Monday, February 20, 2012

Mengugat UU Zakat ...

Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - PEBS (Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah) FEUI

Di Republika 31/10/2011, penulis telah menguraikan kelemahan-kelemahan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, 3 hari setelah UU ini disahkan. Beberapa diskusi dan temuan lapangan dalam 3 bulan terakhir, semakin menguatkan penulis bahwa UU ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola oleh masyarakat sipil.
Sebagai misal, mengantisipasi ketentuan “paling mematikan” dalam UU No. 23/2011 yaitu keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam, berbagai LAZ telah merencanakan dan bahkan telah melakukan exit strategy, seperti memperoleh status kelembagaan non-LAZ dari lembaga pemerintahan non Kemenag, bahkan dari lembaga internasional. LAZ di daerah juga telah banyak yang mulai “tiarap” menyikapi ketentuan “kriminalisasi” dalam UU ini yaitu amil yang tidak memiliki izin diancam pidana penjara dan/atau denda. Bahkan sebagian SDM amil di daerah telah mulai beralih profesi karena melihat tidak ada masa depan di LAZ.
Karena itu penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak destruktif UU ini meluas. Penulis melihat bahwa uji materiil atas UU ini sangat layak dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi.

Hak Membangun Masyarakat
Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011 telah mensentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu di BAZNAS, dan di saat yang sama pasal 17, 18 dan 19 UU diatas telah men-subordinasikan kedudukan lembaga amil zakat bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ, dibawah BAZNAS dengan menyatakan bahwa eksistensi LAZ hanya sekedar membantu BAZNAS. Dengan logika sentralisasi dan sub-ordinasi diatas maka kemudian UU secara sistematis memarjinalkan, bahkan berpotensi mematikan, LAZ. Pasal 18 ayat (2) huruf (a) mempersyarakatkan bahwa LAZ harus didirikan oleh organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.
Ketentuan diatas secara jelas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah amal-sosial ke ranah pemberdayaan-pembangunan, yang antara lain dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998) dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini tidak didirikan oleh ormas Islam.
UU No. 23/2011 memang tetap mengakui LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan berdasarkan UU No. 38/1999 (pasal 43 ayat 3), namun disaat yang sama mereka tetap diharuskan menyesuaikan diri dengan UU No. 23 Tahun 2011 maksimal dalam 5 tahun ke depan (pasal 43 ayat 4). Dengan demikian, dalam 5 tahun ke depan LAZ harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhan dan izin operasional-nya tidak dicabut oleh Menteri Agama. Ketentuan ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan "mematikan" LAZ karena sebagian besar LAZ saat ini, khususnya LAZ-LAZ besar, tidak ada yang didirikan atau berafiliasi dengan ormas Islam. Dengan pula dengan LAZ-LAZ yang sangat potensial namun hingga kini belum mendapat izin dan belum dikukuhkan oleh Menteri Agama, seperti LAZ Al-Azhar Peduli Ummat dan PPA Darul Qur’an, juga terancam layu sebelum berkembang.
UU No. 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS (pasal 18 ayat 2 huruf c). Padahal berdasarkan UU ini, BAZNAS juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaing-nya.
Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, terancam dikriminalkan oleh UU ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang (pasal 38) dan memberi ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp 50 juta bagi LAZ illegal (pasal 40). Berdasarkan UU ini, semua amil zakat yang beroperasi tanpa izin meski memiliki kredibilitas tinggi dan, karenanya, mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat, akan dikriminalkan.
Seluruh hal diatas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.
Karena itu, UU No. 23/2011 ini secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ sebagai badan hukum publik yang juga memiliki hak untuk turut membangun masyarakat, yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya".

Hak Perlakuan Sama di Hadapan Hukum
Pasal 5 dan 15 UU No. 23/2011 telah membuat pendirian BAZNAS di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi amanat UU, tanpa memberi persyaratan pendirian. Di saat yang sama, pendirian LAZ yang sama-sama operator zakat nasional sebagaimana halnya BAZNAS, mendapat restriksi yang sangat ketat (pasal 18).
Restriksi, dan karenanya konsolidasi, organisasi pengelola zakat (OPZ) memiliki rasionalitas yang kuat karena kini jumlah operator zakat nasional memang sudah terlalu banyak sehingga menimbulkan inefisiensi karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Hal ini juga menyulitkan pengaturan dan pengawasan OPZ yang efektif, terlebih dengan ketiadaan regulator zakat yang kuat.
Namun restriksi terhadap OPZ ini menjadi tidak valid ketika hanya diterapkan ke LAZ namun tidak diterapkan juga ke BAZNAS meski sama-sama menyandang status sebagai operator zakat nasional. Restriksi ini semakin kehilangan kredibilitas ketika restriksi LAZ dikaitkan dengan keharusan didirikan oleh ormas Islam, dimana semua LAZ besar saat ini tidak ada yang terafiliasi dengan ormas Islam. Meskipun UU menyatakan bahwa BAZNAS adalah lembaga pemerintah non struktural (pasal 5 ayat 3), namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti struktur pemerintahan. Alih-alih melakukan reformasi dan konsolidasi, UU ini justru memperkuat status quo dimana ke depan akan terdapat 1 BAZNAS pusat, 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota.
UU juga memberi keistimewaan kepada BAZNAS yaitu selain tetap dapat menggunakan sebagian dana zakat yang dihimpun (hak amil), BAZNAS juga berhak mendapat pembiayaan dari APBN (pasal 30). Sedangkan BAZNAS provinsi dan kabupaten/kota, selain hak amil juga berhak mendapat pembiayaan dari APBD dan APBN (pasal 31). Di sisi lain, LAZ dihadapkan pada disiplin pasar yang tinggi karena tidak mendapat pembiayaan dari APBN atau APBD dan hanya berhak mendapat pembiayaan dari hak amil (pasal 32).
Berbagai ketentuan diatas secara jelas bersifat diskriminatif dimana tidak terdapat kesetaraan perlakuan diantara sesama warga negara dihadapan hukum. Secara teknis-ekonomi, diskriminasi yang dilakukan UU No. 23 Tahun 2011 kepada LAZ dengan memberi berbagai privilege kepada BAZNAS sebagai operator zakat bentukan pemerintah, telah menciptakan level of playing field yang tidak sama antar sesama operator zakat nasional.
Karena itulah maka UU No. 23/2011 ini juga berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ yang berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum, yang dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

Republika, 18 Februari 2012.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home