, bagusnya...saya dah jadi ibu, tapi masih blm ngerti mau ngukir masa depan spti apa buat putriku...makasi ya mas, tulisannya menyentuh bgt...terus berkarya yah mas yusuf...

 

Post a Comment

<< Home